banner 728x90

“Batu-batu Besar” dalam Proses menjadi Pribadi Muslim

Salam Tabligh #3

 

Usaha untuk mewujudkan diri menjadi Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya tidak dapat dilakukan dengan cara instan. Dalam usaha ini, seseorang harus melakukan upaya-upaya pembenahan diri secara terus-menerus. Karena itu, prosesnya sangatlah panjang. Salah satunya adalah proses menjadikan amalan positif menjadi kebiasaan pribadi.

 

Tanpa disadari, kita telah melewatkan waktu-waktu berharga untuk menjalani kebiasaan; yakni aktivitas yang dilakukan berulang-ulang sehingga pusat kendalinya bergeser dari otak sadar ke bawah sadar. Aktivitas yang berada dalam kendali otak sadar memerlukan energi yang lebih besar. Sedangkan, aktivitas yang berada dalam kendali otak bawah sadar lebih ringan melakukannya dan energinya juga lebih sedikit.

Kepribadian dan kualitas diri seseorang dibentuk oleh kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya. Apabila kebiasaan-kebiasaan seseorang itu terbentuk oleh lingkungan di mana ia berada, maka secara otomatis ia membentuk dirinya sebagaimana orang-orang yang ada di lingkungannya. Tentu sangatlah beruntung bila ia berada di antara orang-orang saleh, ia dapat memiliki kebiasaan-kebiasaan yang menjadi ciri-ciri orang saleh. Namun, apabila ia berada di lingkungan orang-orang yang kurang peduli kepada tuntunan agama, maka kebiasaan yang akan terbangun tentu akan jauh dari tuntunan agama.

Perlu diketahui bahwa situasi dan kondisi dunia tempat kita tinggal sekarang ini jauh berbeda dibanding beberapa tahun yang lalu. Perkembangan teknologi informasi dan transportasi telah merubah dunia menjadi terasa semakin kecil. Sekat-sekat geografis telah mencair. Dunia semakin tak berbatas, datar dan seolah tidak bulat lagi. Lingkungan pergaulan semakin majemuk. Facebook, twitter dan teknologi internet lainnya telah menjadikan lingkungan pergaulan mampu menjangkau orang di mana saja dan kapan saja. Boleh jadi, seseorang telah bersahabat dengan orang yang tinggal dengan jarak ribuan kilometer. Mereka dapat berkomunikasi secara efektif, namun tidak mengenal siapa yang tinggal di sebelah rumahnya.

Kemajemukan lingkungan pergaulan dengan latar belakang berbeda-beda, di satu sisi bisa memperluas wawasan seseorang, namun di sisi lain bisa menimbulkan bahaya. Oleh karena itu, kita harus cerdas memilih lingkungan pergaulan yang sesuai dengan keyakinan dan cita-cita. Kalau bercita-cita menjadi orang sukses, kita harus mencari teman-teman yang sukses. Apabila ingin pintar, bertemanlah dengan orang-orang pintar. Ingin berani, bergaul dengan pemberani. Ingin jujur, bergaul dengan orang-orang jujur. Salah satu cara untuk melihat bagaimana keadaan seseorang dapat dilakukan dengan melihat siapa saja yang menjadi teman-teman dekatnya.

Pilihan-pilihan tersebut tentu berada di tangan kita masing-masing. Kita tidak boleh menyerahkan diri untuk mengikuti kebiasaan orang kebanyakan. Adalah suatu “kegilaan” bila seseorang mengharapkan sukses tetapi melakukan hal-hal seperti yang dilakukan orang kebanyakan. Cita-cita sukses haruslah diikuti dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang terbukti mampu membawa kesuksesan seperti yang dipraktikkan oleh orang-orang sukses lainnya. Kalau kita mau jadi pengusaha sukses, berkonsultasinya dengan pengusaha sukses, mengikuti petunjuk dan melakukan kebiasaan-kebiasaan mereka.

Lantas, bagaimana dengan cita-cita seseorang yang ingin menjadi penghuni surga di akhirat kelak? Syaratnya, ketika hidup di dunia kita mesti berjuang dan berproses menjadi “Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya”. Idealnya, seperti pribadi Rasulullah Muhammad saw. Untuk itu, kita harus berkonsultasi dengan Beliau dan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang telah dicontohkan. Persoalannya, kebiasaan-kebiasaan Rasulullah amatlah banyak. Lantas, dari mana kita mulai?

Sejalan dengan pertanyaan tersebut, terdapat pelajaran bagus dari seorang guru, sebagaimana dikemukakan John McGrath dalam bukunya “You Don’t Have to be Born Brilliant. Seorang guru mengeluarkan dari bawah bangkunya sebuah gelas kimia setinggi 30 cm. Ia juga mengeluarkan beberapa batu besar berukuran kepalan tangan. Dengan hati-hati, ia masukkan satu persatu batu-batu tersebut sampai 10 buah. Ketika memasukkan batu yang ke-11, gelas kimia tersebut tidak mampu memuatnya dan batunya bergulir jatuh.

Sang guru kemudian memandang murid-muridnya dan bertanya: “apakah menurut kalian gelas kimia ini sudah penuh?” Murid-murid pun mengangguk. Sebab, mereka melihat tidak ada celah lagi untuk memasukkan batu. Kemudian, guru tersebut mengeluarkan ember berisi batu-batu kerikil seukuran kacang polong. Pelan-pelan ia tuang kerikil tersebut ke dalam gelas kimia, sampai tidak ada lagi ruangan tersisa di antara batu-batu besar.

Setelah itu, pertanyaan yang sama diajukan sang guru dan murid-muridnya mengangguk. Selanjutnya, sang guru mengeluarkan ember berisi pasir. Ia menuang pasir di antara kerikil dan batu-batu besar sampai ruang yang tersisa menjadi penuh. Para murid heran akan daya tampung gelas kimia tersebut dan bingung bagaimana menjawab pertanyaan guru mereka selanjutnya: “apakah gelas kimia ini sekarang sudah penuh?”

Sebelum mereka mampu menjawab, sebuah botol berisi air dikeluarkan dan isinya dituangkan ke dalam gelas kimia di antara batu, kerikil dan pasir. Sang guru tersenyum dan berkata, demonstrasinya telah usai. “Sekarang beritahu saya, pelajaran apa yang bisa dipetik dari latihan ini?” Seorang murid antusias menjawab: “Guru, saya belajar bahwa seringkali kita bisa memasukkan jauh lebih banyak daripada yang kita kira sebelumnya”. “Jawaban bagus! Tetapi ada pelajaran lain yang saya ingin kalian temukan!”

Para murid berpikir keras, sampai akhirnya ada seorang yang menjawab: “guru, pelajaran yang bisa saya ambil adalah jika kita tidak menaruh batu-batu besarnya terlebih dahulu, kita takkan mampu memasukkan benda lainnya. Jadi pelajaran buat saya adalah menaruh batu besarnya dahulu”. Mendengar jawaban itu, sang guru tersenyum dengan perasaan sangat bangga. “Kalian pintar. Memang itulah pelajaran yang ingin saya berikan”.

Melihat pelajaran tersebut, lantas kebiasaan-kebiasaan apa saja yang menjadi “batu-batu besar” dalam proses menjadi Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya? Terkait dengan ini, kami tawarkan sembilan kebiasaan yang bisa menjadi “batu-batu besar” kita dalam mewujudkan diri menjadi Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya. Kami sering menyebut sembilan kebiasaan ini sebagai “The Nine Golden Habbits”. Kesembilan kebiasaan tersebut adalah: pertama, kebiasaan Shalat; (a) Shalat Wajib di awal waktu dan berjamaah diiringi shalat sunnah Rawatib; (b) Shalat Tahajud (lail) di setiap sepertiga malam terakhir; dan (c) Shalat Dhuha setiap pagi.

Kedua, kebiasaan Puasa, di samping melaksanakan puasa Ramadhan juga membiasakan berpuasa Sunnah. Ketiga, kebiasaan berzakat, infaq dan shadaqah (ZIS), senantiasa mengeluarkan minimal 2,5 persen dari total pendapatan untuk ZIS. Keempat, kebiasaan membaca al-Qur’an: senantiasa membaca al-Qur’an pada waktu-waktu tertentu, misalnya: sehabis maghrib, menjelang subuh, ba’da shubuh dan lain-lain serta mengkhatamkannya minimal satu kali dalam sebulan.

Kelima, kebiasaan membaca buku sekurang-kurangnya satu jam setiap hari. Keenam, kebiasaan beradab Islami dalam setiap aktivitas yang dilakukan. Ketujuh, kebiasaan mengaji dan berada dalam komunitas orang shaleh minimal satu kali dalam seminggu. Kedelapan, kebiasaan berkata baik, beramal shaleh dan memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Kesembilan, kebiasaan berpikir positif dan murah senyum.

 

Samarinda, 15 September 2011

 

Agus Sukaca

guskaca@gmail.com

 

banner 468x60