banner 728x90

Berbicara Baik Atau Diam

Tuntunan Adab #1

 

 

 

 

hadis adab-1

 

 

 

Terjemah: “Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka muliakanlah tamunya. Dan siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka berbicaralah yang baik atau diamlah” (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad).

 

Arti bicara antara lain pertimbangan pikiran atau pendapat. Padanan kata berbicara adalah berkata, bercakap, berbahasa. Bicara dilakukan dengan menggunakan bahasa. Bahasa merupakan salah satu dasar hakiki intelegensia manusia dan merupakan bagian penting dari kebudayaan manusia. Berbicara merupakan cara mengkomunikasikan apa yang ada dalam pikiran seseorang kepada orang lain dan menggambarkan apa yang ada dalam pikiran seseorang.

Pusat bicara terletak di area broca, sebuah area yang terletak di otak bagian depan (lobus frontalis).  Area broca ini mengolah informasi yang datang dari area wernicke (suatu area di otak yang berperan dalam pemahaman informasi penglihatan dan pendengaran) menjadi pola yang terinci dan terkoordinasi untuk vokalisasi, lalu memproyeksikan pola tersebut melalui area pengucapan kata ke korteks motorik (suatu area yang juga terletak di otak) yang mencetuskan gerakan bibir, lidah, kerongkongan yang tepat untuk menghasilkan suara.

Kualitas bicara seseorang sangat bergantung kepada: (1) memori (ingatan), (2) bagaimana ia belajar, dan (3) apa yang dipelajari. Belajar merupakan proses mendapatkan informasi yang memungkinkan suatu hal terjadi. Mengingat adalah mempertahankan dan menyimpan informasi tersebut.

Dari segi fisiologi,  memori dibagi menjadi bentuk tersurat dan tersirat. Memori tersurat berhubungan dengan kesadaran sehingga sering disebut sebagai otak sadar. Memori ini terdiri atas: (1) ingatan akan peristiwa (episodic memory), dan (2) ingatan akan kata-kata, peraturan-peraturan, bahasa, dan lain-lain (semantic memory). Memori tersirat tidak berhubungan dengan kesadaran, disebut juga memori reflektif atau otak bawah sadar. Termasuk di sini adalah kemahiran melakukan sesuatu dan kebiasaan.

Kemahiran melakukan sesuatu dan kebiasaan seseorang pada awalnya berada dalam memori tersurat. Kegiatan mengendarai sepeda motor misalnya, pada awal belajar dilakukan oleh memori tersurat, dan akan menjadi memori tersirat bila telah cukup mahir. Kegiatan seseorang melakukan shalat tahajud secara tidak rutin, dilakukan oleh memori tersurat (otak sadar), dan menjadi memori tersirat bila telah menjadi kebiasaan setiap malam. Kemahiran dan kebiasaan biasanya sekali didapat akan menjadi tidak disadari dan otomatis.

Proses pemindahan dari memori tersurat (otak sadar) ke dalam memori tersirat untuk amalan-amalan yang baik memerlukan perjuangan berat dalam waktu cukup panjang. Ada ahli yang menyatakan, amalan tersebut harus dilakukan pengulangan sekurang-kurangnya 90 hari berturut-turut. Membangun kebiasaan baik ibarat orang mendorong mobil di tempat datar. Berat pada awalnya, tetapi bila telah mencapai kecepatan tertentu yang diharapkan, lebih sulit menghentikannya dibandingkan menjaga kecepatannya. Begitulah karakter kebiasaan, lebih mudah mempertahankan dibandingkan menghentikannya.

Orang yang memiliki kebiasaan-kebiasaan baik ia akan menjadi orang baik. Kebiasaan belajar membuat orang pintar. Kebiasaan memberi menjadi-kannya dermawan. Kebiasaan selalu bicara baik, menjadikannya orang terpercaya. Sebaliknya, kebiasaan-kebiasaan tidak baik, akan menjadikan seseorang menjadi tidak baik. Kebiasaan malas belajar, menjadikannya tetap bodoh. Kebiasaan sulit memberi, menjadikannya orang pelit.

Kebiasaan berbohong, menjadikannya pendusta dan tidak disukai orang. Pendeknya, kita akan menjadi “apa” bergantung dari kebiasaan-kebiasaan yang kita bangun. Pada awalnya kitalah yang membangun kebiasaan, tetapi selanjutnya kebiasaanlah yang akan membentuk kita.

Rasulullah s.a.w. bersabda: “Laksanakanlah oleh kalian amalan semampu kalian, sesungguhnya sebaik-baik amalan adalah yang dikerjakan terus menerus (menjadi kebiasaan) meskipun sedikit” (HR. Ibnu Majah)

Secara tersirat, hadits di atas memotivasi kita untuk membangun kebiasaan sedikit demi sedikit. Dalam hal berbicara, Allah memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada orang-orang yang mampu berbicara baik tanpa dipikir panjang lagi, sebagaimana tersebut dalam hadits: Dari Abi Hurairah, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba yang berbicara dengan kata-kata yang diridhai Allah ’Azza wa Jalla tanpa berpikir panjang, Allah akan mengangkatnya beberapa derajat dengan kata-katanya itu. Dan seorang hamba yang berbicara dengan kata-kata yang dimurkai Allah tanpa berpikir panjang, Allah akan menjerumus-kannya ke neraka Jahannam dengan kata-katanya itu”. (HR Bukhari, Ahmad dan Malik).

Orang disebut baik kalau kebiasaan-kebiasaannya baik, termasuk dalam hal  berbicara. Kebiasaannya berbicara baik sudah masuk ke dalam memori tersirat (otak bawah sadar), sehingga tanpa dipikir-pikir panjangpun, yang keluar dari lisannya selalu baik. Keadaan ini merupakan hasil dari proses pembinaan diri jangka panjang. Allah sangat menghargai perjuangan seseorang dalam  membiasakan berbicara baik –yang tentunya diridhai-Nya– dengan senantiasa meningkatkan derajatnya.

Sebaliknya, orang yang memiliki kebiasaan berbicara buruk, misalnya suka mencaci, mencela, mengutuk, berghibah, membicarakan aib sahabatnya, dan berkata-kata kotor –kata-kata yang membuat murka Allah–  ia telah melakukannya dengan kendali otak bawah sadar. Keadaan seperti ini terjadi karena ia tidak berusaha menghentikannya dan selalu saja membiarkan keluar dari lisannya. Orang semacam ini telah mengabaikan perintah Allah dan Rasul-Nya untuk berbicara baik. Pengabaian yang berulang-ulang hingga membentuk kebiasaan pada hakekatnya adalah bentuk keingkaran yang telah terbiasa dilakukannya. Oleh karena itu, Allah menjerumuskan orang semacam ini ke neraka Jahanam, dikarenakan kebiasaan ingkarnya tersebut.

Apa yang dipelajari oleh seseorang melalui penglihatan dan pendengarannya. membentuk tata nilai yang ia yakini. Tatanilai tersebut membentuk prosedur baku dalam otak yang berfungsi sebagai processor atas segala masukan informasi penglihatan, pendengaran dan perasaan hatinya. Keluaran dari processor tersebut berupa kata-kata yang diucapkan, ekspresi wajah, sikap dan tindakan.

Apabila seseorang banyak melihat, mendengar dan merasakan sesuatu yang negatif, maka yang masuk dalam memorinya adalah hal-hal negatif. tata nilai yang terbentuk dan diyakininya juga menjadi negatif. Akibatnya ia akan mudah bicara dan bertindak negatif. Hendaknya tidak membiarkan diri dan keluarga kita melihat dan mendengar hal-hal yang negatif secara langsung maupun melalui media seperti tv, radio, dunia maya, media cetak dan sebagainya.

Sebaliknya, apabila seseorang banyak belajar dengan melihat, mendengar, dan merasakan hal-hal positif, tata nilai yang terbentuk dan diyakininya juga akan positif. Selanjutnya ia akan mudah berbicara dan bertindak positif. Hendaknya kita membiasakan diri dan keluarga kita melihat, mendengar, dan merasakan hal-hal yang positif.

Bila di hadapan anda disajikan dua jenis makanan, yang satu berasal dari rumah makan terkenal sehat, bersih dan lezat masakannya, sementara yang satunya  berasal dari makanan sisa dari tempat sampah, manakah yang akan anda pilih? Orang yang sehat akalnya pasti memilih yang pertama. Ia tahu konsekuensi makan makanan sisa dari tempat sampah dapat membuat badannya sakit. Sayangnya, banyak yang memberikan makanan kepada otaknya berupa informasi-informasi “sampah” melalui penglihatan, pendengaran dan perasaan hatinya.
Allah Ta’ala berfirman dalam Qs. al-Isra ayat 36, terjemah: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya”.

Sebagaimana tersebut dalam Hadits yang dikutip pada awal tulisan ini, Rasulullah mempersyaratkan bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menjaga lisannya agar ketika mengeluarkan hanya kata-kata yang baik. Apabila ada dorongan dari dalam dirinya untuk mengeluarkan kata-kata yang tidak baik karena sesuatu hal, misalnya sedang marah, dikecewakan orang, didzalimi orang, atau sebab-sebab lainnya, ia harus menyimpannya dalam hati dengan diam, meskipun untuk itu ia harus berjuang keras. Itu semua bisa terjadi karena tata nilai yang tertanam dalam memorinya melarangnya berkata-kata yang tidak baik dan hanya membolehkan berbicara yang baik.

Dengan mengetahui bagaimana proses seseorang memiliki kebiasaan berbicara, kita jadi lebih mudah memahami konteks hadits Rasulullah, bahwa orang yang beriman hanya akan bicara baik atau diam.

Rasulullah mengajarkan kita untuk menjaga mulut, organ yang berfungsi mengkomunikasikan apa-apa yang ada dalam pikiran kita.
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa yang dapat menjamin untukku lisan dan kemaluannya, Aku akan menjamin surga untuknya” (HR. Ahmad)
Dengan mengatur bagaimana seharusnya kita berbicara, secara tidak langsung kita membangun tata nilai yang kita yakini, dan mengatur masukan informasi apa yang kita berikan ke otak agar berfungsi positif.

Bagaimana bicara baik dan bicara yang bagaimana yang harus kita hindari sehingga harus diam? Berbicara baik menurut Rasulullah Muhammad SAW. adalah yang: a. Diiringi dengan senyum; b. Banyak disertai kalimah thayyibah; c. Seperlunya; d. Mendahulukan yang lebih tua; e.  Perlahan-lahan; dan f. Merendahkan suara.

Yang harus kita hindari adalah: a. Berbohong; b. Banyak bicara; c. Ghibah dan namimah; d. Menceritakan apa saja yang didengar; e. Berkata-kata kotor; f. Suka berdebat; g. Membuat pendengar tertawa dengan sesuatu yang dusta; h. Membuka aib saudara; i. Membuka rahasia yang anda diminta merahasiakan; dan j. Suka memotong pembicaraan.

Narasumber utama artikel ini:
Agus Sukaca.

 

banner 468x60