banner 728x90

Tidak Mencela Melaknat Bicara Kotor

“Janganlah kalian memakinya, janganlah kalian membantu setan….”

(Rasulullah SAW)

 

 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِطَعَّانٍ وَلَا بِلَعَّانٍ وَلَا الْفَاحِشِ الْبَذِيءِ

Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bukanlah seorang mukmin yang suka mencela, melaknat, berbuat dan berkata keji dan kotor.” [1]

 

Pengertian

الْطَعَّانٍ  adalah orang yang suka berkata-kata yang menyinggung kehormatan orang lain dengan mencela, mencaci,  men-ghibah, dan lain-lain yang sejenis dengannya.[2] Cela adalah sesuatu yang menyebabkan kurang sempurna[3]. Padan katanya adalah, aib, cacat, borok, keburukan, kejelekan, kekurangan, kenistaan, kritik, noda, retak. Mencela adalah mengatakan bahwa pada sesuatu ada celanya. Mencela seseorang artinya mengatakan bahwa pada seseorang tersebut ada celanya. Sinonim dari mencela adalah melecehkan, meledek, mencacat, mencemeeh, mencemooh, mencibir, mengata-ngatai, mengecam, mengejek, menghina, mengkritik, mengolok-olok, menyepelekan, meremehkan.  Sinonim mencaci antara lain membentak, mencela, mencerca, mendamprat, menggertak, menghardik, mengkritik, mengutuk, memaki, menista, mensumpah serapahi, mengumpat, melabrak, menyemprot.

الْلَعَّان Adalah orang yang suka melaknat.  Laknat adalah menjauhkan dan membuang dari kebaikan[4]. Sinonim melaknat antara lain: mengutuk, menyerapahi, menyumpahi. Kesemuanya merupakan kata-kata yang jauh dari kebaikan. Laknat atau kutukan adalah sebuah ungkapan mengusir atau menjauhkan yang dilaknat dari rahmat Allah. Melaknat sama halnya dengan mendoakan agar orang jauh dari rahmat Allah.

الْفَاحِشِ Adalah orang yang berbuat Al-Fahisyah. Fahisyah adalah kata-kata dan perbuatan kotor. Bisa juga berarti cacian atau celaan. Dalam hadits dari Abdullan bin Amr, ia berkata: “Nabi SAW bukanlah fahisyan atau mutafahisyan (seseorang yang suka berbuat dan berkata kotor). Beliau bersabda: “sesungguhnya orang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya”[5]

Kata fahisy bisa juga berarti keterlaluan dalam ucapan dan jawaban, sebagaimana dalam hadits dari ‘Aisyah RA: “Sekelompok orang Yahudi mendatangi Nabi SAW, mereka mengucapkan “Assamu ‘alaika ya Abal Qasim (kecelakaan atasmu wahai ayah Qasim). Rasulullah menjawab: “dan atas kamu”. ‘Aisyah berkata: “bahkan atas kalian kematian dan keburukan”. Maka Rasulullah SAW menegurku dan berkata: ”Wahai ‘Aisyah, janganlah berkata fahisy. Aisyah berkata;”Engkau tidak mendengar mereka Wahai Rasulullah”. Rasulullah menjawab: “Bukankah sudah aku jawab apa yang mereka katakan, aku menjawab: “dan atas kalian[6]

الْبَذِيءِ adalah  kata-kata cabul, tidak sopan, keji, hina, sangat rendah, kotor. Kata-kata cabul biasanya menyangkut alat kelamin, aurat, dan hubungan suami istri yang diungkapkan dengan kata-kata yang vulgar. Allah menyebut persetubuhan dengan lamasa an-nisa’ (menyentuh wanita) atau dukhul (masuk). Kata-kata yang tidak sopan adalah ungkapan tentang hal-hal yang dianggap buruk dengan kata-kata yang jelas atau vulgar. Ketidaksopanannya bertingkat-tingkat. Kata “buang hajat” lebih sopan dari berak atau kencing. Kata “kotoran” lebih sopan dari “tahi”. Kata “hubungan suami” istri lebih sopan dari “bersetubuh”.  Kata-kata yang sering digunakan untuk mengumpat seperti: goblok, gila, kurang ajar, edan, menyebut nama hewan, termasuk kata-kata yang hina, keji dan kotor.

 

Mencela, melaknat, berkata-kata kotor saling berkait

Orang yang suka mencela biasanya sekaligus suka mencaci, mengutuk dan berkata-kata kotor. Kesemuanya merupakan hasil dari sikap dan cara berpikir yang negatif.

Bila seseorang memikirkan tentang aspek negatif orang lain, otaknya menangkap sinyal informasi dan langsung merespon dengan membuka file yang menyimpan pikiran negatif tersebut dalam ruang memori.  Ia menganalisa dan membandingkannya dengan pikiran lain yang serupa dan telah tersimpan dalam memorinya. Selanjutnya ia mencari data-data yang mendukung dan memperkuat pikiran tersebut serta melemahkan informasi lain yang tidak sesuai, karena akal manusia hanya bisa memikirkan satu hal dalam satu waktu.

Misalnya ada sahabat anda melakukan perbuatan yang membuat anda sangat kecewa. Kekecewaan mendorong anda berpikiran negatif. Pikiran anda langsung membuka file-file negatif tentang dia yang ada dalam memori otak anda. Anda melihat begitu banyak kekurangan, kesalahan, aib, dan hal-hal negatif lainnya yang ada padanya.  Anda telah fokus melihat sisi negatif yang berakibat melemahkan informasi lain yang bersifat positif. Orang yang lemah imannya melampiaskan kekecewaan dalam bentuk ucapan dan perbuatan negatif.

 

Larangan Mencela dan Mencaci Sesama Muslim

‘Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah SAW mencaci maki seseorang dan juga tidak melipat bajunya.[7] Mencaci maki adalah hal tercela, dan Rasulullah SAW memerintahkan kita menghindari mencaci maki karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang mencaci dan mengumpat.[8] Bahkan Rasulullah menyatakan bahwa “Mencaci orang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran.”[9]

Abu Hurairah RA berkata: “seorang laki-laki yang terbukti minum khamar dihadapkan kepada Rasulullah SAW, beliau menjatuhkan hukuman pukul kepadanya. Maka di antara kami ada yang memukul dengan tangannya, ada yang memukul dengan sandalnya, dan ada pula yang memukul dengan bajunya. Setelah selesai mendapatkan hukuman, iapun beranjak pergi. Saat itu ada sahabat yang berkata, “Semoga Allah menghinakanmu”. Mendengar ucapan itu Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian memakinya – mengatakan itu – janganlah kalian membantu setan.[10]

Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para sahabat: “Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab; ‘Menurut kami, orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki uang dan harta kekayaan.’ Rasulullah SAW bersabda: ‘Sesungguhnya umatku yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia selalu mencaci-maki, menuduh, dan makan harta orang lain serta membunuh dan menyakiti orang lain. Setelah itu, pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka hingga pahalanya habis, sementara tuntutan mereka banyak yang belum terpenuhi. Selanjutnya, sebagian dosa dari setiap orang dari mereka diambil untuk dibebankan kepada orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka.’[11]

 

Mencaci Orang Tua

Dari Abu At Thufail dia berkata; saya berkata kepada Ali bin Abu Thalib, “Beritahukanlah kepadaku sesuatu yang pernah dirahasiakan Rasulullah SAW kepadamu!” Ali menjawab, “Beliau tidak pernah merahasiakan kepadaku sesuatupun dari manusia, akan tetapi saya mendengar beliau bersabda: “Allah mengutuk orang yang menyembelih untuk selain Allah, dan mengutuk orang yang melindungi tindak kejahatan, mengutuk orang yang mencaci kedua orang tuanya, dan mengutuk orang yang memindahkan tanda batas tanah.”[12]

Dari Abdullah bin Amr ia berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk Al Kaba`ir (dosa-dosa besar), yakni bila seseorang mencela kedua orang tuanya.” Mereka para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, mungkinkah seseorang mencela kedua orang tuanya?” beliau menjawab: “Ya, bila ia mencaki bapak seseorang, maka orang itu pun akan mencaci bapaknya. Dan bila ia mencaci ibu seseorang, lalu orang itu pun akan mencaci ibunya.”[13]

 

Mencela Orang Mati

‘Aisyah RA mengatakan, Nabi SAW bersabda: “Janganlah kalian mencaci orang yang telah mati, sebab mereka telah menghadapi apa yang mereka lakukan.”

 

Mencela Sesembahan Orang Musyrik

Allah melarang kita memaki sembahan-sembahan orang musyrik karena akibatnya mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.[14] Kecenderungan orang yang dimaki akan membalas dengan makian. Bila sesembahan mereka dimaki-maki mereka akan membalas memaki sesembahan kita. Larangan memaki sesembahan orang musyrik untuk menghindari mereka memaki Allah karena membela sesembahan mereka.

 

Mencela Angin, Waktu, Hewan

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: Allah berfirman: “Manusia mencela waktu, padahal Aku lah waktu, di dalam kekuasaan-Ku malam dan siang.[15] Janganlah kalian mencela waktu, sebab Allah SWT berfirman; “AKU lah waktu, malam dan siang milik-Ku. Aku yang mendatangkan dan Aku pula yang menghilangkan. Aku yang memberik kekuasaan dari satu raja ke raja lain. [16]

Abu Hurairah mendengar Rasulullah bersabda: “Angin adalah salah satu ciptaan Allah yang membawa rahmat dan membawa azab. Apabila kalian melihatnya (bertiup kencang) janganlah kalian cela tetapi mintalah kebaikannya kepada Allah dan berlindunglah kepada-Nya dari kejahatannya”.[17] Beliau juga bersabda: “Janganlah kalian mencela angin. Jika kalian melihat apa yang tidak diinginkan maka ucapkanlah:’Ya Allah, kami memohon kepada-Mu kebaikan angin ini, kebaikan apa yang ada padanya dan apa yang dibawanya; dan kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan angin ini, kejahatan apa yang ada padanya dan apa yang dibawanya.[18]

Rasulullah juga melarang mencela ayam, sebab ia membangunkan manusia untuk shalat.[19] Ayam dan semua hewan ciptaan Allah mempunyai manfaat yang besar bagi manusia. Bahkan hewan yang dianggap berbahaya sekalipun bermanfaat bagi kehidupan manusia, sebagai bagian dari ekosistem yang menjaga keseimbangan kehidupan di bumi. Kita tidak boleh mencelanya.

 

Keutamaan Tidak Membalas Cacian/Celaan

Bila seseorang dicaci, boleh membalas dengan yang setimpal tetapi tidak boleh berlebihan, sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila ada dua orang yang saling mencaci-maki, maka cacian yang diucapkan oleh keduanya itu, dosanya akan ditanggung oleh orang yang memulai cacian selama orang yang dizhalimi itu tidak melampaui batas.”[20] Tetapi tidak membalas cacian jauh lebih utama sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits berikut ini.

Ketika seorang penduduk pedalaman meminta nasehat kepada Rasulullah SAW, nasehat beliau adalah: “hendaknya kamu bertakwa kepada Allah, dan jika ada seseorang yang mencelamu dengan sesuatu yang ada padamu janganlah kamu membalas celaan itu dengan sesuatu yang memang ada padanya juga. Jika kamu melakukan itu niscaya dosa ditanggung olehnya dan kamu mendapatkan pahala. Dan jangan kamu memaki apapun. Penduduk pedalaman itu mengatakan, “Sejak saat itu aku tidak pernah memaki apapun”[21] Dari Iyadl bin Himar, bahwa Nabi SAW bersabda: “Dua orang yang saling mencaci maki adalah dua setan yang saling berkata-kata dusta dan saling meremehkan.”[22]

“Ketika Rasulullah SAW sedang duduk-duduk bersama para sahabat sahabatnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki mencela Abu Bakar, namun Abu Bakar diam saja. Laki-laki itu kembali mencacinya untuk yang kedua kalinya, namun Abu Bakar tetap diam. Dan ketika laki-laki itu mencacinya untuk yang ketiga kalinya, Abu Bakar membela diri dan membalas caciannya. Maka ketika Abu Bakar membela diri, Rasulullah SAW bangkit. Hal itu menjadikan Abu Bakar bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau marah kepadaku?” Rasulullah SAW menjawab: “Malaikat telah turun dari langit mendustakan apa yang ia katakan kepadamu, saat engkau membela diri setan telah mengalahkanmu. Maka tidak mungkin aku ikut duduk jika setan sudah berperan.”[23]

 

Larangan Melaknat

Suka melaknat bukan sifat seorang mukmin. Orang mukmin selalu menginginkan kebaikan terhadap saudara-saudaranya sebagaimana ia menginginkan kebaikan untuk dirinya sendiri. Siapa yang melaknat saudaranya dengan mendoakan agar jauh dari rahmat Allah berarti ia telah memutuskan hubungan, bahkan seperti membunuhnya sebagaimana sabda Rasulullah SAW:  “Melaknat seorang mukmin seperti membunuhnya”.[24] Tidak layak seorang yang jujur menjadi orang yang suka melaknat.[25] Sesunggungnya orang yang suka melaknat tidak mempunyai penolong dan tidak dapat menjadi saksi di hari kiamat.[26] Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian saling melaknat dengan laknat Allah, kemurkaan Allah, atau dengan jahannam”.[27]

Kita juga dilarang melaknat binatang. Dari Imran bin Husain ia berkata: Pada salah satu perjalanan, Rasulullah mendengar seorang perempuan Anshar yang sedang menunggang unta tiba-tiba mengutuk untanya. Mendengar ucapan perempuan itu, beliau bersabda: “Ambil yang dibawa unta itu dan lepaskan, sebab ia telah terkutuk” Imran berkata: “Aku melihat unta itu berjalan di antara manusia, tidak seorangpun yang menggubrisnya.[28] Perintah Rasulullah SAW tersebut adalah sebagai hukuman atas perbuatan perempuan itu dan pelajaran bagi orang lain.

Bila seorang hamba melaknat sesuatu, maka laknat itu naik ke langit tetapi pintu langit tertutup. Lalu ia turun ke bumi tetapi pintu bumipun tertutup. Kemudian laknat itupun bergerak ke kanan dan ke kiri. Saat ia tidak menemukan jalan keluar atau jalan masuk maka laknat itu kembali kepada orang yang dilaknat jika ia memang pantas untuk dilaknat. Jika tidak maka laknat itu kembali kepada tuannya (orang yang melaknat)[29]

 

Puasa bernilai tinggi dengan meninggalkan kata-kata kotor

Orang beriman tidak suka mencela, mencaci, melaknat, berbuat dan berkata kotor.[30] Abu Hurairah berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Semua amal perbuatan anak Adam adalah untuknya kecuali puasa, ia untuk-Ku dan Aku akan membalasnya. Dan puasa itu adalah perisai. Jika salah seorang dari kalian berada pada hari puasa, maka tidak boleh melakukan rafats (berbicara keji yang termasuk di dalamnya adalah jima) dan tidak boleh membuat kegaduhan. Jika seseorang mencacinya atau menyerangnya, maka hendaklah ia mengatakan; ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’ Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, sungguh aroma mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah -pada hari Kiamat- dari pada aroma minyak kesturi. Orang yang berpuasa mempunyai dua kegembiraan, ia bergembira dengan keduanya; jika berbuka, ia bergenbira dengan berbukanya dan jika bertemu dengan Rabb-nya -Azza wa Jalla-, ia bergembira dengan puasanya.”[31]

Abu Hurairah juga meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan az zuur dan suka mengerjakannya, maka Allah tidak memandang perlu orang itu meninggalkan makan dan minumnya[32]

Marilah kita jaga lidah kita untuk berbicara hanya yang baik!

Bantul, Syakban 1433 H

Agus Sukaca

guskaca@gmail.com

 

Catatan akhir:

[1] Kitab Ahmad HN 3646, [2] Kamus Lisan al ‘Arab, [3] Kamus Besar Bahasa Indonesia, [4] Lisan al-‘Arab, [5] HR Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi, [6] HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dari ‘Aisyah, [7] Kitab Ibnu Majah HN 3544, [8] HR Muslim, [9] Kitab Ibnu Majah HN 3930, [10] HR Bukhari, [11] Kitab Muslim HN 4678, [12] Kitab Muslim HN 3658, [13] Kitab Tirmidzi HN 1824, [14] QS 6 (Al-An’am) ayat 108, [15] HR Bukhari dan Muslim, [16] Ibnu Hajar dalam Fathul Bari Syarh al-Bukhari, [17] HR Abu Daud, [18] HR Tirmidzi, [19] HR Abu Daud, [20] Kitab Muslim HN 4688, [21] HR Ahmad, [22] Kitab Ahmad HN 16839, [23] Kitab Abu Daud HN 4251, [24] HR Bukhari, [25] HR Muslim, [26] HR Muslim, Abu Daud, Ahmad, [27] HR Tirmidzi, [28] HR Muslim, [29] HR Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad, [30] Kitab Ahmad HN 3646, [31] Kitab Nasa’i HN 2186, [32] HR al-Khamsah.
banner 468x60