banner 728x90

Keteguhan Hati Seorang Mujahid Dakwah

Mengenal K.H. Suprapto Ibnu Juraimi

RS PKU Muhammadiyah Jogja pada suatu ketika. Dua orang sahabat sedang sama-sama dirawat. Mereka menderita penyakit serius, orang pertama menderita gagal ginjal dan orang kedua mengalami gangguan jantung. Orang pertama tertatih-tatih berkunjung ke kamar orang kedua dan berujar, “Pak, saya akan ke Purworejo mengisi acara Majelis Tablig. Bapak kan ketua pengurus rumah sakit ini. Saya minta tolong diusahakan sebuah mobil ambulan untuk mengantar saya kesana.” Singkat cerita, berangkatlah si pasien gagal ginjal itu naik ambulan ke Purworejo demi untuk mengisi acara tersebut.

Orang pertama dalam cerita di tersebut adalah Haji Muhammad Soeprapto Ibnu Juraimi. Sebagian orang memanggil beliau Pak Prapto atau Ustadz Prapto, sebagian yang lain lebih senang memanggil beliau Ustadz Ibnu Juraim. Sedangkan orang kedua adalah Haji Muhammad Muqoddas. Saat itu Pak Muhammad sebagai mantan Ketua PWM DIY dan menjadi Ketua BPH RS PKU Muhammadiyah Yogya. Kini Pak Muhammad menjadi salah satu Ketua PP Muhammadiyah dan orang yang menceritakan fragmen tadi kepada penulis.

Pak Prapto alias Ustadz Prapto alias Ustadz Ibnu Juraim, lahir di Jogja pada 3 Juli 1943. Ayah dari 7 orang anak dan alumni Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta ini sempat kuliah di IAIN Sunan Kalijaga. Tetapi karena aktif berdemonstrasi menentang hal-hal yang menurut dia tidak benar di kampusnya itu maka pada 1962 dia “ditendang” (demikian beliau seringkali menyebut peristiwa itu) atau diskors selama 5 tahun dari IAIN itu. Ibnu Juraim sempat melanjutkan kuliah lagi di Fakultas Hukum UII. Skorsing dari IAIN itu ternyata menjadi rahmat tersembunyi bagi Ustadz Ibnu Juraim. Dia menjadi bisa leluasa mengaji kepada seorang ulama besar Muhammadiyah yang merupakan murid langsung KHA Dahlan pada masa itu yaitu KRH. Hadjid.

Kehadiran Ustadz Ibnu Juraim sebagai narasumber dengan naik mobil ambulans dari Yogya ke Purworejo waktu itu, tentu saja mengejutkan peserta acara nasional yang diselenggarakan oleh Majelis Tabligh PP Muhammadiyah itu. Sebagian mereka bahkan meneteskan air mata. Kehadiran dengan cara itu jelas menunjukkan keteguhan hati seorang muballigh. Ustadz Yunahar Ilyas, juga salah satu ketua PP Muhamadiyah, lama menjadi kolega Ustadz Ibnu Juraim, sebagai guru di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta.
Keteguhan hati dan sikap Ustadz Ibnu Juraim, menurut Ustadz Yunahar, terkait dengan masa mudanya yang aktif pada masa pergolakan, era 1960-an. Pada masa itu Pak Prapto, begitu Ustadz Yunahar akrab memanggil Ustadz Ibnu Juraim, dikenal sebagai seorang ahli beladiri Judo, pemegang sabuk Dan II.

Ketika kuliah di IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Ustadz Ibnu Juraimi dikenal sebagai seorang demonstran yang tidak mengenal rasa takut. Pada era penuh gejolak saat itu, ketika berdemosntrasi beliau sering naik jeep dengan dada terbuka, tidak memakai baju. Lanjut Pak Yunahar, dari seorang aktivis demonstrasi, Pak Prapto mengalami proses hijrah menjadi seorang aktivis dakwah. Menurut Pak Yunahar, orang yang mengalami proses hijrah seperti itu biasanya cenderung memiliki sikap yang teguh.

Keteguhan seorang Ibnu Juraimi antara lain tercermin dalam kebiasaan yang selalu dia jaga dengan ketat yaitu shalat malam. Shalat malam Ustadz Ibnu Juraim memiliki ciri khusus, yaitu berlangsung dalam tempo yang panjang. Duduk tahiyat awalnya bukan main lamanya, apalagi tahiyat akhir, ujar Ustadz Yunahar.

Berkaitan dengan aktivitas shalat lail ini, Ustadz Ibnu Juraim mendapat gelar “Bapak Pembangunan”. Dalam setiap pelatihan, beliau sering ditunjuk menjadi imam training. Dalam kapasitas sebagai imam training itu beliau selalu membangunkan peserta pelatihan untuk melaksanakan shalat lail dengan ucapan, “Qum, qum, qum… bangun, bangun, banguun…” Nah, karena seringnya membangunkan orang dengan cara serta suara yang khas itu maka beliau lalu digelari dengan “Bapak Pembangunan”!

Ciri lain Ustadz Juraimi adalah dari sisi qiraat (bacaan) al-Qur’an beliau yang tidak memakai lagu. Sehingga seperti orang membaca puisi dalam Bahasa Arab.

Namun, ustadz yang bersahaja ini juga dikenang oleh semua yang mengenalnya dalam hal keteguhan hati dan komitmen keislamannya yang tinggi. Keteguhan hati seorang Ibnu Juraim terdengar dalam banyak cerita tentang kiprah beliau, baik ketika menjadi guru dan direktur Madrasah Muallimin Muham-madiyah Yogyakarta, Mudir (direktur) Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM), maupun sebagai anggota pim-pinan Majelis Tabligh PP Muhammadiyah.

Saat usia masih muda, setamat dari Muallimin, Ustadz Suprapto mendapat tugas dibenum ke Palu, Sulawesi Tengah. Tugas dibenum ini juga dijalani oleh seba-gian besar alumni Madrasah Muallimin, diantara mereka kemudian menjadi tokoh-tokoh utama persyarikatan Muham-madiyah. Disana beliau melaksanakan dakwah Islam sebagai pengamalan ilmu selama belajar di Muallimin. Setelah tugas itu selesai, beliau masih aktif berdakwah pergi ke Sulawesi Tengah itu setiap tahun selama dua pekan pertama bulan Rama-dhan. Aktivitas ini terus dilakukan sampai kesehatan beliau benar-benar tidak me-mungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh ke Sulawesi Tengah itu.

Selain itu, beliau adalah seorang kiai pengasuh Pondok Pesantren Budi Mulia. Sebuah pondok pesantren di Yogyakarta yang memberikan pendidikan tambahan berupa ilmu-ilmu agama dan wawasan Islam kepada para mahasiswa yang tengah belajar di Yogya. Pondok Budi Mulia, setiap 10 hari terakhir bulan Ra-madhan selalu mengadakan kegiatan Pesantren I’tikaf Ramadhan bagi maha-siswa-mahasiswi yang datang dari ber-bagai penjuru tanah air. Disinilah kete-guhan hati seorang Ustadz Ibnu Juraimi teruji. Sebulan Ramadhan, sepenuh harinya, seolah menjadi hari-hari perju-angan beliau mendakwahkan Agama Islam. Dua pekan pertama Ramadhan beliau berada di Palu, Sulawesi Tengah, lalu kembali ke Yogya dan 10 hari terakhir Ramadhan beliau habiskan waktu berik-tikaf di Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq, masjid di komplek Pesantren Budi Mulia itu, sekaligus membina kepribadian para mahasiswa muslim yang mengikuti Pesantren I’tikaf Ramadhan. PIR ini selalu memberi kesan mendalam bagi setiap mahasiswa muslim yang mengi-kutinya, dengan bimbingan ibadah teru-tama shalat malam yang khas itu dan pembinaan kepribadian agar menjadi pribadi pejuang muslim yang tangguh (pembajaan diri).

Menurut Ustadz Yunahar, yang juga menjadi pengasuh Pesantren Budi Mulia, hal yang menonjol dari Pak Prapto ini memang soal keteguhan pendirian itu. Dalam hal apa saja, kalau beliau sudah punya pendirian maka tidak seorangpun yang bisa merubahnya. Bahkan untuk hal-hal yang menurut orang lain bersifat metodologis atau manhaji, bagi seorang Ibnu Juraim bisa menjadi seperti akidah.

Ustadz Yunahar mulai mengenal Ustadz Ibnu Juraim ketika masuk Yogya pertama kali pada awal 1980-an. Saat itu, sebagai alumni Timur Tengah, Ustadz Yunahar menjadi guru baru di Madrasah Muallimin dengan Ustadz Ibnu Juraim sebagai kepala sekolahnya. Dari sanalah Ustadz Yunahar mengenal Ustadz Ibnu Juraim sebagai seorang dai, instruktur, motivator, dan sekaligus sebagai mu-harrik yang menggerakkan anak-anak muda untuk teguh pendirian atau kon-sisten dengan Islam.

Ustadz Yunahar lalu bercerita tentang metode mengajar Bahasa Arab di Mual-limin pada masa itu. Ustadz Ibnu Juraim sangat yakin pengajaran Bahasa Arab harus melalui penguasaan nahwu sharaf atau penguasaan baca kitab. Oleh sebab itu penguasaan kitab kuning melalui pengajaran nahwu sharaf menjadi sangat penting. Ketika muncul ide lain dalam manhaj pengajaran Bahasa Arab di Muallimin, meski itu muncul dari alumni Timur Tengah, maka ustad Ibnu Juraim sebagai kepala sekolah memvetonya.

Setelah tidak lagi menjadi direktur Muallimin, Ustadz Ibnu Juraim melan-jutkan pengabdiannya di Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM). Beliau ditunjuk PP Muhammadiyah menjadi mudir PUTM. Sebagai sebuah lembaga PUTM memiliki sistem pendidikan yang unik. PUTM mewajibkan mahasiswanya melaksanakan shalat tahajjud dan puasa Senin-Kamis. Karena itu tugas seorang mudir tidak hanya berkaitan dengan mengajar dan membuat kebijakan-kebijakan. Dalam hal ini Ibnu Juraim menunggui PUTM 24 jam penuh. Disinilah keteguhan hati seorang Ibnu Juraimi, kembali terlihat.

Ihsan Mz. adalah salah satu alumni PUTM yang menulis catatan dalam blog-nya tentang Ustadz Ibnu Juraim. Menurut Ihsan, sekitar pukul 02.30 dinihari azan sudah dikumandangkan di komplek PUTM yang berada di lereng Gunung Merapi, di Kaliurang itu. Bagi santri-santri PUTM azan awal memang merupakan pertanda untuk memulai aktivitas sehari-hari. Ketika orang tengah terbuai dalam tidur di tengah dinginnya Kaliurang, para penghuni PUTM sudah memulai aktivitas dengan shalat tahajjud.

Pada jam seperti itu, lanjut Ihsan, dari sisi lain komplek PUTM keluarlah seorang laki-laki berjalan menuju masjid untuk memimpin shalat tahajjud itu. Ini pemandangan dramatis yang mengharukan. Sebab, saat itu sang mudir sedang bergelut dengan penyakit gagal ginjal.

Kenyataan sakitnya Ustadz Ibnu Juraim ini diperkuat oleh cerita Ustadz Muhammad Muqoddas. Bahkan menurut Ustadz Muhammad, pada periode ini Ustadz Ibnu Juraim sudah menjalani terapi “cuci darah” sebelum akhirnya berganti terapi “cuci perut”. Lanjut Ustadz Muhammad, “Ke dalam perut Pak Prapto itu dimasukkan selang dan cairan tertentu untuk membersihkan isi perutnya, sehari dua kali. Saya sering mampir di rumah beliau di belakang masjid itu. Saya sering bertemu beliau yang sedang menyuci perutnya sehabis mengajar.”
Cerita tentang keteguhan hati alias semangat pantang menyerah dalam berdakwah Ustadz Ibnu Juraim tentu saja tercermin dalam Rihlah Dakwah, program Majelis Tablig yang sering diidentikkan dengan Ibnu Juraim. Dia memang dikenal sebagai perintis program ini (lihat: “Ilham dari Thaif”).

Jakarta, Awal Januari 2001
Ini adalah hari ke-21 dari perjalanan panjang Rihlah Dakwah kami ke pulau Sumatera. Setelah berkeliling hampir ke semua daerah tingkat dua di tiga propinsi: Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung, kami berpisah di Kota Metro.
Dalam kondisi fisik yang mulai lelah, penulis saat itu dalam perjalanan kembali menuju Jogja. Teman rihlah penulis, yaitu Ustadz Ibnu Juraim tentu lebih lelah. Beliau harus menenteng sendiri termos es berisi jarum suntik insulin dan menyuntik diri sendiri untuk mengobati sakit gula kronis yang beliau derita. Tetapi Ustadz Ibnu Juraim masih melanjutkan rihlah beberapa hari di Lampung.

Belakangan, hal itu penulis ceritakan kepada menantu Ustadz Ibnu Juraim, Mas Agus, tentang kondisi beliau yang tidak mengenal lelah meski dalam kondisi fisik yang beresiko kemungkinan tiba-tiba ambruk jatuh sakit itu, namun kekhawatiran penulis dijawab ringan oleh sang menantu, “Tidak usah khawatir Pak Mahli, cita-cita Bapak memang ingin syahid saat berdakwah.”

Yogyakarta, 8 Tahun Kemudian, 21 April 2009
Siang itu, bakda dhuhur, ribuan jamaah kaum muslimin dari berbagai penjuru, memenuhi Masjid Besar Kauman Yogyakarta. Mereka melepas kepergian seorang yang teguh hati berdakwah. Ya, Ustadz Ibnu Juraim telah berpulang ke Rahmatullah. Inna lillahi wainna ilaihi raji’un.

Puluhan tahun sudah beliau gigih berdakwah; beberapa tahun terakhir dengan kondisi gagal ginjal, ‘cuci darah’ (hemodialisa) dan ‘cuci perut’ (peritonial dialisa). Bahkan, menjelang akhir hayat dengan kondisi mata yang tidak bisa lagi melihat, beliau tetap semangat berdakwah. Beliau hadir ke Rakernas Majelis Tabligh 2009 di Semarang, dua bulan sebelum beliau wafat.

Wajah-wajah duka jelas terlihat pada siang itu. Mereka yang merasa pernah menjadi murid beliau, rela datang dari jauh untuk melaksanakan takziyah. Alumni Madrasah Mu’allimin, santri-santri alumni ponpes Budi Mulia, mantan-mantan maha-siswa yang dulu mengaji kepada beliau, segenap kerabat, rekan seperjuangan, para pimpinan dan aktivis Muhammadiyah dan yang lainnya dengan khidmat mengi-kuti prosesi pemakaman beliau; memberi penghormatan terakhir kepada ustadz yang mereka cintai. Wajah-wajah itu menjadi saksi atas keteguhan hati seorang guru, muballigh, sekaligus muharrik. Keteguhan hati seorang mujahid dakwah sejati, Haji Muhammad Soeprapto Ibnu Juraimi.
Allahumma ibdil lahu daron khairan min darihi…· [Mahli Z. Tago]

PDM Kota Langsa | Muhammadiyah

ILHAM DARI THAIF

Pada suatu kesempatan Ustadz Ibnu Juraimi menjelaskan, bahwa program Rihlah Dakwah itu diilhami oleh kisah perjalanan Nabi ke Thaif. Setelah melihat tantangan dakwah di Makkah yang seakan menghadapi tembok yang tinggi, Rasulullah mengalihkan sasaran dakwahnya ke Thaif. Dalam Sirah Nabi, perjalanan ini disebut dengan hijrah dakwah pertama.

Kedatangan Nabi Muhammad ke Thaif bukan karena diundang, bukan karena ditunggu, maupun karena diharap-harap oleh penduduk Thaif. Namun, perjalanan itu dilakukan semata-mata karena amanah dakwah yang dipikul Nabi.
Sebagaimana hijrah dakwah Nabi ke Thaif itu, perjalanan seorang muballigh Muhammadiyah dalam program Rihlah Dakwah juga bukan karena diharap-harapkan atau dinanti-nanti. Menurut Ibnu Juraim, kalau harus menunggu undangan dari PWM atau PDM maka undangan itu belum tentu akan ada.

Sebagai program terobosan, Rihlah Dakwah sifatnya memang menjemput bola, bahkan bisa dikatakan menyerbu bola. Program ini tidak hanya sampai di tingkat Wilayah, tetapi juga mencapai Daerah, bahkan dihadiri juga oleh unsur-unsur pimpinan dari Cabang dan Ranting setempat. Pada kenyataannya memang banyak Wilayah yang kurang membina Daerah-daerah mereka.
Dalam praktik pelaksanaannya, Rihlah Dakwah yang digagas Majelis Tabligh dalam Rakernas tahun 1996 ini, Ustadz Ibnu Juraimi memulai kegiatan sejak sore hari bakda Asar, setelah berjamaah shalat Ashar sampai sekitar pukul enam pagi keesokan harinya. Seluruh peserta diharuskan menginap di lokasi acara, yang biasanya di dalam atau sekitar masjid.

Dengan durasi waktu seperti itu, dalam kegiatan Rihlah dakwah ini dapat disampaikan materi-materi: Risalah Islamiyah, Tadabbur al-Qur’an, Pembajaan Diri, Pelajaran K.H. Ahmad Dahlan, dan diskusi berbagai materi khususnya yang berkaitan dengan masalah ketarjihan. Tentu saja yang tidak terlupakan adalah materi shalat lail dengan gaya Ustadz Ibnu Juraim yang khas, yaitu berlangsung khusyuk dengan tempo lama.

Ketika awal diselenggarakan, Rihlah Dakwah ini dimulai dengan pengiriman surat dari Majelis Tabligh PP Muhammadiyah ke delapan PDM di Jawa Tengah. Dalam surat itu disebutkan bahwa PDM tersebut diminta menyiapkan jamaah dan tempat pada tanggal tertentu karena Majelis Tabligh PP Muhammadiyah akan datang berkunjung pada waktu itu.

Meski ketika akan berangkat baru dua PDM yang menjawab bersedia, pada kenyataannya semua PDM ter-sebut menyambut kedatangan Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan menyelenggarakan acara tersebut dengan lancar.
Dalam Rihlah Dakwah itu, pengajian berlangsung melalui pendekatan intelektual sekaligus spiritual. Ustadz Ibnu Juraimi biasanya berangkat bersama seorang teman sesama anggota Majelis Tabligh. Dalam sekali rihlah, perjalanan yang dilakukan Ustadz Ibnu Juraimi rata-rata memakan waktu selama 8 hari perjalanan. Paling lama 23 hari. Biasanya, beliau ‘khuruj’ itu ketika sekolah tempatnya mengajar sedang libur.
Sampai akhir hayatnya, hampir seluruh PDM di Indonesia telah disambangi oleh Ustadz Ibnu Juraimi, dari Sumatera sampai Papua.*MZT

Saksikan Kisah Sang Pencerah – KH. Suprapto Juraimi Sang Mujahid Dakwah
di Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=YdSDHQjt8XQ&t=3040s

banner 468x60