Penggambaran Ramses II (Fir’aun) sebagai dewa (tuhan) di Great Kuil Abu Simbel (sumber: islamic-awareness.org)
Kekaguman yang berlebihan atas manusia menggelincirkan seseorang pada sikap kultus individu yang muaranya adalah ta’aluh kepadanya.
ألَسلامُ عليكم ورحمةُ الله وبركاتُهُ
Pembaca yang budiman!
Di antara manusia ada yang menjadikan sesama manusia sebagai ilah-nya dan ada pula yang mengaku dirinya sebagai ilah. Orang-orang Yahudi memper-ilah-kan ‘Uzair, dan orang-orang Nashrani memper-ilah-kan ‘Isa putera Maryam. Orang-orang alim dan para rahib juga mereka jadikan sebagai tuhan. Fir’aun –seorang raja yang hidup pada masa Nabi Musa ‘alaihissalam- berani menyatakan dirinya sebagai ilah.
Kisah-kisah tersebut diceritakan dalam al-Qur’an sebagai bahan pelajaran bagi kita agar dapat memurnikan tauhid dan tidak terperosok ke dalam dosa syirik, dosa yang bila sampai terbawa mati sebelum bertobat tidak diampuni Allah. Karena kasih sayang-Nya, Allah menunjukkan kesalahan-kesalahan ummat terdahulu kepada kita agar jangan sampai terjerumus seperti mereka.
وَقَالَتِ ٱلۡيَهُودُ عُزَيۡرٌ ٱبۡنُ ٱللَّهِ وَقَالَتِ ٱلنَّصَـٰرَى ٱلۡمَسِيحُ ٱبۡنُ ٱللَّهِۖ ذَٲلِكَ قَوۡلُهُم بِأَفۡوَٲهِهِمۡۖ يُضَـٰهِـُٔونَ قَوۡلَ ٱلَّذِينَ ڪَفَرُواْ مِن قَبۡلُۚ قَـٰتَلَهُمُ ٱللَّهُۚ أَنَّىٰ يُؤۡفَڪُونَ
Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu anak Allah” dan orang-orang Nashrani berkata: “Al- Masih itu anak Allah”. Demikian itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu. Mereka dilaknati Allah, bagaimana mereka sampai berpaling? Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan rabb selain Allah dan juga (mempertuhankan) al-Masih putera Maryam, padahal mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah ilah yang satu, tidak ada ilah selain Dia. Maha suci Allah dari apa apa yang mereka sekutukan. (QS 9: at-Taubah, ayat 30)
Kekaguman orang-orang Yahudi kepada ‘Uzair – orang shaleh yang menjadi guru Musa ‘Alaihissalam – diaktualisasikan dalam bentuk yang sangat berlebihan hingga melebihi hak-haknya sebagai manusia. Ia dianggap sebagai ‘anak Allah’ dan diperlakukan sebagai tuhan. Hal yang sama dilakukan oleh orang-orang Nashrani terhadap ‘Isa putera Maryam, yang dikatakan sebagai “Anak Allah”. Mereka menyebutnya dengan “Tuhan Anak”.
‘Uzair dan ‘Isa tentu sangat tidak senang dengan sebutan sebagai ‘Anak Allah’ tersebut. Beliau berdua adalah orang-orang shaleh yang sangat paham dengan hak Allah, sehingga tidak mungkin mengabaikannya. Dalam al-Qur’an Surah 5 ayat 116-117 Allah berfirman:
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman:”Hai ‘Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia:’Jadikan aku dan ibuku sebagai dua ilah selain Allah?. ‘Isa menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku, yakni: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu sekalian”, adalah aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.
Allah menegaskan kekafiran orang-orang yang mempertuhankan ‘Isa.
Sungguh telah kafir orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu adalah al-Masih putera Maryam.” Padahal al-Masih sendiri berkata: “Wahai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu!” (QS 5 –al-Maidah – ayat 72)
Kekaguman yang berlebihan atas manusia menggelincirkan seseorang pada sikap kultus individu yang muaranya adalah ta’aluh kepadanya. Orang-orang Yahudi dan Nashrani juga mengagumi orang-orang alim dan rahib-rahib di antara mereka melebihi batas. Dipatuhinya ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib itu sepenuhnya tanpa memikirkan apakah benar atau salah. Bahkan andaikata mereka tahu yang diajarkan tidak sesuai dengan ketentuan Allah, mereka tetap saja menaatinya. Mereka menjadi muqallid atau orang yang melakukan perbuatan taqlid (menirukan seutuhnya) kepada orang alim atau rahib-nya.
Perlakuan kaum Yahudi dan Nashrani kepada orang alim dan para rahibnya rupanya terjadi pula di kalangan ummat Islam terhadap ulamanya. Ada yang memperlakukan ulama atau kyai secara berlebihan. Mengikuti ajarannya meskipun tidak sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ulama memang memiliki peran penting dalam membimbing kehidupan beragama ummat Islam. Kita harus menghormati dan mentaati sepanjang yang mereka ajarkan sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah al-maqbulah. Ajaran yang bertentangan wajib ditolak, apalagi sampai mengajak bermaksiat kepada Allah. Belajar harus kita lakukan tetapi tidak boleh taqlid.
Dalam belajar kita harus bersikap kritis. Apapun yang kita pelajari haruslah dianalisa terlebih dahulu, diperbandingkan dengan keyakinan-keyakinan yang telah kita bangun, dan yang lebih utama dinilai berdasarkan kitabullah al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya. Pelajaran dari ulama manapun atau dari siapapun, setelah menjadi amalan sepenuhnya menjadi tanggungjawab pelaku. Setiap perbuatan – baik atau buruk – menimbulkan dampak masing-masing yang berbeda. Perbuatan baik memberikan manfaat dan pahala, sedangkan perbuatan buruk menimbulkan mudarat dan dosa. Setiap orang diberikan wewenang memilih dan memutuskan perbuatan apa yang hendak dilakukan.
Kita boleh belajar dan mendapatkan informasi dari siapa saja. Tetapi kalau sudah berniat mau bertindak, bukan orang lain yang memutuskan. Niat ada pada diri masing-masing orang. Kita memiliki kuasa penuh memilih memutuskan melakukan apa. Orang lain tidak bisa mengintervensi. Pada setiap pilihan berlaku hukum: “Maka barangsiapa melakukan perbuatan baik meskipun sedikit ia akan melihat akibatnya, dan barangsiapa yang melakukan perbuatan buruk meskipun sedikit ia akan melihat akibatnya” (QS 99 az-Zalzalah ayat 7 – 8). Ketentuan Allah telah berlaku tanpa ada yang kuasa merubah, setiap kebaikan dibalas dengan kebaikan, dan setiap keburukan dibalas dengan keburukan.
Seseorang tidak menanggung dosa yang dilakukan oleh orang lain. Bila Anda melakukan saran orang lain -sesuatu yang ternyata keliru- dan Anda mengalami kerugian besar akibat perbuatan Anda tersebut, Anda tidak boleh menimpakan sepenuhnya kesalahan terhadap sang pemberi saran. Anda menjadi penanggungjawab atas setiap tindakan apapun yang Anda lakukan. Oleh karena itu, Andalah yang seharusnya memegang kendali penuh atas setiap pilihan perbuatan yang Anda putuskan. Segala macam masukan dari orang lain hanyalah berfungsi memperkaya wawasan agar mampu memutuskan dengan tepat benar.
Tetapi harus diakui bahwa pengaruh orang lain dalam proses pengambilan keputusan tetap besar, terutama pengaruh orang-orang dekat. Rasulullah Sallallahu’alaihi wasallam memperingatkan bahwa seseorang dipengaruhi oleh agama orang-orang dekatnya. Beliau bersabda: “Seseorang itu tergantung agama teman dekatnya, maka perhatikanlah siapa yang menjadi temannya”. (Hadits Riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Abu Daud dari Abu Hurairah). Berteman adalah kebutuhan hidup untuk saling bertukar pikiran, berbagi manfaat dan saling mencintai. Pertemanan terbaik adalah yang dilakukan karena Allah. Aktualisasinya, apabila teman kita mengabaikan Allah, wajiblah kita mengingatkan. Kalau tidak mau, maka pertemanan harus segera diakhiri. Bertemu karena Allah, perpisahpun karena-Nya.
Konsekuensi bertauhid dengan mepersaksikan bahwa tidak ada ilah kecuali Allah adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya pertimbangan dalam memutuskan setiap apa yang mau kita lakukan. Faktor lain boleh memberikan pengaruh hanya bila sejalan dengan Allah. Begitu pikiran kita menemukan sesuatu yang tidak sejalan, segera ber-istighfar dan menjauhkan diri darinya.
Orang-orang Yahudi dan Nashrani terjerumus dalam memper-ilah-kan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka karena kehilangan daya kritisnya dalam menilai setiap petunjuk dan saran yang dberikan. Mereka tidak menjadikan kitab Taurat maupun Injil sebagai pembeda antara yang benar dan salah. Apapun yang disarankan diikuti, meskipun bermaksiat kepada Allah. Dianggapnya sebagai jalan terbaik yang harus dilaluinya. Pengaruh Allah mereka kesampingkan, orang alim dan rahib mereka kedepankan.
Sikap orang-orang Yahudi dan Nashrani dalam memperlakukan orang alim dan rahib-nya, ternyata dilakukan pula oleh sebagian orang-orang Islam pada jaman ini. Kita bisa menyaksikan orang-orang yang memperlakukan ulama atau kyai secara berlebihan. Kata-katanya bak titah yang harus dilaksanakan tanpa reserve. Seakan tidak ada ruang untuk berpikir mencerna ajarannya. Semua harus diterima apa adanya, meskipun tidak sejalan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka membabi buta atau ber-taqlid dalam mengikutinya. Bahkan ketika ada yang mengingatkan bahwa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, mereka tidak mau menggubris dan bahkan ada yang marah. Manusia telah menjadikan orang lain sebagai ilah selain Allah pada saat memilih melakukan ajaran, saran, maupun perintahnya meskipun diketahui bertentangan dengan petunjuk Allah.
Seorang pegawai telah menjadikan bosnya sebagai ilah ketika ia menaati segala perintahnya dan memenuhi semua permintaannya tanpa reserve. Misalnya, sang bos memerintahkannya berpakaian tidak menutupi sebagian auratnya padahal ia tahu Allah memerintahkan menutupinya. Memilih melaksanakan perintah bos yang bertentangan dengan perintah Allah adalah sikap menyekutukan Allah dengan bos. Ia telah menyingkirkan Allah dalam hal berpakaian.
Orang-orang yang Anda cintai bisa menjadi ilah Anda saat Anda memilih melakukan permintaannya untuk melakukan sesuatu yang dimurkai Allah. Seseorang yang mau diajak berbuat zina oleh kekasihnya untuk membuktikan cintanya, telah menjadikan kekasihnya lebih berpengaruh daripada Allah. Memilih mengikuti kekasih berbuat maksiat kepada Allah berarti mengabaikan Allah. Ia telah memperlakukan kekasihnya menjadi ilah selain Allah. Seorang suami yang mau melakukan apa saja demi isterinya, termasuk perbuatan maksiat kepada Allah seperti menipu, mencuri, korupsi, dan merampok telah menjadikan cintanya kepada isterinya melebihi cintanya kepada Allah. Isterinya telah menjadi ilah-nya selain Allah.
Dalam urusan cinta, Allah harus di urutan nomor satu! Yang lain boleh dicintai di bawah cintanya kepada Allah.
Katakanlah: “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (QS 9: at-Taubah, ayat 24)
Semuanya boleh dicintai sepanjang sejalan dengan cintanya kepada Allah, Rasul-Nya, dan berjihad di jalan-Nya.
Mencintai orang tua wajib! Tetapi harus dalam kerangka cinta kepada Allah. Birrul walidain dengan berbakti, berkata-kata baik dan lembut, memenuhi panggilan dan permintaannya, tidak membentak adalah hal-hal yang harus kita lakukan. Kita hanya tidak boleh memenuhi ajakan keduanya untuk menyeru ilah selain Allah. Dalam hal ilah, tidak ada kompromi, hanya ada satu Allah semata.
Mencintai anak, saudara, isteri, keluarga, juga harus. Semuanya tetap dalam kerangka cinta kepada Allah! Mereka tidak boleh menghadirkan ilah di sisi Allah, apalagi bertahta menjadi ilah selain Allah di dalam hati. Menerima ajakan dan permintaan mereka untuk melakukan hal-hal yang dibenci Allah termasuk bagian menjadikan mereka sebagai ilah di samping Allah.
Terhadap usaha atau bisnis, rumah, kendaraan boleh pula dicintai. Tetapi kesemuanya dilakukan untuk mempertebal cintanya kepada Allah. Bisnis dicintai agar berjalan dengan baik dan menjadi saluran curahan rezeki dari Allah Subhanahu wata’ala. Rezeki yang melimpah mempermudah: (1) pelaksanaan ibadah yang memerlukan biaya, seperti: haji, umrah, zakat, infak, sedekah, qurban; (2) pelaksanaan tugas jihad, seperti: berdakwah, membangun sarana kemaslahatan ummat, membantu kaum dhu’afa; (3) pelaksanaan tugas keluarga, seperti: memberikan nafkah isteri, anak-anak, mendidik anak-anak, menikahkan anak, dll. Rumah dicintai agar terawat, bersih, indah, dan rapi sehingga semua anggota keluarga merasa aman dan nyaman berada di dalamnya. Ditingkatkan pula manfaatnya bagi lingkungannya dengan menjadikannya sebagai tempat pengajian dan kegiatan kemasyarakatan lainnya. Kendaraan dicintai dengan merawatnya agar senantiasa dalam keadaan prima dan bersih sehingga memperlancar mobilitas kegiatan amal shaleh sehari-hari. Semuanya harus mendukung aktualisasi cinta kepada Allah sebagai yang paling utama. Jangan sampai mencintai bisnis, rumah dan kendaraan hingga melupakan hak-hak Allah.
Orang-orang yang mencintai bisnis melebihi Allah dan Rasul-Nya: berbisnis dengan cara-cara yang tidak diridhai Allah seperti mengurangi timbangan dan takaran, tidak jujur, menutup-nutupi kecacatan komoditas, tidak memenuhi hak-hak tenaga kerja; tidak membayar zakat, pada waktunya shalat tidak segera melaksanakan shalat; melalaikan hak-hak orang lain seperti lupa mengunjungi orang tua, lupa bersillaturrahim, tidak memperhatikan pendidikan anak, dll. Orang-orang yang mencintai rumahnya melebihi Allah dan Rasul-Nya: rumahnya dijadikan megah dan indah dengan mengesampingkan pembiayaan pelaksanaan ibadah-ibadah utama. Rumahnya mewah tetapi belum menganggarkan untuk haji dan umrah, di hara raya qurban tidak berkurban, tidak membayar zakat, jarang berinfak dan sedekah, tidak membantu tetangganya yang kelaparan, tidak menyantuni anak-anak yatim yang ada di sekitarnya.
Meletakkan Allah pada tingkatan cinta yang paling tinggi tidak membuat cinta kepada orang tua, anak, isteri, saudara, maupun keluarga berada pada kualitas cinta yang rendah. Yang terjadi justru sebaliknya, cinta yang didasari karena Allah menjadikan kualitas cintanya sangat tinggi. Allah memberikan petunjuk lewat al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya, bagaimana membangun hubungan yang penuh cinta dengan mereka.
Ajaran Islam telah menetapkan hak-hak orang tua, anak, isteri, saudara, keluarga, tetangga, anak yatim, ibnu sabil, orang lewat, sesama muslim, dll. Kewajiban kita adalah memenuhi hak-hak mereka atas kita. Peran Anda menjadi orang tua bagi anak-anak Anda, menjadi anak bagi orang tua Anda, menjadi suami bagi isteri Anda, menjadi isteri bagi suami Anda, menjadi saudara bagi saudara-saudara Anda, menjadi bagian dari keluarga Anda.
Mencintai siapapun karena Allah adalah cinta yang paling tulus. Semangatnya adalah memenuhi hak-hak orang-orang yang dicintai dan memberikan yang terbaik baginya. Harapannya adalah imbalan dari Allah berupa pahala kebahagiaan dan kebaikan dunia akherat. Semua yang dilakukan didedikasikan sepenuhnya untuk Allah. Dijaganya agar cintanya kepada orang lain memperkuat cintanya kepada Allah, dan cintanya kepada Allah memberkahi semua cintanya. Diyakininya bahwa Allah pasti memberi imbalan yang baik bagi yang senang menjalani petunjuk-Nya.
Marilah kita perkuat pengaruh Allah atas hubungan kita dengan siapapun. Segera kenali setiap hubungan yang berpotensi memperlemah pengaruh Allah atas diri kita, sesegera mungkin akhiri dan mohon ampun. Setiap duduk tahiyat dalam shalat, Allah memberikan kesempatan memperbaharui tauhid kita. Wallahu a’lam.
Wassalamu’alaikum wr wb
Yogyakarta, 10 Pebruari 2015
Agus Sukaca
guskaca@gmail.com