Salam Tabligh:
ألَسلامُ عليكم ورحمةُ الله وبركاتُهُ
Pembaca yang budiman!
Perihal hari raya ‘Iedul Adha, hari raya umat Islam, disamping hari raya ‘Iedul Fithri, Rasulullah Saw bersabda:
أُمِرْتُ بِيَوْمِ الْأَضْحَى عِيدًا جَعَلَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ
“Aku diperintahkan pada hari Kurban untuk menjadikannya sebagai hari raya, Allah ‘azza wajalla telah menjadikannya untuk umat ini.” (HR Nasai dan Abu Daud)
Kita mengagungkan asma Allah dengan bertakbir sendiri-sendiri maupun terpimpin berjamaah, sebagai wujud pengakuan atas kemahabesaran Allah, pernyataan bahwa tidak ada sesuatu yang mempengaruhi hati kita kecuali pengaruh Allah, dan senantiasa memuji Allah karena Dialah yang paling berhak dipuji.
Dinamakan ‘idul adha karena di dalamnya ada proses udhiyah atau penyembelihan hewan kurban yang merupakan sunnah nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam, sebagaimana hadits dari Zaid bin Arqam dia berkata:
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah maksud dari hewan-hewan kurban seperti ini?” beliau bersabda: “Ini merupakan sunnah (ajaran) bapak kalian, Ibrahim.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, lantas apa yang akan kami dapatkan dengannya?” beliau menjawab: “Setiap rambut terdapat kebaikan.” Mereka berkata, “Bagaimana dengan bulu-bulunya wahai Rasulullah?” beliau menjawab: “Dari setiap rambut pada bulu-bulunya terdapat suatu kebaikan.” (HR Ibnu Majah)
Kurban merupakan amalan yang sangat dicintai Allah, sebagaimana hadits dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلًا أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرَاقَةِ دَمٍ وَإِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَشْعَارِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
“Tidak ada amalan yang dilakukan oleh anak Adam pada hari Nahr (Idul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah selain dari pada mengucurkan darah (hewan kurban). Karena sesungguhnya ia (hewan kurban) akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kukunya. Dan sungguh, darah tersebut akan sampai kepada (ridha) Allah sebelum tetesan darah tersebut jatuh ke bumi, maka bersihkanlah jiwa kalian dengan berkurban.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah)
Betapa Rasulullah menekankan agar kaum muslimin menyembelih hewan kurban pada hari adha tergambar dari sabda beliau:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barangsiapa memiliki kesempatan (untuk berkurban) namun tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Pelajaran Utama Berkurban
Idul Adha, mengingatkan kita pada peristiwa bersejarah dalam kehidupan nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam, di mana beliau diperintahkan menyembelih putra kesayangannya Ismail yang dianugerahkan Allah setelah penantian sangat lama dan ketika usia beliau sudah tua. Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur’an surah as-Shaff ayat 102:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku, aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab:”Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (As Shaffat 102).
Keduanya berserah diri meninggikan perintah Allah. Ibrahimpun membaringkan puteranya dalam posisi siap disembelih.
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya (nyatalah kesabaran keduanya)
قدْ صَدَقْتَ الرءيآ إنَّا كَذَالِكَ نَجْزِى المُحْسنِيْنَ
“Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kebada orang-orang yang baik”
إنّ هذا لَهُوَ البلاؤالمبِيْن, وفَدَيْناَهُ بِذبْحٍ عَظِيْمٍ
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”
Itulah sejarah perintah berqurban. Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam terbukti memiliki ketaatan dan kecintaan kepada Allah melebihi apapun juga. Putera kesayanganpun beliau relakan demi Allah.
Berkurban sesungguhnya merupakan pernyataan cinta kepada Allah. Bahwa Allahlah yang paling kita cintai. Bahwa Allahlah yang paling kita pentingkan dalam hidup dan mati kita. Menyembelih hewan kurban – bisa berupa unta, sapi, atau domba/kambing- adalah simbolisasi dari pernyataan memutus segala bentuk pengaruh internal maupun eksternal yang tidak sejiwa dan sejalan dengan ketentuan dan aturan Allah. Pengaruh internal bisa berupa nafsu atau pola pikir. Pengaruh eksternal bisa berupa bacaan, tontonan, teman, kerabat, pemimpin, uang, materi, dll. Semuanya hanya boleh mempengaruhi diri kita hanya apabila dapat meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Langkah selanjutnya adalah memperkuat pengaruh Allah dalam jiwa dan pikiran kita, sehingga semua keputusan yang kita ambil untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu adalah semata-mata karena pertimbangan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Itulah sesungguhnya esensi dari syahadah yang kita ikrarkan:
اشهد ان لا اله الاٌ الله و انَّ محمّدًا عبده ورسولُه
“Saya bersaksi bahwa tidak ilah kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya”
Qurban memiliki akar kata yang sama dengan muraqabah dari kata qarraba yang berarti mendekat. Qurban adalah salah satu amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Keputusan untuk berkurban karena Allah, adalah keputusan yang dapat menyematkan sifat taqwa kita. Firma Allah dalam Qs Al-Hajj 37:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai adalah ketakwaan kamu. Demikianlah Dia menundukkan untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikan kabar gembira kepada para muhsinin”
Ketakwaan kita kepada Allah seharusnyalah senantiasa kita jaga dan tingkatkan dengan membiasakan diri melakukan amalan-amalan yang dicintai Allah, bergaul atau bersahabat dengan orang-orang shaleh, dan berada di tempat-tempat yang menjadi lambang kebaikan.
Kebiasaan yang menjadi pilar amalan-amalan yang dicintai Allah antara lain:
- Shalat fardhu di awal waktu – berjamaah – di masjid, shalat dhuha, shalat tahajud
- Puasa Yaumul Bidh – Senin Kamis – Daud
- Zakat – Infak – Sedekah
- Beradab Islami
- Tadarrus al-Qur’an
- Membaca
- Taklim/pengajian
- Berjuang dalam jamaah dengan berorganisasi
- Berpikir positif
Bergaul atau bersahabat dengan orang-orang shaleh memberikan atmosfer kesalehan yang menjaga kita tetap berada dalam kesalehan.
Tempat paling baik yang menjadi lambang kebaikan adalah masjid. Allah memberikan apresiasi kepada orang yang berjalan menuju masjid dengan pengampunan dosa dan peningkatan derajat. Orang yang shalat berjamaah di masjid dengan nilai 27 derajat lebih utama. Orang yang membaca dan saling mempelajari al-Qur’an dengan ketenangan, rahmat, dijaga para Malaikat dan dibanggakan Allah di hadapan makhluk langit. Orang yang shalat subuh berjamaah di masjid kemudian duduk mempelajari al-Qur’an atau berdzikir hingga matahari terbit dan kemudian melakukan shalat dhuha, mendapat pahala seakan-akan berhaji atau berumrah. Bila Allah memberikan apresiasi yang tinggi kepada ahli masjid, tentu karena berada di dalamnya memberikan banyak kebaikan. Marilah kita menjadi ahli masjid. Waktu shalat fardhu adalah waktu kita berada di masjid. Waktu subuh hingga terbit matahari adalah waktu kita berada di masjid. Waktu maghrib hingga pelaksanaan shalat ‘Isya adalah waktu kita berada di masjid. Mudah-mudahan dengan demikian kita layak disebut sebagai “seseorang yang hatinya terikat dengan masjid” yang layak mendapat perlindungan Allah pada hari kiamat nanti.
Mari kita wujudkan cinta kepada Allah dengan kesungguhan hati, tetesan keringat, harta, jiwa raga, hingga Allah menemukan bukti bahwa kita sungguh-sungguh mencintai-Nya dengan jihad dan sabar.
Wassalam,
Samarinda, 14 Agustus 2018
Agus Sukaca
guskaca@gmail.com
*) Disampaikan sebagai khutbah pada shalat ‘Iedul Adha di halaman Masjid ad Dakwah Samarinda, 10 Dzulhijjah 1439 H/ 22 Agustus 2018.