banner 728x90

Ingkar Hukuman Bani Israil

keterangan gambar: Mosaic of the 12 Tribes of Israel, from a synagogue wall in Jerusalem (en.wikipedia.org)

 

 

TAFSIR SURAT AL-BAQARAH 54-57

 

وَإِذۡ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوۡمِهِۦ يَـٰقَوۡمِ إِنَّكُمۡ ظَلَمۡتُمۡ أَنفُسَڪُم بِٱتِّخَاذِكُمُ ٱلۡعِجۡلَ فَتُوبُوٓاْ إِلَىٰ بَارِٮِٕكُمۡ فَٱقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ ذَٲلِكُمۡ خَيۡرٌ۬ لَّكُمۡ عِندَ بَارِٮِٕكُمۡ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡ‌ۚ إِنَّهُ ۥ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ (٥٤) وَإِذۡ قُلۡتُمۡ يَـٰمُوسَىٰ لَن نُّؤۡمِنَ لَكَ حَتَّىٰ نَرَى ٱللَّهَ جَهۡرَةً۬ فَأَخَذَتۡكُمُ ٱلصَّـٰعِقَةُ وَأَنتُمۡ تَنظُرُونَ (٥٥) ثُمَّ بَعَثۡنَـٰكُم مِّنۢ بَعۡدِ مَوۡتِكُمۡ لَعَلَّڪُمۡ تَشۡكُرُونَ (٥٦) وَظَلَّلۡنَا عَلَيۡڪُمُ ٱلۡغَمَامَ وَأَنزَلۡنَا عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَنَّ وَٱلسَّلۡوَىٰ‌ۖ كُلُواْ مِن طَيِّبَـٰتِ مَا رَزَقۡنَـٰكُمۡ‌ۖ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَـٰكِن كَانُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ يَظۡلِمُونَ -٥٧

Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (54) Dan (ingatlah), ketika kamu ber­ka­ta: “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang”, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya. (55) Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur. (56) Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (57). [Qs. al-Baqarah/2: 54-57]

 

Pada ayat 54 surat al-Baqarah, Allah menjelaskan bagaimana cara taubat yang harus dilalui oleh Bani Israil yang telah melakukan kesalahan yang sangat besar, yaitu menjadikan patung anak sapi seba­gai tuhan dan menyembahnya. Cara tau­batnya adalah dengan membunuh diri sen­diri. Sebuah cara bertaubat yang sa­ngat berat dan keras.

Pada ayat-ayat sebelumnya (ayat 49-53), telah di­jelaskan bagaimana Nabi Musa as diutus oleh Allah untuk memim­pin dan membebaskan Bani Israil dari kekejaman Fir’aun dan bala tentaranya yang telah me­­nyiksa dan memperbudak mereka, bahkan menyembelih setiap anak laki-laki mereka yang baru lahir. Tapi sayangnya, pertolongan Allah yang sangat besar dan luar biasa itu cepat dilu­pakan oleh Bani Israil. Padahal mukjizat besar telah di­per­lihatkan oleh Allah me­lalui Nabi Musa, untuk menyela­mat­kan Bani Israil dari kejaran Firaun dan bala tentaranya, diantaranya terbelahnya laut Merah sehingga membentanglah jalan ra­ya yang menyelamatkan mereka menye­be­rang ke Sinai dan membinasakan Firaun dan bala tentaranya yang tengge­lam di lautan itu, karena kembali mengatup ketika mereka sedang berada di tengah-tengahnya.

Ketika Nabi Musa AS dipanggil Allah ke Bukit Thursina selama empat puluh malam, untuk menerima wahyu kitab Taurat, Bani Israil tidak sabar menunggu kitab suci itu. Mereka segera melupakan Nabi Musa dan ajaran tauhidnya, dan mengikuti ajakan As-Samiri untuk mem­buat patung anak sapi dari emas lalu menyembahnya. Namun demikian, Allah masih memberi maaf kepada mereka, karena Allah adalah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang, karenanya diharapkan mereka dapat menyadari betapa banyak nikmat Allah yang harus disyukuri.

 

وَإِذۡ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوۡمِهِۦ يَـٰقَوۡمِ إِنَّكُمۡ ظَلَمۡتُمۡ أَنفُسَڪُم بِٱتِّخَاذِكُمُ ٱلۡعِجۡلَ فَتُوبُوٓاْ إِلَىٰ بَارِٮِٕكُمۡ فَٱقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ ذَٲلِكُمۡ خَيۡرٌ۬ لَّكُمۡ عِندَ بَارِٮِٕكُمۡ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡ‌ۚ إِنَّهُ ۥ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ (٥٤)

 Dan (ingatlah), ketika Musa berkata ke­pada kaumnya: “Hai kaumku, se­sung­­guhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah men­ja­dikan anak lembu (sembahanmu), maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik ba­gimu pada sisi Tuhan yang menja­dikan kamu; maka Allah akan mene­rima taubatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Ma­ha Penyayang.”  (Qs. al-Baqarah/2: 54)

Pada ayat 54 itu disebutkan salah satu nama Allah, yaitu al-Bari’ (). Bertobatlah kepada Tuhan Yang Men­jadikan kamu . Menurut Ibnu Katsir, penyebutan kata ila Bari­’ikum () pada ayat ini menun­juk­kan betapa besarnya dosa yang telah mereka lakukan, yaitu mempersekutukan Allah (yang telah menciptakan mereka) dengan sebuah patung anak sapi (Tafsir Ibnu Katsir, I: hlm. 401)

Nabi Musa menyuruh mereka ber­taubat dengan cara yang tidak biasa, yaitu membunuh diri sendiri. Jika dipahami secara harfiah, taubat dengan cara bunuh diri itu menimbulkan pertanyaan; Bukan­kah taubat itu dimaksudkan untuk mem­per­baiki diri, dengan kembali ke jalan yang benar setelah menyadari dan menye­sali kesalahan-kesalahan yang telah dila­kukan. Setelah meminta ampun kepada Allah SWT, seseorang yang sudah kem­bali ke jalan yang benar dianjurkan untuk memperbanyak perbuatan baik agar ke­sa­lahan-kesalahan masa lalunya tertutupi. Tentu tujuan memperbaiki diri itu tidak akan dapat diwujudkan kalau cara tau­batnya dengan membunuh diri.

Bagi yang memahami secara harfiah, tidak peduli dengan keberatan tersebut. Memang demikianlah cara bertaubat yang diperintahkan Allah untuk mereka. Cara apapun yang diminta harus dilakukan, termasuk dengan membunuh diri sendiri. Membunuh diri berdasarkan perintah Allah, sebagai cara bertobat, tidak sama hukumnya dengan bunuh diri karena putus asa. Untuk yang terakhir ini pelakunya di­nya­takan kafir dan kekal di dalam nera­ka untuk selama-lamanya.

Sayyid Quthub, dalam Fi Zhilalil Qur’an, menyebutkan jika tidak bisa di­peringatkan lagi dengan kata-kata, harus dilakukan secara fisik. Inilah pendidikan yang keras untuk Bani Israil yang mela­ku­kan kemungkaran yang sangat besar: menyembah patung anak sapi ketika di­tinggal pergi Nabi mereka (Fi Zhilalil Qur’an, I: hlm. 71)

Sebagian menafsirkan bahwa bunuh diri itu tidak dilaksanakan sendiri, melain­kan mereka semua yang terlibat menyem­bah patung anak sapi, saling membunuh satu sama lain. Sementara bagi yang ke­be­ratan bertaubat dengan cara bunuh diri tersebut, karena bertentangan dengan prinsip umum taubat, yaitu memperbaiki diri dengan cara kembali ke jalan yang benar, mereka menafsirkan bahwa cara taubatnya adalah tetap setia dan patuh kepada Nabi Musa AS serta tidak terlibat menyembah patung anak sapi membunuh saudaranya sendiri yang bersalah. Barulah Allah kemudian memaafkan dan mene­rima taubat mereka.

Dalam syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, taubat dengan bunuh diri itu tidak ada lagi. Hal Ini adalah semacam rukhsah (keringanan) yang diberikan ba­gi umat Nabi akhir zaman ini. Salah sa­tu da­ri doa-doa dalam surat al-Baqarah ayat 286 berisi permohonan agar Allah tidak memberi beban yang tidak sang­gup dipikul, sebagaimana beban berat yang diberikan kepada umat sebelumnya.

 

 رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَآ إِصۡرً۬ا كَمَا حَمَلۡتَهُ ۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِنَا‌ۚ

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami (Qs. al-Baqarah/2: 286)

 

Sebagian mufassir mengambil contoh bahwa beban berat itu adalah sebagai­mana taubat dengan cara bunuh diri yang dijelaskan pada ayat 54, walaupun pada ayat 286 itu tidak disebutkan beban berat mana yang dimaksud.

Menurut Ibnu Katsir, dengan mengu­tip riwayat Ibnu Ishaq, orang yang memi­sahkan diri dengan Harun dan tidak ikut menyembah patung anak sapi berjumlah 70 orang. Apakah yang selamat hanya 70 orang, sementara lainnya mati semua? Menurut sebagian mufassir, setelah per­to­batan dilaksanakan, Allah menerima taubat mereka, dan memerintahkan Musa untuk menghentikannya, sehingga seba­gian selamat dari kematian.

 

Kaum yang Rewel

Karena bermaksud akan kembali lagi ke Bukit Thur­sina, maka Nabi Musa mem­­bawa 70 orang yang tidak terlibat dalam penyembahan patung anak sapi itu ke sana. Tapi, ternyata sebagian dari me­re­ka menyatakan tidak akan mem­be­narkan ucapan Nabi Musa, bahwa Taurat itu adalah benar-benar Kitab yang difir­mankan Allah dan didengar sendiri oleh Musa, sebelum mereka dapat melihat Allah se­cara nyata. Mereka menuntut untuk da­pat melihat Allah sebagai bukti kebenaran Kitab Taurat yang dikatakan Nabi Musa itu. Mereka meminta sesuatu yang tidak mungkin, sehingga Allah me­me­rintahkan halilintar untuk menyambar mereka, sebagaimana disebutkan dalam ayat 55.

 

وَإِذۡ قُلۡتُمۡ يَـٰمُوسَىٰ لَن نُّؤۡمِنَ لَكَ حَتَّىٰ نَرَى ٱللَّهَ جَهۡرَةً۬ فَأَخَذَتۡكُمُ ٱلصَّـٰعِقَةُ وَأَنتُمۡ تَنظُرُونَ -٥٥

Dan (ingatlah) ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak akan beriman ke­padamu sebelum kami melihat Allah dengan terang”, karena itu kamu di­sam­­bar halilintar, sedang kamu me­nyak­sikan. (Qs. al-Baqarah/2: 55)

 

Mereka tidak dapat meninggalkan cara berfikir materialismenya, tidak dapat mempercayai sesuatu yang bersifat ghaib. Padahal Allah sudah memperlihatkan ke­kuasaan-Nya dengan beberapa mukjizat kepada Nabi Musa, seperti tongkat beru­bah menjadi ular, laut yang terbelah, sekarang mereka meminta sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi oleh Allah.

Menurut Muhammad Abduh, dalam Tafsir Al-Manar, permintaan Bani Israil untuk melihat Allah ini tidak ada hu­bung­annya dengan penyembahan patung anak sapi. Penyebabnya adalah sifat dengki dari sebagian mereka. Sebagian mereka itu mengatakan, kenapa hanya Musa dan Harun saja yang mendapatkan firman Allah, sedangkan mereka tidak.

Mereka juga menyatakan bahwa nikmat Allah dibe­rikan kepada bangsa Israil adalah lantaran Ibrahim dan Ishaq. Oleh sebab itu harus meliputi seluruh bangsa Israil, bukan hanya Musa dan Harun semata. Mereka juga mengatakan kepada Musa, bahwa Musa tidaklah lebih utama dari mereka, sehingga tidak berhak lebih ting­gi dan memimpin kami tanpa keistime­waan. Mereka tidak akan beriman kepa­da Musa sebelum mereka juga dapat meli­hat Allah secara nyata.

Untuk memenuhi permintaan itu, lalu Nabi Musa membawa mereka ke suatu tempat. Seketika datanglah api (halilintar) menyambar mereka. Peristiwa ini disak­sikan pula oleh kelompok lain yang tidak ikut menuntut melihat Allah. Cerita ini dikutip oleh Muhammad Abduh dari Al-Kitab. Bagaimana persisnya terjadinya peristiwa itu, Allahu a’lam. Yang jelas, Allah menyebutkan bahwa mereka yang menuntut hal yang mustahil itu (melihat Allah) dihukum oleh Allah. (Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an, I: hlm. 321).

Melalui ayat-ayat ini, sesungguhnya Allah menyuruh kita mengambil hikmah dari kesombongan Bani Israil, antara lain: pertama, mereka memanggil Nabi Musa tanpa rasa hormat sedikitpun dengan ha­nya menyebut “hai Musa”, padahal Musa adalah Nabi dan pemimpin yang telah berjasa menyelamatkan mereka dari kekejaman Fir’aun. Kedua, mereka me­nan­tang untuk dapat melihat Allah secara nyata. Padahal, jangankan melihat Allah, melihat matahari pun mereka tidak akan sanggup. Betapa banyak tanda-tanda kekuasaan Allah yang sudah diperlihatkan kepada mereka, khususnya dalam per­juangan membebaskan diri dari Fir’aun, tetapi mereka malah melampaui batas, sehingga dijatuhi hukuman: Allah meme­rintahkan halilintar menyambar mereka.

Bani Israil yang disambar halilintar itu mati semua. Melihat hal itu, menurut As-Saddi sebagaimana dikutip Ibnu Katsir (I: 404), Nabi Musa menangis dan me­mohon kepada Allah, “Ya Tuhan, apa yang akan saya katakan kepada Bani Israil jika saya kembali nanti menemui mereka, orang-orang pilihan mereka su­dah Engkau binasakan

Dari do’a Nabi Musa itu, dapat dipa­hami bahwa selain 70 orang itu masih ada Bani Israil yang tersisa. Jadi, sebagai­mana disebutkan Ibnu Katsir mengutip As-Saddi, tatkala proses saling bunuh terjadi sebagai bentuk pertobatan, sehingga jasad-jasad bergelimpangan, Nabi Musa dan Harun berdoa kepada Allah: “Ya Tuhan kami, Engkau telah membinasakan Bani Israil, Ya Tuhan kami, sisakanlah, sisakanlah.” Lalu Allah memerintahkan mereka untuk meletakkan pedang dan menerima taubat mereka (Ibnu Katsir, I: 402)

 

Manna wa Salwa
ثُمَّ بَعَثۡنَـٰكُم مِّنۢ بَعۡدِ مَوۡتِكُمۡ لَعَلَّڪُمۡ تَشۡكُرُونَ -٥٦

Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah mati, supaya kamu bersyukur (Qs al-Baqarah/2: 56)

 

Ayat ini menjelaskan tentang keadaan Bani Israil yang disambar halilintar di atas. Setelah Nabi Musa berdoa, Allah meng­hidupkan mereka kembali, satu persatu mereka bangun dan saling berpandangan.

Sebagian mufassir memahami kata “mati” dalam ayat ini tidak sebagai mati yang sebenarnya, yakni berpisahnya nya­wa dari raga, tetapi dalam arti pingsan. Sebab, keadaan orang tidur disebut da­lam hadis sebagai mati juga. Secara baha­sa, kedua-duanya bisa dipahami. Namun, jika dipahami sebagai ping­san, maka peristiwa itu menjadi sangat biasa. Seba­lik­nya, jika mati betul dan kemudian dihi­dupkan kembali, maka peristiwa itu men­jadi luar biasa. Sekira­nya orang yang se­la­mat dari hukuman penyembahan patung anak sapi itu mati semua, tentu Bani Israil menjadi punah. Maka beruntunglah, Allah menghidupkan mereka kembali. Inilah yang harus disyukuri oleh Bani Israil.

Lain lagi menurut Muhammad Abduh, yang dimaksud dibangkitkan dalam ayat ini adalah diperbanyaknya anak ketu­runan Bani Israil. Setelah kematian akibat disambar halilintar dan sebab lain, dikha­wa­tirkan keturunan Bani Israil akan pu­nah. Maka Allah lalu memberi keturunan yang banyak kepada Bani Israil yang tersisa, sehingga dapat membentuk satu bangsa. Hal ini agar mereka dapat ber­syukur atas nikmat yang telah diberikan kepada nenek moyang mereka, sehingga mereka terlepas dari azab yang ditim­pakan Allah karena kekufuran mereka. (M. Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar I: hlm 267).

 

وَظَلَّلۡنَا عَلَيۡڪُمُ ٱلۡغَمَامَ وَأَنزَلۡنَا عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَنَّ وَٱلسَّلۡوَىٰ‌ۖ كُلُواْ مِن طَيِّبَـٰتِ مَا رَزَقۡنَـٰكُمۡ‌ۖ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَـٰكِن كَانُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ يَظۡلِمُونَ -٥٧

Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang meng­aniaya diri mereka sendiri (Qs. al-Baqarah/2: 57)

 

Pada ayat di atas, disebutkan nikmat dari Allah yang lain kepada Bani Israil. Allah menyebutkan memberikan dua nik­mat lagi kepada Bani Israil, yaitu lindungan awan dan makanan manna dan salwa. Ke­tika mereka berada di padang pasir da­lam perjalanan melarikan diri dari Mesir atau ketika terkurung di gurun Sinai selama 40 tahun, mereka merasa sangat berat merasakan teriknya panas matahari. Mereka mengadu kepada Nabi Musa. Setelah Nabi Musa berdoa, Allah melindungi mereka dengan awan.

Kemudian, ketika Bani Israil kesulitan makanan, mereka mengadu lagi kepada Nabi Musa. Nabi Musa berdoa lagi ke­pada Allah, maka Allah mengirimkan makanan yang disebut manna dan sal­wa. Menurut Ash-Shabuni dalam Shaf­wah at-Tafsir, manna adalah sejenis madu yang dijadikan minuman setelah dicampur air. (Shafwah at-Tafsir I: 60). Menurut Quraish Shihab, manna adalah butiran-butiran berwarna merah yang ter­himpun pada dedaunan, yang biasanya turun saat fajar menjelang terbitnya mata­hari. Menurut Thahir bin Asyur, yang dikutip Quraish Shihab, manna adalah satu bahan semacam lem dari udara yang hinggap di dedaunan mirip dengan gan­dum yang basah. Rasanya manis ber­cam­pur asam, berwarna kekuningan. Banyak ditemukan di wilayah Turkishtan dan beberapa tempat lain. Ia baru ditemukan di Sinai sejak Bani Israil tersesat di sana (Tafsir Al-Misbah, I: hlm. 196)

Sedangkan salwa, menurut Ash-Shabuni, adalah sejenis burung mirip as-samani yang lezat dagingnya (Shafwat at-Tafsir, I: hlm. 60). Menurut Quraish Shihab, salwa adalah sejenis burung pu­yuh yang datang berbondong-bondong, yang berhijrah dari satu tempat, yang de­ngan mudah ditangkap untuk disembelih dan dimakan. Burung itu mati apabila men­de­ngar suara guntur, karena itu mereka berhijrah mencari daerah-daerah bebas hujan (Tafsir al-Misbah, I: hlm 196).

Allah menyuruh mereka memakan makanan yang baik-baik dari rezeki yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka, dan mengingatkan mereka untuk tidak lagi berbuat dlalim. Setiap makanan yang di­kon­sumsi, disamping halal harus meme­nu­hi kriteria baik (thayyibah), seba­gai­mana firman Allah berikut.

 

وَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ حَلَـٰلاً۬ طَيِّبً۬ا‌ۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِىٓ أَنتُم بِهِۦ مُؤۡمِنُونَ -٨٨-

Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah re­zekikan kepadamu. Dan bertakwa­lah kepada Allah yang kamu beriman ke­pada-Nya (Qs. al-Maidah/5: 88)

 

Baik buruknya suatu makanan (dan minuman) ditentukan oleh hiegenisnya makanan tersebut. Selain itu, kesesuaian dengan keadaan fisik orang yang mema­kannya. Dalam konteks manna dan salwa, Allah telah menegaskan bahwa kedua jenis makanan itu termasuk dalam kategori thayyibat.

Apakah Bani Israil puas dan kemudian mensyukuri nikmat itu? Rupanya tidak. Mereka tidak bersyukur dan tetap mem­bangkang terhadap Nabi Musa. Pada ayat 61 surat al-Baqarah, dinyatakan bahwa mereka merasa bosan dengan ma­­­kanan manna dan salwa. Mereka me­­minta yang lain berupa sayuran, ketimun, bawang putih, kacang adas dan bawang merah yang bisa dikonsumsi sewaktu mereka berada di Mesir.

 

وَإِذۡ قُلۡتُمۡ يَـٰمُوسَىٰ لَن نَّصۡبِرَ عَلَىٰ طَعَامٍ۬ وَٲحِدٍ۬ فَٱدۡعُ لَنَا رَبَّكَ يُخۡرِجۡ لَنَا مِمَّا تُنۢبِتُ ٱلۡأَرۡضُ مِنۢ بَقۡلِهَا وَقِثَّآٮِٕهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِہَا وَبَصَلِهَا‌ۖ

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, mami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah untuk ka­mi kepada Tuhanmu, agar Dia me­ngeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayur, ketimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah”.  (Qs. Al-Baqarah/2: 61)

 

Allah tidak pernah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang dengan se­gala dosa, pembangkangan dan ke­som­bongan serta tidak dapat bersyukur, yang semuanya itu membuat mereka menganiaya diri sendiri. Wallahu a’lam.

 

Tim Redaksi

Sumber: Tafsir At-Tanwir  MTT-PPM

 

banner 468x60