banner 728x90

Ramadhan, Metode Rukyat-Hisab

Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 185
(Bagian 2)

 

 

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ  -١٨٥

 

  1. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu adadi bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allahatas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.

 

Cara Mengetahui Masuknya Bulan Ramadhan

Hal penting terkait ayat puasa ini adalah masalah bagaimana cara mengetahui masuknya bulan Ramadhan untuk memulai ibadah puasa. Dalam ayat di atas tidak ada penegasan tentang itu. Penegasan mengenai hal tersebut disebutkan di dalam Sunnah Nabi SAW, yaitu antara lain dua Hadis berikut:

1Dari Abdullāh Ibn Umar ra- tafsir 185

Dari ‘Abdullāh Ibn ‘Umar ra (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika ia terhalang oleh awan di atasmu, maka estimasikanlah [HR Muslim].[1]

Dari Abu Hurairah ra -tafsir 185

Dari Abu Hurairah ra (diriwayatkan) bahwa Nabi saw bersabda: Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan beridulfitrilah karena melihat hilal pula; jika hilal terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangannya [H.R. Muslim].[2]

 

Rukyat atau Hisab

Menurut kedua Hadis di atas, penentuan masuknya Ramadhan dan Syawal adalah dengan melakukan rukyat. Itulah mengapa kebanyakan kaum Muslimin berpegang kepada rukyat dalam penentuan awal bulan-bulan ibadah.

Akan tetapi, untuk zaman sekarang di mana keberadaan umat Islam telah menyebar di seluruh penjuru bola bumi yang bulat ini bahkan sampai ke pulau-pulau terpencil di Samudra Pasifik, penggunaan rukyat menimbulkan banyak problem. Pertama, rukyat terbatas cakupannya di muka bumi, dalam arti pada visibilitas pertama rukyat tidak dapat mencakup seluruh kawasan dunia; ia hanya mencakup sebagian muka bumi saja, sehingga berakibat ada bagian muka bumi (sebelah barat) yang sudah dapat melihat hilal pada sore tertentu dan mulai bulan baru pada malam itu dan keesokan harinya, dan ada pula bagian muka bumi yang belum dapat melihat hilal dan akan memulai bulan baru lusa.

Akibatnya, terjadi perbedaan memulai bulan baru. Di zaman Nabi SAW, penggunaan rukyat tidak menimbulkan masalah karena pada zaman itu sebaran umat Islam masih terbatas di Jazirah Arab, belum meluas ke bagian dunia lainnya, sehingga terlihat dan tidak terlihatnya hilal di jazirah Arab tidak membawa dampak kepada kawasan lain karena belum ada umat Islam di tempat itu.

Kedua, kawasan dunia yang terletak pada lintang tinggi, di mana siang pada musim panas dan malam pada musim dingin lebih dari 24 jam, tidak dapat melakukan rukyat secara normal dan hilal akan terlihat terlambat, yakni ketika usia bulan sebenarnya sudah lebih tua.

Ketiga, rukyat tidak bisa memberikan kepastian tanggal jauh ke depan karena dengan rukyat tanggal yang pasti untuk bulan baru hanya bisa diketahui sehari sebelumnya (h-1).

Keempat, penggunaan rukyat dapat menga­kibatkan orang yang bepergian lintas negara dalam bulan Ramadhan dan mengakhiri Ramadhan di negara tujuan hanya berpuasa 28 hari.

Kelima, dengan rukyat tidak bisa dibuat kalender yang akurat dan eksak (pasti) karena kalender menghendaki penjadwalan tanggal jauh hari ke depan, sementara rukyat tidak bisa meramal tanggal jauh ke depan. Padahal, bagi kita dalam kehidupan sehari-hari, kepastian tanggal itu sangat penting agar kita dapat menyusun dan merencanakan kegiatan kita secara tepat dan baik.

Itulah mengapa peradaban Islam sampai hari ini tidak mampu membuat kalender pemersatu seluruh dunia karena kuatnya umat Islam berpegang kepada rukyat yang tidak memungkinkan membuat kalender, walaupun usia peradaban ini hampir 1.500 tahun.

Keenam, rukyat tidak bisa menyatukan jatuhnya hari Arafah secara serentak di seluruh kawasan dunia karena keterbatasan cakupan rukyat di muka bumi dan hari Arafah adalah hari ibadah yang waktu pelaksanaannya terkait dengan peristiwa wukuf di Arafah (Makkah).

Hanya dengan menggunakan hisab, peluang penyatuan jatuhnya hari Arafah secara serentak di seluruh dunia dapat dilakukan.

Oleh karena itu, jalan satu-satunya untuk menyatukan sistem penanggalan Islam termasuk penentuan awal bulan-bulan ibadah adalah hisab. Atas dasar itu, tuntutan untuk menggunakan hisab semakin menguat sejalan dengan semakin tumbuhnya kesadaran atas tidak memadainya lagi rukyat pada masa kini sebagai metode untuk menetapkan awal bulan-bulan Islam.

Jadi, dapat ditegaskan bahwa peralihan kepada hisab merupakan suatu tuntutan yang tidak mungkin ditawar lagi. Peralihan dari rukyat ke hisab itu bukan suatu yang bertentangan dengan sunnah. Justru sebaliknya memiliki landasan syar’i dan ilmiah yang kuat.

 

Alasan Penggunaan Hisab

Di antara alasan beralih dari rukyat kepada hisab adalah:

  1.  adanya sejumlah kelemahan penggunaan rukyat pada masa kini sebagaimana dikemukakan terdahulu,
  2.  perlunya kita menyatukan kalender Islam dan secara khusus perlunya menyatukan jatuhnya hari Arafah serentak di seluruh dunia agar kita dapat melaksanakan ibadah tepat pada momen yang sesungguhnya, yang itu hanya dapat dilakukan dengan hisab,
  3.  melakukan rukyat bukan ibadah, melainkan hanya sebagai sarana belaka yang bisa berubah dari satu zaman ke zaman lain,[3]
  4.  perintah Nabi SAW untuk melakukan rukyat itu adalah perintah berilat (perintah yang disertai dengan kausa),
  5.  Penggunaan hisab juga memiliki landasan syar‘i baik di dalam al-Qur’an maupun di dalam Hadis.

Perintah syar‘i yang disertai ilat (kausa) berlaku selama kausa itu ada. Apabila kausanya sudah tidak ada, perintah itu tidak berlaku lagi sesuai dengan kaidah, “Hukum itu berlaku menurut ada tidaknya ilat.”[4] Ilat (kausa) perintah rukyat diterangkan dalam Hadits Ibn ‘Umar berikut,

Dari Ibn ‘Umar, dari Nabi SAW (diwartakan) bahwa beliau bersabda: Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari [HR al-Bukhari dan Muslim].[5]

Ini artinya bahwa, Nabi SAW memerintahkan rukyat karena itulah sarana mudah yang tersedia pada zaman itu. Ketika zaman berubah, di mana kemajuan ilmu astronomi telah berkembang pesat seperti pada zaman sekarang, maka rukyat, karena tidak memadainya, dapat ditinggalkan dan kita beralih kepada hisab karena ia dapat memenuhi kebutuhan kita zaman sekarang.

Perubahan hukum dari semula menggunakan rukyat kemudian beralih kepada penggunaan hisab adalah sah sesuai dengan kaidah perubahan hukum, yang menyatakan,

Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.[6]

Menurut kaidah ini, hukum dapat berubah apabila syarat-syarat perubahan itu dipenuhi, yaitu:
a).    adanya tuntutan kemaslahatan untuk berubah, yang berarti bahwa apabila tidak ada tuntutan dan keperluan untuk berubah, maka hukum tidak dapat diubah;
b.    hukum itu tidak mengenai pokok ibadah mahdah, melainkan di luar ibadah mahdhah, yang berarti ketentuan-ketentuan ibadah mahdah tidak dapat diubah karena pada dasarnya hukum ibadah itu bersifat tidak tegas makna;
c.    hukum itu tidak bersifat qath’i (pasti); apabila hukum itu qath’i, maka tidak dapat diubah seperti ketentuan larangan makan riba, makan harta sesama dengan jalan batil, larangan membunuh, larangan berzina, wajibnya puasa Ramadhan, wajibnya shalat lima waktu, dan sebagainya;
d.    perubahan baru dari hukum itu harus berlandaskan kepada suatu dalil syar’i juga, sehingga perubahan hukum itu tidak lain adalah perpindahan dari suatu dalil kepada dalil yang lain.[7]

Keempat syarat perubahan hukum, sebagaimana dikemukakan di atas, sesungguhnya telah terpenuhi untuk me­lakukan perubahan hukum dari peng­gunaan rukyat kepada penggunaan hisab.

Pertama, kenyataan tidak adanya kalender global hijriah, tidak dapatnya rukyat mencakup seluruh umat Islam di semua penjuru dunia, dan terjadinya perbedaan jatuhnya hari Arafah berbeda antara Makkah dan kawasan lain di timur atau di barat bumi pada tahun tertentu akibat penerapan rukyat, dan perlunya kepastian penentuan tanggal jauh hari sebelumnya, se­mua ini mengharuskan kita beralih kepada hisab demi mengatasi semua problem tersebut.

Kedua, rukyat hanyalah sarana untuk menentukan waktu dan bukan ibadah itu sendiri. Oleh karena itu sarana dapat saja berubah demi mencapai tujuan pokok secara lebih efektif.[8]

Ketiga, perintah melakukan rukyat bukanlah perintah yang qath’ī, karena perintah itu berdasarkan kepada Hadis ahad. Dalam kaidah ilmu Hadis dan usul fikih, Hadis ahad tidak menimbulkan pengetahuan pasti (qath’i), melainkan menimbulkan hukum yang tidak pasti (zhanni).[9]  Oleh ka­rena hukum menggunakan rukyat itu bukan hukum yang qath’i, maka ia tidak kebal terhadap kemungkinan diadakan perubahan.

Keempat, penggunaan hisab sebagai hukum hasil perubahan mendapatkan dasar-dasarnya di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

 

Landasan Syar’i Hisab

Penggunaan hisab memiliki landasan syar’i dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw, antara lain:

a)    Surah ar-Rahman [55]: 5 dan surah Yunus [10]: 5.

ٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُ بِحُسۡبَانٍ۬ -٥

Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan (Qs. ar-Rahman [55]: 5).

 

هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ ٱلشَّمۡسَ ضِيَآءً۬ وَٱلۡقَمَرَ نُورً۬ا وَقَدَّرَهُ ۥ مَنَازِلَ لِتَعۡلَمُواْ عَدَدَ ٱلسِّنِينَ وَٱلۡحِسَابَ‌ۚ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ ذَٲلِكَ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ‌ۚ يُفَصِّلُ ٱلۡأَيَـٰتِ لِقَوۡمٍ۬ يَعۡلَمُونَ -٥

Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya bagi bulan itu manzilah-manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui (Qs. Yunus [10]: 5).
Kedua ayat ini menunjukkan bahwa bulan dan matahari memiliki sistem peredaran yang ditetapkan oleh Sang Pencipta sedemikian rupa sehingga peredaran itu dapat dihitung. Penegasan bahwa peredaran matahari dan bulan dapat dihitung bukan sekedar informasi belaka, melainkan suatu isyarat agar dimanfaatkan untuk penentuan bilangan tahun dan perhitungan waktu secara umum.

b)    Surah Yasin [36]: 39-40,

وَٱلۡقَمَرَ قَدَّرۡنَـٰهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَٱلۡعُرۡجُونِ ٱلۡقَدِيمِ -٣٩

لَا ٱلشَّمۡسُ يَنۢبَغِى لَهَآ أَن تُدۡرِكَ ٱلۡقَمَرَ وَلَا ٱلَّيۡلُ سَابِقُ ٱلنَّہَارِ‌ۚ وَكُلٌّ۬ فِى فَلَكٍ۬ يَسۡبَحُونَ -٤٠

Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya (Qs. Yasin [36]: 39-40).
Ayat ini dapat dipahami mengandung dalalah isyarah bahwa awal bulan ditandai dengan (1) telah terjadi ijtimak, (2) ijtimak itu terjadi sebelum gurub, dan (3) saat gurub matahari, bulan masih di atas ufuk.

c)    Hadits Ibn ‘Umar ra.

 

4Dari Abdullah Ibn Umar ra (diriwayatkan bahwa)

Dari ‘Abdullah Ibn ‘Umar ra (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridul fitrilah! Jika bulan di atasmu terhalang oleh awan, maka estimasikanlah (HR. al-Bukhari dan Muslim).[10]
Ada tiga penafsiran terhadap Hadits ini. Pertama, jumhur ulama berpendapat bahwa makna faqduru lahu adalah ‘maka estimasikanlah bulan berjalan itu 30 hari.’[11]

Kedua, ulama-ulama Hanbali mengatakan faqduru lahu berarti qaddiruhu tahta as-sahab (‘anggaplah ia berada di bawah awan), artinya anggaplah ia terlihat, sehingga keesokan harinya adalah bulan baru. Dengan kata lain, apabila ada awan yang menghalangi terlihatnya hilal pada hari ke-29 (malam ke-30), maka pendekkanlah bulan berjalan dan mulailah bulan baru keesokan harinya. Alasannya adalah bahwa kata qadara – yaqduru / yaqdiru itu berarti ‘menyempitkan’ seperti dalam firman Allah (Qs. [89]: 16), fa qadara ‘alaihi rizqahu (‘… lalu Allah menyempitkan rezekinya’).[12] Atas dasar itu, faqduru dalam Hadis Ibn ‘Umar di atas dimaknai menyempitkan bulan berjalan, yaitu menjadikannya 29 hari saja.[13]

Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa makna faqduru lahu adalah lakukanlah perhitungan hisab. Pendapat ini diikuti oleh Ibn Suraij dan para penganut hisab lainnya.[14]
Jadi, pendapat ketiga mengenai tafsir Hadis ini memberi peluang penggunaan hisab. Bahkan, penggunaan hisab dalam Hadis ini dapat diperluas, tidak hanya saat tertutup awan, tetapi juga dapat diperluas ke dalam semua keadaan, karena kebutuhan kita untuk menyatukan jatuhnya hari ibadah kita menuntut perluasan penafsiran itu.

 

Hisab dan Penentuan Hari Arafah

 

Peralihan dari rukyat kepada hisab harus kita akui dengan rendah hati. Ini bukan soal mazhab, tetapi adalah kenyataan alam yang harus kita atasi demi mewujudkan kesatuan sistem kalender Islam yang mustahil dibuat berdasarkan rukyat dan demi menyatukan jatuhnya hari Arafah agar kita dapat melaksanakan ibadah kita tepat pada momen sebenarnya.

Penggunaan hisab bukan berarti pengingkaran terhadap Hadis-Hadis Nabi SAW yang memerintahkan rukyat, melainkan hanya menarjih (menguatkan) salah satu maknanya yang mungkin dan memperluas makna yang ditarjih itu.

Salah satu makna yang mungkin itu adalah makna faqduru lahu yang dapat ditafsirkan dengan hisab. Kemudian makna hisab disitu diperluas sehingga mencakup seluruh keadaan, tidak hanya saat ada awan.

Mengapa kita harus menarjih dan memperluas makna yang ditarjih itu sehingga mencakup seluruh keadaan, adalah karena tuntutan realitas alam dan kebutuhan kita untuk dapat menyatukan hari-hari ibadah kita dan membuat satu penanggalan Islam pemersatu.

 

Kemudahan Bukan Kesukaran

Mari kita kembali kepada tafsir ayat 185. Potongan terakhir ayat ini berbunyi, Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran atasmu, serta (menghendaki) agar kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk yang dianugerahkan-Nya kepadamu, dan agar kamu bersyukur. Potongan ini mengandung empat penegasan yang sekaligus argumen atas perintah dan berbagai ketentuan puasa yang telah disebutkan:
1.    Allah menghendaki kemudahan bagi manusia sebagai prinsip agama, sehingga oleh karena itu apabila ada kesukaran dalam menjalankan agama diberi kemudahan seperti orang sakit atau dalam perjalanan diberi kemudahan untuk tidak berpuasa, tetapi diganti pada hari lain.
2.    Allah menghendaki agar bilangan puasa Ramadhan itu dipenuhi baik selama Ramadhan itu sendiri bagi yang tidak berhalangan maupun dengan mengganti pada hari yang lain bagi yang berhalangan memenuhinya di bulan Rama­dhan.
3.     Allah menghendaki agar asma-Nya diagungkan atas petunjuk yang telah diberikan-Nya, dan salah satu wujudnya adalah, walaupun tidak terbatas pada, melakukan takbir saat berakhirnya bulan Ramadhan itu.
4.    Allah menghendaki dengan melaksanakan puasa secara penuh dan mengagungkan asma-Nya, manusia menjadi orang yang berterima kasih kepada Sang Pemberi nikmat.

Tafsir at-Tanwir melihat bahwa kata depan “li” pada potongan ayat itu adalah tambahan atas obyek (maf‘u pada al-yusr sehingga terjemahnya menjadi, “Allah menghendaki kemudahan … dan (menghendaki) agar kamu mencukupkan bilangannya …” dan seterusnya. Kata depan “li” bisa juga dipandang sebagai lām ta‘līl (kata untuk menunjukkan alasan). Namun, agak sulit diartikan sebagai lam amr (kata menunjukkan perintah), karena kata menunjukkan perintah itu biasanya dibaca sukun dan untuk ayat itu tidak ada riwayat bacaan sukun.
Satu hal perlu dicatat di sini, yaitu ayat ini mengandung salah satu asas agama yang amat penting, ialah asas kemudahan. Asas kemudahan adalah salah satu bentuk konkretisasi dari salah satu nilai dasar fundamental syariah, yaitu kemaslahatan. Nilai dasar ini oleh para filosof syariah disimpulkan dari firman Allah bahwa Nabi SAW diutus untuk menjadi rahmat bagi alam semesta (Qs [21]: 107). Apabila orang menghadapi kesulitan, maka sebagai wujud dari nilai dasar kemaslahatan orang itu diberi kemudahan.
Asas kemudahan ini mendapat penegasan di banyak tempat dalam Al-Qur’an sendiri dan dalam Sunnah Nabi SAW. Antara lain:
1.    Dalam surat firman Allah, Allah tidak ingin membuat kesulitan atas kamu (Qs [5]: 6; dan [22]: 7).
2.    Dalam firman Allah, Sesung­guhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan (Qs. [94]: 5-6).

Selain itu juga ditegaskan dalam beberapa Hadis,
1.    Sabda Nabi saw,

5-Dari Abu Hurairah - buhari nasai

Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Agama itu adalah kemudahan, dan barang siapa mempersulitnya, ia tidak akan mampu melaksanakannya. Oleh karena itu bersikaplah dalam agama itu yang betul, dekatkanlah, gembirakanlah, mudahkanlah, dan lakukan di saat pagi, sore atau sebagian malam (HR al-Bukhari dan an-Nasa’i, ini lafal an-Nasa’i).

  1.  Hadits Nabi saw,

dari anas bin malik

Dari Anas Ibn Malik, dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Mudahkanlah dan jangan mempersulit; gembirakan dan jangan membencikan [HR al-Bukhari].

  1.  Sabda Nabi saw,

Dari Jabir Ibn Abdullah -muslim

Dari Jabir Ibn ‘Abdullah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah tidak mengutusku untuk mempersulit dan mencari-cari kesulitan, tetapi mengutusku sebagai pendidik dan pembawa kemudahan [HR Muslim].

Dari ayat-ayat di atas termasuk ayat 185 yang sedang ditafsirkan serta dari Hadis-Hadis sebagaimana dikutip di muka, para ulama Islam merumuskan satu asas agama yang merupakan turunan dari nilai dasar Islam sendiri (nilai dasar kemaslahatan). Asas agama dimaksud adalah kaidah, “Kesukaran membawa kemudahan.”[15]

Tujuan agama adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, dan salah satu perwujudan kemaslahatan itu adalah adanya kemudahan-kemudahan bagi manusia termasuk dalam menjalankan agama itu sendiri. Oleh karena itu pelaksanaan agama dalam bentuk yang menyulitkan, keras dan bersifat ektrim tidak sesuai dengan prinsip ini. Wallahu a’lam.

 

Catatan akhir:

[1] Muslim, Sahih Muslim, I: 481, hadis no. 8 [1080], “Kitab as-Siyam,” dari Ibn ‘Umar.

 

[2] Ibid.,  I: 482, no. 17 [1081], “Kitab as-Siyam,” dari Abu Hurairah.

 

[3] Rida, Tafsir al-Manar, II: 151-152; az-Zarqa, Fatawa az-Zarqa (Damaskus: Dar al-Qalam – Beirut: Dar asy-Syamiyyah, 1425/2004), 161-162).
[4] Ibn al-Qayyim, I‘lam al-Muwaqqi‘in ‘an Rabb al-‘Alamin (Beirut: Dar al-Fikr li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 1424/2003), II: 394.

[5 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, h. 346, hadis no. 1913; Muslim, Sahih Muslim, I: 482, hadis no. 15 [1080].

[6] Zarqa, al-Madkhal al-Fiqhi al-‘Amm, edisi diperbaharui (Damaskus: Dar al-Qalam dan Beirut: ad-Dar asy-Syamiyyah, 1418/1919), II: 1009.

[7] Syamsul Anwar, “Metode Usul Fikih untuk Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-hadis Rukyat,” Tarjih, Vol. 11 (1) 1434 H / 2013 M, h. 118).

[8] Rida, “Penetapan Bulan Ramadhan,” h. 88; dan Syah, al-Hisabat al-Falakiyyah, h. 125.

[9] Al-Gazzali, al-Mustasfa, h. 187.

[10] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, h. 344, Hadis no. 1900; Muslim, Sahih Muslim, I: 481, hadis no. 8 [1080].

[11] Ibn Qudamah, al-Mugni, edisi ‘Abdullah Ibn ‘Abd al-Muhsin at-Turki dan ‘Abd al-Fattah Muhammad al-Hilw (Riyad: Dar ‘Alam al-Kutub li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘,1417/ 1997), IV: 331.

[12] Lihat Qs. [13]: 26; [17]: 30; [28]: 82; [29]: 62; [30]: 37; [34]: 36 dan 39; [39]: 52; [42]: 12; [65]: 7.

[13] Ibn Qudamah, al-Mugni, IV: 331-332.

 

[14] Asy-Syirazi, al-Muhazzab fī Fiqh al-Imam asy-Syafi‘i, edisi Muhammad az-Zuhaili (Damaskus–Beirut: Dar al-Qalam–ad-Dar asy-Syamiyyah, 1414/1992), II: 596-597.

 

[15] As-Sayuti, al-Asybah wa an-Naza’ir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403/1983), h. 7; Ibn Nujaim,  al-Asybah wa an-Naza’ir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1419/1999), h. 7.

 

 

sumber: Tafsir Tahlily, disusun oleh MTT PPM, naskah awal disusun oleh Prof Dr H Syamsul Anwar.

banner 468x60