banner 728x90

Falsafah, Makna dan Prinsip Ibadah

A. Falsafah Ibadah: Kenapa kita (harus) beribadah?

Seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini dicipta dan dipelihara (rububiyyatullâh), dimiliki dan dikuasai secara mutlak oleh Allah SWT (mulkiyyatullâh).

Tentang penciptaan dan pemeliharaan tersebut, Allah SWT berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah/2: 21)

إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhan (Pencipta & Pemelihara)-mu, maka sembahlah Aku.”(QS. Al-Anbiyâ’/21: 92)

Sebagai Yang Mencipta, tentu Dia-lah yang paling tahu tentang apa yang terbaik dan apa yang terburuk bagi ciptaan-Nya.

Tentang pemilikan dan penguasaan Allah terhadap segala sesuatu, Allah berfirman:

وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الْأُمُورُ

Kepunyaan Allahlah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allahlah dikembalikan segala urusan. (QS. Ali Imrân/3: 109)

Sebagai milik Allah, maka –suka atau tidak suka—semuanya pasti dikembalikan dan berserah diri kepada Allah SWT:

وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ

“…kepada-Nya-lah berserah diri siapa saja yang ada di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (QS. Ali ‘Imrân/3: 83)

وَلِلَّهِ غَيْبُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.”(QS. Hûd/11: 123)

Sengaja Allah SWT memilih kalimat pasif: dikembalikan karena memang semua persoalan tanpa kecuali, pasti akan dikembalikan atau dipaksa untuk kembali kepada Allah Sang Pemilik & Sang Penguasa (al-Malik). Atas dasar inilah sehingga tidak ada pilihan lain bagi manusia kecuali berserah diri secara mutlak kepada Allah SWT. Dan atas dasar ini pula, manusia tidak dibenarkan memisahkan aktivitas hidupnya, sebagian untuk Allah dan sebagiannya lagi untuk yang lain. Semuanya harus total dipersembahkan hanya kepada Allah SWT:

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

“Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Pemelihara alam semesta.“ (QS. Al-An‘âm/6: 162)

Selain itu, Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna (QS. Al-Tîn/95: 4) dan paling dimuliakan Allah dengan memberinya berbagai kelebihan dibanding makhluk yang lain (QS. Al-Isra’/17: 70). Penciptaan dan pemuliaan Allah terhadap manusia dengan memberikan fasilitas yang lebih berupa akal dan nurani, tentunya bukan tanpa tujuan. Karena itu Allah SWT memberikan pertanyaan reflektif kepada manusia:

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُوْنَ

“Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian hanya sia-sia dan mengira bahwa kalian tidak kembali kepada Kami?!” (QS. Al-Mu’minûn/23: 115)

Sengaja Allah merangkai dua pertanyaan dalam satu ayat tentang tujuan penciptaan manusia secara sempurna oleh Allah SWT, dan tentang kemana tempat kembali terakhir kita kalau bukan kepada Allah SWT, dengan maksud mengajak kita untuk berpikir dan merenung tentang tujuan penciptaan manusia. Tentu ada tujuan Allah untuk semua itu.

Allah menciptakan manusia lengkap dengan berbagai kelebihan dimaksudkan karena Allah akan memberikan tugas mulia kepada manusia yakni menjadi khalifah Allah di bumi (QS. Al-Baqarah/2: 30) yang bertugas memakmurkan bumi ini (QS. Hûd/11: 61). Untuk melaksanakan tugas kekhalifahan dengan baik maka tidak bisa tidak kecuali harus didasarkan pada semangat pengabdian (ibadah) yang murni hanya karena Allah SWT semata. Untuk itulah Allah SWT berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat/51: 56; Lihat juga QS. Al-Bayyinah/98: 5).

Dengan beribadah kepada Allah SWT maka manusia bisa menjadi manusia yang bertaqwa. Firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

“Hai manusia, sembahlah (beribadahlah) kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah/2: 21).

Hanya dengan bekal taqwa, seseorang akan mampu memfungsikan dirinya sebagai hamba Allah (‘abdu-llâh) dan khalifah Allah (khâlifatu-llâh) di muka bumi sehingga ia mampu menyelesaikan tugas kekhalifahannya dengan baik ketika di dunia untuk kemudian dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT di akhirat kelak.

 

B. Makna Ibadah

Makna atau definisi ibadah menurut Muhammadiyah adalah:

التَّقَرُّبُ إِلَى اللهِ بِامْتِثَالِ أََوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ وَالْعَمَلِ بِمَا أَذِنَ بِهِ الشَّارِعُ

Mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta mengamalkan apa saja yang diperkenankan oleh-Nya.” (Himpunan Putusan Tarjih, hlm. 276)

 

 

C. Pembagian Ibadah

Ditinjau dari segi ruang lingkupnya, ibadah dibagi menjadi dua bagian:

  1. `Ibâdah khâshshah (ibadah khusus), yaitu ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan oleh nash, seperti: shalat, zakat, puasa, haji, dan semacamnya.
  2. `Ibâdah `âmmah (ibadah umum), yaitu semua perbuatan baik yang dilakukan dengan niat karena Allah SWT. semata, misalnya: berdakwah, melakukan amar ma`ruf nahi munkar di berbagai bidang, menuntut ilmu, bekerja, rekreasi dan lain-lain yang semuanya itu diniatkan semata-mata karena Allah SWT dan ingin mendekatkan diri kepada-Nya.

 

D. Prinsip Ibadah

Supaya manusia bisa diterima amalan ibadahnya oleh Allah SWT dan selamat ketika dipanggil kembali untuk bertemu dengan Allah, maka ada 6 prinsip ibadah yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam beribadah. Dari keenam prinsip tersebut bisa diperas ke dalam satu prinsip utama yaitu: Ibadah harus sesuai dengan tuntunan. Allah SWT berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْ لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barangsiapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah mengerjakan amal shalih dan ia jangan mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.”(QS.Al-Kahfi/18: 110)

Arti kata shâlih adalah baik karena sesuai. Seseorang dikatakan beramal shaleh bila dalam beribadah kepada Allah sesuai dengan cara yang disyari`atkan Allah melalui Nabi-Nya, bukan dengan cara yang dibuat oleh manusia sendiri. Syarat ibadah yang dikatakan sesuai dengan tuntunan Allah melalui Rasul-Nya adalah:

 

1. Dilakukan secara ikhlas;

yakni murni hanya menyembah kepada Allah semata (QS. Al-Fâtihah/1: 5; Al-Nisâ’/4: 36; al-Bayyinah/98: 5; al-An’âm/6: 162) dan murni hanya karena mengharap ridla-Nya.

Keikhlasan harus ada dalam seluruh ibadah, karena keikhlasan inilah jiwa dari ibadah. Tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin ada ibadah yang sesungguhnya. Beribadah secara ikhlas didasarkan pada firman Allah SWT:

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

“Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Pemelihara alam semesta.“ (QS. Al-An‘âm/6: 162)

Bahkan, ibadah tanpa diserati dengan keikhlasan maka tidak akan diterima oleh Allah SWT. Hal ini karena Nabi saw pernah menyatakan bahwa setiap perbuatan itu tergantung pada niatnya (Muttafaq ‘alayh). Demikian pula hadis Nabi saw yang lain yang berbunyi:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

“Allah tidak menerima amalan kecuali dikerjakan dengan ikhlas dan hanya mencari ridla-Nya.” (HR. Al-Nasâ`i)

Berdasarkan dalil di atas bahwa hanya ibadah yang dilakukan secara ikhlas saja yang akan diterima oleh Allah SWT. Sedangkan ibadah yang dilakukan secara tidak ikhlas, seperti karena riya’ (baca: ingin dilihat dan mendapat pujian/penghargaan dari selain Allah), meskipun itu baik, maka tidak akan punya nilai apa-apa di hadapan Allah, bahkan bisa mendapatkan kecelakaan (QS. Al-Mâ‘ûn/107: 4-7).

 

2. Tata caranya harus sesuai Tuntunan Allah dan Rasul-Nya

Dalam hal shalat, Nabi Muhammad saw. bersabda:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي — رواه البخاري

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari, dari Malik bin Al-Huwairits)

Nabi Muhammad saw telah mengajarkan tentang tata cara shalat secara lengkap melalui hadis-hadisnya yang maqbûl, dari sejak niat yang tidak dilafalkan, bagaimana gerakan dan bacaan shalat sejak takbir hingga salam, berapa jumlah raka`at, kapan saja waktu-waktu shalat, dan lain-lain. Dalam masalah ibadah mahdlah (khusus) yang sudah jelas ada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh ada hasil kreasi pemikiran manusia yang boleh masuk di dalamnya, kecuali menunggu perintah atau tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Ketika seseorang melakukan shalat sebagai bagian dari ibadah mahdlah tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya maka ada dua akibat yang akan terjadi, yakni:

Pertama: Ibadahnya ditolak. Nabi saw bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengadakan sesuatu dalam perkara kami ini yang tidak ada tuntunan (Islam) di dalamnya maka ditolak.” (Muttafaq ‘alayh)

 

Kedua: Divonis bid’ah, sesat dan masuk neraka. Nabi Muhammad saw memperingatkan dengan sabdanya:

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة

رواه مسلم وابن ماجة وأحمد والدارِمى. — و فى لفظ النسائى: وَكُلُّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ –

“Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah Kitabullah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik bimbingan, adalah bimbingan Muhammad, sedang sejelek-jelek perkara adalah mengada-ada padanya, dan setiap bid`ah (penyimpangan dengan mengada-ada) adalah sesat.” (HR. Muslim, Ibn Majah, Ahmad & Darimi) Dalam redaksi Al-Nasa’i: “… dan setiap yang sesat, di neraka.”

Hadis ini dimaksudkan sebagai peringatan agar orang tidak mudah melakukan penyimpangan (bid`ah) dalam masalah ibadah mahdlah.

Itulah sebabnya para ulama menyusun sebuah kaidah ushul dalam hal ibadah:

الأصل في العبادات الحظر إلا ما ورد عن الشارع تشريعه

“Prinsip asal dalam masalah ibadah itu dilarang kecuali terdapat dalil dari Allah (al-Syâri’) yang mensyari’atkannya”

 

Narasumber utama artikel ini:

Syakir Jamaluddin

banner 468x60