banner 728x90

Sabar Musibah Syukur Ni’mah

 

Pembaca yang Budiman!

Bagi seorang mukmin, peristiwa dan situasi apapun yang dialami mestilah dihadapi dengan positif. Pikiran seorang mukmin akan menuntun untuk melihat setiap peristiwa dan situasi itu dari sisi positif. Peristiwa apapun yang telah atau sedang dialaminya pasti diterima dan dihadapi dengan baik, serta tanpa mengeluh. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan apabila hal itu akan diperlakukannya sebagai suatu peristiwa terbaik yang harus dialami.

Sikap demikian itu sejatinya diinspirasi oleh sebuah hadits Nabi Muhammad SAW. Dari Abdurrahman bin Abu Laila, dari Shuhaib berkata; Rasulullah SAW bersabda: “menakjubkan sekali sifat-sifat orang mukmin. Tidak ada sifat yang seperti itu kecuali pada orang mukmin: sesungguhnya setiap urusan dan situasi yang dihadapi baik baginya. Apabila mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, dan akibatnya baik baginya. Apabila mendapatkan kesulitan atau musibah, ia akan bersabar, dan akibatnya baik baginya” [HR. Muslim HN 5318].

Dalam kesempatan lain, Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita sebuah do’a yang diawali dengan pernyataan: “Ya Allah, aku adalah hamba-Mu; anak dari hamba-Mu laki-laki dan perempuan; ubun-ubunku ada di tangan-Mu; berlaku atasku semua hukum-Mu; adil semua ketetapan-Mu atasku…” Pendahuluan do’a tersebut memberi pelajaran agar kita dapat menerima setiap peristiwa dan situasi apapun yang dialami sebagai suatu hal yang terbaik.

Ketentuan di atas jelas tidak ada pembedaan terhadap suatu kondisi tertentu. Apakah peristiwa dan situasi yang dialami berupa kesulitan atau kemudahan, kesempitan atau kelapangan, kesedihan atau kesenangan, anugerah atau musibah, sesuai yang diinginkan atau tidak, semuanya patut kita terima sebagai suatu hal yang terbaik. Sikap seperti inilah yang menjadi pembeda antara seorang mukmin yang sukses dengan pecundang. Seorang mukmin menghadapi kemudahan dengan bersyukur dan setiap kesulitan atau musibah dihadapi dengan bersabar, sedangkan sikap seorang pecundang adalah sebaliknya.

 

Syukur terhadap Nikmat

Allah SWT sejatinya telah menganugerahkan beragam kenikmatan kepada kita. Kenikmatan tersebut bisa berupa ampunan, kasih sayang, kecukupan, petunjuk, rezeki, kesehatan, kemudahan, kelapangan, kebahagiaan, kebaikan hubungan dengan orang lain, dan bentuk-bentuk lainnya. Sebagai seorang mukmin kita wajib memahami dan mengerti betul setiap nikmat yang telah Allah berikan. Dengan demikian, kita akan selalu mensyukuri setiap nikmat yang telah diberikan-Nya.

Orang yang berpikiran positif akan merespons setiap kenikmatan yang Allah anugerahkan dengan mengucapkan “Alhamdulillah” secara tulus. Tidak hanya itu, ucapan tersebut juga harus diiringi dengan tindakan, yaitu memanfaatkan segala nikmat yang diperoleh untuk hal-hal yang dicintai Allah. Sebagai contoh misalnya tentang rezeki. Kita wajib mensyukuri berapapun rezeki yang diterima. Apabila jumlahnya sedikit, kita tetap wajib bersyukur karena Allah masih memberikan rezeki. Dalam keadaan seperti ini, kita memohon kepada Allah agar rezeki yang sedikit itu bisa barakah dan dicukupkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kita tidak perlu “silau” atau “iri hati” dengan rezeki yang diperoleh orang lain, sekalipun usaha yang telah dilakukan jauh lebih keras darinya.

Seseorang yang selalu bersyukur akan membawa keberlimpahan. Hal ini sesuai dengan janji Allah: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu sekalian memaklumkan; sungguh apabila kamu telah bersyukur, pasti akan Aku tambah nikmat kepadamu; tetapi apabila kamu kufur, adzab-Ku amatlah pedih” [QS. Ibrahim: 7]. Ayat ini mengandung arti bahwa syukur merupakan sebuah sikap yang dapat memberikan dampak pada datangnya suatu kenikmatan yang lebih besar. Jika seseorang pandai bersyukur, maka keberlimpahan hidupnya akan semakin dekat. Namun demikian, sayangnya, masih banyak di antara orang mukmin yang kurang pandai bersyukur. Hal ini sebagaimana firman Allah berikut: “amatlah sedikit di antara hamba-Ku yang pandai bersyukur” [QS. Saba’:13].

Dalam pergaulan antar manusia, orang yang pandai berterima kasih atas jasa orang lain pasti mendapatkan tempat istimewa. Pernahkah Anda membawa oleh-oleh untuk sahabat yang berupa barang murah, semisal ikan asin? Jika pernah, apa yang akan Anda rasakan bila oleh-oleh itu diterima dengan tanpa ucapan terima kasih dan/atau bahkan tanpa ekspresi? Secara manusiawi, Anda akan merasa tidak enak hati dan menyesal karena membawa oleh-oleh yang tidak disukainya. Pada titik ini, Anda merasa kapok, dan lain waktu tidak akan membawakan ikan asin lagi.

Lain halnya jika di saat dibawakan ikan asin, sahabat Anda akan bersyukur, berterima kasih dan memberikan ekspresi positif. Sebab ikan asin adalah makanan kegemaran keluarganya yang belum jadi dibeli di pasar. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana perasaan Anda? Tentu Anda akan merasa senang, sebab oleh-oleh itu telah dihargai, sekalipun nilainya tergolong barang murah. Dengan demikian, di lain kesempatan, Anda akan membawakan lagi ikan asin kepadanya.

Peristiwa di atas hanyalah sebagian kecil dari nikmat yang kita peroleh dalam pergaulan antar manusia. Lantas, apa saja nikmat yang telah Allah berikan kepada kita? Terlampau banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. “Dan apabila kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan dapat selesai menghitungnya” [QS. an-Nahl: 18]. Sayangnya, banyak orang tidak mensyukurinya, dan baru menjadi kalang-kabut ketika nikmat itu dicabut oleh-Nya.

Oleh sebab itu, ada baiknya jika kita membiasakan mengindentifikasi segala nikmat yang diperoleh tiap hari, misalnya tentang kesehatan, pekerjaan, hubungan dengan orang lain, maupun juga rezeki yang diperoleh. Sebutkan setiap anugerah nikmat tersebut, dan berterimakasihlah kepada Allah SWT. Di bawah ini adalah beberapa contoh yang dapat kita lakukan untuk selalu mengingat anugerah nikmat yang telah diberikan Allah.

  1. Kesehatan saya hari ini sangat baik. Saya dapat menjalani semua aktivitas yang telah terencana dengan baik. Terima kasih, ya Allah! Alhamdulillah. Perkenankanlah saya tetap hidup sehat pada waktu-waktu selanjutnya;
  2. Saya dapat menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan dengan sangat baik hari ini. Tidak ada satupun pekerjaan yang tertunda. Terima kasih, ya Allah! Alhamdulillah. Bimbing dan mampukanlah saya menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan selanjutnya dengan kualitas yang terbaik;
  3. Hubungan saya hari ini dengan orang lain sangat baik. Hari ini saya telah memberikan manfaat bagi orang lain. Saya telah membantu tetangga yang kesulitan membayar uang sekolah anaknya. Saya tersenyum kepada semua orang yang saya temui hari ini. Saya merasakan hubungan saya dengan orang lain sangat baik. Hari ini saya terhindar dari marah dan menggunjing orang lain. Terima kasih, ya Allah! Alhamdulillah. Ya Allah, bimbinglah saya agar selalu memberikan banyak manfaat bagi orang lain;
  4. Hari ini saya menerima rezeki yang jumlahnya cukup untuk menafkahi keluarga, bersedekah, dan juga Terima kasih, ya Allah! Alhamdulillah. Luaskanlah rezeki saya ya Allah agar dapat ikut berjuang di jalan-Mu dengan harta yang Kau berikan.

Beberapa hal di atas hanyalah sebagian kecil dari contoh syukur nikmat atas anugerah yang telah diberikan Allah kepada kita. Tentu contoh itu masih dapat dikembangkan sesuai dengan nikmat yang Anda peroleh setiap hari. Lakukanlah hal itu setiap hari sebelum tidur. Ucapkan Alhamdulillah, dan bersyukurlah kepada-Nya. Insya Allah Anda akan mendapatkan keajaiban!

 

Bersabar terhadap Kesulitan dan Musibah

Setiap orang pasti pernah mengalami kesulitan dan musibah, sebagaimana ia mengalami kemudahan dan kesenangan. Kesulitan dan kemudahan datang silih berganti. Kesulitan menjadi alasan berjihad dan media uji kesabaran. Keduanya merupakan password masuk surga, sebagaimana firman Allah: “Apakah kamu sekalian mengira akan dapat masuk surga, padahal belum teruji siapa-siapa di antara kamu sekalian yang berjihad dan siapa-siapa yang bersabar” [QS. ali-Imran: 142].

Apapun kesulitannya, baik kecil atau besar, Allah telah membekali manusia dengan potensi luar biasa yang bisa diaktualisasikan untuk mengatasi kesulitan jenis apapun. Manusia terhebat yang ada di dunia saat ini, potensi DNA-nya baru termanfaatkan tidak lebih dari 10%. Masih lebih banyak lagi DNA yang belum “dinyalakan”. Allah telah mengukur kemampuan setiap manusia dan memberinya potensi yang sangat besar. Dengan demikian, kesulitan merupakan daya rangsang yang telah diberikan Allah untuk “menyalakan” potensi diri yang belum dapat termanfaatkan secara optimal. Dalam al-Qur’an, Allah berfirman: “Tidaklah Allah membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya” [QS. al-Baqarah: 286].

Orang berpikiran positif selalu menerima kesulitan yang dihadapi sebagai bagian dari ujian Allah untuk meningkatkan derajat dan memberinya kemudahan. Tidak ada orang yang sukses tanpa kesulitan! Justru kesulitan-kesulitan itulah yang mengantarkannya menjadi sukses. Allah menguji kita dari kesulitan yang kecil hingga besar. Seorang mukmin yang sukses akan berjihad dalam mengatasi kesulitan demi kesulitan, dan tetap bersabar selama kesulitan itu berlangsung. Jihad seorang mukmin diaktualisasikan dalam bentuk kerja keras dan kerja cerdas untuk mengatasi setiap kesulitan yang menghadang. Sabar diaktualisasikan dalam sikap ikhlas, ulet dan pantang menyerah dalam menghadapi segala resiko sampai segala kesulitan tersebut teratasi dengan baik.

Seorang mukmin yakin jika di balik setiap kesulitan yang dihadapinya selalu ada kenaikan derajat dan kemudahan. “Man jadda wajada”, siapapun yang bersungguh-sungguh, akan mendapatkan. Allah telah mengatur bahwa setiap kesulitan selalu diikuti dengan kemudahan. Hal ini sebagaimana firman berikut: “fa inna ma’al ‘ushri yusra, inna ma’al ‘ushri yusra”, artinya “maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sungguh bersama kesulitan ada kemudahan” [QS. as-Syarh: 5 – 6].

Dengan demikian, semakin besar kesulitan yang telah berhasil diatasi, maka akan semakin tinggi derajat dan semakin banyak pula kemudahan yang didapat. Dalam penyelesaian kesulitan itu, kita perlu melakukan jihad yang ditopang dengan kesabaran. Jihad dan sabar ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Jihad adalah upaya sungguh-sungguh untuk mengatasi segala macam kesulitan yang dihadapi dalam melaksanakan ajaran Islam. Sedangkan, sabar adalah sikap ulet dan pantang menyerah dalam menghadapi resiko apapun saat melaksanakan jihad.

Wallahu A’lam

Samarinda, 9 September 2013

Agus Sukaca

guskaca@gmail.com

banner 468x60