banner 728x90

Lihat Sisi Baiknya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ألَسلامُ عليكم ورحمةُ الله وبركاتُهُ

Pembaca yang budiman!

Salah satu ciri orang berpikiran positif adalah mampu melihat peristiwa apa pun yang dialaminya dari sisi positif. Sangat disadari bahwa setiap peristiwa yang kita alami tidak selalu terjadi sesuai dengan apa yang dipikirkan atau diinginkan. Untuk itu, kita perlu selalu mengedepankan pikiran positif dari setiap peristiwa. Bahkan, tatkala menghadapi suatu peristiwa yang tidak mengenakkan pun kita harus selalu berusaha mencari hikmah di baliknya.

Dalam bukunya yang berjudul “Asyiknya Berpikiran Positif”, Musa Rasyid al-Bahdal mengatakan bahwa “bukan berbagai peristiwa yang mempengaruhi kita; bukan berbagai peristiwa yang menekan kita; bukan berbagai peristiwa yang melemahkan hubungan kita dengan orang lain dalam hidup ini; melainkan makna-makna yang kita lekatkan pada berbagai peristiwa itulah yang mempengaruhi kita”. Secara sederhana, pernyataan tersebut mengandung arti bahwa pemaknaan terhadap setiap peristiwa merupakan variabel penting yang dapat mempengaruhi persepsi dan pikiran kita.

Sebagai contoh misalnya suatu peristiwa yang saya alami di tahun 1986an. Saat itu saya diajak makan bandeng segar di daerah Pangkep Sulawesi Selatan. Bandengnya betul-betul segar, karena begitu ditangkap dari empang langsung dibakar. Itulah pengalaman pertama saya makan bandeng segar. Sebelumnya saya hanya makan bandeng tidak segar atau duri lunak. Bandeng segar ternyata lebih enak, hanya saja karena durinya lembut dan banyak, saya merasa kesulitan untuk menikmatinya. Terus terang, saya merasa sangat kurang nyaman dengan duri-duri itu.

Ketika teman-teman sudah menghabiskan dua ekor, dan bahkan ada yang lebih, saya belum selesai separuhnya. Saat itu pula, teman saya bertanya: “kenapa makannya lambat sekali, Pak?” Saya jawab: “durinya banyak sekali, jadi saya susah makannya!” Mendengar jawaban tersebut, teman saya kemudian memberi saran: “Jangan fokus pada durinya, Pak! Tetapi, lihatlah dagingnya yang enak!”. Saya ikuti saran tersebut, dan ternyata benar, begitu fokus pada dagingnya, saya cukup bisa menikmatinya. Dengan fokus kepada daging bandeng yang segar, saya tidak merasa terganggu dengan durinya. Pada akhirnya, saya memiliki pemikiran bahwa duri bandeng merupakan sebuah “biaya” untuk makan daging ikan yang segar dan enak.

Kisah di atas memberikan inspirasi bahwa setiap peristiwa memiliki sisi positif dan negatif. Bandeng segar mempunyai sisi positif, yakni  rasa dagingnya yang enak. Sedangkan, sisi negatif dari ikan bandeng adalah durinya yang lembut dan banyak. Sampai saat ini masih banyak di antara kita yang tidak suka makan ikan bandeng, sebab durinya banyak dan lembut, sehingga sulit menikmatinya. Pikiran demikian itu pada umumnya didominasi oleh cara pandang negatif kita terhadap ikan bandeng. Padahal, jika kita lihat ikan bandeng dengan pemikiran positif dengan mengalihkan fokus perhatian dari duri ke daging yang enak, maka kita pun dapat menikmatinya.

Demikian pula dalam kehidupan ini. Dalam menjalani hidup, setiap manusia akan dihadapkan pada dua situasi, yaitu baik dan buruk. Pandangan manusia terhadap situasi tersebut sangat tergantung pada interpretasi yang dikedepankan. Sebagian manusia ada yang memandang suatu peristiwa sebagai situasi yang baik, dan ada pula yang sebaliknya. Sebagai contoh misalnya, ketika seseorang sedang sakit. Mereka yang berpandangan negatif selalu menjadikan situasi sakit sebagai “petaka”, sebab ia tidak bisa bekerja, mendapatkan tekanan finansial, merasa tidak nyaman, memerlukan biaya ekstra, dan tidak bisa ke mana-mana. Sedangkan, mereka yang berpikiran positif selalu menganggap situasi sakit dapat memberikan kesempatan tubuh untuk beristirahat, memikirkan ide-ide yang terhambat karena padatnya jadual, serta kesempatan memperoleh perhatian ekstra, baik dari suami/ istri, anak-anak maupun juga keluarga.

Oleh sebab itu, pemaknaan terhadap setiap peristiwa sangat tergantung pada kemampuan kita dalam melakukan interpretasi dengan mengedepankan cara pandang masing-masing. Ibaratnya, terdapat sebuah gelas berisi separuh air, dan menyisakan separuh bagian lainnya atau kosong separuh. Dalam memandangnya, Anda boleh mengatakan bahwa gelas tersebut telah berisi separuh, dan boleh pula mengatakan kosong separuh. Semua pendapat yang Anda katakan adalah benar! Perlu dicatat, pendapat Anda dalam memandang gelas tersebut sejatinya mewakili cara berpikir Anda. Jika Anda memandang gelas tersebut berisi separuh, maka Anda telah mewakili cara berpikir positif, dan begitu pula sebaliknya.

Selain itu, cara pandang kita juga berdampak siginifikan dalam melakukan penilaian terhadap orang lain. Seperti diketahui bahwa setiap manusia memiliki sisi positif dan negatif. Di antara sisi positif tersebut menyangkut soal kelebihan dan kebaikannya, dan sisi negatif manusia terletak pada kekurangan, keburukan atau aibnya. Orang baik adalah mereka yang lebih banyak sisi positifnya, dan begitu pula sebaliknya. Sebaik apa pun manusia, pasti memiliki sisi negatif, walau hanya sedikit. Manusia tanpa sisi negatif hanyalah Rasulullah SAW, karena Beliau ma’sum, yakni terjaga dari kesalahan.

Perlu dicatat, orang yang berpikiran positif selalu memperhatikan saudara-saudaranya pada sisi positif. Sisi negatif yang diketahuinya disimpannya rapat-rapat agar tidak ada orang lain yang tahu. Pembocoran sisi negatif menurunkan kredibilitas seseorang, sehingga hal itu dapat menyebabkan kepercayaan orang lain menjadi runtuh. Allah SWT mengibaratkan orang yang suka membongkar sisi negatif sahabatnya sebagai orang yang memakan daging mayat sahabatnya. Hal ini dalam firman Allah sebagai berikut:

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan prasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Janganlah kamu sekalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sekalian berghibah [menggunjing] satu sama lain. Adakah seseorang di antara kamu sekalian yang suka makan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang” (Q.S. al-Hujurat: 12).

Ghibah atau menggunjing adalah menyebutkan sesuatu  yang terdapat pada saudaranya ketika tidak hadir dengan sesuatu yang benar tetapi tidak disukainya. Sebagai contoh misalnya menggambarkan saudaranya dengan apa yang dianggap sebagai kekurangan menurut umum untuk meremehkan dan menjelekkan. Maksud saudaranya di sini adalah sesama muslim. Selain itu, perbuatan yang termasuk sebagai ghibah adalah menarik perhatian seseorang terhadap sesuatu, di mana orang yang dibicarakan tidak suka untuk dikenali seperti itu.

Perbuatan ghibah bisa dilakukan melalui pembicaraan lisan, tulisan, isyarat, atau dengan bahasa tubuh. Media cetak dan elektronik menyebabkan efek ghibah menjadi sangat luas. Sayangnya, banyak acara-acara yang bermuatan ghibah menjadi program yang sangat digemari. Hal ini dapat terlihat dari rating­ program tersebut yang tinggi. Orang-orang terkenal dan menjadi public figure, misalnya artis, biasanya menjadi obyek ghibah yang beritanya dikejar-kejar oleh media, baik cetak maupun elektronik.

Padahal, Allah telah melarang kita mencari-cari kesalahan orang lain, dan ber-ghibah. Tentu tidak enak rasanya jika banyak orang mengetahui kesalahan-kesalahan kita. Bagaimana perasaannya jika ada orang lain yang menceritakan kekurangan dan keburukan kita? Sebagai orang normal, kita bisa jengkel, marah, stres, merasa tidak nyaman, dan turun semangat. Apalagi jika kekurangan itu menjadi berita publik, sehingga semua orang tahu kekurangan dan kelemahan kita. Dalam situasi seperti ini, kredibilitas kita jatuh, menjadi malu dan rendah diri apabila bertemu orang lain. Keadaan demikian juga akan menjadikan dunia seolah sangat sempit, dan kita pun seperti menjadi mati.

Kondisi seperti itulah yang akan dirasakan orang lain apabila kita ghibah kepadanya. Perbuatan ghibah dapat mematikan kredibilitas orang yang kita gunjingkan. Dalam bahasa al-Qur’an, orang yang suka ghibah ibarat makhluk yang suka memakan bangkai! Ya, seperti kanibal atau manusia pemakan manusia. Dampak lain dari perbuatan ghibah adalah dorongan orang lain untuk melakukan tindakan serupa kepada kita. Artinya, kita akan menjadi sasaran empuk dari perbuatan ghibah orang lain.

Hal ini jelas merupakan konsekuensi logis dari setiap perbuatan yang kita lakukan. Kita akan memanen sesuatu sesuai dengan apa yang kita tanam. Rasulullah SAW bersabda: “barangsiapa menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah). “Dan barangsiapa mengumbar aib saudaranya [muslim], maka Allah akan mengumbar aibnya hingga terbukalah kejelekannya di dalam rumahnya” (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).

Oleh sebab itu, jika ada media, orang, atau majelis yang memberitakan dan memperbincangkan aib orang lain, marilah segera kita tinggalkan. Kita akan jauh terlibat dalam perbincangan tersebut jika tidak segera meninggalkannya. Berhati-hatilah! Keterlibatan dalam perbincangan aib seseorang akan membuat aib kita terbuka. Kepercayaan orang kepada kita terjadi karena Allah menjaga aib kita, sehingga tidak diketahui orang lain. Membongkar aib orang lain sesungguhnya adalah usaha membongkar aib sendiri. Akibatnya, kepercayaan orang akan turun atau bahkan hilang. Na’udzubiilahi min dzalik!

Agus Sukaca

banner 468x60