
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ سُمَيٍّ مَوْلَى أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Sumayya, maula Abu Bakar bin ‘Abdur Rahman dari Abu Shalih As-Samman dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Umrah ke ‘umrah berikutnya menjadi penghapus dosa antara keduanya dan haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga“. [Muttafaq ‘alaih: Shahih al-Bukhari (no. 1650), Shahiih Muslim (no. 2403), Sunan at-Tirmidzi (no. 855), Sunan Ibnu Majah (no. 2879), Sunan an-Nasa-i (no. 2582]
Takhrij & Sanad
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Yusuf; yang bersambung kepada Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir; dari Sumayya, maula Abi Bakar Bakar bin ‘Abdur Rahman bin Al Harits bin Hisyam; dari Dzakwan yang dikenal sebagai Abu Shalih As-Saman; dari Abdur Rahman bin Sakhr alias Abu Hurairah. Diriwayatkan juga oleh Muslim, dan 5 ulama perawi hadits yang lain (Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam menyimpulkan ada 6 hadits pembanding lain yang sama dengan riwayat Imam Bukhari, oleh 6 perawi hadits lain). Derajat hadits ini, menurut ijma’ ulama adalah shahih. Semua perawi hadits dinilai oleh mayoritas ulama sebagai tsiqah.
Syarah
Keistimewaan Makkah dan Ibadah Haji
Sebelum membicarakan tentang makna haji mabrur, ada baiknya kita kemukakan tentang keistimewaan Makkah dan keutamaan-keutamaan ibadah haji.
Rasulullah SAW adalah warga Makkah. Beliau lahir, tumbuh dan besar di dekat Ka’bah, yaitu di kampung yang bernama Ma’la, terletak di sebelah timur dari Masjidil Haram. Nabi meninggalkan Makkah menuju ke Yatsrib (Madinah) karena perintah Allah untuk berhijrah, akibat tekanan kaum Quraisy yang menentang dakwah beliau.
Ketika hendak meninggalkan Makkah tersebut, sambil berjalan pelan Nabi masih terus melihat ke arahnya sambil mengucapkan hadits di atas. Kecintaan beliau terhadap tanah kelahirannya tersebut tidak dapat beliau sembunyikan. Kecintaan pada tanah air adalah bagian dari naluri manusiawi seseorang yang berbudi dan beradab. Selain faktor manusiawi, kecintaan Nabi kepada kota Makkah ini dapat dilihat pula dari sisi ketuhanan (ilahiyah) yang digambarkan sebagai “bumi yang paling mulia di sisi-Nya”.
Beberapa ayat berikut mengungkapkan tentang keistimewaaan kota Makkah.
وَهُوَ ٱلَّذِى كَفَّ أَيۡدِيَهُمۡ عَنكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ عَنۡہُم بِبَطۡنِ مَكَّةَ مِنۢ بَعۡدِ أَنۡ أَظۡفَرَكُمۡ عَلَيۡهِمۡۚ وَكَانَ ٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرًا
Dan Dia-lah (Allah) yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Makkah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Fath/48: 24)
وَكَأَيِّن مِّن قَرۡيَةٍ هِىَ أَشَدُّ قُوَّةً۬ مِّن قَرۡيَتِكَ ٱلَّتِىٓ أَخۡرَجَتۡكَ أَهۡلَكۡنَـٰهُمۡ فَلَا نَاصِرَ لَهُمۡ
Dan betapa banyaknya negeri yang (penduduknya) lebih kuat dari pada (penduduk) negerimu (Muhammad) yang telah mengusirmu itu. Kami telah membinasakan mereka, maka tidak ada seorang penolongpun bagi mereka. (QS Muhammad/47: 13)
Allah SWT telah bersumpah dengan nama kota suci Makkah ini didalam firman-firman-Nya berikut ini.
لَآ أُقۡسِمُ بِہَـٰذَا ٱلۡبَلَدِ (١) وَأَنتَ حِلُّۢ بِہَـٰذَا ٱلۡبَلَدِ
Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Makkah). Dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Makkah ini, (QS al-Balad/90: 1-2)
وَهَـٰذَا ٱلۡبَلَدِ ٱلۡأَمِينِ
Dan demi kota (Makkah) ini yang aman, (QS at-Tin/95: 3)
Kota Makkah ini dijadikan Allah sebagai tempat beribadah para hambanya sepanjang masa, dari manusia pertama Adam a.s., Ibrahim a.s. sampai Nabi Muhammad SAW beserta seluruh ummatnya sampai akhir zaman. Untuk itu, Allah SWT membangun “Rumah-Nya” (Baitullah, Ka’bah) di kota ini, sebuah tempat yang tidak boleh seorang pun masuk ke dalamnya kecuali dengan kerendahan hati, khusyu’, dengan kepala terbuka serta meninggalkan bentuk pakaian dan perhiasan dunia. Inilah tempat, dimana Allah SWT menjadikannya sebagai penghapus dosa-dosa masa lalu.
Di Makkah pula, Allah menempatkan Masjid-Nya yang mulia, yaitu Masjidil Haram, masjid yang pertama kali di muka bumi, dimana tidak ada suatu masjid pun yang orang shalat di dalamnya yang pahalanya akan dilipatgandakan.
وعَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلَاةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ
Dari Jabir bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Shalat di masjidku lebih utama seribu kali dari shalat di masjid selainnya, kecuali Masjidil Haram. Dan shalat di masjidil haram lebih utama seratus ribu kali dari shalat di tempat selainnya. ” (HR Ibnu Majah; hadis no. 1396)
Jika dihitung dengan kalkulasi matematika, maka pahala keutamaan shalat di Masjidil Haram setara dengan shalat di masjid lain selama 55 tahun 6 bulan dan 20 malam. Dalam kisah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar, sebagaimana terekam dalam Shahih Muslim dalam bab ‘al-Masajid” (no. 808), Rasulullah menegaskan bahwa masjid yang pertama kali dibangun di muka bumi ini ialah Masjidil Haram, kemudian Masjidil Aqsha. Jarak pembangunan keduanya ialah 40 tahun. Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa:
إِنَّ أَوَّلَ بَيۡتٍ۬ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِى بِبَكَّةَ مُبَارَكً۬ا وَهُدً۬ى لِّلۡعَـٰلَمِينَ
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. (QS Ali Imran/3: 96)
Makkah adalah satu-satunya tempat di muka bumi ini, dimana Allah SWT mewajibkan bagi orang-orang mukmin yang mampu mengunjunginya, dan tidak ada sejengkal bumi pun yang Allah wajibkan hamba-hamba-Nya untuk menghadap dan melambaikan tangan, kecuali kepada Ka’bah, Hajar Aswad dan Rukun Yamani, serta merupakan kiblat kaum beriman sepanjang masa.
Di kota suci ini, kaum muslimin menapak tilasi jejak kehidupan dan peribadatan nenek moyang kaum beriman, yaitu Nabi Ibrahim as. Mereka tiada lain ialah para hambanya yang dipilih-Nya untuk menyambut seruan Nabi Ibrahim a.s. sekaligus melaksanakan titah Ilahi.
وَأَذِّن فِى ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَجِّ يَأۡتُوكَ رِجَالاً۬ وَعَلَىٰ ڪُلِّ ضَامِرٍ۬ يَأۡتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ۬
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus (karena payah berjalan) yang datang dari segenap penjuru yang jauh (QS al-Hajj/22:27)
فِيهِ ءَايَـٰتُۢ بَيِّنَـٰتٌ۬ مَّقَامُ إِبۡرَٲهِيمَۖ وَمَن دَخَلَهُ ۥ كَانَ ءَامِنً۬اۗ وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلاً۬ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلۡعَـٰلَمِينَ
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji, padahal dia mampu) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS Ali Imran/3: 97)
Puncak ketaatan hamba kepada Allah disimbolkan dalam penyembelihan hewan Qurban. Para ulama berpendapat bahwa menyembelih hewan qurban adalah simbol dari ajaran Islam yang mengajarkan agar sifat-sifat kebinatangan dalam diri manusia harus dikorbankan, seperti sifat rakus, ingin menang sendiri, hidup dengan mengandalkan ototnya dalam mengatasi permasalahan, bukan dengan akalnya yang merupakan kelebihan manusia, dan sebagainya. Menapak tilas kisah Nabi Ibrahim dalam ketaatan melaksanakan perintah menyembelih putranya Ismail, Allah menggantikan Ismail a.s. dengan seekor gibas yang gemuk, padahal kedua bapak-anak itu sudah pasrah mentaati perintah Allah, hal ini menegaskan bahwa mengorbankan manusia (atau kemanusiaan) untuk tujuan ritual, sebagaimana tradisi umat-umat sebelumnya, tidak diperkenankan lagi.
Inilah puncak ketaatan hamba kepada Rabb-nya; bahwa apabila perintah Allah telah datang, maka segala sesuatu menjadi tidak berharga, bahkan nyawa sekalipun. Melalui kisah ini, Allah menegaskan bahwa Dzat-Nya, berikut perintah-perintah-Nya, harus diletakkan lebih tinggi melebihi dari apapun yang ada di dunia ini.
Ketika melaksanakan ibadah haji atau umrah, selain Ka’bah dan Makkah, kaum mukminin dapat juga menelusuri jejak perjuangan Rasulullah dari Arafah, Mina, Gua Hira’, Gua Tsur, Tan’im, al-Hudaibiyah, Muzdalifah, Masjid Namirah, hingga Darul Arqam, dan sebagainya. Biasanya, mereka mengunjungi juga kota Madinah al-Munawwaroh untuk berziarah ke makam Rasulullah SAW, Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dan Umar ibn Khattab r.a. serta sahabat-sahabat lain yang dimakamkan di pemakaman Baqi’ al-Gharqad, dan memberi salam kepada mereka.
Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak seorangpun yang memberikan salam kepadaku, melainkan Allah akan mengembalikan ruhku kepadaku, agar aku bisa membalas salamnya”. (Ibn Taimiyyah menyatakan bahwa hadits ini jayyid, sedangkan menurut al-Albani, hadits ini hasan).
Mengunjungi (ziarah) ke Madinah bukanlah rukun haji maupun umrah. Mengunjungi Madinah dilakukan banyak kaum mukmin sebagai bentuk ta’dhim (rasa hormat yang tinggi) kepada Nabi SAW dan para sahabat, sekaligus dalam rangka mengenang jerih payah perjuangan mereka dalam menyebarkan risalah Islam, agar umat Islam terdorong untuk meneladani dan mengembangkannya di segenap penjuru bumi.
Rasulullah menganjurkan untuk mengunjungi Masjid Nabawi dalam hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah ditekankan untuk berziarah kecuali untuk mengunjungi tiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam (Masjid Nabawi, Madinah) dan Masjidil Aqsha“. (Muttafaq ‘alaih)
Makna Haji Mabrur
Haji mabrur adalah sesuatu yang istimewa, sebagaimana istimewanya Tanah Suci. Namun, ada salah kaprah dalam masyarakat, bahwa haji Mabrur seolah-olah merupakan suatu gelar yang semata-mata melekat begitu saja sepulang dari Tanah Suci. Tidaklah demikian! Menjadi haji mabrur adalah sesuatu yang harus diusahakan dengan amal. Sebab, kata ‘mabrur” itu berakar dari kata ‘al-birr” yang bermakna baik atau kebaikan. Kebaikan tidak akan terwujud tanpa diiringi dengan usaha dan amal shaleh.
Sebagian ulama mengartikan “mabrur” dengan “maqbul”, yakni haji yang diterima oleh Allah SWT. Dengan kata lain, gelar haji mabrur harus berefek pada sikap dan perilaku sehari-hari yang menunjuk pada hal-hal yang baik dan dapat diterima dalam pandangan Allah dan manusia. Artinya, haji mabrur harus dapat menggabungkan antara aspek keberimanan (amana) dengan amal shaleh (amila al-shalihat), serta harus dapat menyeimbangkan antara hubungan dengan Allah (hablun minallah) dan mu’amalahnya dengan sesama manusia (hablun minannas).
Tidak menyakiti orang lain, menghina, berbohong, menipu, dan segala bentuk perbuatan buruk lainnya adalah perilaku yang harus dijauhi dan ditinggalkan. Sebaliknya, Menepati janji, menyantuni fakir miskin dan anak-anak yatim, menolong orang yang sedang kesusahan, ikut berkiprah dalam mengembangkan lembga pendidikan Islam, melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, dan segala sesuatu yang baik adalah diantara perilaku yang harus diwujudkan dan senantiasa menghiasi kehidupan seorang haji mabrur.
Banyak orang telah menunaikan ibadah haji ke Baitullah, mulai dari orang biasa yang mampu mengumpulkan uang guna membeli tiket ke Tanah Suci, para pedagang, karyawan, guru, dosen, pengusaha, lurah, camat, bupati, gubernur hingga presiden. Tetapi, apakah hajimereka mendaat kemabruran? Ataukah hanya sekedar ‘mabur’ (terbang, bhs. Jawa, karena naik pesawat terbang) Itulah permasalahannya.
Haji mabrur, jika dipikirkan secara mendalam, adalah potensi yang luar biasa sekaligus investasi umat Islam. Seandainya setiap jamaah haji mendapat kemabrurannya, maka alangkah mudah dan cepatnya kita bisa melakukan perbaikan kehidupan dalam segala bidang. Setiap tahun, Indonesia memberangkatkan lebih kurang 200 ribu jamaah haji. Maka, minimal setiap tahun kita akan mendapatkan 200 ribuan orang yang siap melakukan perbaikan-perbaikan, apalagi jika meeka bersedia mentransfrmasikan kebaikannya itu kepada orang lain. Baik melakui jabatan strukturalnya maupun secara cultural.
Inilah antara lain makna yang harus dihayati dan dilaksanakan oleh seorang yang merasa mendapatkan haji mabrur. Sebab, haji mabrur itu balasannya tak lain adalah surga, sebagaimana sabda Nabi yang kita tuliskan di muka. Tidak mungkin kiranya haji mabrur adalah buah dari ibadah ritual pribadi seseorang kepada Allah, tanpa diikuti oleh usahanya melaksanakan kebaikan-kebaikan yang menjadi kewajiban setiap muslim. Bukanlah disebut kebaikan jika sekedar menghadapkan wajah ke timur atau ke barat, sebagaimana firman Allah berikut.
لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَـٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ وَٱلۡمَلَـٰٓٮِٕڪَةِ وَٱلۡكِتَـٰبِ وَٱلنَّبِيِّـۧنَ وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَـٰمَىٰ وَٱلۡمَسَـٰكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآٮِٕلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّڪَوٰةَ وَٱلۡمُوفُونَ بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَـٰهَدُواْۖ وَٱلصَّـٰبِرِينَ فِى ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِۗ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْۖ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaikan (al-birr), akan tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS al-Baqarah/2: 177)
Tim Redaksi