Terlalu banyak ayat dan hadis yang menunjukkan penting dan istimewanya shalat malam sehingga Allah SWT dan Rasul-Nya sangat menganjurkan tahajjud (yakni: bangun malam) untuk melaksanakan shalat malam (shalât al-layl) atau Qiyâm al-Layl (bangun untuk shalat malam).
Misalnya, firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra’/17: 79:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
“Dan pada sebagian malam hari maka shalat tahajjudlah kamu sebagai ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’/17: 79).
Lihat juga ciri orang beriman dalam QS. Al-Sajdah/32: 15-16).
إِنَّمَا يُؤۡمِنُ بِـَٔايَـٰتِنَا ٱلَّذِينَ إِذَا ذُڪِّرُواْ بِہَا خَرُّواْ سُجَّدً۬ا وَسَبَّحُواْ بِحَمۡدِ رَبِّهِمۡ وَهُمۡ لَا يَسۡتَكۡبِرُونَ ۩ (١٥) تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمۡ عَنِ ٱلۡمَضَاجِعِ يَدۡعُونَ رَبَّہُمۡ خَوۡفً۬ا وَطَمَعً۬ا وَمِمَّا رَزَقۡنَـٰهُمۡ يُنفِقُونَ (١٦
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, adalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat Kami, mereka menyungkur sujud dan bertasbih serta memuji Tuhannya, sedang mereka tidak menyombongkan diri. (15). Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (mereka tidak tidur karena shalat lail), sedang mereka berdo’a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka (16). [Qs. as-Sajdah/32: 15-16]
Itulah sebabnya shalat ini disebut sebagai shalat tahajjud karena umumnya dikerjakan setelah bangun malam ketika yang lain sedang tertidur pulas.
Bila shalat ini dikerjakan pada malam Ramadlan maka dikenal dengan Qiyâmu Ramadlân pada masa Nabi saw atau Shalat Tarâwîh (banyak istirahatnya) meskipun istilah terakhir ini lebih dikenal pada pasca kenabian. Terkadang pula disebut shalat witr karena substansi pelaksanaannya sama yakni Nabi saw selalu menutup shalat malamnya dengan rakaat ganjil (witr).
Waktu pelaksanaannya dari setelah shalat Isya dan lebih baik dikerjakan pada sepertiga akhir malam (Muttafaq ‘alayh) atau di dua-pertiga malam atau di pertengahan malam (QS. Al-Muzzammil/73: 20), yang penting dikerjakan sebelum masuk waktu Subuh.
Beberapa Cara Pelaksanaan Shalat Malam
Sebelum melaksanakan shalat layl (malam) maka disunnahkan untuk melaksanakan shalat dua rakaat yang ringan sebagai shalât iftitâh (artinya shalat pembuka). Nabi saw bersabda:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ اللَّيْلِ فَلْيَفْتَتِحْ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ
”Apabila salah seorang kalian mendirikan shalat layl, maka hendaklah dibuka dengan dua rakaat yang ringan-ringan!” (HSR. Muslim, Ahmad)
Maksud membuka shalat dengan dua rakaat yang ringan-ringan adalah membuka shalat malam dengan shalat dua rakaat tanpa perlu membaca surat atau ayat setelah surat al-Fatihah. Adapun bacaan doa iftitah pada shalat iftitah adalah:
سُبْحَانَ اللَّهِ ذِى الْمَلَكُوْتِ وَالْجَبَرُوْتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
“Maha Suci Allah Dzat yang Maha Memiliki Kerajaan, Kecukupan, Kebesaran dan Keagungan.” (HHR. al-Thabrâni)
Ada beberapa cara atau model pelaksanaan Shalat Malam Nabi saw (lihat al.: Himpunan Putusan Tarjih, hlm 341-355), yakni:
Shalat Layl 11 Rakaat dengan Format 4-4-3
Cara ini didasarkan pada hadis fi‘li (perbuatan Nabi saw) yang bersumber dari ‘Aisyah ra istri Nabi saw. Ketika Abu Salamah bin ‘Abd al-Rahmân ra bertanya kepada ‘Aisyah tentang shalat layl Nabi saw di bulan Ramadlan:
كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ؟ فَقَالَتْ: مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاثًا
“Bagaimana dulu shalat Rasulullah saw di bulan Ramadlan?” Jawab ‘Aisyah: “Rasulullah saw tidak pernah menambah (rakaat), baik di dalam Ramadlan maupun di selainnya, di atas 11 rakaat. Beliau shalat empat rakaat, jangan kamu tanyakan bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat lagi, jangan kamu tanya bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.” (Muttafaq ‘alayh)
Hadis di atas jelas menuntunkan adanya anjuran shalat malam yang dikerjakan dalam format 4-4-3. Pertanyaan Abu Salamah ra tentang bagaimana Shalat Layl Nabi saw di bulan Ramadlan, dijawab oleh ‘Âisyah bahwa baik di bulan Ramadlan maupun di luar Ramadlan, beliau mengerjakan Shalat Layl 4 rakaat-4 rakaat dengan baik dan lama, kemudian diakhiri dengan witir 3 rakaat. Selain itu, hadis ini dipahami oleh sebagian ulama bahwa 4 rakaat tersebut dikerjakan langsung tanpa duduk tahiyat awal pada rakaat kedua karena memang teks hadis ini dzahirnya tidak menjelaskan adanya hal tersebut. Bahkan Nabi saw pernah shalat 6 atau 8 rakaat langsung, tidak duduk di dalamnya kecuali saat rakaat ke-6 atau ke-8 lalu ditutup dengan rakaat ganjil/witir.
Shalat Layl 11 Rakaat dengan Format 8-2-1
Dari Sa‘d bin Hisyâm bin ‘Âmir ra bahwa ketika ia bertanya tentang shalat malam kepada Ibn ‘Abbâs maka Ibn ‘Abbâs ra mempersilahkan Sa‘d bin Hisyâm bertanya kepada Ummul-Mu’minîn: ‘Â’isyah karena dialah yang paling tahu tentang kegiatan Nabi saw di malam hari, termasuk witirnya Nabi saw. Maka Sa‘d pun berkata pada ‘Â’isyah ra:
يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَنْبِئِينِي عَنْ وَتْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ! قَالَتْ كُنَّا نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَطَهُورَهُ فَيَبْعَثُهُ اللَّهُ لِمَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَهُ مِنْ اللَّيْلِ فَيَتَسَوَّكُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّي ثَمَانِ رَكَعَاتٍ لاَ يَجْلِسُ فِيهِنَّ إِلاَ عِنْدَ الثَّامِنَةِ فَيَجْلِسُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَيَدْعُو ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا. ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَةً فَتِلْكَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَا بُنَيَّ …
“Wahai Ummul-Mu’minin beritahukan kepadaku tentang shalat witir Rasulullah saw!” ‘Âisyah menjawab: “Kami menyiapkan untuk beliau siwaknya & alat bersucinya, lalu Allah membangunkannya bagi apa saja yang Allah kehendaki untuk dibangunkan pada malam itu. Beliau lalu bersiwak dan berwudlu, lalu shalat 8 rakaat tanpa duduk di dalamnya kecuali pada rakaat ke-8 itu. Beliau dzikir/menyebut nama Allah azza wa Jalla dan berdoa, kemudian salam dengan salam yang kami dapat mendengarnya. Kemudian beliau shalat 2 rakaat dalam keadaan duduk setelah itu salam. Kemudian beliau shalat 1 rakaat. Demikian itulah 11 rakaat wahai anakku…” (HSR. Al-Nasâ’i, Abu Dâwud)
Dari hadis di atas dan beberapa hadis yang lain dapat disimpulkan bahwa terkadang istilah witir tidak terbatas pada hitungan rakaat ganjil terakhir saja, namun sejak rakaat awal yang genap pun kadang sudah diistilahkan dengan witir. Hal ini karena Nabi saw tidak pernah tidak, mesti menutup shalat malamnya dengan rakaat witir (ganjil). Inilah sebab beliau menegaskan supaya menjadikan witir sebagai penutup shalat malam:
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا
“Jadikanlah akhir shalat laylmu menjadi ganjil!” (Muttafaq ‘alayh)
Berdasarkan hadis tentang witir 8 rakaat ini maka sebagian ulama –termasuk Muhammadiyah– berpendapat bahwa hadis ini memperkuat pendapat bahwa shalat malam Nabi saw 4 rakaat atau lebih, ternyata tidak harus dibatasi setiap 2 rakaat tasyahhud, tapi bisa juga 4 rakaat langsung, atau 8 rakaat langsung tanpa tasyahhud awal.
Dalam redaksi yang lain juga berasal dari Sa‘d bin Hisyâm ra dari ‘Âisyah ra ini bahwa Nabi saw pernah shalat witir 9 rakaat dengan format 8-1 yakni hanya duduk di rakaat ke 8 saja dan salam, kemudian berdiri untuk rakaat ke-9 untuk witir 1 rakaat, lalu duduk dan salam.
… ثُمَّ يُصَلِّي تِسْعَ رَكَعَاتٍ لاَ يَقْعُدُ فِيهِنَّ إِلاَّ فِي الثَّامِنَةِ فَيَحْمَدُ اللَّهَ وَيَذْكُرُهُ وَيَدْعُو ثُمَّ يَنْهَضُ وَلاَ يُسَلِّمُ ثُمَّ يُصَلِّي التَّاسِعَةَ فَيَجْلِسُ فَيَحْمَدُ اللَّهَ وَيَذْكُرُهُ وَيَدْعُو ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا … فَلَمَّا أَسَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَخَذَ اللَّحْمَ أَوْتَرَ بِسَبْعٍ …
“Kemudian beliau (Rasul) saw shalat 8 rakaat tanpa duduk di dalamnya kecuali pada rakaat ke-8 itu. Beliau bertahmid, berdzikir dan berdoa, dan tidak salam, langsung shalat ke-9 rakaat lalu bertahmid, berdzikir dan berdoa, kemudian salam dengan salam yang kami dapat mendengarnya… Tatkala Rasulullah saw semakin berumur/tua dan gemuk, beliau hanya berwitir 7 rakaat…” (HSR. Al-Nasai, Abu Dâwud. Hadis ini juga mencantumkan jumlah tambahan dua rakaat sunnat fajar. Di dalam al-Nasâ’i, diriwayatkan bahwa bila beliau tertidur atau kelelahan, beliau menggantinya dengan shalat Dluha 12 rakaat).
Pernah juga Nabi saw shalat 9 rakaat hanya duduk di rakaat ke 8 saja tanpa salam, dan langsung berdiri untuk rakaat sembilan, lalu duduk dan salam. Hadis dengan tiga periwayat yang sama dari ’Âisyah ra di atas bahwa Rasulullah saw:
إِذَا أَوْتَرَ بِتِسْعِ رَكَعَاتٍ لَمْ يَقْعُدْ إِلاَّ فِي الثَّامِنَةِ فَيَحْمَدُ اللَّهَ وَيَذْكُرُهُ وَيَدْعُو ثُمَّ يَنْهَضُ وَلا يُسَلِّمُ ثُمَّ يُصَلِّي التَّاسِعَةَ فَيَجْلِسُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَيَدْعُو ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمَةً يُسْمِعُنَا ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ فَلَمَّا كَبِرَ وَضَعُفَ أَوْتَرَ بِسَبْعِ رَكَعَاتٍ لاَ يَقْعُدُ إِلاَّ فِي السَّادِسَةِ ثُمَّ يَنْهَضُ وَلا يُسَلِّمُ فَيُصَلِّي السَّابِعَةَ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمَةً ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ
“Apabila beliau (Rasul) saw shalat witir 9 rakaat, beliau tidak duduk di dalamnya kecuali pada rakaat ke-8. Beliau bertahmid, berdzikir dan berdoa, kemudian bangkit dan tidak salam, langsung shalat ke-9 rakaat lalu berdzikir ‘Azza wa Jalla dan berdoa, kemudian salam dengan salam yang kami dapat mendengarnya. Kemudian beliau shalat (sunat fajar) 2 rakaat dalam keadaan duduk. Tatkala Rasulullah saw semakin tua dan agak gemuk, beliau hanya berwitir 7 rakaat kemudian salam. Kemudian beliau shalat (sunat fajar) 2 rakaat dalam keadaan duduk.” (HHR. Al-Nasai, Abu Dâwud)
Hadis di atas berkenaan dengan tata cara Nabi saw melaksanakan shalat witir. Dua hadis terakhir di atas secara jelas menunjukkan bahwa Nabi saw pernah mengerjakan shalat witir 9 rakaat dengan cara tidak duduk kecuali hanya pada saat rakaat ke-8 dan rakaat ke-9, lalu salam. Demikian pula Nabi saw ketika sudah semakin tua dan lemah, pernah mengerjakan shalat witir 7 rakaat di mana beliau tidak duduk kecuali pada rakaat ke-6 dan atau ke-7 lalu salam (HSR. Al-Nasâ’i). Kesimpulan ini didasarkan pada HR. al-Nasâ’i melalui Miqsam dari Ummu Salamah ra. bahwa:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِخَمْسٍ وَبِسَبْعٍ لاَ يَفْصِلُ بَيْنَهَا بِسَلاَمٍ وَلاَ بِكَلاَمٍ
“Rasulullah saw pernah berwitir 5 rakaat dan pernah juga 7 rakaat tanpa memisahkannya antara keduanya dengan salam dan tidak pula dengan perkataan.” (HHR. Al-Nasâ’i, Ahmad, Ibn Majah)
Karena semua hadis tentang hal ini sama-sama maqbûl, maka dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa Nabi saw di samping memang pernah melakukan shalat 8 rakaat langsung dan 6 rakaat juga langsung tanpa duduk kecuali di akhirnya, namun pada umumnya Nabi saw mengerjakan pada setiap 2 rakaat beliau tasyahhud, meskipun tidak mesti salam kecuali di akhir rakaat.
Berkenaan dengan teknis pelaksanaan shalat layl 4 rakaat di atas dan adanya hadis sahih yang lain riwayat al-Jama’ah dari Ibn ‘Umar yang menyatakan bahwa Nabi saw bersabda:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
(shalat layl itu dua rakaat-dua rakaat),
maka sebagian ulama mengkompromikannya bahwa pelaksanaan 4 rakaat itu dengan cara 2-2 rakaat. Namun sejauh ini, penulis belum menemukan satu pun redaksi yang matannya secara jelas merinci pelaksanaan 4 rakaat menjadi 2-2 rakaat dengan duduk tahiyyat. Jika dipisah dengan salam maka tentu tidak layak disebut 4 rakaat. Umumnya rincian pelaksanaan 4 rakaat hanya didasarkan penafsiran dengan mengaitkannya dengan hadis yang berbeda lalu dikompromikan. Ini sangat berbeda dengan shalat layl yang 6 rakaat ataupun 8 rakaat yang secara jelas redaksinya ada yang menyatakan langsung dan ada juga yang menyatakan duduk pada setiap dua rakaat. Ini artinya, bahwa sangat mungkin, khusus dalam masalah 4 rakaat tersebut memang tidak dipisahkan oleh Nabi saw dengan duduk pada setiap 2 rakaat, tetapi langsung mengerjakan 4 rakaat sebagai cara lain yang dicontohkan oleh Nabi saw mengingat tidak ada satupun matan yang merinci pelaksanaannya kecuali matan: “jangan engkau tanyakan baik dan panjangnya shalat Nabi.” Wallahu a’lam.
Shalat Layl 11 rakaat dengan format 2-2-2-2-2-1
Yaitu salam pada setiap 2 rakaat dan diakhiri dengan shalat witir 1 rakaat.
Dari ‘Aisyah ra bahwa:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاةِ الْعِشَاءِ وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ. فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَتَبَيَّنَ لَهُ الْفَجْرُ وَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ لِلْإِقَامَةِ
“Rasulullah saw mengerjakan shalat (layl) pada waktu antara selesai shalat Isya –yang disebut orang sebagai ‘Atamah– sampai fajar, sebelas rakaat. Beliau mengucapkan salam setiap dua rakaat dan beliau melakukan witir satu rakaat. Apabila muadzin diam usai adzan shalat Fajar (nama lain shalat Subuh) dan sudah jelas bagi beliau waktu fajar, beliau shalat dua rakaat yang ringan-ringan. Kemudian beliau berbaring ke sebelah kanan hingga datang muadzin untuk qamat.” (HSR. Muslim, al-Nasâ’i, Abu Dâwud, Ahmad. Al-Bukhâri juga meriwayatkan hal yang sama meskipun tidak merinci pelaksanaan 11 rakaat, tapi setelah itu (no. 995) beliau menyebutkan jalur lain dari Ibn ‘Umar yang merinci shalat malam Nabi saw dengan format 2-2-2-2-2-1.)
Hadis di atas sekaligus menjelaskan tentang waktu shalat layl yakni antara setelah selesai shalat Isya sampai sebelum masuk waktu (adzan) Subuh. Nabi saw melakukan shalat layl 11 rakaat dengan rincian setiap 2 rakaat salam hingga 10 rakaat lalu mengerjakan shalat witir 1 rakaat. Kesimpulan 10 rakaat ini, disamping bisa dihitung (10+1= 11 rakaat), juga karena ada hadis dari ‘Âisyah ra bahwa:
كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ اللَّيْلِ عَشَرَ رَكَعَاتٍ وَيُوتِرُ بِسَجْدَةٍ وَيَرْكَعُ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فَتْلِكَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Shalat Rasulullah saw di malam hari adalah 10 rakaat dan witir dengan 1 rakaat, lalu beliau shalat 2 rakaat sunat fajar, maka jadilah itu 13 rakaat.” (HSR. Muslim)
Hadis ini menyebutkan 13 rakaat karena shalat malam 10 rakaat + 1 witir ditambah 2 rakaat shalat sunat fajar yang ringan-ringan (rak‘atayn khafîfatayn). Dua rakaat sunat Fajar ini tidak termasuk bagian dari shalat Layl. Hanya saja pelaksanaan 10 rakaat ini sudah umum dipahami (sudah mafhûm) dengan cara 2-2 rakaat sehingga kadang tidak perlu dirinci lagi, apakah dengan tasyahhud setiap 2 rakaat lalu salam, ataukah tasyahhud tanpa salam kecuali di akhirnya.
Hadis riwayat Hisyâm bin ‘Urwah yang meriwayatkan dari Bapaknya, dari ‘Âisyah ra mungkin bisa dipakai sebagai perinci keterangan dari hadis 2-2 rakaat:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْقُدُ فَإِذَا اسْتَيْقَظَ تَسَوَّكَ ثُمَّ تَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى ثَمَانِ رَكَعَاتٍ يَجْلِسُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَيُسَلِّمُ ثُمَّ يُوتِرُ بِخَمْسِ رَكَعَاتٍ لاَ يَجْلِسُ إِلاَّ فِي الْخَامِسَةِ وَلا يُسَلِّمُ إِلاَّ فِي الْخَامِسَةِ
“Bahwasanya Rasulullah saw dulu sedang tidur. Bila beliau bangun, beliau bersiwak dan berwudlu, kemudian shalat 8 rakaat dengan duduk setiap dua rakaat lalu salam. Kemudian beliau berwitir 5 rakaat dengan tidak duduk dan tidak salam kecuali pada rakaat ke-5.“ (HSR. Ahmad, al-Bayhaqi. Muslim & al-Tirmidzi juga menyebutkan 13 rakaat dengan format 8-5, hanya saja tidak merinci salam pada setiap dua rakaat)
Hadis Ahmad dan al-Bayhaqi dengan periwayat sama menjelaskan shalat layl 13 rakaat dengan format 8-5, yakni 8 dikerjakan masing-masing 2 rakaat dan hanya salam pada rakaat ke-8, lalu berwitir 5 rakaat langsung tanpa duduk kecuali pada rakaat ke-5.
Hadis dari Zayd bin Khâlid al-Juhanny ra berikut akan lebih menjelaskan tentang maksud matsna-matsna (dua-dua) dalam praktek.
لَأَرْمُقَنَّ صَلاَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّيْلَةَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ أَوْتَرَ فَذَلِكَ ثَلاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Sungguh saya mencermati shalat Rasulullah saw pada suatu malam, beliau shalat dua rakaat ringan, kemudian shalat dua rakaat yang panjang sekali (panjang-panjang) lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya, kemudian melakukan witir. Maka demikian itulah shalat 13 rakaat.” (HSR. Muslim, Abu Dâwud, Ahmad: 21172; Malik: 268. Hadis Muttafaq ‘alayh juga menceritakan shalat 13 rakaat dengan format 2-2-1 ini juga diceritakan oleh Ibn ‘Abbas)
Meskipun hadis di atas menyebutkan bahwa shalat Rasulullah saw di malam itu berjumlah 13 rakaat dengan format 2-2-1 (dalam format matsna-matsna), namun hakikatnya cuma 11 rakaat karena sudah termasuk di dalamnya tuntunan shalat iftitah 2 rakaat yang ringan-ringan.
Dalam riwayat lain yang juga dari ‘Aisyah ra bahwa pernah juga Nabi saw shalat 13 rakaat sudah termasuk 2 rakaat sebelum Subuh dengan format 6-5, yakni 6 rakaat dikerjakan masing-masing 2 rakaat dan hanya salam pada rakaat ke-6, lalu berwitir 5 rakaat langsung:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي ثَلاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً بِرَكْعَتَيْهِ قَبْلَ الصُّبْحِ، يُصَلِّي سِتًّا مَثْنَى مَثْنَى وَيُوتِرُ بِخَمْسٍ لاَ يَقْعُدُ بَيْنَهُنَّ إِلاَّ فِي آخِرِهِنَّ
“Pernah Rasulullah saw shalat 13 rakaat sudah termasuk dengan 2 rakaat sebelum Subuh (Shalat Sunat Fajar). Beliau shalat 6 rakaat dengan cara 2-2 rakaat, dan berwitir 5 rakaat dimana beliau tidak duduk di antaranya kecuali di akhirnya saja.” (HSliGR. Abu Dâwud)
Hadis-hadis yang bersumber dari ‘Aisyah di atas, sepintas kilas seakan-akan saling bertentangan karena riwayat ‘A’isyah yang paling pertama menyebutkan 11 rakaat, sedang riwayat ‘A’isyah yang lain –termasuk riwayat Zayd bin Khâlid ra.– menyebutkan 13 rakaat. Tetapi jika dicermati secara seksama sebenarnya hadis-hadis tersebut tidaklah bertentangan, karena hadis yang menyebutkan 13 rakaat sudah termasuk di dalamnya 2 rakaat yang ringan-ringan (rak‘atayn khafîfatayn), apakah sebagai Shalat Iftitah ataukah sebagai Shalat Sunat Fajar. Abu Salamah ra ketika menyapa ‘Âisyah ra.
أَيْ أُمّهْ أَخْبِرِينِي عَنْ صَلاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كَانَتْ صَلاتُهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً بِاللَّيْلِ مِنْهَا رَكْعَتَا الْفَجْرِ
Wahai…Bunda (‘Âisyah), beritahukan kepadaku tentang shalat (malam) Rasulullah saw. Maka Bunda ‘Âisyah ra menjawab: “Shalat Rasulullah saw di dalam ataupun di luar bulan Ramadlan 13 rakaat, sudah termasuk di dalamnya 2 rakaat sunat Fajar.
Dengan demikian, substansi shalat malam Nabi saw baik di dalam ataupun di luar Ramadlan tetap maksimal 11 rakaat, di luar 2 rakaat shalat Iftitah dan di luar shalat sunat Fajar. Hanya saja, cara menghitungnya yang bermacam-macam tergantung perspektif masing-masing dari mana mereka mulai menghitung, demikian pula cara pelaksanaannya.
Jika hadis sebelumnya (HR. Ahmad) merinci tentang pelaksanaan format 8-5 dengan 2-2 rakaat lalu 5 rakaat witir langsung, maka untuk hadis ini menjelaskan format 6-5, yakni 6 rakaat dilaksanakan dengan 2-2 rakaat yaitu pada setiap 2 rakaat ada tasyahhud hingga berjumlah 6 rakaat salam, lalu 5 rakaat langsung tanpa duduk tahiyyat di antaranya, kecuali di akhir rakaat.
Hadis Shalat Witir 7 rakaat dengan format 4-3 rakaat, atau 9 rakaat dengan format 6-3 rakaat, atau 11 rakaat dengan format 8-3 rakaat, atau 13 rakaat dengan format 10-3 rakaat.
Dari ‘Âisyah ra berkata bahwa:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ قَالَتْ كَانَ يُوتِرُ بِأَرْبَعٍ وَثَلاَثٍ وَسِتٍّ وَثَلاثٍ وَثَمَانٍ وَثَلاثٍ وَعَشْرٍ وَثَلاثٍ وَلَمْ يَكُنْ يُوتِرُ بِأَنْقَصَ مِنْ سَبْعٍ وَلا بِأَكْثَرَ مِنْ ثَلاثَ عَشْرَةَ
“Rasulullah saw dulu melakukan shalat witir. Kata ‘Âisyah ra.: “Beliau berwitir 4 dan 3 rakaat, 6 dan 3 rakaat, 8 dan 3 rakaat, serta 10 dan 3 rakaat. Beliau tidak pernah melakukan witir kurang dari 7 rakaat, dan lebih dari 13 rakaat.” (HSR. Abu Dâwud)
Kebanyakan hadis yang menyebutkan jumlah rakaatnya berbeda tersebut menyebutkan bahwa Nabi saw shalat witir itu paling sedikit 7 rakaat dan paling banyak 13 rakaat, sudah termasuk di dalamnya shalat Iftitah atau shalat sunat Fajar. Sebagian hadis tersebut menyebutkan bahwa saat beliau masih cukup kuat, beliau mengerjakan shalat layl 13 rakaat (11 + 2 rakaat shalat sunat fajar atau 2 rakaat shalat iftitah). Namun ketika beliau sudah semakin tua dan lemah, beliau mengerjakan shalat layl 7 rakaat dalam keadaan berdiri, ditambah 2 rakaat shalat sunat fajar yang kadang dikerjakan sambil duduk.
Shalat Witir 3 rakaat, yakni 2 rakaat salam lalu 1 rakaat salam
Dari Ibn ‘Umar ra berkata bahwa ketika seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw tentang shalat witir (3 rakaat), maka beliau menjawab:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْصِلُ بَيْنَ الْوَتْرِ وَالشَّفْعِ بِتَسْلِيمَةٍ وَيُسْمِعُنَاهَا
“Rasulullah saw biasa memisahkan antara rakaat yang ganjil dan yang genap dengan salam dan kami dapat mendengarnya.” (HHR. Ahmad)
Shalat Witir 3 rakaat langsung salam
Dari Sa‘îd bin ‘Abd al-Rahmân bin Abza, dari Bapaknya, dari Ubay bin Ka’ab
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ فَإِذَا سَلَّمَ قَالَ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
“Rasulullah saw membaca dalam shalat witirnya dengan Sabbihisma Rabbika al-A‘lâ, Qul yâ Ayyuha al-Kâfirûn, dan Qul Huwa Allâhu Ahad. Apabila beliau salam, maka beliau mengucapkan: Subhânal-Malikil-Quddûs 3x.” (HSR. Abu Dâwud, al-Nasâ’i).
Hadis tentang 3 rakaat witir di atas sudah demikian jelas maksud matannya, namun ada dua hal yang perlu ditegaskan di sini:
Pertama, Ada riwayat yang melarang witir 3 rakaat dan menganjurkan 5 rakaat atau 7 rakaat. Sesungguhnya riwayat tersebut kurang lengkap dan bertentangan (syâdz/menyimpang) dengan riwayat yang lebih sahih, seperti hadis Nabi saw:
الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلاَثٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ
“(Shalat) Witir itu hukum yang berlaku bagi setiap muslim. Barangsiapa yang suka melakukan witir 5 rakaat maka hendaklah ia melakukannya. Barangsiapa yang suka melakukan witir 3 rakaat, maka hendaklah ia melakukannya. Dan barangsiapa yang suka melakukan 1 rakaat, maka hendaklah ia melakukannya.” (HSR. Abu Dâwud, al-Nasâ’i)
Sebenarnya yang dimaksud dengan larangan shalat witir 3 rakaat jika dilaksanakan seperti shalat Maghrib. Nabi saw bersabda:
لاَ تُوتِرُوا بِثَلاَثٍ تُشَبِّهُوهُ (تَشَبَّهُوا) بِصَلاَةِ الْمَغْرِبِ ، أَوْتِرُوا بِسَبْعٍ أَوْ بِخَمْسٍ.
“Janganlah kalian berwitir tiga rakaat dengan menyerupai shalat Maghrib, berwitirlah dengan 7 rakaat atau 5 rakaat.” (HSR. Al-Bayhaqi, al-Hâkim, al-Dâruquthni, Ibn Hibbân)
Dengan demikian, yang dilarang adalah melaksanakan shalat witir 3 rakaat dengan menyerupai shalat Maghrib.
Kedua, Bacaan ayat pada 3 rakaat shalat witir adalah setelah membaca al-Fatihah maka pada rakaat pertama membaca: Sabbih isma rabbika al-A‘la, pada rakaat ke-2: dengan: Qul yâ Ayyuha al-Kâfirûn, dan rakaat ke-3: Qul Huwa Allahu Ahad, tanpa menggandengkannya dengan surat al-mu‘awwidzatayn (yakni: Dua Qul a‘ûdzu) karena hadisnya daif/lemah menurut mayoritas ulama.
Shalat Witir 1 rakaat saja
Ibn ‘Umar ra berkata bahwa ketika seorang bertanya kepada Nabi saw tentang Shalat Layl, maka Nabi saw menjawab:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam itu dua-dua rakaat. Bila salah seorang kalian khawatir masuk waktu Subuh, maka cukup shalat 1 rakaat untuk mewitirkannya dari shalat malam yang telah dilakukannya.” (HSR. Al-Jamâ’ah)
Hadis qawli (perkataan) dari Nabi saw di atas menjelaskan bahwa shalat itu layl itu 2-2 rakaat dengan diakhiri satu rakaat. Sedemikian pentingnya shalat ini sehingga sangat dianjurkan Nabi saw untuk sedapat mungkin dikerjakan meskipun hanya satu rakaat. Kebolehan untuk mengerjakan satu rakaat ini berlaku umum, khususnya ketika sudah akan masuk Subuh. Meskipun tetap boleh mengerjakan 1 rakaat, namun jika masih awal malam dan tidak ada kekhawatiran masuk waktu Subuh, sebaiknya jangan pelit-pelit dengan hanya melaksanakan 1 rakaat saja.
Shalat Tarawih 20 Rakaat atau lebih, Adakah Hadisnya yang maqbûl?
Tuntunan shalat tarawih 20 rakaat umumnya didasarkan pada riwayat al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibn ‘Âbbâs ra. berkata:
كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّى فِى شَهْرِ رَمَضَانَ فِى غَيْرِ جَمَاعَةٍ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ.
“Nabi saw melakukan shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir”. (Hadis daif & palsu riwayat al-Bayhaqi, al-Thabrani dan Ibn Abi Syaibah)
Kedaifan hadis ini karena dalam sanadnya terdapat periwayat yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman al-Kûfi yang menurut Imam al-Tirmidzi, hadis-hadisnya adalah munkar, sedang al-Nasa‘i menilai hadis-hadis Abu Syaibah adalah matrûk. Al-Syu‘bah mengatakan Ibrahim bin Utsman adalah pendusta. Oleh karenanya hadis shalat tarawih 20 rakaat ini sangat lemah dan wajib ditolak karena mawdlû’ (palsu), matrûk dan munkar.
Nabi saw memang secara nyata tidak pernah mengerjakan shalal layl, baik di dalam maupun di luar Ramadlan lebih daripada 13 rakaat, apakah 20 rakaat, 23 rakaat, ataukah 40 rakaat. Tetapi dari mana munculnya tuntunan shalat malam 20 rakaat atau lebih, bahkan ada yang menganjurkan 1000 rakaat pun boleh bahkan disebut sudah mengikuti sunnah Nabi saw? Adakah landasan hadis yang maqbûl selain hadis palsu di atas? Sebab, demikian banyak hadis yang merinci bagaimana shalat malam Nabi saw, termasuk berapa jumlah rakaatnya, namun hingga kini penulis tidak juga menemukan landasan hadis maqbûl mengenai shalat 20 rakaat atau lebih. Dalil hadis yang biasa dijadikan sebagai kebolehan shalat malam hingga 20 rakaat atau lebih, hanya didasarkan pada pemahaman terhadap hadis yang sangat umum bahwa: “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat” atau “Barangsiapa shalat malam dengan dasar iman dan semata karena Allah, maka dosa-dosanya yang terdahulu akan diampuni Allah”. Kedua hadis ini sebenarnya tidak berbicara tentang batasan rakaat shalat layl sehingga tidak tepat bila dibawa kepada pemahaman bahwa shalat malam itu tanpa batasan rakaat. Shalat malam yang sesuai dengan sunnah Nabi saw adalah maksimal 11 rakaat, di luar shalat iftitah dan shalat sunnat sebelum Fajar. Karena shalat ini termasuk bagian dari ibadah khusus maka kaidah yang digunakan adalah tidak boleh dilaksanakan hingga ada dalil yang memerintahkannya.
Hadis Tidak Ada Dua Witir dalam Satu Malam
Ketika Qays bin Thalq berkunjung ke Thalq bin ‘Ali pada suatu sore di bulan Ramadlan dan berbuka di sana, mereka melakukan Qiyâm Ramadlân. Ketika tinggal shalat witir, maka seseorang beranjak maju dan Thalq ra pun berkata:
أَوْتِرْ بِأَصْحَابِكَ فَإِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ
“Berwitirlah bersama sahabat-sahabatmu, karena saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda tidak ada dua witir dalam satu malam.” (HHR. Abu Dâwud, al-Tirmidzi, al-Nasâi)
Ada dua kemungkinan makna dari ungkapan hadis di atas, yakni: Pertama; Tidak boleh ada dua shalat witir (dalam arti sempit yakni shalat sunat dengan rakaat ganjil) dalam satu malam. Kedua; Tidak ada dua shalat witir (dalam arti luas, yakni shalat layl secara keseluruhan karena Nabi saw tidak pernah tidak, mesti mengakhiri shalat layl-nya dengan rakaat ganjil) dalam satu malam.
Kalaupun makna pertama yang dipakai, maka tidak benar bila ada yang mengerjakan shalat tarawih 11 rakaat di awal waktu, lalu pada malam harinya bangun tidur untuk melaksanakan shalat layl atau shalat tahajjud (shalat malam setelah bangun dari tidur) dengan menambah 1 rakaat untuk membatalkan witir yang telah dikerjakannya supaya menjadi genap, lalu mengerjakan 11 rakaat lagi sehingga total rakaatnya adalah 23 rakaat. Jika mengerjakan hal tersebut berarti sama dengan mengerjakan 3 kali witir dalam satu malam, dan ini menabrak hadis larangan 2 kali witir dalam semalam. Maka sebagian ulama menganjurkan jika tetap hendak shalat tahajjud maka tinggalkan (tunda) shalat witir pada saat shalat tarawih dan nanti dilakukan pada saat shalat di akhir malam. Atau saat shalat tahajjud tidak usah berwitir lagi, karena sudah dilakukan pada saat shalat Tarawih. Hanya saja memang tidak ada satupun hadis yang menceritakan bahwa Nabi saw pernah bertahajjud tanpa menutupnya dengan rakaat witir, kecuali beliau pernah shalat 2 rakaat ringan yang sebenarnya bukanlah shalat tahajjud yang dimaksud, tapi shalat sunat sebelum fajar.
Jika makna kedua yang dipakai, maka tidak ada lagi pertentangan karena memang tidak satu pun hadis yang menyebutkan bahwa Nabi saw pernah shalat tarawih di awal malam ba‘da shalat Isya kemudian malam harinya bangun untuk melaksanakan shalat layl rakaat.
Catatan:
Hingga sekarang penulis belum menemukan adanya riwayat yang sah yang menuntunkan adanya bacaan di sela-sela istirahat antara rakaat shalat tarawih kecuali di akhir setelah shalat witir selesai.
Boleh shalat layl berjama‘ah
Ada beberapa sahabat yang pernah bermakmum shalat malam pada Rasulullah saw, seperti Ibn ‘Abbâs, Hudzayfah, Ibn Mas’ud, Anas bin Malik, ‘Utban bin Malik dan Abu Bakar. Ibn ‘Abbâs ra menceritakan bahwa ketika ia masih muda belia yakni sekitar umur 10 tahun, ia pernah menginap bersama Nabi saw di rumah Maymunah binti al-Hârits –istri Nabi saw-:
…كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا فِي لَيْلَتِهَا فَصَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ ثُمَّ قَالَ نَامَ الْغُلَيِّمُ أَوْ كَلِمَةً تُشْبِهُهَا ثُمَّ قَامَ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ خَطِيطَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاةِ
“…Nabi saw waktu itu bersama istrinya pada malam itu lalu shalat Isya’. Kemudian beliau datang ke rumahnya, dan shalat 4 rakaat, kemudian tidur. Beliau lalu bangun dan berkata: Si kecil (maksudnya Ibn ‘Abbâs) sudah tidur atau ucapan semacamnya. Kemudian beliau berdiri, dan akupun berdiri (untuk shalat) di samping kirinya. Maka beliaupun memindahkanku ke kanannya. Lalu shalat (witir) 5 rakaat. Kemudian beliau shalat 2 rakaat (sunat fajar). Beliau kemudian tidur hingga aku mendengar suara nafas pelan beliau, lalu beliau keluar untuk shalat.” (Muttafaq ‘alayh)
Di luar bulan Ramadlan, Nabi saw lebih sering mengerjakan shalat layl sendirian, sedangkan di bulan Ramadlan (qiyâmu Ramadlân) beliau mengerjakannya secara berjama’ah pada tengah malam, dan kebiasaan berjamaah inilah yang berlangsung hingga saat ini. Berdasarkan hadis-hadis di atas, maka untuk mengajarkan dan membangkitkan motivasi beribadah, maka sesekali shalat malam boleh dilakukan secara berjama’ah.
Narasumber utama artikel ini:
Syakir Jamaluddin