banner 728x90

Bekerja untuk Beribadah

Diriwayatkan bahwa Al Farabi  adalah orang yang amat bersahaja, yang mencari sesuap pagi sesuap petang makanan dengan mengelola taman milik seorang hartawan. Namun, manakala tiba waktu malam, dengan berbekal lampu minyak, dia berkelana di dunia filsafat mengikuti kecemerlangan pemikirannya.

 

Kisah Al Farabi

Kita akan sedikit menengok khazanah tokoh teladan dalam sejarah Islam — hanya untuk memetik hikmah kehidupan, tanpa maksud mengkultuskan. Kita mengenal nama Al Farabi. Dialah filsuf Muslim klasik yang dijuluki “Guru Besar Kedua”, karena menjadi jembatan keilmuan modern dengan khazanah Yunani, yang memiliki “Guru Besar Pertama”, yakni Aristoteles.

Nama tokoh ini mengikuti nama Kota Farab di wilayah Kazakhtan, yang tidak lain adalah kampung halaman tokoh bernama Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Auzalagh bin Thurkhan. Waktu kelahirannya kurang dapat dipastikan, namun wafatnya dalam umur 80-an tahun terjadi.

Al Farabi memberi syarah dan komentar atas falsafah Aristoteles dan Plato, serta memperkaya filsafat dengan pemahamannya tentang Islam. Komentar dan analisanya itu menjadi jembatan dari keilmuan Barat ke tradisi Yunani. Dua bukunya, Madinatun Fadhlillah (Negara Utama) dan Siyasatul Madaniah (Pengorganisasian Negara) merupakan kajian penting tentang tatakelola masyarakat yang baik — suatu persoalan yang sebagian masih relevan hari ini. Sebutan “Guru Besar Kedua” itu bukan main-main karena ilmu pengetahuan modern berhutang-budi kepada putera seorang pembesar militer Persia itu.

Diriwayatkan bahwa Al Farabi  adalah orang yang amat bersahaja, yang mencari sesuap pagi sesuap petang makanan dengan mengelola taman milik seorang hartawan. Namun, manakala tiba waktu malam, dengan berbekal lampu minyak, dia berkelana di dunia filsafat mengikuti kecemerlangan pemikirannya.

Boleh dibilang,  pekerjaan Al Farabi adalah tukang kebun. Sedang karya-karya pemikirannya (yang menjadi dasar dan pembelajaran filsafat sosial sampai jauh setelah wafatnya pada bulan Rajab tahun 339 H atau Desember 950 M) itu merupakan karya amal-ibadahnya. Jadi Al Farabi tepat menjadi gambaran tentang seseorang yang bekerja, lalu dengan bekerjanya itu memungkinkan dia beribadah secara lebih luas.

 

Mengapa harus bekerja?

Kita manusia memiliki kebutuhan mendasar untuk hidup, beribadah dan berkarya. Karena tujuan keberadaan manusia di dunia tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah, maka hidup manusia harus dijaga dan ditegakkan — tidak lain agar dipergunakan untuk beribadah.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. [Adz Dzariyat: 56]

Cara untuk menjaga hidup agar dapat beribadah kepada Allah adalah dengan menjadi berdaya. Untuk sampai ke situ manusia harus bekerja — dan tentu saja menjaga kesehatannya. Dengan bekerja mencari rezeki seseorang akan dapat beribadah kepada Tuhannya; sementara perbuatan bekerja itu juga merupakan bentuk ibadah manakala diniati dengan benar, termasuk dimulai dengan membaca Asma Allah. Sehingga kita menemukan hubungan yang saling-berbalasan antara bekerja dan beribadah sebagai berikut:

Bekerja mencari nafkah untuk membuat diri seseorang berdaya, merupakan perbuatan wajib karena dari situ memungkinkan kita memenuhi kewajiban yang lain. Sementara itu berbuat sesuatu untuk mencari ridha Allah —misalnya membantu orang lain— meskipun itu bukan untuk mencari nafkah, adalah perbuatan mulia yang dijanjikan pahala-kemuliaan untuknya.

Ayat berikut menegaskan lagi pokok bahasan di atas.

 

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang telah Allah karuniakan kepadanya. Allah tidaklah memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan” [Ath-Thalaq : 7].

Juga firman Allah.

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik”. [Al Baqarah : 233].

Nabi SAW juga pernah mengatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqqas: “Sesungguhnya bila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, (itu) lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam kekurangan dan menjadi beban orang lain”. (HSR Bukhari && Tirmidzi). Perkataan itu diucapkan Nabi setelah Sa’ad bermaksud menyedekahkan semua hartanya; yang kemudian disarankan beliau agar menyedekahkan sepertiga saja, karena proporsi demikian itu sudah banyak, sementara keluarganya juga harus dicukupinya.

Nabi dalam haditsnya menganjurkan kita kaum muslimin untuk berusaha dan mencari nafkah apa saja bentuknya, asalkan itu halal, baik, tidak ada syubhat, dan tidak dengan meminta-minta. Kita disunnahkan untuk ta’affuf (memelihara diri dari minta-minta), sebagaimana yang Allah SWT sebutkan dalam firman-Nya.

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah ayat 273].

 

Itu dikuatkan dengan pelbagai kejadian sepanjang hidup Nabiyullah, yang siap kita jadikan teladan saat ini. Diriwayatkan dari Zubair bin Awwam dan Abu Hurairah yang mengatakan bahwa:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَحْتَطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْتِيَ رَجُلًا فَيَسْأَلَهُ أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ

Rasulullah SAW bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh seorang dari kalian yang mengambil talinya lalu dia mencari kayu bakar dan dibawa dengan punggungnya lebih baik baginya daripada dia mendatangi seseorang lalu meminta kepadanya, baik orang itu memberi atau menolak”. (HSR Bukhari ) 

Ucapan Nabi di atas disampaikan kepada para sahabat yang ganti menyampaikannya kepada orang lain. Khazanah hadits setidaknya merekam 11 jalur berbeda yang saling menguatkan yang dicatat para imam hadits dan akhirnya sampai kepada kita, yakni: Ahmad (mencatat tiga jalur), Bukhari (empat, termasuk yang di atas), Malik (satu), Nasai (dua) dan Tirmidzi (satu).

Bahkan orang tetap saja bisa bekerja dalam kondisi apapun. Namun jika itu sudah tidak mungkin dia lakukan tetap saja dia bisa berkarya dengan caranya sendiri.

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ فَقَالُوا يَا نَبِيَّ اللَّهِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ يَعْمَلُ بِيَدِهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ قَالُوا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ يُعِينُ ذَا الْحَاجَةِ الْمَلْهُوفَ قَالُوا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ فَلْيَعْمَلْ بِالْمَعْرُوفِ وَلْيُمْسِكْ عَنْ الشَّرِّ فَإِنَّهَا لَهُ صَدَقَةٌ

Nabi SAW bersabda: “Wajib bagi setiap muslim bershadaqah”. Para sahabat  bertanya: “Wahai Nabi Allah, bagaimana kalau ada yang tidak sanggup?”. Beliau menjawab: “Dia bekerja dengan tangannya sehingga bermanfaat bagi dirinya lalu dia bershadaqah”. Mereka bertanya lagi: “Bagaimana kalau tidak sanggup juga?”. Beliau menjawab: “Dia membantu orang yang sangat memerlukan bantuan”. Mereka bertanya lagi: “Bagaimana kalau tidak sanggup juga?”. Beliau menjawab: “Hendaklah dia berbuat kebaikan (ma’ruf) dan menahan diri dari keburukan karena yang demikian itu berarti shodaqah baginya”. [HR Bukhari]

 

 

Fenomena Bekerja di Zaman Ini

Dalam melakukan pekerjaan —apapun jenisnya— Islam menuntun kita untuk sungguh-sungguh, itqan atau sebaik-baiknya, sesempurna mungkin (profesional), sabar dan berserah diri kepada Allah terhadap hasil akhir (output)-nya. Di sinilah istilah jihad memperoleh bentuknya; yakni diwujudkan dalam proses bekerja tadi. Dengan demikian proses-proses itu bisa digambarkan mengelilingi kegiatan bekerja sehingga terlihat sebagai berikut.

Di kota-kota besar tiap tahun rutin diadakan acara yang disebut “pasar bursa kerja”, yakni rekrutmen karyawan perusahaan dipusatkan di satu tempat dan berbareng. Pola yang digunakan persis seperti pasar tempat jual-beli barang sehari-hari. Gerai-gerai perusahaan dibuka berderet-deret dengan tatanan mencolok, berlomba-lomba menarik minat pengunjung. Leaflet, selebaran, cenderamata disediakan cuma-cuma.  Bedanya dengan los-los di pasar: yang dijajakan di sini bukan barang melainkan lowongan pekerjaan.

Pengunjung dapat datang ke setiap gerai perusahaan, mencari informasi tentang lowongan yang tersedia. Menjajagi kecocokan dengan ijazah, keahlian dan minat yang dimiliki dengan tuntutan  dan fasilitas yang disediakan perusahaan tersebut, termasuk besaran gaji, tunjangan, ketentuan cuti, bonus dan promosi jabatan. Jika pengunjung tidak cocok dengan yang ditawarkan perusahaan tersebut, dia dapat ke gerai yang lain lagi. Sementara perusahaan itu juga dapat menolak pengunjung yang ijazah dan keahliannya tidak sesuai dengan yang dicari.

Pendeknya, pasar bursa kerja itu merupakan wujud temuan akal-budi manusia yang cerdas, praktis menjawab kebutuhan dan memudahkan semua pihak — khas inovasi teknologi zaman modern. Namun di situ pula kita akan mudah menemukan snobisme yang memprihatinkan. Apa itu snobisme? Istilah snob dalam kamus berarti “orang yang senang meniru gaya hidup atau selera orang lain yang dianggap lebih daripadanya tanpa perasaan malu”. Sedangkan “snobisme” adalah sikap atau cara hidup seorang snob.

Snobisme yang kita temukan di situ menyangkut sikap orang terhadap kerja dan pekerjaan. Yakni, kerja atau pekerjaan yang baik adalah:  pekerjaan kantoran, yang populer, yang banyak teman, kelihatan wah atau menghasilkan banyak uang.

Di zaman modern ini snobisme dimanfaatkan oleh perusahaan industri untuk kepentingannya bahkan dikaji secara ilmiah, misalnya, di bawah tema: perilaku konsumen, komunikasi periklanan dan psikologi industri. Fenomena gandrung artis, konser-konser yang meriah padahal tiketnya relatif mahal, olahraga massal, fans yang fanatik — semua merupakan bentuk rekayasa perilaku snob.

Snobisme seperti itu menuntun orang untuk berbuat keliru. Sebab, tidak ada pertimbangan kritis terhadap perbuatan meniru atau snob itu. Mestinya, meniru itu diperbolehkan sejauh dilakukan dengan dasar pertimbangan yang benar. Dalam soal pekerjaan, benar-tidaknya hal itu dilihat pada: (1) motif di balik dipilihnya suatu pekerjaan; (2) cara pekerjaan itu dilaksanakan dan (3) tujuan akhir atau hasil akhirnya terhadap kemanusiaan.

Mari kita lihat kekeliruan perbuatan asal meniru atau snob dalam memilih pekerjaan tadi.

MOTIF. Dalam memilih pekerjaan, motif yang mendasari seharusnya diperbaiki menjadi: menjemput rezeki untuk “mencari ridha Allah” atau “dalam rangka beribadah” atau “agar dengan itu kita dan keluarga dapat berkarya sebagai hamba Allah”.  Nah, niat seperti itu tentu berbeda jauh dari niat bekerja supaya kaya atau demi gengsi atau supaya dihargai tetangga dan kenalan.

CARA. Pekerjaan dilakukan harus dengan mengindahkan adab agama maupun adab bekerja. Adab agama diperoleh dari tuntunan yang sudah jelas nash dan dalilnya dalam Islam. [Dalam Tuntunan Islam edisi selanjutnya akan dabahas lebih lanjut, insya Allah.] Sedangkan adab bekerja ditentukan oleh aturan bagaimana pekerjaan itu dilakukan — dalam istilah lain mungkin disebut sebagai pedoman pelaksanaan baku, panduan kerja, tata kerja atau istilah lainnya.

TUJUAN. Yang dimaksud adalah tujuan atau akibat jangka pendek dan panjang jika pekerjaan itu dilakukan. Diharapkan, hasil pekerjaan akan memiliki manfaat bagi diri kita dan orang lain. Bahkan akan lebih baik lagi jika pekerjaan itu hasilnya akan mengangkat derajat manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Pekerjaan itu seharusnya berhasil-guna, ada hasilnya atau dilaksanakan bukan untuk kesia-siaan belaka. Sehingga kisah Sisyphus dalam dongeng Yunani (yang terus menerus mengusung batu ke puncak gunung lalu batu itu menggelinding lagi ke bawah)  itu tidak dilakukan. Harus dicari cara agar pekerjaan itu berhasil-guna, atau kalau tidak, ya harus ditinggalkan.

Sosok seperti Al Farabi, misalnya, layak dijadikan teladan. Dia seorang filsuf atau pemikir ulung yang mewariskan kepada kita berjilid-jilid kitab penting hasil karyanya. Pada malam hari dia menuangkan gagasan-gagasannya dengan menulis mempergunakan bulu dan tinta di atas perkamen. Apa yang dikerjakannya pada siang hari? Dia bekerja menjadi pengolah taman pada seorang hartawan. Diolahnya tanah dengan mencangkul, menggaru, menebar rabuk; menanaminya dengan bunga-bunga dan tanaman; menyianginya sepanjang siang — dari situ dia memperoleh nafkah sehari-hari. Lalu malam harinya berpikir, berfilsafat, berdiskusi dan menulis.

 

 

Bekerja dalam Batas “Maghrib”

Pekerjaan tidak perlu merupakan pekerjaan “krah putih”, yang membuat leher baju (=krah) tidak bernoda daki sama sekali. Juga tidak perlu yang populer, yang banyak teman, yang wah atau menghasilkan banyak uang. Semua pekerjaan itu mulia asal motif, cara dan tujuannya benar.

Untuk menjaga agar selalu berada di jalan yang lurus, ulama fiqh sudah merumuskan cara agar siapapun pencari kerja dapt selalu menjaga diri untuk tidak terjebak oleh godaan sesaat dalam mencari rezeki. Untuk memudahkan, di sini dikenal istilah “maghrib”, yang artinya bukanlah penanda waktu, melainkan rambu-rambu yang wajib dijauhi dalam bekerja dan mencari pekerjaan. “Maghrib” ini merupakan akronim dari istilah Arab: maisir, gharar, ghashab,  haram, riba dan bathil. Ke-6 aspek itu harus dihindari jauh-jauh dalam bekerja dan mencari pekerjaan. Rinciannya sebagai berikut:

MAISIR

Arti maisir adalah gampang atau mudah, berasal dari akar kata yusrun. Sebagai istilah, maisir berarti judi. Dalam praktik perjudian seseorang dapat memperoleh keuntungan dengan cara mudah; tetapi semudah itu pula mengalami kerugian dan kebangkrutan. Ajaran Islam mendorong orang untuk berusaha dan bekerja keras. Larangan terhadap judi atau maisir itu sendiri dijelaskan dalam Surah Al Baqarah 219 dan Al Maaidah 90.

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” (QS Al Baqarah 219)

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS Al Maaidah 90)

Maka secara umum, pekerjaan yang untung-untungan dan kelewat mudah, sementara hasilnya kelewat besar, harus diwaspadai. Bukannya disambut sukacita ibarat seperti menemukan durian runtuh. Sebab, besar kemungkinan ada pihak lain entah siapa yang dirugikan olehnya.

GHARAR & GHASHAB

Gharar berarti pertaruhan. Kadang gharar juga dipahami sebagai syak atau keraguan. Pekerjaan yang melibatkan transaksi yang masih belum jelas barangnya, atau tidak berada dalam kuasa yang bertransaksi alias di luar jangkauan dia, itu termasuk jual beli gharar. Konsep gharar berkisar pada makna ketidaktentuan dan ketidakjelasan sesuatu transaksi yang dilaksanakan.

Mengambil contoh transaksi jual-beli, gharar meliputi keadaan

  • Barang yang ditransaksikan itu wujud atau tidak;
  • Barang yang ditransaksikan itu mampu diserahkan atau tidak;
  • Transaksi itu dilaksanakan secara tidak jelas; atau akad dan kontraknya tidak jelas; bisa juga waktu dan cara pembayarannya. Contohnya, membeli burung di udara atau ikan dalam air atau membeli ternak yang masih dalam kandungan induknya; juga kegiatan spekulasi jual beli valuta asing.

 

Ghashab menurut bahasa berarti mengambil secara zalim. Secara populer, dalam praktik sehari-hari berarti mengambil hak milik orang lain tanpa izin meskipun tanpa berniat untuk memilikinya — kalau berniat untuk memilikinya, itu namanya mencuri.

Menurut syariat, ghashab berarti menguasai harta orang lain dengan alasan yang tidak benar. Dalam kasus-kasus kecil, seperti menggunakan barang tanpa izin, meminjam dan tidak bertanggungjawab atas kerusakannya, semua itu merupakan konteks ghashab. Tindakan ini termasuk kezaliman yang diharamkan di dalam Al Quran, As-Sunnah dan Ijma’. Pelakunya harus mengembalikan apa yang di-ghashab, karena itu termasuk masalah mengembalikan keadilan kepada orang yang dizalimi.

Pekerjaan menimbun barang dapat digolongkan ghashab karena motif penguasaan secara curang terhadap barang yang dibutuhkan orang lain. Niscaya terhadap ini berlaku peringatan hadits dari Umar tadi: “Orang yang mencari nafkah itu diberi rizki dan orang yang menimbun itu dilaknat.”

HARAM

Pekerjaan yang pusat kegiatannya menyangkut barang haram atau kemaksiatan, maka harus menjadi batas yang tidak boleh dimasuki atau diikuti. Bekerja menyelenggarakan pelacuran, atau terkait dengan kemaksiatan apapun, jelas haram dan harus dijauhi. Pekerjaan memanipulasi, sama haramnya dengan korupsi. Demikian juga pekerjaan memalsu dokumen atau karya seni, misalnya, sama terlarangnya dengan contoh-contoh terdahulu.

RIBA

Riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam yang  bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. Pelarangan riba telah dinyatakan dalam beberapa ayat Al Quran. Ayat-ayat mengenai pelarangan riba diturunkan secara bertahap. Tahapan-tahapan turunnya ayat dimulai dari peringatan secara halus hingga peringatan secara keras — mirip dengan larangan perbudakan yang sudah menyatu dengan sistem sosial di Arab kala itu. Sampai kepada kita dewasa ini, riba merupakan praktik terlarang, sama seperti perbudakan.

BATHIL

Bathil dapat diartikan kebohongan, kepalsuan-pemalsuan, penipuan, kedustaan, tipu muslihat, sumpah palsu. Pekerjaan yang melibatkan proses transaksi, harus menjunjung prinsip tidak ada kebathilan yang mewujud kezaliman yang dirasa pihak-pihak yang terlibat. Semuanya harus sama-sama rela dan adil sesuai takaran dan proporsinyanya. Kecurangan, ketidakjujuran, menutupi cacat barang, mengurangi timbangan, semua itu tidak dibenarkan. Begitu pekerjaan menyerempet kebathilan, maka harus segera ditinggalkan.

Demikianlah kita umat Islam harus bekerja keras, bekerja cerdas, bekerja taat azas dan senantiasa berhati-hati terhadap “batas maghrib” itu. ⓿

Tim Redaksi

banner 468x60