Shalat gerhana disebut dengan istilah shalat kusuf untuk gerhana matahari dan shalat khusuf untuk gerhana bulan. Sering juga digunakan bentuk ganda “kusufain” untuk menyebut gerhana matahari dan gerhana bulan sekaligus. Penyebutan kedua istilah tersebut di dasarkan kepada beberapa hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam (SAW), sekalipun terkadang terjadi pertukaran di antara keduanya.
Pada masa Rasulullah SAW, pernah terjadi gerhana bertepatan dengan kematian putra beliau yang bernama Ibrahim. Peristiwa ini menimbulkan kesalahpahaman di kalangan ummat. Mereka mengaitkan gerhana tersebut dengan kematian putra beliau. Karena itu, Rasulullah SAW segera meluruskan kesalahpahaman tersebut, sebagaimana hal ini dijelaskan di dalam hadits berikut ini:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُخَوِّفُ بِهِمَا عِبَادَهُ. – رواه البخاري و مسلم
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Tapi, Allah Ta’ala menakut-nakuti hamba-Nya dengan keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kesalahpahaman mengenai kejadian gerhana yang dikaitkan dengan kepercayaan-kepercayaan yang keliru juga sering dimiliki oleh sebagian masyarakat Indonesia. Dan oleh karenanya mereka melakukan berbagai upacara ritual, seperti ruwatan atau semacamnya agar kejadian yang tak diinginkannya tidak terjadi. Hal inilah yang pernah diluruskan oleh Rasulullah. Beliau menjelaskan bahwa peristiwa gerhana adalah menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, bukan disebabkan oleh kematian seseorang atau kelahirannya. Melalui peristiwa gerhana Allah bermaksud menakut-nakuti hamba-hamba-Nya agar segera kembali kepada-Nya. Lalu Rasulullah memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang bisa menghilangkan rasa takut dan mencegah turunnya musibah, yaitu beristighfar, berdzikir, bertakbir, bershadaqah, membebaskan budak, dan shalat gerhana.
عَنِ الْمُغِيرَةِ بنِ شُعْبَةَ قال انْكَسَفَتْ الشَّمْسُ يوم مَاتَ إِبْرَاهِيمُ فقال الناس انْكَسَفَتْ لِمَوْتِ إبراهيم فقال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ من آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ ولا لِحَيَاتِهِ فإذا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حتى يَنْجَلِيَ – رواه البخاري
“Dari al-Mughirah Ibn Syu‘bah RA (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Terjadi gerhana matahari pada hari meninggalnya Ibrahim. Lalu ada orang yang mengatakan terjadinya gerhana itu karena meninggalnya Ibrahim. Maka Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Apabila kamu melihat hal itu, maka berdoalah kepada Allah dan kerjakan salat sampai matahari itu terang (selesai gerhana) [HR al-Bukhari].
Amalan Sunnah Saat Gerhana
- Memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, sedekah, dan amal-amal kebajikan lainnya.
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ ، فَادْعُوا اللَّهَ ، وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا – رواه البخاري و مسلم
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah, tidaklah terjadi gerhana keduanya karena kematian seorang manusia atau kelahiran seorang manusia. Maka jika kalian melihat gerhana, berdoalah kalian kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah!” (HR. Bukhari dan Muslim)
عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ لَقَدْ أَمَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِالْعَتَاقَةِ فِي كُسُوفِ الشَّمْسِ. – رواه البخاري
Dari Asma’ binti Abu Bakar RA berkata: “Nabi SAW memerintahkan untuk memerdekakan budak saat terjadi gerhana matahari.”(HR. Bukhari )
2. Segera berangkat ke masjid untuk melaksanakan shalat gerhana secara berjama’ah
Dalam hadits dari Aisyah RA dia berkata:
رَكِبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ غَدَاةٍ مَرْكَبًا فَخُسِفَتِ الشَّمْسُ ، فَخَرَجْتُ فِي نِسْوَةٍ بَيْنَ ظَهْرَانَيِ الْحِجْرِ فِي الْمَسْجِدِ ، فَأَتَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَرْكَبِهِ فَقَصَدَ إِلَى مُصَلَّاهُ الَّذِي كَانَ فِيهِ ، فَقَامَ وَقَامَ النَّاسُ وَرَاءَهُ – رواه البخاري و مسلم
Rasulullah SAW pada suatu pagi menaiki kendaraannya, lalu terjadi gerhana matahari. Maka saya bersama kaum wanita keluar menuju masjid di antara kamar-kamar kami. Rasulullah SAW datang dengan kendaraannya, lalu menuju tempat ia biasa shalat. Beliau berdiri untuk shalat dan manusia berdiri di belakang beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim dengan lafal Muslim).
3. Wanita-wanita muslimah juga dianjurkan ikut keluar untuk melakukan shalat berjama’ah di masjid manakala dirasakan situasi aman dari bahaya (godaan terhadap lawan jenis, dll). Dalilnya adalah hadits Asiyah RA di atas.
4. Hendaklah dikumandangkan seruan dengan lafadz الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ untuk memanggil jama’ah agar berkumpul di masjid untuk melakukan shalat gerhana. Seruan ini dikumandangkan sebagai pengganti adzan dan iqamat.
Berdasar hadits shahih:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : ” لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُودِيَ إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ – رواه البخاري
Dari Abdullah bin Amru bin Ash RA berkata: “Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah SAW, maka dikumandangkan seruan ‘Ash-shalaatu jaami’ah‘.” (HR. Bukhari)
Hadits yang semakna diriwayatkan juga oleh imam Muslim dari jalur Aisyah RA.
5. Hendaklah seseorang mendirikan shalat gerhana secara berjamaah di masjid dan diikuti khutbah seusai shalat.
Dasar Hukum Shalat Gerhana
Dasar hukum shalat gerhana matahari dan gerhana bulan ditunjukkan oleh sejumlah hadis-hadits shahih, baik hadits qouliyah yang berisi perintah Rasulullah SAW melalui sabda-Nya maupun hadits fi’liyah yang berisi penjelasan mengenai perbuatan Rasulullah SAW.
Di antara Hadits qouliyah berbunyi:
عن أبي مَسْعُودٍ قال قال النبي صلى الله عليه وسلم إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ من الناس وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ من آيَاتِ اللَّهِ فإذا رَأَيْتُمُوهُمَا فَقُومُوا فَصَلُّوا – رواه البخاري ومسلم
Artinya: Dari Abu Mas’ud RA, ia berkata: Nabi SAW telah bersabda: Sesungguhnya matahari dan Bulan tidak gerhana karena kematian seseorang, akan tetapi keduanya adalah dua tanda kebesaran Allah. Maka apabila kamu melihat gerhana keduanya, maka berdirilah dan kerjakan salat [HR al-Bukhari dan Muslim].
Di antara Hadits fi’liyah adalah:
عن عَائِشَةَ أَنَّ الشَّمْسَ خَسَفَتْ على عَهْدِ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَبَعَثَ مُنَادِيًا الصَّلاَةَ جَامِعَةً فَتَقَدَّمَ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ في رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعِ سَجَدَاتٍ – رواه البخاري واللفظ له ، ومسلم ، وأحمد .
Artinya: Dari Aisyah (diriwayatkan) bahwa pernah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW, maka ia lalu menyuruh orang menyerukan “ash-shalatu jami‘ah”. Kemudian beliau maju, lalu mengerjakan salat empat kali rukuk dalam dua rakaat dan empat kali sujud [HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad].
Berdasarkan kedua hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semakna, para ulama bersepakat bahwa shalat gerhana adalah masyru’ (disyari’atkan). Mengenai hukumnya, para Ulama’ berbeda pandangan. Jumhur ulama berpendapat bahwa shalah gerhana hukumnya sunnah mu’akkadah (sangat ditekankan). Mereka beralasan dengan membatasi shalat wajib hanya yang lima waktu saja. (Lihat: Subulus Salam: II/135). Dalam hal ini Imam an Nawawi rahimahullah berkata, “para ulama bersepakat dalam kontek ijma’ bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah.” (Syarh An Nawawi ‘Ala Shahih Muslim: (VI/451). Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “shalat gerhana hukumnya sunnah mu’akkadah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melaksanakannya dan memerintahkannya.” (Al Mughni: III/330). Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “jumhur ulama bersepakat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah mu’akkadah.” (Fath Al Baari: II/527)
Sebagian ulama’, seperti Abu Hanifah, Ibnul Qoyyim, Syaikh Abdul Aziz bin Bazz dan lain-lain berpandangan hukum shalat gerhana adalah wajib. Pandangan ini didasarkan kepada hadits yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melaksanakan dan memerintahkannya. Bahkan, ketika terjadi gerhana, beliau keluar dengan tergesa-gesa seraya berseru bahwa gerhana itu terjadi untuk menakut-nakuti manusia. Beliau lalu menyampaikan khutbah yang luar biasa, bahwa surga dan neraka pernah dinampakkan kepada beliau.
Menurut Syaikh Al Qahthani, semua ini menjadi indikasi wajibnya shalat gerhana. Seandainya, shalat gerhana tidak wajib, sehinga umat manusia tidak berdosa karena meninggalkannya padahal Nabi telah memerintahkannya, niscaya hal ini perlu ditinjau kembali. (Ensiklopedi Shalat: III/16)
Di antara dua pendapat di atas, Muhammadiyah memilih pendapat yang pertama sebagai pendapat yang terkuat yakni sunat mu’akkadah. Dasarnya sebagaimana dikemukakan oleh jumhur ulama’ bahwa Rasulullah SAW telah membatasi shalat wajib hanya 5 waktu sehari semalam, sehingga perintah melaksanakan shalat gerhana bersifat anjuran bukan wajib. Dasarnya hadits berikut ini:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ ثَائِرُ الرَّأْسِ يُسْمَعُ دَوِيُّ صَوْتِهِ ، وَلاَ يُفْقَهُ مَا يَقُولُ حَتَّى دَنَا فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ ، عَنِ الإِسْلاَمِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ ، فَقَالَ : هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا ؟ قَالَ : لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ – رواه البخاري
Artinya: Telah datang kepada Rasulullah SAW seorang dari penduduk Najed dalam keadaan kepalanya penuh debu dengan suaranya yang keras terdengar, namun tidak dapat dimengerti apa maksud yang diucapkannya, hingga mendekat (kepada Nabi SAW), kemudian dia bertanya tentang Islam, maka Rasulullah menjawab: “Shalat lima kali dalam sehari semalam”. Kata orang itu: “Apakah ada lagi selainnya buatku”. Nabi SAW: “Tidak ada kecuali yang thathawu’ (sunat)”.
Yang Melakukan Shalat Gerhana
Shalat gerhana dilakukan oleh orang yang berada pada kawasan yang mengalami gerhana. Sedangkan orang di kawasan yang tidak mengalami gerhana tidak melakukan shalat gerhana. Dasarnya: pertama, Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari sebagaimana disebutkan di atas yaitu pada ungkapan رَأَيْتُمُوهُمَا (‘kamu melihat keduanya’), yang berarti mengalami gerhana secara langsung. Kedua, hadits fi’liyah yang menjelaskan kenyataan bahwa Rasulullah SAW melaksanakan salat gerhana ketika mengalaminya secara langsung. Ketiga, sesuai dengan pemahaman para fuqaha bahwa apabila gerhana berakhir, berakhir pula waktu salat gerhana, dan apabila matahari tenggelam dalam keadaan gerhana juga berakhir waktu salat gerhana matahari. Tenggelamnya matahari jelas terkait dengan lokasi atau kawasan tertentu sehingga orang yang tidak lagi mengalami gerhana karena matahari telah tenggelam di balik ufuk, tidak melakukan salat gerhana. Begitu pula pula apabila gerhana bulan terjadi di waktu pagi menjelang terbitnya matahari, maka waktu salat gerhana bulan berakhir dengan terbitnya matahari. Ibn Taimiyyah (w. 728/1328) menegaskan,
فإن صَلاَةَ اْلكُسُوْفِ وَاْلخُسُوْفِ لاَ تُصَلَّى إِلاَّ إِذَا شَاهَدْناَ ذَلِكَ [مجموع الفتاوى ، 24: 258] .
Artinya: Sesungguhnya salat gerhana matahari dan gerhana Bulan tidak dilaksanakan kecuali apabila kita menyaksikan gerhana itu [Majmu‘ al-Fatawa, 24: 258].
Jadi, Jika di suatu daerah tidak nampak gerhana, maka tidak ada perintah melaksanakan shalat gerhana. Karena shalat gerhana ini diperintahkan bagi siapa saja yang melihatnya sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas
Perempuan juga ikut melaksanakan salat gerhana karena keumuman perintah melaksanakan salat gerhana dalam hadis-hadis yang dikutip di atas.(Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah)
Waktu Pelaksanaan Shalat Gerhana
Shalat gerhana (kusufain) dilaksanakan pada saat terjadi gerhana, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Mughirah di atas. Rasulullah bersabda:
فإذا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حتى يَنْجَلِيَ – رواه البخاري
Artinya:. Apabila kamu melihat hal itu, maka berdoalah kepada Allah dan kerjakan salat sampai matahari itu terang (selesai gerhana) [HR al-Bukhari].
Dalam pandangan Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, bahwa dalam hadis ini digunakan kata idza (إذا) yang merupakan zharf zaman (keterangan waktu), sehingga arti pernyataan hadis itu adalah: Bersegeralah mengerjakan salat pada waktu kamu melihat gerhana yang merupakan tanda kebesaran Allah itu. Yang dimaksud dengan gerhana di sini adalah gerhana total (al-kusf al-kulli), gerhana sebagian (al-kusuf al-juz‘i) dan gerhana cincin (al-kusuf al-halqi) berdasarkan keumuman kata gerhana (kusuf).
Pandangan di atas sejalan dengan pernyataan Ibn Qudamah yang menegaskan, Waktu salat gerhana itu adalah sejak mulai kusuf hingga berakhirnya. Jika waktu itu terlewatkan, maka tidak ada kada (qadha) karena diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda, Apabila kamu melihat hal itu, maka berdoalah kepada Allah dan kerjakan salat sampai matahari itu terang (selesai gerhana). Jadi Nabi SAW menjadikan berakhirnya gerhana sebagai akhir waktu salat gerhana. Artinya, apabila gerhana berakhir ketika salat masih berlangsung, maka salatnya diselesaikan dengan dipersingkat. Jika matahari terbenam dalam keadaan gerhana, maka berakhirlah waktu salat gerhana dengan terbenamnya matahari, demikian pula apabila matahari terbit saat gerhana bulan (di waktu pagi) [Al-Mughni, II: 145].
Juga sejalan dengan pandangan Imam an-Nawawi (w. 676/1277) yang menyatakan, “Waktu salat gerhana berakhir dengan lepasnya seluruh piringan matahari dari gerhana. Jika baru sebagian yang lepas dari gerhana, maka (orang yang belum melakukan salat gerhana) dapat mengerjakan salat untuk gerhana yang tersisa seperti kalau gerhana hanya sebagian saja [Raudlat at-Thalibin, II: 86].
Narasumber utama artikel ini:
Zaini Munir Fadloli