banner 728x90

Iffah Menjaga Diri

 

Secara etimologis, ‘iffah adalah bentuk masdar dari affa-ya’iffu-‘iffah, yang berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik. Selain itu ‘iffah juga dapat berarti kesucian tubuh (Ahmad Warson Munawwir, 1984: 1019). Sedangkan secara terminologis, ‘iffah adalah memelihara kehormatan diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak dan menjatuhkannya.

Nilai dan juga wibawa seseorang bukanlah ditentukan oleh kekayaan dan jabatannya, dan tidak pula ditentukan bentuk rupanya. Tetapi, nilai dan wibawa seseorang justru ditentukan oleh kehormatan dirinya. Oleh sebab itu, untuk menjaga kehormatan diri, setiap orang haruslah menjauhkan dirinya dari segala perbuatan dan perkataan yang dilarang Allah SWT. Dalam konteks ini, seseorang harus mampu mengendalikan hawa nafsunya yang tidak saja dari hal-hal yang haram. Bahkan kadang-kadang harus juga menjaga dirinya dari hal-hal yang halal, karena bertentangan dengan kehormatan dirinya (Ahmad Muhammad al-Hufi, 1995: 154).

Dalam banyak hal, al-Qur’an dan hadits telah memberikan contoh nyata dari ‘iffah. Di antara contoh-contoh tersebut adalah sebagai berikut: pertama, untuk menjaga kehormatan diri dari dalam hubungannya dengan masalah seksual, seorang muslim dan muslimah diperintahkan untuk menjaga penglihatan, pergaulan dan juga pakaiannya. Selain itu juga tidak mengunjungi tempat-tempat yang ada maksiatnya, serta tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengantarkannya kepada perzinaan. Mari perhatikan beberapa teks berikut ini:

قُل لِّلۡمُؤۡمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنۡ أَبۡصَـٰرِهِمۡ وَيَحۡفَظُواْ فُرُوجَهُمۡ‌ۚ ذَٲلِكَ أَزۡكَىٰ لَهُمۡ‌ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا يَصۡنَعُونَ (٣٠) وَقُل  لِّلۡمُؤۡمِنَـٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَـٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”; Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya …” (Q.s. an-Nur [24]: 30-31)

وَلۡيَسۡتَعۡفِفِ ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغۡنِيَہُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ‌ۗ

Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya… (Q.s. an-Nur [24]: 33)

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزۡوَٲجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡہِنَّ مِن جَلَـٰبِيبِهِنَّۚ ذَٲلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورً۬ا رَّحِيمً۬ا -٥٩

Hai Nabi, katakanlah pada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.s. al-Ahzab [33]: 59).

وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓ‌ۖ إِنَّهُ ۥ كَانَ فَـٰحِشَةً۬ وَسَآءَ سَبِيلاً۬ – ٣٢

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan٧٢ yang keji dan suatu jalan yang buruk. (Q.s. al-Isra’ [17]: 32).

وَٱلَّذِينَ لَا يَشۡهَدُونَ ٱلزُّورَ وَإِذَا مَرُّواْ بِٱللَّغۡوِ مَرُّواْ ڪِرَامً۬ا

Dan apabila mereka lewat di tempat-tempat hiburan yang tidak berfaedah, mereka melewatinya dengan menjaga kehormatan dirinya (Q.s. al-Furqan [25]: 72).

Rasulullah SAW. bersabda dalam sebuah hadits yang artinya: “Jauhilah berdua-duaan dengan perempuan (yang bukan istri dan mahram). Demi Zat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah berdua-duaan seorang laki-laki dengan seorang perempuan lain kecuali syaitan masuk di antara mereka berdua” (H.R. Thabrani)

Berdasarkan teks (nash) di atas, jelaslah bagaimana Allah dan Rasul-Nya memberikan tuntunan tentang cara menjaga kehormatan diri dalam hubungannya dengan masalah seksual. Seseorang tidak hanya harus menjauhkan dirinya dari perzinaan, tetapi juga menghindari segala sesuatu yang akan mengantarkannya kepada perzinaan. Kalau dia melakukan perbuatan yang mendekati perzinaan, misalnya pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan, maka nama baik dan kehormatannya akan tercemar. Sekalipun dia tidak melakukan perzinaan, tetapi masyarakat akan mudah menuduhnya telah melakukan perzinaan.

Di samping tidak bergaul secara bebas, untuk menjaga kehormatan diri dalam masalah seksual ini, Islam mengajarkan kepada kita tentang bagaimana mengatur pandangan terhadap lawan jenis dan bagaimana berpakaian yang sopan dan benar menurut agama. Pakailah pakaian yang menutup aurat, tidak ketat, tidak transparan, dan tidak menunjukkan kesombongan. Sebab, pakaian menunjukkan identitas diri seseorang.

Kedua, untuk menjaga kehormatan diri dalam hubungannya dengan masalah harta, Islam telah mengajarkan untuk tidak menengadahkan tangan (meminta-minta), terutama kepada orang-orang yang miskin. Al-Qur’an telah menganjurkan kepada orang-orang yang berpunya untuk membantu orang-orang miskin yang tidak mau memohon bantuan karena sikap ‘iffah mereka. Dalam Q.s. al-Baqarah [2]: 273, Allah berfirman sebagai berikut:

لِلۡفُقَرَآءِ ٱلَّذِينَ أُحۡصِرُواْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ ضَرۡبً۬ا فِى ٱلۡأَرۡضِ يَحۡسَبُهُمُ ٱلۡجَاهِلُ أَغۡنِيَآءَ مِنَ ٱلتَّعَفُّفِ تَعۡرِفُهُم بِسِيمَـٰهُمۡ لَا يَسۡـَٔلُونَ ٱلنَّاسَ إِلۡحَافً۬ا‌ۗ وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٍ۬ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ -٢٧٣

 “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui” (Q.s. al-Baqarah [2]: 273).

Orang-orang fakir yang dimaksud dalam ayat di atas adalah orang-orang yang karena menyediakan diri untuk berjihad sampai tidak berusaha mencari nafkah. Orang-orang yang tidak mengerti keadaan mereka mengira bahwa mereka adalah orang-orang yang berkecukupan. Hal ini disebabkan karena mereka selalu menjaga kehormatan dirinya dari meminta-minta. Tetapi, orang yang melihat mereka dengan teliti akan melihat wajah mereka dalam keadaan pucat dan sangat menyedihkan. Jika ada yang terpaksa meminta, maka ia meminta dengan jalan yang halus tanpa mendesak (Ahmad Muhammad al-Hufi, 1995: 157). Meminta-minta adalah perbuatan yang merendahkan kehormatan diri. Daripada meminta-minta, seseorang akan lebih baik mengerjakan apa saja untuk bisa mendapatkan penghasilan yang halal, sekalipun hanya mengumpulkan kayu api.

Ketiga, untuk menjaga kehormatan diri dalam hubungannya dengan kepercayaan orang lain terhadap dirinya. Dalam melaksanakan usaha ini, seseorang harus betul-betul menjauhi segala macam bentuk ketidakjujuran. Janganlah berkata bohong, mungkir (ingkar) janji, khianat dan lain sebagainya.

Apabila seseorang dipercaya mengelola keuangan, kelolalah dengan jujur dan transparan. Lebih-lebih apabila pemilik harta itu tidak dapat mengontrolnya. Sebagai contoh misalnya, mengelola harta anak yatim. Al-Qur’an mengingatkan kepada para wali anak yatim agar dapat menahan diri dan jangan sampai tergoda untuk memakan harta mereka. Bagi wali yang kaya, lebih baik membiayai kehidupan anak yatim itu dengan hartanya sendiri, sebagai wujud dari kasih sayang dan belas kasihnya kepada mereka. Kecuali bagi wali yang miskin, maka boleh baginya untuk mengelola harta itu untuk kepentingan anak yatim tersebut. Bahkan apabila diperlukan, orang tersebut dapat mengelola harta anak yatim. Terkait dengan hal ini, Allah SWT. berfirman dalam Q.s. an-Nisaa’ [4]: 6 sebagai berikut:

وَٱبۡتَلُواْ ٱلۡيَتَـٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡہُمۡ رُشۡدً۬ا فَٱدۡفَعُوٓاْ إِلَيۡہِمۡ أَمۡوَٲلَهُمۡ‌ۖ وَلَا تَأۡكُلُوهَآ إِسۡرَافً۬ا وَبِدَارًا أَن يَكۡبَرُواْ‌ۚ وَمَن كَانَ غَنِيًّ۬ا فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡ‌ۖ وَمَن كَانَ فَقِيرً۬ا فَلۡيَأۡكُلۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِ‌ۚ فَإِذَا دَفَعۡتُمۡ إِلَيۡہِمۡ أَمۡوَٲلَهُمۡ فَأَشۡہِدُواْ عَلَيۡہِمۡ‌ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبً۬ا – ٦

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)” (Q.s. an-Nisaa’ [4]: 6).

Demikianlah, sikap ‘iffah yang sangat diperlukan seseorang untuk menjaga kehormatan dan kesucian diri, sehingga tidak ada peluang sedikit pun bagi orang lain (yang tidak senang dengannya) untuk melemparkan tuduhan dan fitnahan. Orang yang mempunyai sikap ‘iffahi (biasa disebut ‘afif ) akan dihormati dan mendapat kepercayaan dari masyarakat. Dan satu hal yang jauh lebih penting lagi, orang seperti akan mendapatkan ridha dari Allah SWT.

(Tim Redaksi)

*naskah ini ditulis ulang

dari salah satu materi dalam buku

“Kuliah Akhlak” karya Prof. Yunahar Ilyas, M.A.

 

banner 468x60