banner 728x90

Beberapa Masalah Seputar Qurban

 

1. Kepanitiaan Qurban

Kepanitian  qurban  pada  saat  ini  sangat  diperlukan  dalam  rangka efektivitas  dan  efesiensi  pelaksanaan  ibadah  qurban. Kedudukan panitia qurban sebagai  orang  yang  membantu  pelaksanaan  ibadah  qurban  berbeda dengan kedudukan amil zakat. Hal ini didasarkan pada  beberapa hadis yang menjelaskan pelaksanaan qurban Rasulullah, diantaranya;

  • Hadis riwayat al-Bukhari:

Sungguh Ali bin Abi Thalib menceritakan bahwa Nabi saw. memerintahkan Ali  agar  ia  melaksanakan  qurban  dan  memerintahkan  pula  agar  ia membagikan semuanya dagingnya, kulitnya dan pakaiannya dan beliaupun agar tidak memberikan sedikitpun dari hewan qurban dalam pekerjaan jagal. (HR. al-Bukhari)

  • Hadis riwayat Muslim:

Sungguh  Ali  bin  Abi  Thalib  menceritakan  bahwa  Nabiyullah  SAW memerintahkan   agar  ia  melaksanakan  qurban  Nabi  dan  memerintahkan pula  agar  ia  membagikan  semuanya  dagingnya,  kulitnya  dan  pakaiannya pada orang-orang miskin dan beliaupun agar  tidak memberikan sedikitpun dari hewan qurban dalam pekerjaan jagal. (HR. Muslim)

Baik  dalam  al-Qur’an  maupun  al-Hadis  tidak  ada satupun  yang  menjelaskan  adanya  orang  yang  ditugasi  untuk  menjadi pengurus dalam pelaksanaan qurban (panitia qurban). Kendati demikian, untuk  kelancaran  (efektifitas  dan  efesiensi)  pelaksanaan  qurban  dipandang perlung adanya semacam kepanitian. Kalimat  “yaquumu  ‘ala”  yang  terdapat  dalam  kedua  hadis  di  atas mengandung  arti  “membantu”.

Dari  kedua  hadis  tersebut  dapat  dipahami bahwa Ali diminta oleh Nabi SAW agar ia membantu Nabi dalam pelaksanaan qurban  dan  pembagiannya.

Dengan  demikian,  dalam  masalah  “kepanitiaan qurban” dapat dipahami sebagai berikut;

  1. Tugas dari panitia qurban adalah membantu shahibul qurban
  2. Fungsi panitia qurban untuk memudahkan penyelenggaraan qurban
  3. Panitia tidak  boleh  mengambilkan  upah  penyembelih  dari  hewan qurban,  namun  dapat  membebankan  kepada  shahibul  qurban  dengan cara musyawarah atau mengambil dari sumber lain. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Ali sebagai berikut:

Ali  Ra. ia berkata; Rasulullah saw. telah memerintahkan kepadaku agar membantu  dalam  pelaksanaan  qurban  untanya  dan  agar  membagikan kulit dan pakaiannya dan beliaupun memerintahkan kepadaku agar aku tidak  memberikan  sedikitpun  dari  hewan  qurban  kepada  jagal.  Ia  (Ali) berkata:  Kami  memberikan  upah  (jagal)  dari  harta  kami.  (HR.  Abu

Dawud)

 

2. Qurban untuk (atas nama) Orang yang Sudah Wafat

Qurban  untuk  (atas  nama)  orang  yang  sudah  wafat  tidak boleh. Hal ini didasarkan kepada beberapa dalil diantaranya;

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ۬ وِزۡرَ أُخۡرَىٰ -٣٨- وَأَن لَّيۡسَ لِلۡإِنسَـٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ -٣٩

Artinya: (yaitu)  bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (QS an-Najm (53): 38-39).

Kecuali karena;

  1. Adanya nadzar semasa hidupnya
  2. Adanya wasiat dari orang yang meninggal dunia

Apabila  seorang  pada  saat masih hidup bernadzar akan menyembelih qurban, akan tetapi sebelum qurban itu ditunaikan ia sudah terlebih dahulu meninggal dunia,  maka ahli warisnya boleh  untuk menunaikan qurban  yang merupakan nadzar darinya.  Hal ini karena  nadzar apabila belum ditunaikan sama saja dengan hutang yang belum dibayar. Jika hutang itu harus dibayar dan pembayaran  hutang itu diambil dari harta yang ditinggalkannya, maka demikian  pula  hanya  dengan  nadzar.

Mempersamakan  nadzar  dengan hutang  ini  didasarkan  pada  Hadits  Nabi  SAW yang  diriwayatkan dari  Ibnu ‘Abbas:

Dari Ibnu ‘Abbas ra.: Sesungguhnya seorang perempuan datang kepada Nabi SAW seraya berkata: “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk menunaikan haji, tetapi sebelum sempat menunaikan nadzar hajinya itu, ia terlebih dahulu meninggal  dunia.  Apakah  saya  harus  menunaikan  haji  itu  untuknya?”  Nabi SAW  menjawab:  “Ya,  kerjakanlah  haji  itu  untuk  ibumu.  Bukankah  kalau ibumu  mempunyai  hutang  engkau  wajib  membayarnya?  Tunaikan  hak-hak Allah sesungguhnya Allah lebih berhak untuk ditunaikan hak-hak-Nya”. (HR. Bukhari).

Hadits  tersebut  dengan  tegas  mempersamakan  nadzar  dengan  hutang dari  segi  keduanya  sama-sama  harus  dibayar,  bahkan  nadzar  itu  adalah merupakan  hutang  kepada  Allah  yang  pemenuhannya  harus  lebih diutamakan.  Mengenai  hal  yang  sama  terdapat  pula  dalam  hadits-hadits yang lalu, misalnya hadits riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas:

Diriwayatkan  dari  Ibnu  ‘Abbas  ia  berkata:  Seorang  perempuan  belayar  di laut,  lalu  ia  bernadzar  akan  menunaikan  puasa  sebelum,  kamudian  ia meninggal  dunia  sebelum  menunaikan  puasa  itu.  Saudara  perempuan  dari perempuan yang meninggal itu datang menghadap Nabi saw dan memberitahukan kejadian itu kepada Nabi saw, kemudian Nabi saw memerintahkan kepada  saudara  perempuan  itu  dari  perempuan  yang  meninggal  dunia  itu untuk menunaikan puasa untuk perempuan yang meninggal dunia itu.  (HR. Ahmad).

Hadits yang lebih umum lagi yang menjelaskan hal yang sama adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas:

Diriwayatkan  dari  Ibnu  ‘Abbas:  Sesungguhnya  Sa’ad  bin  ‘Ubadah  telah meminta fatwa kepada Rasulullah saw, nadzar ibunya yang telah meninggal dan belum sempat ditunaikannya. Rasulullah saw menjawab (memberi fatwa) “Tunaikanlah nadzar itu untuk ibumu”. (HR. Ibnu Majah).

Berdasarkan  hadits-hadits tersebut di atas, jelaslah bahwa nadzar yang belum  sempat  ditunaikan  karena  terlebih  dahulu  meninggal  dunia,  harus ditunaikan  oleh  keluarganya.  Jika  qurban  itu  merupakan  nadzar  dari seseorang,  maka  qurban  itu  harus  ditunaikan  oleh  ahli  warisnya  dengan mengambil dari harta peninggalannya.

Bernadzar  untuk  berbuat  kebajikan,  menaati  Allah  atau  menunaikan perintah  Allah,  harus  dilaksanakan,  artinya  nadzar  tersebut  hukumnya  sah. Sebaliknya,  nadzar  untuk  mengerjakan  maksiat  melakukan  perbuatan  yang dilarang  Allah  harus  ditinggalkan  atau  tidak  boleh  dilaksanakan:  artinya nadzar  tersebut  hukumnya  tidak  sah.  Demikian  ini  didasarkan  pada  Hadits Nabi saw riwayat dari Siti ‘Aisyah:

‘Aisyah  Ra  ia  berkata:  Nabi  saw  bersabda:  “Barangsiapa  bernadzar  akan menaati  Allah  (menunaikan  yang  baik  yang  diperintahkan  oleh  Allah) hendaklah  ia  tunaikan,  dan  barangsiapa  bernadzar  akan  mengerjakan maksiat  (perbuatan  buruk  yang  dilarang  oleh  Allah)  maka  janganlah  ia kerjakan. (HR. al-Bukhari)

Hadits di atas dengan jelas menerangkan bahwa nadzar yang baik harus dilaksanakan,  sedang  nadzar  yang  buruk  tidak  boleh  dilaksanakan.  Dalam kaitannya dengan masalah qurban, maka kalau itu merupakan nadzar, maka ia termasuk nadzar yang baik yang harus dilaksanakan.

 

3. Menukar Kulit Sapi dengan Seekor Kambing

Di antara hadis yang berkaitan dengan kulit hewan kurban, yaitu:

Sulaiman Ibn Musa berkata: Zubaid telah menceritakan kepadaku bahwa Abu Sa‘id  al-Khudri  telah  mendatangi  keluarganya,  kemudian  ia  mendapati semangkok  besar  dendeng  dari  daging  kurban  dan  ia  tidak  mau  makan dendeng  tersebut.  Kemudian  Abu  Sa‘id  al-Khudri  mendatangi  Qatadah  Ibn Nu‘man dan menceritakannya bahwa Nabi saw bersabda: Sungguh aku telah memerintahkan agar tidak makan (daging) hewan kurban lebih dari tiga hari agar  mencukupi  kamu  sekalian,  dan  sekaramg  saya  membolehkan  kamu akan  hal  itu.  Oleh  karena  itu,  makanlah  bagian  dari  kurban  tersebut  yang kamu sukai, janganlah kamu menjual daging al-hadyu (daging hewan dam) dan  daging  hewan  kurban.  Makanlah,  sedekahkanlah,  manfaatkan  kulit hewan kurban itu, dan jangan kamu menjualnya [HR. Ahmad]

“Diriwayatkan  dari  ‘Ali  Ibn  Abi  Thalib  ra,  ia  berkata:  Rasulullah  SAW memerintahkan kepada saya untuk mengurus unta kurban dari beliau, agar saya  membagikan  dagingnya,  kulitnya  dan  perlengkapan  unta  itu  kepada orang-orang  miskin;  serta  tidak  memberikan  sedikitpun  untuk  upah penyembelihannya.” [Muttafaq ‘alaih]

Terhadap  larangan  menjual  kulit  hewan  kurban  sebagaimana disebutkan  dalam  hadits  riwayat  Ahmad,  para  ulama  diantaranya  al-Auza‘i,  Ahmad  Abu  Tsaur  dan  juga  madzhab  Syafi’i, mengatakan bahwa dibolehkan menjual kulit hewan kurban sepanjang hasil penjualan  itu  ditasharufkan  untuk  kepentingan  kurban  (Muhammad  asy-Syaukani,  Nailul  Authar,  Juz  III,  halaman  202).

Imam  Abu  Hanifah berpendapat bahwa  boleh menukarkan  kulit  hewan kurban  sepanjang  tidak dengan dinar atau dirham, melainkan dengan barang, karena dengan barang itu  akan  dapat  untuk  dimanfaatkan  (al-Shan’ani,  Subulus-Salam,  Juz  IV, halaman 94).

Pemanfaatan  kulit  hewan  kurban  tersebut,  jika  dikaitkan  dengan perintah  untuk  membagikan  sebagaimana  disebutkan  dalam  hadits  yang disepakati  oleh  al-Bukhari  dan  Muslim  yang  telah  disebutkan  di  atas,  maka tentunya pemanfatannya adalah untuk dibagikan kepada orang-orang miskin.

Dengan  keterangan  di  atas,  kiranya  dapat  disarikan  bahwa  boleh menjual kulit hewan kurban kemudian hasil penjualan untuk membeli daging atau kambing, yang selanjutnya dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerima bagian daging kurban. Yang dilarang adalah menjual kulit hewan kurban yang hasil penjualannya untuk kepentingan pribadi shahibul qurban.

 

4. Dana Qurban Dialihkan untuk Membantu Bencana Sosial

Ibadah dalam Islam ada yang dihukumi wajib dan ada yang dihukumi sunah.  Diantara  yang  dihukumi  wajib  yaitu  menyelamatkan  jiwa  yang terancam  kematian.  Kehidupan  adalah  salah  satu  dari  lima  kemashlahatan dharury, yang oleh karenanya harus dijaga dan dipertahankan keberadaannya dengan segala kemampuan yang ada. Jika seseorang tidak mampu berupaya untuk  mempertahankan  hidupnya,  maka  wajib  bagi  orang  lain  untuk memberikan bantuan dalam mempertahankan hidup orang yang tak berdaya itu.

Perbuatan  membantu  menyelamatkan  jiwa  orang  lain  seperti  ketika terjadi bencana alam baik adanya tsunami atau gempa lainnya, mendapatkan penghargaan  dari  Allah  SWT  sebagai  penyelamat  kehidupan  seluruh  umat manusia.Dalam al-Qur’an disebutkan:

 ۥ مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٍ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ فَڪَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعً۬ا وَمَنۡ أَحۡيَاهَا فَڪَأَنَّمَآ أَحۡيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعً۬ا‌ۚ ….٣٢

“… Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh)  orang  lain,  atau  bukan  karena  membuat  kerusakan  di  muka bumi,  maka  seakan-akan  dia  telah  membunuh  manusia  seluruhnya.  Dan barangsiapa  yang  memelihara  kehidupan  seorang manusia,  maka  seolaholah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya …” [QS. Al-Maidah (5): 32].

Di  antara  ibadah  yang  dihukumi  sunah  yaitu  ibadah  qurban.  Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir ra., disebutkan:

Saya shalat ‘Idul Adlha  bersama Rasulullah saw, kemudian setelah selesai, kepada  beliau  diberikan  seekor  kibasy  (kambing  yang  besar)  lalu  beliau menyembelihnya seraya berdoa: Bismillahi wallahu akbar, Allahumma hadza ‘anniy  wa  ‘an  man  lam  yudlahhi  min  ummatiy  (Dengan  menyebut  nama Allah, Allah Maha Besar, Wahai Allah, ini dariku dan dari orang yang tidak berqurban dari umatku).” [HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At-Turmudziy].

Dalam  pada  itu,  dengan  datangnya  hari  raya  Adha  setiap  tahun, kepada  umat  Islam  yang  mampu  disunatkan  untuk  menyembelih  hewan qurban.

Menghadapi dua macam ibadah ini, yakni membantu korban bencana nasional  gempa  bumi  dan  bencana  lainnya  dan  disunahkannya  berqurban, maka:

  1. Bagi yang  mampu  untuk  memberikan  bantuan  kepada  mereka  yang terkena  musibah  gempa  bumi  dan  tsunami  secara  memadai  dan sekaligus  dapat  melaksanakan  ibadah  qurban,  dua  macam  ibadah  ini dapat dilaksanakan secara bersama.
  2. Bagi yang  harus  memilih  salah  satu  di  antara  dua  macam  ibadah tersebut,  hendaknya  didahulukan  memberi  bantuan  dalam  rangka menyelamatkan  kehidupan  mereka  yang  tertimpa  musibah  daripada melaksanakan ibadah qurban.
  3. Jika dana  telah  diserahkan  kepada  panitia  qurban,  hendaknya  panitia meminta kerelaan calon orang yang berqurban (shahibul-qurban) untuk mengalihkan  dananya  kepada  bantuan  penyelamatan  mereka  yang tertimpa musibah gempa bumi dan tsunami. Namun jika calon  shahibul qurban tidak merelakan, dana itu tetap sebagai dana ibadah qurban.

 

Sumber:

Materi Pengembangan HPT

Majelis Tarjih PP Muhammadiyah

 

banner 468x60