Akad memiliki posisi dan peranan yang sangat strategis dalam berbagai persoalan mu’amalah. Bahkan akad dapat menjadi salah satu penentu sah atau tidaknya suatu transaksi. Akad yang telah terjadi mempunyai pengaruh (akibat hukum) yang sangat luas.
Dengan sahnya akad sebuah kepemilikan bisa berpindah dari kepemilikan seseorang kepada pihak yang lain. Dengan akad pula dapat merubah suatu kewenangan, tanggung jawab dan kegunaan sesuatu. Atas dasar inilah kajian tentang akad menjadi sangat penting untuk diuraikan sebelum berbicara tentang berbagai persoalan mu’amalah dalam Islam.
Pengertian Akad
Dalam al-Qamus al-Muhith dan Lisan al-‘Arab dijelaskan; Akad menurut bahasa berarti ikatan atau tali pengikat. Pengertian akad secara hakiki (hissy) ini kemudian digunakan untuk sesuatu yang bersifat asbstrak berupa ucapan dari kedua belah pihak yang sedang berdialog atau berkomunikasi.
Secara bahasa akad adalah:
اَلرَّبْطُ بَيْنَ أَطْرَافِ الشَّيْءِ، سَوَاءٌ أَكَانَ رَبْطًا حِسِّيًّا أَمْ مَعْنَوِيًّا، مِنْ جَا نِبٍ وَاحِدٍ أَوْ مِنْ جَا نِبَيْنِ.
“Ikatan antara pihak-pihak baik ikatan itu secara konkrit (hissy/hakiki) atau secara abstrak (maknawi) yang berasal dari satu pihak atau kedua belah pihak.”
Dari sinilah kemudian akad diterjemahkan secara bahasa sebagai; menghubungkan antara dua perkataan, yang di dalamnya masuk juga pengertian janji dan sumpah, karena sumpah menguatkan niat orang yang berjanji untuk melaksanakan isi sumpah atau meninggalkannya.
Sedangkan secara terminologi fikih, akad terbagi dua yaitu pengertian umum dan pengertian khusus. Akad dalam pengertian umum adalah:
كُلُّ مَا عَزَمَ الْمَرْءُ عَلَى فِعْلِهِ ، سَوَاءٌ صَدَرَ مِنْ إِرَادَةٍ مُنْفَرِدَةٍ كَاالْوَقْفِ أَمْ اِحْتَاجَ إِلَى إِرَادَتَيْنِ فِي إِنْشَائِهِ كَا الْبَيْعِ.
“Segala yang diinginkan manusia untuk mengerjakannya baik bersumber dari keinginan pribadi seperti waqaf atau bersumber dari dua pihak seperti jual-beli”.
Akad dengan makna luas ini dijelaskan dalam firman Allah swt;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ…. – المائدة: 1
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Qs. al Maidah: 1)
Akad dalam pengertian khusus adalah:
اِرْتِبَا طُ إِيْجَابٍ بِقَبُوْلٍ عَلَى وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ يَثْبُتُ أَثَرُهُ فِي مَحَلِّهِ
“Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada sesuatu perikatan”.
Dalam ungkapan lain para ulama fikih menyebutkan bahwa akad adalah setiap ucapan yang keluar sebagai penjelasan dari kedua keinginan yang ada kecocokan. Sedangkan Mustafa Ahmad Az-Zarqa, menyatakan bahwa tindakan hukum (action) yang dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk, yaitu: Tindakan (action) berupa perbuatan dan tindakan berupa perkataan. Pernyataan pihak-pihak yang berakad itu lalu disebut dengan ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak, yang mengandung keinginan secara pasti untuk mengikatkan diri. Sedangkan qabul adalah pernyataan pihak lain setelah ijab yang menunjukkan persetujuannya untuk mengikatkan diri dalam sebuah transaksi atau ikatan bisnis.
Sementara Abu Bakar al-Jashshash memaknai akad sebagai; setiap sesuatu yang diikatkan oleh seseorang terhadap satu urusan yang akan dilaksanakannya atau diikatkan kepada orang lain untuk dilaksanakan secara wajib (seperti; akad nikah, akad sewa menyewa, akad jual beli dan lainnya). Menurut beliau, sesuatu dinamakan akad, karena setiap pihak telah memberikan komitmen untuk memenuhi janjinya di masa mendatang. Lebih jauh lagi, sumpah juga dapat dikategorikan sebagai akad, karena pihak yang bersumpah telah mengharuskan dirinya untuk memenuhi janjinya baik dengan berbuat atau meninggalkan. Maka perkongsian (syirkah/koperasi), bagi hasil (mudharabah) dan lainnya dinamakan akad, karena kedua belah pihak memiliki kewajiban untuk melaksankan janjinya seperti yang telah diisyaratkan oleh kedua belah pihak tentang pembagian keuntungan. Demikian pula setiap syarat yang ditetapkan oleh seseorang bagi dirinya untuk melakukan sesuatu di masa mendatang juga dapat disebut akad.
Sementara sebagian ulama fikih membedakan antara akad dengan janji, mereka mendefinisikan akad sebagai ucapan yang keluar untuk menggambarkan dua keinginan yang ada kecocokan, sedangkan janji merupakan komitmen dari satu pihak yang berkeinginan. Dengan landasan ini Ath-Thusi membedakan antara akad dan janji, karena akad mempunyai makna meminta diyakinkan atau ikatan, ini tidak akan terjadi kecuali dari dua belah pihak, sedangkan janji dapat dilakukan oleh satu orang saja.
Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa makna akad secara syar’i yaitu; hubungan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibolehkan oleh syari’at yang mempunyai pengaruh secara langsung terhadap sesuatu yang diikatkan atau ditransaksikan. Artinya, bahwa akad termasuk dalam kategori hubungan yang mempunyai nilai menurut pandangan syara’ antara dua orang sebagai hasil dari kesepakatan antara keduanya yang selanjutnya disebut ijab dan qabul.
Jika terjadi ijab dan qabul dan terpenuhi semua syarat yang ada, maka syara’ akan menganggap ada ikatan di antara keduanya dan akan terlihat hasilnya pada sesuatu yang diakadkan baik berupa harta yang menjadi tujuan kedua belah pihak ataupun beberapa persoalan lainnya. Maka jika akad sudah ditunaikan, dapat berdampak pada terjadinya perubahan hak kepemilikan seperti yang terjadi dalam transaksi jual beli – yaitu dari pihak penjual ke pihak pembeli atau sebaliknya. Begitu pula halnya dalam berbagai contoh akad mu’amalah pada umumnya.
Syarat-Syarat Akad
Akad merupakan sesuatu yang sangat penting, karena dengan akad dapat diketahui maksud setiap pihak yang melakukan transaksi. Bentuk atau ungkapan akad (shighat al-‘aqd) diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul. Terkait dengan ijab dan qabul ini, para ulama fikih memberikan beberapa syarat umum sahnya sustu akad, yaitu:
- Pihak-pihak yang melakukan akad (al-‘Aqid) adalah orang yang cakap bertindak (baligh, berakal sehat, tidak dalam kondisi pailit atau tertekan, dan sesuatu yang diakadkan merupakan kewenangannya). Jika seseorang dianggap belum cakap seperti anak kecil, maka akad dapat diwakilkan atau dilakukan oleh walinya.
- Obyek Akad (Ma’qud ‘alaih) berupa sesuatu yang diperbolehkan dan memiliki nilai manfaat menurut pandangan syari’at serta bukan sesuatu yang dilarang atau diharamkan.
- Tujuan yang terkandung dalam pernyataan (al-aqd) itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki, karena akad-akad itu sendiri berbeda dalam sasaran dan hukumnya.
- Adanya kesesuaian antara ijab dan qabul.
- Pernyataan ijab dan qabul mengacu kepada suatu kehendak dari masing-masing pihak secara pasti (tidak ragu-ragu).
Macam-Macam Akad
Dasar hukum dari mu’amalah adalah kemubahan (kebolehan), selama hal tersebut selaras dan tidak bertentangan dengan syari’at dan tujuan disyari’atkan sesuatu (maqashid al-Syari’ah). Sebagaimana kaidah yang berbunyi;
اَلأَصْلُ فىِ الْمُعَامَلاَتِ الإِبَاحَةِ إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلاَفِهِ
“Pada dasarnya segala sesuatu dalam mu’amalah hukumnya boleh (mubah), kecuali terdapat dalil yang menunjjukkan arti sebaliknya (keharamannya)”.
Atas dasar itulah, berbagai bentuk transaksi atau akad yang selaras dengan hukum agama dapat diakomodir menjadi alternatif dalam melakukan transaksi mu’amalah. Ditinjau dari klasifikasinya, akad dalam sistem mu’amalah Islam sangat beragam sesuai dengan sudut pandang orang yang mengkajinya.
Jika ditinjau dari sifatnya, akad terbagi menjadi:
- Akad Shahih yaitu; Akad yang sempurna dan sah menurut pandangan syari’at. Akad ini terbagi menjadi: Pertama: Akad Lazim yaitu; Akad yang tidak dapat dibatalkan oleh salah seorang yang berakad tanpa kerelaan pihak lain yang berakad , seperti akad jual-beli, ijarah, dan lainnya. Dalam kaidah fikih disebutkan:
اَلْأَصْلُ فِي الْعُقُوْدِ اَللُّزُوْمُ
“ Pada dasarnya akad itu adalah Luzum ( mengikat para pihak ).”
Kedua: Akad Ghairu Lazim (tidak mengikat), pada kedua belah pihak, pada akad ini para pihak mempunyai hak untuk membatalkan akad, misalnya pada hiyar fi al-Buyu’ (hak memilih antara penjual dan pembeli antara melanjutkan akad jual beli atau membatalkannya kkarena adanya perjanjian atau kecacatan pada barang).
- Akad Ghairu Shahih yaitu; akad yang tidak sah (cacat) menurut pandangan syari’at.
Sedangkan jika ditinjau dari cara atau bentuknya, para ulama membagi akad menjadi beberapa bentuk, yaitu:
- Aqad Al-Mu’athah Saling Memberi)
Akad Mu’athah adalah akad saling menukar dengan perbuatan yang menunjukkan keredaan tanpa ucapan ijab dan qabul. Praktek semacam ini sering ditemukan dalam praktek jual beli dengan sistem swalayan. Seorang pembeli memilih sendiri barang yang dibeli sesuai dengan bentuk, jenis, kualitas dan harga barang yang diinginkannya. Lalu barang-barang yang telah dipilih tersebut diserahkan kepada kasir (terkadang) tanpa ucapan sedikitpun. Sementara sang kasir sibuk dengan layar monitor (komputer) untuk mengecek harga barang yang akan dijual. Pada akhirnya sang pembeli mengeluarkan sejumalah uang sesuai dengan nominal yang tertera pada layar monitor. Praktek semacam ini sah menurut fikih Islam dan termasuk bagian dari thasharruf bil fi’li (trnasaksi dengan perbuatan)
- Aqad bi Al-Kitabah (Akad dengan Tulisan )
Akad bi al-kitabah merupakan jenis transaksi (akad) dengan tulisan (seperti; nota, surat pesanan dan atau bahkan lewat SMS, email, dan sejenisnya) yang dapat dipastikan akurasi dan kepastiannya. Akad semacam ini sah untuk dilakukan, oleh dua orang yang berakad baik keduanya mampu berbicara maupun tidak (bisu), keduanya hadir pada waktu akad ataupun tidak hadir ( dititipkan lewat orang kepercayaannya), dengan bahasa yang dapat dipahami oleh kedua orang yang berakad. Hal ini selaras dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
اَلْكِتَبا بَةُ كَا لْخِطَا بِ
“ Tulisan sama kekuatan hukumnya dengan ucapan”.
- Akad b Al-Isyarat (Akal dengan Isyarat)
Bahasa isyarat yang digunakan oleh orang bisu untuk menyampaikan kehendaknya dapat diterima sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi, dengan catatan bahasa isyarat tersebut dapat dimengerti dan difahami oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Jika seseorang tidak mampu berbicara maupun menulis, maka bahasa isyarat yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak sama nilainya dengan lisan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan para fukaha’ dan sesuai dengan kaedah fiqhiyah ang berbunyi:
اَلْإِشَارَاتُ الْعُهُوْدَةُ لِلْلأَخْرَسِ كَالْبَيَانِ بِالِّلسَانِ
” Isyarat perjanjian (akad) dari orang bisu seperti penjelasan dengan lisan.”
Perbedaan antara Akad, Tasharruf dan Ilzam
Thasharruf menurut istilah ulama fikih adalah; setiap yang keluar dari seseorang yang mumayyiz dengan kehendak sendiri dan dengannya syara’ menetapkan beberapa konsekwensi, baik berupa ucapan, atau yang setingkat dengan ucapan berupa perbuatan atau isyarat. Dengan pengertian ini maka dapat dikatakan bahwa thasharruf lebih umum cakupannya dibandingkkan akad. Akad merupakan bagian dari thasharruf yang bersifat ucapan (Thasharruf Qauli), sedangkan thasharruf masuk di dalamnya berbagai macam bentuk perjanjian, komitmen, mengembalikan barang yang dijual dengan khiyar syarat, khiyar ‘Aib maupun khiyar Majlis (akan dibahas dalam tema tersendiri dalam kaitannya dengan jual-beli). Dengan kata lain, semua akad dapat dinamakan thasharruf, namun tidak semua thasharrf dinamakan akad.
Sedangkan iltizam adalah; sebuah thasharruf (perbuatan) yang mengandung keinginan untuk melahirkan satu hak atau mengakhiri satu hak atau menggugukannya baik datang dari satu pihak seperti thalak atau datang dari kedua belah pihak seperti akad jual beli dan sewa menyewa.
Dari uraian panjang di atas dapat disimpulkan dalam tiga hal, yaitu:
Pertama: Bahwa akad merupakan salah satu syarat sahnya berbagai transaksi mu’amalah dalam Islam.
Kedua: Akad dapat dilakukan baik dengan ucapan, perbuatan, tulisan dan isyarat yang dapat dipahami dan memberikan kepastian terhadap sesuatu yang diakadkan.
Ketiga: Akad yang berbentuk ucapan (Thasharruf Qauli) tidak diharuskan dengan redaksi tertentu dan bahasa tertentu, namun dapat dilakukan dengan berbagai redaksi yang dapat dipahami n menunjukkan sesuatu yang diakadkan. (Wallahu a’lam bi al-Shawab)
narasumber utama artikel ini:
Ruslan Fariadi