banner 728x90

Sikap Orang-orang Mukmin terhadap al-Qur’an

 Tafsir Surat al-Baqarah ayat 1-5

albaqarah1-5

Terjemah:

Alif Laam Miim (1); Kitab ini tidak ada yang diragukan, petunjuk bagi mereka yang bertakwa (2); Yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, menegakkan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan (3); Mereka juga beriman kepada kitab yang Kami turunkan kepadamu dan yang diturunkan sebelum kamu, mereka juga yakin akan datangnya hari Akhirat (4); Mereka itulah yang berada pada petunjuk Allah dan merekalah orang-orang yang berbahagia (5). [Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya, UII Press Yogyakarta]

 

PENDAHULUAN

Menurut ijma’ ulama, surat al-Baqarah seluruhnya tergolong madaniyyah. Sebagian ulama berpendapat bahwa sebagian ayat dari surat al-Baqarah diturunkan pada waktu Rasulullah saw. melaksanakan haji wada’, dan menurut suatu riwayat, sebagian besar surat al-Baqarah diturunkan pada permulaan hijrah. Surat ini termasuk surat yang terpanjang, terdiri dari 286 ayat, sebagaimana tertulis dalam mushaf. Surat ini diletakkan di permulaan al-Qur’an sesudah surat al-Fatihah. Kemudian disusul dengan tujuh surat yang panjang, yaitu: Ali ‘Imran (madaniyyah). An-Nisa (madaniyyah), al-Maidah (madaniyyah), al-An’am (makkiyyah), al-A’raf (makkiyyah), al-Anfal (madaniyyah) dan at-Taubah (madaniyyah).

Sebelum memulai penafsiran surat ini (al-Baqarah), kita lihat lebih dahulu kandungan surat tersebut secara garis besar. Kandungan surat tersebut antara lain ialah:

  1. Aqidah, sebagaimana diungkapkan pada ayat: 110, 178-179, 181-183, 187-190, 195-196, 203, 215, 218-228, 237, 241, 252, 275, 280, 282-283, dan pada ayat lainnya.
  2. Syariah, sebagaimana disebutkan pada ayat: 110, 178-179, 181-183, 187-190, 195-196, 203, 215-216, 218-228, 237, 241, 252, 254, 262, 275, 280, 282-283, dan ayat lainnya.
  3. Kisah-kisah umat terdahulu dan lain-lain, sebagaimana disebutkan pada ayat: 124-141, 243-251 dan 258-260.

Tafsir Mufradat

  1. Alif lam mim (الٓمٓ), adalah huruf abjad yang terletak pada permulaan surat, karena itulah huruf-huruf tersebut dinamakan juga fawatihus-suwar (pembuka surat-surat). Huruf-huruf sejenis itu merupakan siri khas golongan surat Makkiyah (surat-surat yang diturunkan sebelum Nabi saw. hijrah ke Madinah).

Dalam al-Qur’an terdapat beberapa bentuk fawatihus-suwar yang berbeda-beda. Diantaranya terdiri dari satu huruf, seperti terdapat pada permulaan surat-surat: Sad (38), Qaf (50), dan al-Qalam (68), masing-masing dimulai dengan huruf Sad, Qaf, dan Nun. Sepuluh surat dibuka dengan fawahitus-suwar yang terdiri dari dua huruf, tujuh surat diantaranya dengan bentuk yang sama, yaitu Ha dan Mim, maka surat-surat tersebut dinamakan Hawamim, sekalipun dalam surat tersebut terdapat juga fawahitus-suwar dengan bentuk yang lain, yaitu ‘Ain Sin, Qaf. Tiga surat lainnya dengan huruf yang berbeda, yaitu: Ta Ha pada surat 20, Ta Sin pada surat 27 dan Ya Sin pada surat 36.

Adapun fawahitus-suwar yang terdiri dari tiga huruf dapat ditemukan pada 13 surat. Enam di antaranya terdiri dari Alif Lam Mim, yaitu pada surat-surat: 2, 3, 29, 30, 31, dan 32. Lima di antaranya terdiri dari Alif Lam Ra, yaitu pada surat-surat: 10, 11, 12, 14, dan 15. Pada dua surat lainnya terdiri dari Ta Sin Mim, yaitu pada surat 26 dan 28.

Fawatihus-suwar yang terdiri dari empat huruf dapat ditemukan pada surat al-A’raf (7), terdiri dari huruf: Alif Lam Mim Sad dan pada surat ar-Ra’d (13) terdiri dari huruf: Alif Lam Mim Ra. Adapun fawatihus-suwar yang terdiri dari lima huruf terdapat pada surat Maryam (19), yaitu terdiri dari Kaf Ha Ya A’in Sad.

Maka jumlah fawatihus-suwar seluruhnya adalah 29. (Subhi as-Salih, 1972, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, halaman 236). Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa huruf-huruf tersebut mempunyai makna tanbih (peringatan), untuk membangkitkan perhatian orang sehingga mudah dipahami apa yang akan disampaikan kepadanya. (al-Maraghi, I:39).

  1. Al-Kitab (ٱلۡڪِتَـٰبُ), bentuk masdar, dengan arti al-Maktub (yang tertulis). Dimaksudkan dengan al-Kitab pada ayat tersebut, ialah al-Kitab yang dikenal oleh Nabi saw., yang dijanjikan Allah untuk memperkuat risalahnya dan menjamin memberikan bimbingan kepada kepada orang yang mencari kebenaran serta memberikan bimbingan kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam al-Qur’an, kata tersebut dengan berbagai kata turunannya diulang sebanyak 261 kali.
  2. Al-Muttaqun, bentuk jamak dari al-Muttaqi (orang yang bertaqwa), berasal dari al-Ittiqa’ (batas antara dua benda). Orang yang bertaqwa seakan-akan membuat batas antara perintah Allah dan larangan-Nya, membuat batas antara dia dan siksa Ilahi. Dalam al-Qur’an, kata tersebut dengan berbagai turunannya diulang sebanyak 258 kali yang bervariasi sesuai dengan susunannya
  3. Yu’minun, bentuk mudari’, bentuk masdar-nya al-Iman (iman, percaya). Al-Iman yang diwajibkan Allah kepada hamba-Nya, yang dijanjikan dengan pahala surga dan selamat dari neraka, ialah meyakini kebenaran Rasulullah saw dengan keyakinan yang pasti tentang ajaran yang dibawa dari Allah swt. dan mengetahui ajaran yang dibawanya dengan keyakinan serta ketundukan hati, seperti: iman kepada Allah swt., para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Utusan-utusan-Nya, Hari akhir, Qadha dan Qadar, kewajiban salat dan ibadah-ibadah Islamiyah lainnya, seperti: zakat, puasa, haji bagi yang mampu, keharaman membunuh manusia yang dilindungi secra zalim, zina dan perbuatan dosa lainnya. (Husein Afandi, 1959, al-Husun al-Hamidiyah: 7).

Tafsir Ayat

Pada ayat tersebut digunakan isim isyarah (kata petunjuk): Dzalika (itu), yang biasanya dipergunakan untuk benda, waktu atau hal yang jauh, padahal Kitab yang ditunjukadalah dekat, mengandung makna pengagungan dan pemuliaan terhadap al-Kitab tersebut adalah suci yang diterima dari Allah swt.

Mengapa pada ayat tersebut disebutkan al-Kitab, padahal wahyu Allah belum diturunkan secara keseluruhan? Rasyid Rida berpendapat bahwa yang demikian itu untuk memberikan isyarat bahwa Allah akan memenuhi janjinya untuk menyempurnakan al-Kitab. Sebenarnya tidaklah menjadi masalah menyebutkan al-Kitab, sekalipun belum sempurna turunnya, sebab ternyata sebelum diturunkannya permulaan surat al-Baqarah, telah diturunkan sejumlah besar dari ayat-ayat al-Qur’an, dan Rasulullah saw. telah menyuruh agar ditulis dan dihafalkan. (Rasyid Rida, 1: 123).

Mengapa pada ayat tersebut disebutkan al-Kitab, padahal wahyu Allah belum diturunkan secara keseluruhan? Rasyid Rida berpendapat bahwa yang demikian itu untuk memberikan isyarat bahwa Allah akan memenuhi janjinya untuk menyempurnakan al-Kitab. Sebenarnya tidaklah menjadi masalah menyebutkan al-Kitab, sekalipun belum sempurna turunnya, sebab ternyata sebelum diturunkannya permulaan surat al-Baqarah, telah diturunkan sejumlah besar dari ayat-ayat al-Qur’an, dan Rasulullah saw. telah menyuruh agar ditulis dan dihafalkan. (Rasyid Rida, 1: 123).

Pada ayat tersebut ditegaskan bahwa tidak diragukan baik tentang diturunkannya dari Allah swt. maupun tentang hidayahnya bagi seluruh manusia, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

تَنزِيلُ ٱلۡڪِتَـٰبِ لَا رَيۡبَ فِيهِ مِن رَّبِّ ٱلۡعَـٰلَمِينَ

Turunnya al-Qur’an yang tidak ada keraguan di dalamnya, (adalah) dari Tuhan semesta alam (Qs. as-Sajdah/32: 2).

Sebagai bukti bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah swt., antara lain ialah, ketinggian balagah dan uslubnya yang tidak adapt ditandingi oleh siapapun hingga sekarang, dan ketika itu orang-orang musyrikin telah ditantang untuk membuat satu surat yang sebanding dengan al-Qur’an, namun sama sekali tidak mampu membuatnya, sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya:

 وَإِن ڪُنتُمۡ فِى رَيۡبٍ۬ مِّمَّا نَزَّلۡنَا عَلَىٰ عَبۡدِنَا فَأۡتُواْ بِسُورَةٍ۬ مِّن مِّثۡلِهِۦ

وَٱدۡعُواْ شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ صَـٰدِقِينَ

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar (Qs. al-Baqarah/2: 23).

Jelaslah bahwa ketinggian balagah al-Qur’an, uslubnya, maknanya, ilmunya, dan pengaruhnya terhadap jiwa orang yang beriman serta hidayahnya tidaklah mungkin diragukan. (Rasyid Rida, I: 124).

Kemudian ayat tersebut ditutup dengan firman-nya: Hudan lil-muttaqin (sebagai hidayah bagi orang-orang yang bertaqwa). Hidayah yang dimaksudkan dalam ayat tersebut ialah bimbingan Allah kepada manusia ke jalan yang lurus dengan pertolongan yang sangat khusus dari Allah swt.

Adapun yang dimaksudkan dengan al-Muttaqin. Ialah orang-orang yang menjaga diri dari sebab-sebab siksaan Allah SWT baik di dunia maupun di akhirat. Menurut jumhur ulama, cara menjaga diri yang paling efektif ialah dengan mengerjakan semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya, dengan ikhlas hanya mencari keridaan Allah SWT.

Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan, cara menjaga diri dari siksaan duniawi, harus menguasai ilmu tentang sunnah Allah, yaitu aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan untuk mengatur alam ini, yang oleh para ahli disebut hukum alam. Misalnya, api itu mempunyai daya pembakar, matahari memancar sinar, dan sebagainya. Maka orang yang mengetahui bahwa api itu berbahaya, pasti ia akan berhati-hati terhadap api, jika ia mengetahui bahwa dalam peperangan harus mempersiapkan kekuatan, maka ia harus mempersiapkan mesin-mesin perang, di samping harus memasang siasat dan strategi perang, sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya:

 وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٍ۬ وَمِن رِّبَاطِ ٱلۡخَيۡلِ تُرۡهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّڪُمۡ 

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah dan musuhmu…. (Qs. al-Anfal/8: 60).

Adapun untuk menjaga siksaan di akhirat, kita harus beriman, bertaqwa, bertawakkal, bertauhid, beramal salih, serta membersihkan diri dari segala macam kemusyrikan dan kemaksiatan. (Al-Maraghi, 1969, I: 41).

Pada ayat berikutnya, Allah berfirman:

 ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَـٰهُمۡ يُنفِقُونَ

Mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (Qs. Al-Baqarah/2: 3)

Pada ayat sebelumnya, Allah menegaskan bahwa tidak ada sedikit pun keraguan pada al-Qur’an, baik mengenai turunnya dari Allah maupun tentang hidayahnya bagi orang yang bertaqwa. Kemudian pada ayat ini, Allah menjelaskan sebagian tanda-tanda orang yang bertaqwa kepada Allah SWT, sebagai berikut:

1. Beriman kepada yang ghaib

Beriman kepada yang ghaib yaitu meyakini adanya maujud yang di luar jangkauan indera, apabila ada petunjuk dari dalil yang kuat atau akal yang sehat. Orang yang mempunyai keyakinan seperti itu, akan mudah baginya membenarkan adanya Pencipta alam semesta. Dan apabila Rasul menjelaskan adanya alam yang hanya diketahui oleh Allah, seperti, Malaikat atau Hari Akhir, maka tidaklah sulit baginya membenarkannya, karena telah meyakini kebenaran Nabi Muhammad saw.

Orang yang tidak meyakini adanya maujud yang berada di luar jangkauan indera, sulitlah baginya meyakini adanya adanya Pencipta alam semesta, dan amat kecil kemungkinannya menemukan jalan untuk mengajaknya kepada kebenaran. (Al-Maraghi, I:41).

Rasyid Rida, dalam tafsirnya menjelaskan bahwa orang yang tidak beriman kepada Allah,tidaklah mungkin memperoleh hidayah dari al-Qur’an, maka ia harus diberi penjelasan dengan argumentasi yang rasional mengenai adanya Pencipta alam semesta ini. Kemudian dimantapkan keyakinannya bahwa al-Qur’an adalah wahyu dari Allah SWT. Oleh karena itulah pada ayat yang sedang dibahas ini Allah menegaskan, orang yang bertaqwa adalah orang yang beriman kepada yang gaib. (Rasyid Ridha, I:127).

2. Mendirikan salat

Dalam bahasa Arab, ash-shalah, berarti ad-dua’ (berdoa), seperti disebutkan dalam firman-Nya: Fa Shalli ‘alaihim (berdoalah untuk mereka). (QS. at-Taubah (9): 103). Berdoa kepada Allah, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan atau dengan keduanya, memberikan pengertian bahwa orang yang berdoa mempunyai keperluan kepada-Nya sebagai rasa syukur terhadap kenikmatan yang telah dikaruniakan kepadanya atau sebagai permohonan agar terhindar dari bencana.

Salat yang dilakukan menurut cara yang telah disyariatkan oleh Islam, merupakan cara yang paling baik untuk mengungkapkan rasa keagungan Allah dan kebutuhan yang amat besar kepada-Nya, jika dilakukan sesuai dengan cara yang telah ditetapkan, yaitu dilakukan dengan khusyu’ (merendah) dan khudu’ (merunduk), jika dilakukan tanpa khusyu’ dan tanpa khudu’, maka salat tersebut kosong dari ruh, sekalipun bentuk dan caranya telah memenuhi rukun dan syaratnya.

Pada ayat di atas dipergunakan istilah yuqimuna-sholah (mendirikan salat), mengandung pengertian bahwa salat harus dilakukan dengan sempurna, tanpa kekurangan apapun, seperti mendirikan batang kayu dengan tegak lurus, tidak condong sedikitpun (al-Maraghi, I:42). Maka ketika mendirikan salat harus menghadirkan hati dalam semua bagian-bagiannya, ketika berdiri, ruku, sujud, dan duduk, dan disertai rasa takut kepada azab-Nya serta berusaha mendekatkan diri kepada-Nya, Allah pencipta alam semesta, seakan-akan melihat-Nya, sekalipun tidak dapat melihat-Nya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis:

أَنْ تَعْبُدَ اللّهَ كَانَّك تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Hendaklah menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, sekalipun kamu tidak dapat melihat-Nya, tetapi Allah melihatmu. (HR. al-Bukhari, I:11).

Maka mendirikan salat harus memenuhi dua unsur: unsur ruh salat yaitu khusyu’ dan khudu’, dengan menghadirkan hati dalam semua geraknya, dan unsur tubuh salat, yaitu: berdiri, ruku’, sujud dan duduk dengan sempurna.

Disamping itu, Allah juga memerintahkan agar dilakukan secara terus menerus, sebagaimana ditegaskan dengan firman-Nya:

 ٱلَّذِينَ هُمۡ عَلَىٰ صَلَاتِہِمۡ دَآٮِٕمُونَ

Mereka yang tetap setiap mengerjakan salatnya” (Qs. al-Ma’arij/70: 23)

Juga memerintahkan agar dilakukan tepat waktu:

 إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتۡ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ كِتَـٰبً۬ا مَّوۡقُوتً۬ا

Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” (Qs. an-Nisa/4: 103)

Bahkan Allah memerintahkan agar selalu dilakukan secara berjama’ah, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

 وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٲكِعِينَ

Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku” (Qs. al-Baqarah/2: 43)

Dalam suatu hadis Rasulullah saw. bersabda:

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

“(Pahala) salat berjama’ah melebihi salat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat” (HR. al-Bukhari riwayat dari Abdullah bin Imran. I: 78)

Salat yang sempurna itulah yang mampu menjaga seseorang dari perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya:

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ‌ۗ

Sesungguhnya salat itu mencegah (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar (Qs. al-Ankabut/29: 45)

Apabila akhir-akhir ini kita menyaksikan sebagian besar koruptor, pencuri, penipu, perampok, pencopet dan pelaku kejahatan lainnya adalah orang-orang yang rajin mengerjakan salat, maka kemungkinan besar mereka tidak melakukannya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Karena itulah Allah swt juga mengancam orang-orang yang salat dengan ancaman yang sangat menakutkan, seperti ditegaskan dalam firman-Nya

فَوَيۡلٌ۬ لِّلۡمُصَلِّينَ (٤) ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِہِمۡ سَاهُونَ (٥

ٱلَّذِينَ هُمۡ يُرَآءُونَ (٦) وَيَمۡنَعُونَ ٱلۡمَاعُونَ (٧ 

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, oramg-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna” (Qs. al-Maun/107: 4-7)

3. Memberikan Infak

Para mufassir berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan infaq pada ayat 3 al-Baqarah, adalah infak dalam arti umum, mencakup infak wajib dan infak tatawwu’ (sunnah). Huruf mim yang terdapat pada kalimat min ma razaqnahum, mengandung makna ba’diyah (sebagian), maka nafkah yang diperintahkan untuk dikeluarkan hanyalah sebagian harta yang dimiliki, tidak semuanya. Yang demikan itu dimaksudkan agar pemberian nafkah itu dilakukan dengan ikhlas, hanya mencari keridaan Allah semata dan karena bersyukur kepada Allah, bukan karena riya’ (pamer) atau mencari popularitas. (Rasyid Ridha, I:130).

Mengeluarkan infak atau zakat memang belum mendapat perhatian dari kaum muslimin, padahal apabila infak atau sadaqah dikelola dengan baik, insya Allah dapat mengurangi jumlah kemiskinan, sebab jumlah orang muslim yang tergolong mampu di Indonesia tidak sedikit. Namun mereka masih merasa berat mengeluarkan infak, padahal sebagian harta mereka adalah milik orang-orang miskin. Sebagian besar kaum muslimin, sangat ringan mengerjakan shalat, puasa, bahkan menunaikan ibadah haji, yang biayanya sangat besar. Tetapi apabila diajak untuk menginfaqkan sebagian rezekinya di jalan Allah, misalnya untuk membantu anak yatim, orang miskin, atau kemaslahatn umum lainnya, mereka merasa sangat berat.

4. Beriman kepada Kitab-kitab Allah

a. Beriman kepada al-Kitab (al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., Kitab suci yang terakhir. Pada ayat tersebut digunakan kata unzila (diturunkan), karena wahyu (al-Kitab) itu diturunkan dari Yang Maha Tinggi, Allah swt., pencipta alam semesta. (Rasyid Ridha, I: 132).

Menurut al-Maraghi, dimaksudkan dengan Bima unzila ilaika, ialah al-Qur’an dan penjelasan-penjelasan dari Nabi saw, seperti jumlah rakaat dalam salat dan hukuman kejahatan, sebab penjelasan dari Nabi saw adalah wahyu, sekalipun tidak termasuk al-Qur’an. (al-Maraghi, I:43). Pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT:

 وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ (٣) إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡىٌ۬ يُوحَىٰ (٤

Dan ia tidak berkata menurut keinginan hawa nafsunya. (perkataannya) tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (Qs. an-Najm/53:3-4)

Dan berdasarkan firman-Nya pada ayat yang lain:

  وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّڪۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡہِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ

Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (Qs. an-Nahl/16:44)

b. Beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan sebelum Nabi saw. Beriman kepada al-Qur’an harus secara rinci, meliputi semua bagian-bagiannya. Sedang beriman kepada kitab sebelumnya, seperti Taurat, Injil dan sebagainya cukup secara garis besar. (Rasyid Rida, I: 131).

5. Yakin akan adanya Hari Akhir

Yakin ialah pembenaran dengan pasti yang tidak bercampur dengan keraguan sedikit pun. Maka meyakini adanya kehidupan di Hari Akhir berarti membenarkan dengan pasti adanya surga, neraka, balasan dan sebagainya yang terjadi di hari Akhir kelak. Jika seseorang masih melakukan atau melanggar larangan-larangan Allah, seperti minum khamr, berzina, mencuri, korupsi, menipu, dan melakukan kejahatan-kejahatan lainnya, maka imannya dan keyakinannya akan adanya Hari Akhir hanyalah khayalan belaka, sebab tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap jiwa dan perilakunya.

Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa iman dapat dicapai dengan dengan salah satu dari dua jalan:

  1. Dengan penalaran dan pemikiran terhadap hal-hal yang memerlukan pemikiran, seperti wujud Allah, dan risalah Rasul.
  2. Melalui berita dari Rasul saw, atau berita dari para sahabat yang langsung mendengar dari Rasul secara mutawatir, yang langsung mendengar dari Rasul secara mutawatir, yang tidak terdapat keraguannya sama sekali (al-Maraghi, I:44)

Pada ayat 5 surat al-Baqarah, ditegaskan bahwa meraka, yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan salat, menginfaqkan sebagian hartanya, beriman kepada al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya serta beriman akan adanya Hari Akhir, adalah orang-orang yang memperoleh hidayah dan keberuntungan, yaitu selamat dari siksaan di akhirat dan masuk surga yang dipersiapkan bagi orang-orang yang beriman.

 

Narasumber utama artikel ini:

Saad Abdul Wachid

banner 468x60