Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 185
(Bagian 1)
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ -١٨٥
- (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu adadi bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allahatas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.
Ayat ini dimulai dengan frasa bulan Ramadhan (syahru Ramadhan). Terdapat perbedaan pendapat para mufasir dalam melakukan analisis gramatikal terhadap frasa tersebut. Pendapat pertama menyatakan bahwa frasa bulan Ramadhan merupakan subyek kalimat dan predikatnya adalah pernyataan selanjutnya, yaitu yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an. Atas dasar itu ayat tersebut dibaca, Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an … Tafsir tersebut umumnya didasarkan atas asumsi adanya nasakh dalam ayat-ayat puasa ini. Menurut tafsir tersebut pernyataan pada ayat sebelumnya pada hari-hari tertentu dimaksudkan tiga hari setiap bulan, atau hari-hari putih (ayyam al-bid), yaitu tanggal 13-15 setiap bulan, dan ada pula yang menambahkan hari Asyura.
Jadi penegasan diwajibkan atasmu berpuasa pada hari-hari tertentu itu maksudnya diwajibkan atasmu melakukan puasa pada hari Asyura dan puasa pada hari-hari putih atau puasa tiga hari setiap bulan. Ini adalah awal mula pewajiban puasa. Kemudian, puasa Asyura dan puasa hari-hari putih atau tiga hari setiap bulan itu dinasakh dan diganti dengan kewajiban puasa Ramadhan yang ditegaskan oleh ayat 185 ini, sedang puasa-puasa yang dinasakh itu dijadikan sunat hukumnya. Jadi ayat 185 ini menasakh ayat sebelumnya.[1]
Pendapat kedua, menyatakan bahwa frasa bulan Ramadhan adalah predikat dari subyek yang dilesapkan (diidmarkan / tidak disebutkan). Subyek yang tidak disebutkan itu adalah ‘Hari-hari tertentu’ yang disebutkan pada ayat sebelumnya atau kata ganti nama yang merujuk kepada ‘hari-hari tertentu’ itu. Sedangkan anak kalimat yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an adalah keterangan sifat (ajektif) yang menjelaskan predikat bulan Ramadhan. Dengan pemahaman konstruksi gramatikal seperti ini ayat tersebut dibaca (Hari-hari tertentu itu adalah) bulan Ramadhan yang di dalamnya al-Qur’an diturunkan. Masih terdapat beberapa pendapat lain.[2]
Pendapat pertama mengasumsikan adanya nasakh dalam ayat-ayat puasa ini. Teori nasakh sebenarnya sudah semakin dihindari dalam pemahaman al-Qur’an. Muhammad Rasyid Ridha menegaskan, “Kaidahnya adalah bahwa selagi hukum-hukum dapat dipahami tanpa nasakh, maka tidak digunakan nasakh.”[3] Pada bagian lain, ia juga mengkritik kegemaran beberapa ulama untuk mencari-cari nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an.[4]
Pendapat pertama yang menjadikan Bulan Ramadhan sebagai subyek dan frasa yang di dalamnya al-Qur’an diturunkan sebagai predikat terlihat memutuskan keterkaitan yang erat antara ayat tersebut dengan ayat-ayat sebelumnya. Lagi pula, sebagaimana dikemukakan oleh Abu ‘Ali, yang dikutip oleh ar-Razi, pendapat tersebut lebih menegaskan bulan Ramadhan itu adalah bulan yang di dalamnya al-Qur’an diturunkan sehingga meniadakan kesan pada frasa itu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan di mana puasa diwajibkan.
Sebaliknya, menurut pendapat kedua, ketiga ayat itu (183, 184, dan 185) terkait erat satu sama lain di mana ayat-ayat itu menegaskan (1) diwajibkan berpuasa atas orang-orang beriman, (2) kewajiban berpuasa itu adalah pada hari-hari tertentu, dan (3) hari-hari tertentu itu adalah bulan Ramadhan yang di dalamnya al-Qur’an diturunkan.
Oleh karena itu Tafsir at-Tanwir lebih cenderung membaca ayat 185 ini sesuai pendapat kedua ini, sehingga ayat itu diterjemahkan (Hari-hari tertentu itu) adalah bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an.
Sebagaimana dikemukakan di atas, ayat 185 ini menegaskan bahwa puasa diwajibkan kepada orang-orang beriman pada hari-hari tertentu, dan hari-hari tertentu itu adalah bulan Ramadhan. Ayat ini sekaligus memuat alasan mengapa bulan Ramadhan dipilih untuk dijadikan bulan diwajibkannya berpuasa.
Alasan itu dapat disimpulkan dari ayat ini sebagai berikut:
- Karena bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya al-Qur’an diturunkan sehingga bulan itu menjadi bulan mulia dan penting dan karenanya layak dipuasai.
- Al-Qur’an yang diturunkan pada bulan Ramadhan itu merupakan petunjuk bagi manusia dan merupakan ayat-ayat yang jelas dari petunjuk Allah dan pembeda antara yang hak dan yang batil, dan petunjuk itu adalah anugerah ilahi yang besar sehingga karena itu bulan di mana petunjuk itu diturunkan layak dipuasai sebagai perwujudan rasa syukur atas anugerah petunjuk itu. Karenanya ayat ini ditutup dengan penegasan agar kamu bersyukur. Dengan kata lain bulan Ramadhan dipilih untuk dijadikan bulan berpuasa adalah agar manusia ingat dan mensyukuri anugerah petunjuk dari Allah yang diturunkan pada bulan itu.
- Diturunkannya al-Qur’an pada bulan Ramadhan itu adalah pada suatu malam dari bulan tersebut yang penuh berkah (Qs [44]: 3), yaitu malam kemuliaan atau malam kadar (Qs [97]: 1), karenanya bulan Ramadhan yang mengandung malam kemuliaan itu layak untuk dipuasai.
Ramadhan, Awal Turunnya al-Qur’an
Perlu dicatat, bahwa yang dimaksud dengan penurunan al-Qur’an pada bulan Ramadhan itu adalah awal mula turunnya al-Qur’an, bukan turunnya al-Qur’an secara keseluruhan. Turunnya al-Qur’an secara keseluruhan adalah secara bertahap selama masa kerasulan Nabi Muhammad SAW. Wahyu al-Qur’an yang pertama turun di bulan Ramadhan itu adalah permulaan surat al-‘Alaq ayat 1-5. Kelima ayat tersebut dapat dipandang sebagai fondasi pembangunan peradaban manusia karena ayat-ayat itu berisi perintah membaca yang berarti perintah mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, diperintahkannya berpuasa pada bulan di mana perintah itu diturunkan adalah agar perintah tersebut tetap dikenang dan dihayati oleh umat Islam guna melestarikan dan mengembangkan peradabannya. Ini barangkali merupakan alasan keempat mengapa bulan Ramadhan dipilih untuk dipuasai.
Tidak ada penegasan yang pasti di dalam al-Qur’an sendiri maupun dalam Hadis tentang tanggal persisnya kitab suci ini diturunkan pertama kali. Namun, dapat dibuat perkiraan berdasarkan data yang ada. Data dimaksud adalah:
- Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan seperti ditegaskan dalam ayat ini.
- Al-Qur’an diturunkan pertama kali pada malam hari karena dalam al-Qur’an sendiri ditegaskan bahwa Allah menurunkannya pada suatu malam yang penuh berkah (Qs [44]: 3), yaitu malam kemuliaan atau malam kadar (Qs [97]: 1).
- Al-Qur’an diturunkan pertama kali pada hari Senin, karena sebagai diterangkan dalam beberapa Hadis sahih, ketika ditanya tentang puasa sunat hari Senin Nabi SAW menjelaskan bahwa hari Senin adalah hari beliau dilahirkan dan hari beliau menerima wahyu pertama.[5]
- Al-Qur’an diturunkan pada hari Furqan, yaitu hari (tanggal) bertemunya dua pasukan [Q.S. 8: 41]. Para ahli tafsir dan ahli sejarah menyatakan bahwa hari Furqan di mana dua pasukan bertemu itu adalah hari perang Badar pada tahun 2 Hijriah.[6]. Tetapi para ahli sejarah tidak sepakat tentang tanggalnya. Beberapa riwayat menyatakan perang Badar terjadi pada tanggal 17 Ramadhan, dan ada pula yang menyatakan tanggal 19 Ramadhan.[7]
- Lama Nabi SAW tinggal di Makkah sejak menerima wahyu pertama hingga berhijrah ke Madinah diperkirakan antara 10 hingga 15 tahun kamariah. Tidak ada kesepakatan mengenai ini. Riwayat yang bersumber kepada Anas menyatakan 10 tahun; riwayat yang bersumber kepada Ibn ‘Abbās kebanyakan mengatakan 13 tahun, tetapi ada juga riwayat dari beliau yang mengatakan 10 atau 15 tahun.[8]
At-Tabari menyimpulkan bahwa lama Nabi saw tinggal di Makkah sejak wahyu pertama adalah 13 tahun, di mana 3 tahun pertama ia tidak menyerukan dakwahnya dan selama sepuluh tahun berikutnya beliau menyerukan dakwahnya, lalu berhijrah ke Madinah pada tahun ke-14 dari kenabiannya.[9]
Tidak ada riwayat yang mengatakan 11, atau 12 tahun masa tinggal Nabi di Makkah sejak wahyu pertama hingga berhijrah. Para ahli tarikh umumnya memegangi riwayat 13 tahun.
Dari data 1, 2, dan 3 di atas dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an diturunkan pertama kali pada malam Senin di bulan Ramadhan. Akan tetapi diperselisihkan tanggalnya. Menurut keyakinan yang banyak diterima, tanggal 17 Ramadhan, tetapi menurut riwayat lain tanggal 19 Ramadhan. Tahunnya juga tidak pasti. At-Tabari menyatakan bahwa Nabi SAW berhijrah pada tahun ke-14 dari kenabiannya. Jadi, al-Qur’an diturunkan pertama kali malam Senin tanggal 17 atau 19 Ramadhan tahun 14 SH (sebelum hijrah) apabila memegangi pendapat at-tabari.
Apabila dihitung secara falakiah, hari Senin 17 Ramadhan yang mendekati kemungkinan adalah hari Senin 17 Ramadhan 12 SH (sebelum Hijriah) yang bertepatan dengan tanggal 02 Agustus 611 M.
Ijtimak jelang Ramadhan tahun 12 SH (sebelum Hijriah) terjada pada hari Kamis 15 Juli 611 M. Tinggi toposentrik titik pusat bulan pada hari itu adalah 0º 20’ 46” (kurang dari 0,5º). Tinggi pada hari berikutnya (Jumat 16 Juli 611) adalah 11,5º. Tanggal 1 Ramadhan 12 SH jatuh pada hari Sabtu 17 Juli 611 M. Tanggal 17 Ramadhan 12 SH jatuh hari Senin 02 Agustus 611 M).
Berdasarkan ini Nabi SAW berada di Makkah sejak menerima wahyu pertama hingga berhijrah adalah 11 tahun 5 bulan beberapa hari (11,5 tahun).
Tetapi tidak ada riwayat tarikh yang mendukung ini. Kalau dipegangi tanggal 19 Ramadhan, maka ada dua alternatif yang mungkin. Pertama, hari Senin 19 Ramadhan 11 SH (sebelum Hijriah) yang bertepatan dengan tanggal 22 Juli 612 M. (Ijtimak jelang Ramadhan tahun 11 SH (sebelum Hijriah) terjada pada hari Selasa 04 Juli 612 M. Tinggi toposentrik titik pusat bulan pada hari itu hanya 3º 00’ 22”, elongasi 04º 45’ 39”, dan lebar hilal (crescent width) 00º 00’ 03”.
Nilai parameter ini belum memungkinkan terlihatnya hilal dengan mata telanjang menurut kriteria ‘Audah, Istanbul 1978, Ilyas, Yallop dan lain-lain. Oleh karena itu tanggal 1 Ramadhan 11 SH jatuh pada hari Kamis 06 Juli 612 M. Tanggal 19 Ramadhan 11 SH jatuh hari Senin 24 Juli 612 M). Berdasarkan ini, Nabi saw berada di Makkah sejak menerima wahyu pertama hingga berhijrah adalah 10 tahun 5 bulan beberapa hari (10,5 tahun). Ini cocok dengan riwayat Anas yang menyatakan keberadaan Nabi saw sejak menerima wahyu pertama hingga berhijrah adalah 10 tahun, dengan membulatkan ke bawah sebagaimana kebiasaan orang Arab.
Kedua, hari Senin 19 Ramadhan 14 SH (sebelum Hijriah) yang bertepatan dengan tanggal 25 Agustus 609 M. (Ijtimak jelang Ramadhan tahun 14 SH (sebelum Hijriah) terjada pada hari Selasa 05 Agustus 609 M. Tinggi toposentrik titik pusat bulan pada hari itu adalah 2º 6’ 03”. Ketinggian ini belum memungkinkan hilal untuk dapat dilihat dengan mata telanjang. Oleh karena itu tanggal 1 Ramadhan 14 SH jatuh pada hari Kamis 07 Agustus 609 M. Tanggal 19 Ramadhan 14 SH jatuh pada hari Senin 25-08-609). Berdasarkan ini, Nabi saw berada di Makkah sejak menerima wahyu pertama hingga berhijrah adalah 13 tahun 5 bulan beberapa hari (13,5 tahun).
Ini cocok dengan riwayat yang banyak dipegangi yang menyatakan keberadaan Nabi SAW di Makkah sejak menerima wahyu pertama hingga berhijrah adalah 13 tahun, dengan membulatkan ke bawah sebagaimana kebiasaan orang Arab. Ini sesuai pula dengan pernyataan at-Tabari bahwa Nabi saw hijrah ke Madinah pada tahun ke-14 kenabiannya.
Kalau ini adalah alternatif yang dianggap paling mungkin, maka kita harus menerima pandangan turunnya al-Qur’an adalah pada tanggal 19 Ramadhan, bukan 17 Ramadhan seperti banyak diyakini.
Persisnya, al-Qur’an diturunkan pada malam Senin, 19 Ramadhan 14 SH yang betepatan dengan 25 Agustus 609 M.
Ramadhan, Al-Qur’an, Petunjuk dan Pembeda
Lebih lanjut, ayat 185 ini menegaskan al-Qur’an sebagai (1) petunjuk bagi umat manusia dan (2) sebagai bukti nyata dari petunjuk dan pembeda hak dan batil yang diturunkan Allah. Pernyataan bahwa al-Qur’an adalah petunjuk untuk umat manusia mengekspresikan bahwa kitab suci ini tidak hanya diperuntukkan bagi umat Islam, tetapi juga untuk seluruh umat manusia. Hal ini bukan suatu yang berlebihan. Di dalam al-Qur’an sendiri terdapat banyak pesan-pesan universal yang dapat dipedomani oleh siapa pun yang mau menghayatinya, seperti pesan-pesan mengajak kepada kebaikan semisal membantu kaum yang lemah atau menginfakkan sebagian kekayaan yang kita miliki untuk kesejahteraan umum, serta pesan-pesan mengajak menghindari segala hal yang buruk semisal makan harta sesama dengan jalan batil termasuk perbuatan korupsi yang tidak ragu lagi merupakan makan harta sesama dengan jalan batil
Memang pada sejumlah ayat lain dinyatakan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang yang bertakwa (Qs [2]: 2) atau bagi orang-orang mukmin (Qs [27]: 2) dan di beberapa tempat lain. Ini tidak mengurangi Al-Qur’an sebagai petunjuk universal bagi semua manusia karena pernyataan-pernyataan ini umumnya muncul dalam konteks diskusi dengan orang-orang yang menolak dan tidak menerima Al-Qur’an. Sedangkan dalam ayat 185 yang sedang ditafsirkan ini konteks pernyataan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia (petunjuk universal) adalah ketika menyatakan fungsi Al-Qur’an itu sendiri pada dirinya, bukan dalam konteks mendiskusikan penolakan orang tidak beriman.
Bulan Ramadhan, Dasar Berpuasa
Lanjutan ayat 185, Karena itu, barangsiapa di antara kamu mengetahui (masuknya) bulan itu, maka hendaklah ia mempuasainya, dan barangsiapa sakit atau sedang dalam perjalanan (sehingga tidak berpuasa), maka hendaklah ia menghitung (hari-hari ia tidak berpuasa) untuk diganti pada hari-hari yang lain, merupakan penegasan terhadap pangkal ayat.
Pangkal ayat menyatakan bahwa hari-hari dimana puasa diwajibkan adalah bulan Ramadhan. Potongan ini melanjutkan bahwa, oleh karena itu barangsiapa yang telah memastikan masuknya bulan hendaklah berpuasa selama bulan tersebut. Teks Arabnya berbunyi fa man syahida minkumusy-syahra falyasumhu.
Kata syahida mempunyai beberapa arti antara lain, pertama, berarti hadara ‘hadir, berada di tempat, tidak berpergian ke luar’. Kedua, berarti ‘alima ‘mengetahui’. Syahidallahu berarti ‘alimallahu ‘Allah mengetahui’. Asy-syahid berarti al-‘alim ‘orang yang mengetahui’. Asyhadu an la ilaha illallahu ‘saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah’ dalam pengertian saya mengetahui dengan pasti bahwa tiada Tuhan selan Allah. Ketiga, berarti memberikan kesaksian dalam arti menyampaikan apa yang diketahuinya.[10]
Kata asy-syahr berarti ‘bulan’ dalam pengertian: (1) periode waktu 29 atau 30 hari dan inilah pemakaian yang banyak berlaku, dan (2) bulan di langit menjelang sempurnanya. Kata tersebut berasal dari kata syuhrah dan kata kerja syahara yang berarti jelas, tampak terang, menonjol, masyhur. Bulan di langit disebut asy-syahr karena menonjolnya dalam arti tampak jelas dan terangnya.[11]
Frasa fa man syahida minkum asy-syahra dapat diberi beberapa kemungkinan terjemahan sesuai analisis gramatikal tertentu:
- Kemungkinan pertama, menjadikan kata asy-syahr sebagai keterangan waktu dan kata syahida diartikan ‘berada di tempat’/‘tidak bepergian’. Sehingga frasa itu diterjemahkan “Karena itu, barangsiapa di antara kamu berada di tempat pada bulan itu, maka hendaklah ia mempuasainya”.
- Kemungkinan kedua, menjadikan kata asy-syahra sebagai obyek (maf‘ul bih) dari kata kerja syahida. Analisis gramatikal ini mengharuskan adanya pelesapan (idhmar). Terdapat dua interpretasi terhadap kata yang dilesapkan itu, yaitu:
a. Kata yang dilesapkan itu adalah “masuknya” (dukhul) dan kata syahida diartikan mengetahui. Berdasarkan analisis gramatikal ini, frasa tersebut dibaca, “Karena itu, barangsiapa di antaramu mengetahui (masuknya) bulan itu, maka hendaklah ia mempuasainya”.
b. Kata yang dilesapkan itu adalah “hilal”. Menurut analisis ini, ayat itu dibaca, “Karena itu, barang siapa menyaksikan (hilal) bulan itu, maka hendaklah ia mempuasainya”.[12]
Tafsir at-Tanwir mengikuti penafsiran 2.a., sehingga potongan ayat tersebut secara keseluruhan diterjemahkan, Karena itu, barangsiapa di antara kamu mengetahui (masuknya) bulan itu, maka hendaklah ia mempuasainya. Alasannya adalah:
Pertama, sebab wajibnya melaksanakan puasa Ramadhan adalah diketahuinya dengan pasti masuknya bulan tersebut, bukan keberadaan di tempat.
Kedua, terjemahan pertama dapat menjurus kepada pengertian bahwa puasa Ramadhan adalah puasanya orang mukim, sehingga apabila ia musafir, maka tidak ada kewajiban puasa atasnya selama safar, dalam arti apabila ia tetap berpuasa karena ia mampu melakukannya, maka puasanya tidak memadai sehingga ia tetap wajib menggantinya di hari lain ketika telah kembali ke tempat mukimnya. Pada pemaparan terdahulu pendapat ini telah dikritik.
Ketiga, terjemahan 2.a. (memaknai syahida dengan mengetahui secara pasti) lebih sesuai dengan lanjutan ayat yang menyebutkan dua pengecualian terhadap kewajiban berpuasa Ramadhan saat telah mengetahui masuknya bulan, yaitu orang sakit atau musafir. Sementara, terjemahan pertama mengesankan suatu pengulangan, yaitu puasa diwajibkan kepada orang yang berada di tempat (tidak bersafar), padahal di belakang disebutkan lagi pengecualian tersebut.
Keempat, adapun terjemahan 2.b., Karena itu, barangsiapa melihat (hilal) bulan itu, menurut Ibn ‘Asyur, tidak tepat karena tidak ada kata syahida yang berarti melihat,[13] Lagi pula pada ujung penggalan itu ada anak kalimat fal yasumhu yang berarti ‘hendaklah ia mempuasainya.’ Kata ganti nama ‘nya’ di sini merujuk kepada asy-syahr dan apabila asy-syahr diartikan hilal, berarti puasa yang wajib hanya selama hilal. Ini jelas tidak tepat.
Jadi, dari uraian di atas, menjadi jelas bahwa maksud potongan ayat di atas adalah untuk menjelaskan sebab timbulnya kewajiban berpuasa, yaitu masuknya bulan Ramadhan yang diketahui secara pasti. Namun, diingatkan kembali bahwa orang sakit atau orang musafir tidak diwajibkan melakukannya selama sakit atau dalam perjalanan, akan tetapi apabila ia tetap mengerjakannya meskipun sakit atau dalam perjalanan, puasa itu sah dilakukannya dan tidak perlu lagi menggantinya di hari yang lain. Hanya apabila mereka tidak melakukannya selama sakit atau dalam perjalanan, mereka wajib menggantinya pada hari lain di luar Ramadhan. Wallahu a’lam.
Catatan akhir:
[1] AbuHayyan, al-Bahr al-Muhit, II: 192-193.
[2] Ar-Razi, Tafsir al-Fakhr ar-Razi, V: 90; dan Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhīt, II: 193-194.
[3] Ridha, Tafsir al-Manar, II: 127.
[4] Ibid., II: 121.
[5] Muslim, Sahih Muslim, I: 520-521, hadis no. 197 dan 198 [1162], “Kitab as-Siyam”; Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, h. 388, hadis no. 2426, “Kitab as-Saum, Bab fi Saum ad-Dahr Tatawwu‘an”; dan Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad, XXXVII: 224, Hadis no. 22537, dan XXXVII: 228-229, Hadis no. 22541.
[6] At-Tabari, Tafsir At-Tabari, XI: 201-202; dan Rida, Tafsir al-Manar, X: 16.
[7] At-Tabari, Tarikh at-Tabari, diedit oleh Muhammad Ab al-Fadi Ibrahim, cet. ke-2 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, t.t.), II: 418-420; Ibn al-Asir, al-Kamil fī at-Tarikh, diedit oleh Muhammad Yusuf ad-Daqqaq (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1407/1987), II: 14; dan Ibn Kasir, al-Bidayah wa an-Nihayah, diedit oleh ‘Abdullah Ibn ‘Abd al-Muhsin at-Turki (Kairo: Hajar li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘ wa al-I‘lan, 1418/1997), V: 85.
[8] Ibn Kasir menghimpun berbagai riwayat tersebut dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, lihat Ibn Kasir, al-Bidah wa an-Nihayah, VIII: 110-115. Lihat juga al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, h. 707, hadis no. 3902-3903.
[9] At-Tabari, Tarikh at-Tabari, II: 392.
[10] Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab (Kairo: Dar al-Ma‘arif, t.t.), h. 2348; az-Zabidi, Taj al-‘Arus, VIII: 254 dan 259.
[11] Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, h. 2351; az-Zabidi, Taj al-‘Arus, XII: 263.
[12] Al-‘Ukbari, at-Tibyan fi I‘rab al-Qur’an (Amman – Riyad: Bait al-Afkar ad-Dauliyyah, t.t.), h. 49.
[13] Ibn ‘Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir, II: 174; dan Ab Hayyan, al-Bahr al-Muhit, II: 198) dan dinyatakan sebagai pendapat yang daif oleh Abū al-Baqa’ al-‘Ukbari (w. 616/1219). (Al-‘Ukbari, at-Tibyan, h. 49).
sumber: Tafsir Tahlily, disusun oleh MTT PPM, naskah awal disusun oleh Prof Dr H Syamsul Anwar.