banner 728x90

Tafsir Surat Al-Fatihah

Tafsir Al-Qur’an #1

Surat al-Fatihah (1) ayat 1-7

 alfatihah lkp - web gif copy

 

Terjemah:

Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (1) Segala puja-puji (hanya) bagi Allah, Tuhan (Rabb) semesta alam (2) Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (3) Yang menguasai (Raja) di hari pembalasan (4) Hanya kepada Engkaulah (Allah) kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah (Allah) kami mohon pertolongan (5) Tunjukilah kami ke jalan yang lurus (6) [yaitu] Jalan orang-orang yang telah Engkau (Allah) beri kenikmatan; Bukan jalan orang-orang yang Engkau (Allah) murkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat (7).

 

PENDAHULUAN

Para ulama membagi al-Quran dari segi nuzulnya menjadi dua golongan, yaitu: Makkiyyah dan Madaniyyah.

Makiyyah ialah surat-surat atau ayat-ayat yang diturunkan sebelum hijrah Nabi ke Madinah. Sedangkan Madaniyyah ialah surat-surat atau ayat-ayat yang diturunkan sesudah Nabi ke Madinah, baik yang diturunkan di Madinah maupun di luar Madinah. Untuk mengetahui perbedaan antara kedua macam golongan tersebut dapat diketahui dari ciri-cirinya.

Ciri-ciri Makiyyah ialah:

  1. Surat-surat dan ayat-ayatnya pendek-pendek dan singkat (ijaz), sasarannya bangsa Arab yang memiliki tiga tingkat balaghah dan fashahah yang sangat tinggi. Menurut para ahli bahasa, puncak balaghah yang paling tinggi ialah pernyataan yang singkat.
  2. Sebagian besar surat-surat dan ayat-ayatnya mengandung peringatan dan penjelasan tentang ushuluddin (pokok-pokok agama) secara garis besar.
  3. Sebagian besar surat Makkiyyah, terutama surat-surat yang diturunkan pada masa permulaan risalah Nabi, lebih banyak memberikan kejutan terhadap hati untuk memberikan rasa takut dan mendorong agar berpikir panjang akan adanya bahaya, baik yang tersembunyi maupun yang terlihat, baik yang jauh maupun yang dekat, yaitu adzab di dunia dan di akhirat, serta memberikan peringatan kepada manusia agar meninggalkan segala macam kemusyrikan dengan tegas. Contoh surat-surat: al-Haaq-qah, al-Qaari’ah, az-Zalzalah, dan sebagainya. Ayat-ayat dari surat-surat tersebut sangat pendek, tetapi sangat mengejutkan hati, terutama orang-orang Arab yang memiliki tingkat balaghah yang tinggi, sehingga mereka merasa takut dan gelisah ketika mendengarkan al-Qur’an dibaca.

Adapun ciri-ciri surat-surat Mada­niyyah antara lain:

  1. Surat-surat dan ayat-ayat Madaniyyah panjang-panjang, terutama apabila sasarannya para ahli kitab, sehingga mereka pada umumnya kurang menguasai balaghah bahasa Arab.
  2. Membicarakan hukum-hukum Islam.
  3. Mengajak berjihad membela agama Islam.
  4. Membicarakan hubungan antar negara dan mengatur kaidah hubungan kemasyarakatan.
  5. Membicarakan ikatan keluarga, mencela orang-orang munafik dan menyingkap rahasia kaum musyrikin serta memerintahkan berdialog dengan para ahli kitab.

Surat al-Fatihah termasuk golongan Makkiyyah, karena diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Surat ini terdiri dari tujuh ayat.

Yang dimaksudkan dengan surat ialah sepotong al-Qur’an yang terdiri dari tiga ayat atau lebih. Surat-surat al-Qur’an diberi nama dengan nama-nama tertentu, secara tauqifi (ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya) dan pada umumnya diambil lafal dari surat yang disebutkan pada awal surat, seperti al-Baqarah, an-Nisa dan sebagainya. Pada masa Rasulullah SAW. Nama-nama surat tidak dicantumkan, karena beliau melarang para penulis wahyu dari penulisan apa pun kecuali al-Qur’an agar tidak bercampur dengan lafal-lafal selain al-Qur’an, termasuk lafal “Amin” sesudah surat al-Fatihah.

Surat ini dinamakan “al-Fatihah” (pembuka), karena surat ini merupakan pembuka atau awal dari tertib surat-surat al-Qur’an. Surat ini juga dinamakan “Ummul-Qur’an” (induk al-Qur’an), karena surat ini menghimpun isi al-Qur’an secara garis besar.

Sebagian ulama berpendapat bahwa surat al-Fatihah diturunkan dua kali, pertama, di Makkah, ketika shalat mulai diwajibkan, dan kedua di Madinah ketika terjadi perubahan kiblat. Sementara, sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa surat al-Fatihah adalah surat yang pertama kali diturunkan secara lengkap dalam satu surat (Rasyid Ridla, al-Manar, t.t. I: 24).

Sebagian ulama berpendapat bahwa surat al-Fatihah mencakup isi kandungan al-Qur’an secara garis besar, yaitu:

  1. Ajaran tauhid. Karena pada waktu al-Qur’an diturunkan, semua manusia mengikuti ajaran animisme yang memerintahkan menyembah berhala, sekalipun sebagian di antara mereka mengaku bertauhid.
  2. Janji dan kabar gembira dari Allah SWT. Bagi orang-orang yang beriman, mereka akan dianugerahi pahala yang sangat baik. Juga ancaman bagi orang-orang yang tidak beriman, bahwa mereka akan ditimpa adzab yang pedih, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
  3. Perintah beribadah hanya kepada Allah semata sebagai realisasi ajaran tauhid.
  4. Penjelasan tentang jalan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
  5. Kisah-kisah tentang manusia pada masa lalu, yaitu kisah-kisah tentang orang-orang yang taat kepada hukum Allah dan orang-orang yang menentang hukum Allah s.w.t.

Inilah isi kandungan al-Qur’an yang tercakup dalam surat al-Fatihah secara garis besar.

Tentang ajaran tauhid tercakup dalam firman Allah: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin  (segala puja dan puji hanya bagi Allah, Tuhan sekalian alam). Ayat ini berbicara bahwa puja dan puji hanya bagi Allah semata, karena Allah SWT. adalah sumber segala kenikmatan. Maka pada akhir ayat tersebut ditegaskan dengan firmanNya: Rabbil ‘alamin (Tuhan seka­lian alam).

Tauhid adalah ajaran yang paling pokok dalam Islam, maka tidak cukup hanya dengan isyarat saja, melainkan harus disempurnakan dengan firmanNya: Iyyaaka na’budu wa-iyyaaka nasta’iin (hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepadaMu aku mohon pertolongan). Dengan pernyataan tersebut, tercabutlah akar-akar kemusyrikan dan animisme yang telah menyebar ke seluruh umat. Mereka menjadikan berhala sebagai penolong, dan mereka meyakini bahwa berhala yang mereka sembah mempunyai kekuatan ghaib yang kemudian mereka sembah dan minta pertolongan untuk memenuhi kebutuhan mereka di dunia. Mereka meyakini bahwa berhala yang mereka sembah hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ayat-ayat tentang tauhid dalam al-Qur’an merupakan penjelasan secara rinci terhadap ayat: (iyyaaka na’budu waiyyaka nasta’iin).

Adapun janji Allah termuat dalam firmanNya: Bismillaahir-rahmaanirrahiim (dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang).

Penyebutan kata ar-rahmah (kasih sayang), pada permulaan al-Qur’an merupakan suatu janji dari Allah bahwa Dia akan menganugerahkan kenikmatan kepada hambaNya yang taat kepada-Nya. Kata tersebut diulang dua kali untuk mengingatkan kita semua akan kewajiban mentauhidkan Allah dan menyembahNya sebagai ungkapan rasa syukur kepadaNya.

Firman Allah Maaliki yaumiddiin (Yang Menguasai hari pembalasan) mengandung makna janji dan ancaman. Sebab, makna ad-Din adalah ketundukan kepada Allah swt., yaitu bahwa pada hari kiamat kelak kekuasaan hanya dimiliki Allah SWT, dan seluruh alam tunduk kepadaNya. Semuanya mengharapkan rahmat dari Allah dan takut kepada adzab-Nya. Ad-Din dapat juga diartikan balasan dari Allah. Balasan kebaikan bagi orang-orang yang berbuat kebaikan dan balasan siksaan bagi orang-orang yang berbuat kejahatan. Itulah janji dan ancaman Allah kepada manusia.

Adapun ibadah tercakup dalam firmanNya: Iyyaaka na’budu waiyyaaka nasta’iin (Hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku mohon pertolongan). Beribadah kepada Allah harus melalui jalan yang telah ditentukan Allah SWT. Karena itulah pada ayat berikutnya Allah berfirman: Ihdinash-shirathal mustaqiim (Tunjukilah kami jalan yang lurus). Maksudnya, jadikanlah kami tetap pada jalan yang lurus. Sebab, pada dasarnya orang-orang mukmin telah berada pada jalan yang lurus. Para ulama mengatakan bahwa kebahagiaan itu terwujud karena istiqamah pada jalan yang lurus, yaitu Islam. Dan sebaliknya, kesusahan itu lahir karena keluar dari jalan yang lurus, yaitu kekafiran. Dan istiqamah itu merupakan ruh ibadah. Yang dimaksudkan dengan ruh ibadah ialah “al-khauf war-raja” (rasa takut dan harapan). Ruh ibadah itulah yang mendorong seseorang untuk berbuat amal shalih.

Kisah-kisah dan berita tentang masa lalu diungkapkan dalam firmanNya: Shirathal-ladziina an’amta ‘alaihim (Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka). Firman Allah ini menjelaskan kisah orang-orang shalih yang hidup pada masa lalu yang telah dikaruniai kenikmatan lahir dan batin, seperti para Nabi dan para Wali Allah swt. Mereka itulah yang wajib diteladani oleh siapa pun.

Di samping mengisahkan orang-orang shalih, Allah juga mengisahkan orang-orang yang sesat dan dilaknat, seba-gaimana disebut dalam firman-Nya: Ghairil-maghdzuubi ‘alaihim waladhdhaalliin (bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan jalan mereka yang sesat). Firman Allah tersebut menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak diberi kenikmatan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: orang-orang yang sesat dari jalan Allah serta orang-orang yang menentang dan memusuhi Allah SWT. Mereka itulah yang dimurkai Allah. Kisah-kisah tersebut diungkapkan agar dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua.

Ringkasnya, bahwa surat al-Fatihah telah mencakup ushuluddin (pokok-pokok agama) secara garis besar, yang akan dijelaskan pada surat-surat dan ayat-ayat berikutnya. Karena itulah, surat al-Fatihah juga disebut “Ulumul-Qur’an” atau “Ummul-Kitab” (Induk Kitab).

 

TAFSIR MUFRADAT

Alhamdu: Pujian dengan lisan atas perbuatan yang baik. Arti inilah yang terkenal di kalangan para ahli bahasa dan para ulama (Rasyid Ridha, al-Manar, I: 49). Kata tersebut berasal dari kosa kata: hamida-yahmadu. Dalam al-Qur’an, kata tersebut turunnya diulang sebanyak 68 kali dengan berbagai kata.

Al-‘alamin bentuk jamak dar: al-‘alam, artinya: semua makhluk Allah. Dalam al-Qur’an, kata tersebut diulang sebanyak 73 kali.

Ad-Din berasal dari kosa kata: daana-yadiinu-diinan. Kata ad-Din dalam al-Qur’an mempunyai arti yang berbeda-beda sesuai dengan konteksnya, antara lain:

a. Tauhid, seperti disebutkan dalam firmanNya: aliimran 19

(Sesungguhnya agama tauhid yang sah disisi Allah adalah al-Islam (Ali Imran/3: 19).

b. Hukum, seperti disebutkan dalam firman-Nya Qs. an-Nur (24) ayat 2.

     (Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya menghalang-halangi kamu untuk menjalankan hukum Allah)

c. Agama, seperti disebutkan dalam firman-Nya Qs. at-Taubah (9) ayat 33.

(Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk al-Qur’an dan agama yang benar)

d. Pembalasan, seperti disebutkan dalam firman-Nya Qs. al-Fatihah (1) ayat 4

     (Yang menguasai hari pembalasan)

 

TAFSIR AYAT

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa yang dimaksudkan dengan surat ialah sepotong al-Qur’an yang terdiri dari tiga ayat atau lebih yang namanya diketahui melalui riwayat.

Surat al-Fatihah mempunyai beberapa nama, antara lain:

  1. Ummul-Kitab atau Ummul-Qur’an (Induk al-Qur’an). Sebab, surat al-Fatihah mengandung pokok-pokok tujuan al-Qur’an, seperti memuji dan berbakti kepada Allah SWT., dengan mentaati segala perintah dan larangan-Nya dan penjelasan tentang janji dan ancaman-Nya.
  2. As-Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang), karena surat ini dibaca berulang-ulang dalam shalat.
  3. Al-Asas (dasar, asas). Karena surat ini diletakkan pada permulaan dalam tertib surat-surat al-Qur’an atau karena surat ini adalah yang pertama kali diturunkan dengan lengkap (al-Maraghi, 1969, I: 23).

Pendapat tersebut berdasarkan suatu hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqy, dari ‘Amr bin Syurahbil: bahwa Rasulullah SAW. berkata kepada isterinya, Khadijah: “Ketika Aku berkhalwat (mengasingkan diri), Aku mendengar panggilan, demi Allah Aku sangat khawatir akan terjadi peristiwa besar”. Lalu Khadijah berkata: “Mohonlah perlindungan kepada Allah, tidak mungkin Allah memperdayakan Kamu, demi Allah Kamu adalah orang yang suka menyampaikan amanah, suka bersilaturrahim dan terpercaya”. Kemudian Rasulullah s.a.w. menyampaikan peristiwa itu kepada Waraqah, lalu Waraqah memberikan saran agar Rasulullah bersikap tenang dan memperhatikan panggilan itu. Selanjutnya, ketika Beliau berkhalwat pada hari berikutnya, datanglah malaikat Jibril memanggil-manggil Rasul: Hai Muhammad, ucapkanlah Bismillahir-Rahmanir-Rahim, al-Hamdu Lillahi Rabbil-‘Alamin, hingga Waladl-dlaallin” (Rasyid Ridha, I: 35).

Surat al-Fatihah mengandung isi pokok al-Qur’an secara garis besar, kemudian dirinci dalam surat-surat berikutnya. Menurut para mufassir, isi pokok al-Qur’an adalah tauhid, janji Allah untuk memberikan balasan yang sebaik-baiknya bagi orang yang melak-sanakan ajaran al-Qur’an, ancaman dengan adzab yang sangat pedih bagi orang yang meninggalkan dan menentang al-Qur’an, ibadah untuk memantapkan tauhid dalam jiwa setiap mukmin, penjelasan-penjelasan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, kisah-kisah tentang orang-orang yang hidup di masa lalu yang memperoleh hidayah dan melaksanakan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah SWT. untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat dan orang-orang yang sesat dan meninggalkan syari’at Islam. Isi pokok ini telah tercakup dalam surat al-Fatihah secara garis besar.

Tauhid termuat dalam firmanNya: (alhamdu lil-laahi rabbil-‘aalamiin – segala pujian hanya bagi Allah Tuhan semesta alam). Sebab, pujian itu dilahirkan karena adanya suatu kenikmatan, dan Allah adalah sumber segala macam kenik-matan. Kenikmatan yang paling besar adalah kenikmatan keberadaan dan keterpeliharaan, sebagaimana diisyaratkan dalam firmanNya: (rabbil ‘alamin – Tuhan semesta alam). Dengan demikian tercabutlah akar-akar kemusyrikan dan keberhalaan yang telah menjadi budaya pada hampir semua orang.

Janji dan ancaman tercakup dalam firman-Nya Maaliki yaumiddiin  (yang menguasai hari pembalasan), baik balasan kebaikan maupun balasan adzab.

Ibadah tercakup dalam firman-Nya: Iyyaaka na’budu wa-iyyaaka nasta’iin (hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku mohon pertolongan).

Jalan kebahagiaan tercakup dalam firman-Nya Ihdinash-Shiraathal Mustaqiim (Tunjukilah kami jalan yang lurus). Sebab kebahagiaan itu hanya dapat diperoleh di jalan yang lurus (Islam), barang siapa menyimpang dari jalan yang lurus, maka ia akan sesat. (Rasyid Ridha, I: 38)

Adapun kisah-kisah tercakup dalam firman-Nya Shiraathal-ladziina an’amta alaihim ghairil-maghdzuubi ‘alaihim waladh-dhaalliin (jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang Engkau murkai dan bukan jalan mereka yang sesat).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa pada masa lampau terdapat orang-orang yang taat kepada Allah, dan kita wajib mengikuti jejak mereka. Selain itu juga terdapat orang-orang yang sesat dan kita dilarang mengikuti jejak mereka.

Surat al-Fatihah adalah salah satu dari surat-surat Makkiyyah yang diturunkan sebelum hijrah Nabi ke Madinah dan terdiri dari tujuh ayat. Surat al-Fatihah ini dimulai dengan firmanNya Bismillaahir Rahmaanir-Rahiim (dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang).

Para ulama berbeda pendapat mengenai status basmalah, apakah termasuk salah satu ayat dari surat al-Fatihah atau berdiri sendiri.

Sebagian sahabat, seperti: Abi Hurairah, Ali bin Abi Thalib, Ibni Abbas, Ibni Umar dan sebagian tabi’in, seperti: Said ibni Jubair, ‘Atha, az-Zuhry, Ibni Mubarak dan sebagian qari’ dan ahli fiqh dari Kufah, seperti ‘Asim dan al-Kisa’iy, berpendapat bahwa basmalah adalah sebagian ayat dari setiap surat al-Qur’an. Pendapat tersebut berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:

  1. Ijma’ para sahabat dan para ulama yang menetapkan basmalah pada setiap permulaan surat dalam mushaf, kecuali surat al-Bara’ah (at-Taubah)
  2. Hadits-hadits tentang basmalah; antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tadi telah diturunkan sebuah surat al-Qur’an kepadaku, lalu Beliau berkata: “Bismillahir-Rahmanir-Rahim (HR Muslim, I: 187).

Pendapat tersebut dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. bersabda: (Apabila kamu membaca al-hamdu lillah (al-Fatihah), maka bacalah “Bismillahir-Rahmanir-Rahim”, sebab al-Fatihah adalah Ummul Qur’an (induk al-Qur’an dan tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang, sedangkan “Bismillahir-Rahmani-Rahim” adalah salah satu ayat dari ayat-ayat al-Fatihah (Ad-Daruqutny).

Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa basmalah merupakan suatu ayat yang berdiri sendiri, diturunkan untuk menjelaskan permulaan surat dan untuk memisahkan antara satu surat dengan surat lainnya. Pendapat tersebut didukung ulama Madinah dan ulama Syam (Syiria) (al-Maraghi, 1969, I: 27).

Lafal “ism” yang berarti nama, adalah suatu lafal yang menunjukkan benda konkrit, seperti Zaid, lembu dan sebagai-nya dan benda abstrak, seperti: akhlak, kebenaran dan sebagainya.

Lafal “ism” yang dihubungkan dengan lafal jalalah, seperti Allah dan Rabb dalam al-Qur’an, dapat ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak 23 ayat, dan mengandung makna kesucian. Oleh karena itulah Allah memerintahkan kepada kita agar menyebutkan dan mensucikan nama Allah sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya Qs. al-Muzammil (73) ayat 8 (Dan sebutkanlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan sepenuh hati)

Pada ayat lainnya Allah berfirman dalam Qs. al-Ihsan (76) ayat 25 (Dan sebutlah nama Tuhanmu, pagi dan siang).

Menyebut nama Allah tidaklah cukup hanya dengan ucapan, melainkan harus menghadirkan hati, sehingga dapat benar-benar mengingat keagungan, kebesaran dan kesucian-Nya.

Allah membuka al-Qur’an dengan basmalah mempunyai tujuan agar kita membiasakan membaca basmalah pada setiap memulai suatu pekerjaan.

Dalam suatu hadits, Nabi SAW. menegaskan sebagai berikut: “suatu perkataan atau perkara yang penting, jika tidak dimulai dengan menyebut nama Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia, maka pekerjaan itu sia-sia” (Musnad Ahmad, II, 359, dari Abi Hurairah).

Apabila seseorang memulai pekerjaannya dengan membaca basmalah, maka ia telah memenuhi perintah Allah dan telah berniat hanya mencari keridhaan-Nya, dan meyakini bahwa kemampuan yang dimilikinya adalah karunia Allah SWT.

Pada ayat berikutnya Allah berfirman Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin (segala pujian hanya bagi Allah, Tuhan semesta Alam). Lafal al-hamdu dan asy-syukru sering disebutkan secara bersamaan. Namun demikian, para mufassir membedakan pengertian antara kedua lafal tersebut:

Syukru adalah pengakuan terhadap keutamaan, baik dengan hati, ucapan maupun dengan anggota badan. Para ulama berpendapat bahwa bersyukur dengan ucapan adalah lebih tepat daripada dengan hati atau dengan anggota badan. Sebab menyampaikan rasa syukur atau terima kasih dengan hati atau dengan anggota badan, tidak dapat dimengerti.

Selanjutnya, para mufassir juga membedakan antara pengertian lafal “Allah” dan “rabb”. Allah adalah Khaliq (Pencipta) yang disembah dengan haq (benar), dan nama “Allah” tidak dapat digu-nakan untuk nama selain-Nya. Sedangkan lafal “rabb” berarti Tuhan Yang Menciptakan, Mengasuh, Mendidik dan Mengatur semesta alam.

Lafal rabb kadang-kadang juga digunakan bagi selain Allah, dengan arti yang berbeda. Misalnya, “rabbud-daar”, artinya: yang mempunyai rumah. Ketika menceritakan Nabi Yusuf, Allah berfirman dalam Qs. Yusuf (12) ayat 23 (sesungguhnya suamiku adalah tuanku, ia telah memperlakukan aku dengan baik).

Yang dimaksudkan dengan (al-‘alamin) pada ayat tersebut ialah semesta alam; langit, bumi, manusia, malaikat, jin dan semua makhluk Allah, baik yang ada di langit maupun di bumi dan di ruang angkasa lainnya.

Ringkasnya, makna “alhamdu lil-lahi rabbil-‘alamiin” ialah: segala puja dan puji hanyalah milik Allah swt. Sebab, Dialah sumber seluruh alam. Dialah yang menciptakan, mengatur dan mengawasi alam semesta, dari permulaan hingga sempurna dan hingga akhir. Dialah yang memberi kenikmatan Dialah yang memberi ilham dan hidayah hingga dapat membedakan antara yang haq dan batil, antara yang baik dan buruk. (al-Maraghi, I: 30).

Kemudian, ayat berikutnya menyebutkan adanya sifat-sifat Allah yang lain: (arrahmaanir-rahiim – yang bermakna: Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang). Kedua lafal (ar-rahman) dan (ar-rahim) berasal dari kata ‘ar-rahmah”. “Ar-rahmah” mempunyai pengertian suatu nilai yang ada dalam hati yang mendorong untuk berbuat kebaikan kepada orang lain. Sifat “ar-rahman dan ar-rahim” hanya dimiliki Allah swt., sebab manusia mustahil menyamai sifat-sifat Allah SWT.

Para mufassir membedakan antara lafal “ar-rahman” dan “ar-rahim”. Sifat “ar-rahman” mengandung makna yang melimpahkan kenikmatan dan kebaikan kepada hamba-Nya, tanpa batas dan tanpa akhir. Lafal ini hanya digunakan bagi Allah. Karena itu, orang Arab tidak pernah menggunakan lafal tersebut selain bagi Allah swt. Sedangkan sifat “ar-rahim” adalah sifat yang melekat pada Allah SWT., yang dari sifat itulah muncul kebaikan-kebaikan.

Allah menyebut kedua sifat tersebut untuk menjelaskan bahwa ketuhanan Allah adalah ketuhanan rahmat, bukan ketuhanan kekejaman dan paksaan. Ancaman Allah kepada hamba-Nya di dunia dan di akhirat pada hakikatnya adalah sebagai rahmat. Tujuannya untuk mendidik manusia agar tidak melakukan pelanggaran terhadap syari’ah Allah. Tujuan syari’ah Allah sebenarnya untuk kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat (Rasyid Ridla, I: 51).

Pada ayat berikutnya disebutkan sifat lainnya: (Maaliki yaumid-Diin – yang menguasai hari pembalasan). ‘Ashim dan al-Kisa’iy membubuhkan huruf alif pada lafal “Maaliki” (). Sedangkan ulama lainnya tidak membubuhkannya, sehingga menjadi “Maliki”.

Az-Zamakhsyary lebih cenderung ke-pada bacaan para ulama al-harmain (Madinah dan Makkah). Sebab, mereka lebih mengetahui cara membaca al-Qur’an, lebih fasih, lebih memahami maknanya, dan selain itu didukung firman Allah Qs. al-Mu’min (40) ayat 16 (Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan).

Lafal al-Malik (tanpa huruf alif) artinya “yang merajai”, dan lafal “al-Mulk” yang artinya “kerajaan” mempunyai kesamaaan makna. Sementara itu, ulama lainnya berpendapat bahwa bacaan lafal al-Malik dengan “mad” (panjang), yaitu dengan menambah huruf alif lebih baligh (lebih fasih dan lebih tepat). Sebab, penguasa itulah yang mengatur segala urusan rakyat.

Jika dilihat dari segi keutamaan pahala, maka dengan menambah satu huruf, berarti menambah pahala. Sebab, membaca al-Qur’an setiap satu huruf diberi sepuluh kebaikan, sebagaimana diriwayatkan dalam suatu hadits: Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitab Allah, maka ia memperoleh satu kebaikan, dan satu kebaikan akan diberi sepuluh kebaikan (at-Turmuzy, dari Ibnu Mas’ud).

Menurut al-Qasmy, kedua bacaan tersebut, baik bacaan dengan mad (panjang) maupun tanpa mad, keduanya adalah shahih dan mutawatir (al-Qasimy, 1978, II: 9).

Kata ad-diin dalam al-Qur’an mempunyai beberapa makna, yaitu: tauhid, hukum, agama dan pembalasan. Menurut para mufassir, kata ad-Diin, pada ayat tersebut berarti pembalasan. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata ad-Diin pada ayat tersebut bermakna al-Hisab (perhitungan). Kami cenderung kepada pendapat pertama, sebab pembalasan sudah mencakup perhitungan.

Kata “al-yaum” pada ayat tersebut memberi pengertian bahwa pemba­lasan itu telah ditentukan wak­tunya. Pada hari itulah setiap orang memperoleh balasan dari Allah atas semua amal perbuatannya di dunia. Sebenarnya, para pelaku kejahatan di dunia telah memperoleh hukuman. Tetapi, pada hakikatnya, hukuman tersebut belum setimpal dengan kejahatan yang telah dilakukannya. Demikian pula dengan orang yang melakukan kebaikan. Seakan-akan ia telah memperoleh balasan, seperti kekayaan, kesehatan dan sebagainya. Tetapi pada hakikatnya belum memperoleh semua haknya. Maka, pada hari pembalasan (yaumud-diin) itulah semua orang akan memperoleh balasan yang semestinya, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Zalzalah (99) ayat 7-8, (Maka barangsiapa melakukan kebaikan seberat zarrah (biji yang sangat kecil) niscaya ia akan melihatnya, dan barang siapa melakukan kejahatan seberat zarrah niscaya ia akan melihatnya). Ayat ini menjelaskan bahwa seberat apa pun kebaikan atau kejahatan yang dilakukan di dunia, niscaya akan memperoleh balasan yang setimpal.

Firman Allah (yang menguasai hari pembalasan) diletakkan sesudah (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) memberikan pengertian bahwa Allah mendidik dan mengatur hamba-Nya dengan dua jalan, yaitu dengan kasih sayang dan pemberian balasan atas semua perbuatan yang telah dilakukannya di dunia. Maka semua hamba Allah wajib berbakti kepada Allah semata. Hal ini sebagaimana ditegaskan pada ayat berikutnya:   (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan).

Yang dimaksudkan dengan ibadah (penyembahan) ialah sikap tunduk yang tumbuh dari hati kepada yang disembah. Sikap tunduk itu muncul karena mempunyai keyakinan bahwa yang disembah mempunyai kekuatan ilahiyyah, yang hakikatnya tidak dapat dijangkau oleh akal dan pikiran. Karena itu, orang yang tunduk kepada raja tidak dapat dikategorikan ibadah (menyem­bah), karena sebab-sebab ketundukannya kepada raja dapat diketahui, yaitu karena takut akan kekejamannya dan kedzalimannya, atau karena mengharapkan belas kasihannya.

Ibadah itu mempunyai bentuk dan cara yang berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan, perubahan dan pergantian Rasul atau Nabi. Semuanya itu disyariatkan untuk mengingatkan manusia agar taat kepada Allah Yang Maha Tinggi dan untuk meluruskan akhlak serta mendidik jiwa. Jika ibadah itu tidak mempunyai pengaruh terhadap jiwa dan akhlak, maka tidak dapat dinamakan ibadah sebagaimana yang dimaksudkan dalam syariat Islam. Misalnya, ibadah shalat. Allah memerintahkan melakukan shalat dengan sempurna, agar shalat itu berpengaruh terhadap jiwa, sehingga dapat mencegah dari perbuatan yang munkar, baik yang nampak maupun tidak tampak, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya Qs. al-Ankabut (29) ayat 45  (Sesungguhnya shalat itu mencegah orang berbuat keji dan munkar).

Jika shalat itu tidak ada pengaruhnya terhadap jiwa, maka shalat itu hanya merupakan gerakan-gerakan yang kosong dari ruh dan makna ibadah. Keagungan dan kemuliaan ibadah shalat itu hilang tanpa bekas. Karena itulah Allah mengancam dengan kata wail (kecelakaan) terhadap orang yang melalaikan shalatnya, yaitu tidak mengerjakannya dengan sempurna, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya Qs. al-Ma’un ayat 4-5 (Celakalah orang yang shalat, yang melalaikan shalatnya).

Ayat ke-5 surat al-Fatihah ini menegaskan bahwa kita tidak layak menyembah selain Allah, sebab hanya Dialah yang mempunyai kekuasaan mutlak, dan kita tidak pantas menyekutukan-Nya atau mengagungkan selain Allah, seperti: patung, batu, kuburan, laut, gunung dan sebagainya. Demikian juga, kita tidak layak meminta pertolongan kepada selain Allah mengenai hal-hal yang di luar jangkauan manusia, seperti: menghilangkan bencana alam, mendatangkan manfaat dan sebagainya.

Adapun mengenai hal-hal yang dapat dijangkau manusia tidaklah dilarang, seperti tolong menolong dalam mengerjakan kebaikan dan sebagainya, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya Qs. al-Maidah (5) ayat 2  (Hendaklah kamu tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa, tapi janganlah tolong-menolong dalam mengerjakan dosa dan permusuhan).

Selain itu, ayat ke-5 surat al-Fatihah ini juga merupakan perintah agar kita mengikhlaskan ibadah kepada Allah semata dan membebaskan jiwa dari segala macam kemusyrikan.

Karena itulah kita harus mohon petunjuk kepada Allah dan bimbingan kepada jalan yang benar, sebagaimana disebutkan pada ayat berikutnya: (tunjukilah kami ke jalan yang lurus). Lafal ihdina pada ayat ini berasal dari lafal al-hidayah, yang berarti petunjuk.

Rasyid Ridla membagi hidayah yang diberikan kepada manusia menjadi empat macam:

  1. Hidayah al-wijdan ath-thabi’iy dan al-ilham al-fithry, yaitu hidayah perasaan pembawaan alami dan ilham naluri. Hidayah semacam ini telah diberikan Allah kepada manusia sejak mereka dilahirkan. Misalnya, merasa lapar, kemudian menangis minta minum, setelah ditempelkan ke dada ibunya, ia langsung menghisap air susu ibu tanpa diajari lebih dahulu.
  2. Hidayah al-hawasy wa al-masya’ir, yaitu hidayah inderawi dan hidayah perasaan. Hidayah ini diberikan kepada manusia dan binatang. Bahkan kedua hidayah ini lebih cepat sempurna pada binatang daripada yang diberikan kepada manusia. Kedua hidayah ini telah sempurna pada binatang setelah dilahirkan beberapa saat, sedang pada manusia kedua hidayah tersebut tumbuh sedikit demi sedikit.
  3. Hidayah al-‘aql (hidayah naluri). Hidayah ini lebih tinggi nilainya dari hidayah ilham dan inderawi. Manusia di dunia ini dipersiapkan untuk menjadi khalifah, hidup bermasyarakat, beribadah, mencari ilmu pengetahuan dan sebagainya.

     Hidayah ilham fitri (ilham naluri) dan hidayah inderawi belum dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Karena itulah Allah SWT. memberikan akal kepada manusia agar dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan yang diterima indera. Sebab kadang-kadang penangkapan indera tidak benar. Misalnya, benda yang lurus jika dimasukkan dalam air, kelihatan menjadi bengkok, padahal benda tersebut masih tetap lurus.

  1. Hidayah ad-diin (hidayah agama). Hidayah ini sangat penting, terutama bagi orang yang akal dan jiwanya didominasi oleh hawa nafsu, dosa dan kejahatan serta suka mengadakan permusuhan dalam masyarakat. Akal dan pikiran sering melakukan kesalahan. Bahkan sering menemukan kesulitan-kesulitan untuk mencari kebenaran dan mencapai kebahagiaan hidup yang hakiki. Maka, hidayah ad-diin sangat diperlukan untuk membantu akal dan pikiran dalam mencari kebenaran dan kebahagiaan hakiki, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat (Rasyid Ridla, I: 63)

Sehubungan dengan hidayah ini Allah berfirman: (Wahadaiy-naahun najdaiin – Kami tunjuki ia dua jalan) (Qs. al-Balad [90]: 10). Yang dimaksudkan dengan dua jalan ialah jalan kebajikan, yaitu ad-diin (agama) dan jalan kesesatan atau kekafiran. Namun, sebagian besar manusia memilih jalan kesesatan.

Di samping hidayah Allah yang empat itu, terdapat hidayah lainnya yang disebut ma’unah dan taufiq. Hidayah semacam ini hanya dimiliki Allah swt. Tidak seorang pun dapat memberikan hidayah ma’unah dan taufiq ini kepada orang lain, bahkan Nabi pun tidak dapat. Sebagaimana di-tegaskan dalam surat al-Qashah (28) ayat 56  (Sesungguhnya engkau tidak dapat memberikan hidayah kepada siapa pun yang engkau cintai, tapi Allahlah yang memberikan hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima hidayah).

Pada ayat yang lain, Allah berfirman Qs. al-Baqarah (2) ayat 272  (Bukanlah kewajibanmu memberikan hidayah kepada mereka, tapi Allahlah yang memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki).

Adapun hidayah dalam arti dhalalah, yaitu bimbingan kepada kebaikan dan kebenaran, serta penjelasan bahwa siapa saja yang melakukan kebaikan dan kebenaran akan memperoleh keuntungan dan kebahagiaan. Hidayah macam ini dapat dimiliki manusia, sebagaimana telah ditegaskan Allah SWT. dalam firman-Nya Qs. Asy-Syura (42) ayat 52  (Dan engkau sungguh membimbing ke jalan yang lurus).

Selanjutnya, yang dimaksud dengan jalan yang lurus, ialah ajaran yang dapat mengarahkan kepada kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat, yaitu: akidah, syariah dan akhlak (al-Maraghi, 1969, I: 36).

Pada ayat berikutnya dinyatakan bah-wa orang yang diberi hidayah kepada jalan yang lurus, berarti diberi kenikmatan: Shiraathal-ladziina an’amta ‘alaihim (jalan orang-orang yang telah Engkau beri kenikmatan) yaitu, para Nabi dan orang-orang shalih pada masa lampau.

Ayat tersebut hanya menjelaskan secara garis besar dan singkat, kemudian dirinci pada surat-surat lainnya agar dapat dijadikan sebagai teladan bagi generasi berikutnya. Kita diwajibkan mengikuti jalan yang ditempuh mereka, karena sebenarnya agama Allah yang sepanjang masa hanyalah satu, yaitu: iman kepada Allah, para Rasul-Nya, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan hari akhir, serta wajib berbuat kebajikan, berakhlak mulia dan meninggalkan segala larangan-larangan-Nya. Adapun masalah hukum dan lain-lainnya, merupakan furu’ (cabang) yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan zaman dan pergantian Nabi.

Agama yang diajarkan kepada orang-orang yang telah lalu, yang disampaikan oleh para Nabi adalah sama dengan agama yang diajarkan kepada orang-orang yang hidup pada masa sekarang, yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW., sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya Qs. an-Nisa’ (4) ayat 163  (Sesungguhnya Kami turunkan wahyu kepadamu sebagaimana Kami turunkan wahyu kepada Nabi Nuh dan Nabi-Nabi sesudahnya).

Kemudian, pada ayat berikutnya lebih ditegaskan bahwa jalan yang lurus, bukanlah jalan orang-orang yang sesat: Ghairil maghdhubi alayhim waladhdhaalliin (Bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat).

Orang yang dimurkai Allah ialah orang yang menolak agama yang haq (benar), yang disyariatkan oleh Allah swt. kepada hamba-Nya. Agama yang haq itu sebenarnya telah disampaikan kepada mereka, tetapi mereka lebih suka mengikuti agama yang mereka warisi dari kakek-kakek mereka, sekalipun agama tersebut bertentangan dengan agama yang haq.

Adapun orang yang sesat ialah orang yang tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang batil, atau orang yang pe-mahamannya tidak benar karena dakwah Islam tidak sampai kepada mereka, atau sampai kepada mereka tetapi mereka tidak mengerti dengan jelas, sehingga mereka dalam keadaan bimbang. Sekalipun mereka tidak sesat dalam urusan keduniaan, tetapi mereka sesat dalam urusan keakhiratan. Jumhur ulama (sebagian besar ulama) berpendapat bahwa orang yang hidup di suatu zaman yang kosong dari Rasul, tidak dibebani suatu kewajiban dan tidak dikenakan suatu hukuman di akhirat, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT. Qs. al-Isra (17) ayat 15  (Dan tiada Kami beri siksaan sebelum Kami mengirimkan seorang Rasul).

Sebagian ulama berpendapat bahwa akal yang diberikan kepada mereka cukup dijadikan dasar untuk membebani kewajiban kepada mereka. Sebab orang yang telah diberi akal wajib memikirkan dan mencari siapa pencipta alam ini dan wajib melakukan ibadah sesuai dengan petunjuk yang diperoleh dari akal dan pikirannya. Jika tidak mengerjakan ibadah, maka mereka dikenakan hukuman (al-Maraghi, I: 37).

 

Bacaan “Amien” setelah usai membaca al-Fatihah

Para ulama berpendapat bahwa membaca “Amien” sesudah selesai membaca al-Fatihah hukumnya adalah sunnah Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW.: Apabila imam telah selesai membaca [Ghairil maghdlubi ‘alaihim waladh-dhaal-liin], kemudian orang yang berada di belakangnya (makmum) membaca “amien” bersamaan dengan ucapan penghuni langit (malaikat), maka dosanya yang telah lampau diampuni Allah swt. (HR Muslim, dari Abi Hurairah, I: 175).

Hadits tersebut dikuatkan oleh hadits berikut: Apabila imam mengucapkan “Amien”, maka ucapkanlah “Amien”. Sungguh, orang yang mengucap “Amien” bersamaan dengan ucapan “Amien”-nya malaikat, maka dosa-nya yang telah lampau diampuni Allah (HR Muslim, dari Abi Hurairah, I: 174).

 

PENUTUP

Para ulama sepakat bahwa membaca al-Qur’an termasuk kegiatan ibadah. Maka, agar dapat tercapai tujuannya, hendaklah ketika membaca al-Qur’an memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.

  1. Sebelum mulai membaca al-Qur’an, hendaklah membaca ta’awwudz. doa mohon perlindungan kepada Allah dari segala godaan syaitan. Hal ini sebagaimana diperintahkan Allah swt. Qs. an-Nahl (16) ayat 98 (Apabila engkau membaca al-Qur’an mohonlah perlindungan kepada Allah dari syaitan yang mendapat kutukan).
  1. Hendaklah memperhatikan maknanya dan kaidah-kaidah tajwid dengan tidak berlebihan. Ketika membaca al-Qur’an, baik dalam shalat maupun di luar shalat, bacalah dengan khusyu’, tenang, tartil (perlahan-lahan), fasih dan niat dengan ikhlas hanya mencari keridhaan Allah swt. Sebab, membaca satu ayat al-Qur’an secara khusyu’ dan memperhatikan maknanya, lebih baik daripada membaca banyak ayat tetapi melalaikannya.

 

*) Narasumber utama artikel ini: Prof. Drs. H. Saad Abdul Wahid

banner 468x60