Pada artikel sebelumnya telah dijelaskan bahwa Islam menaruh perhatian yang sangat besar terhadap ajaran adil. Dengan ajaran ini, misi Allah menurunkan ajaran Islam untuk menciptakan kehidupan yang penuh dengan kedamaian dan kesejahteraan lahir dan batin dapat terwujud.
Dewasa ini kita saksikan kehidupan umat manusia, khususnya di Indonesia, penuh dengan kekacauan dan kesengsaraan, hal ini karena nilai-nilai keadilan yang menjadi pokok ajaran Islam telah diabaikan. Berbagai kerusuhan dan tindak kekerasan, sebagian besar disebabkan oleh nilai keadilan yang telah hilang. Jika kita cermati kehidupan rumahtangga, apabila tanpa dilandasi nilai keadilan, dipastikan akan terjadi berbagai persoalan dan prahara, mulai dari kenakalan anak bahkan sampai perceraian.
Umat Islam sengaja dipilih oleh Allah SWT, sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk memimpin manusia dalm memperoleh kemaslahatan mereka.
Allah swt berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ – آل عمران : 110
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran, 3: 110)
Memperhatikan ayat tersebut, maka umat Islam harus berada di posisi terdepan dalam menerapkan ajaran adil di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, umat Islam akan mampu melaksanakan misi mereka sebagai umat terbaik. Sebaliknya, tanpa penerapan ajaran adil tersebut, umat Islam tidak layak diperhitungkan sebagai umat terbaik.
Penerapan Sikap dan Perilaku Adil
Seorang muslim menyadari bahwa ajaran sikap dan perilaku adil adalah perintah Allah yang harus diterapkan dalam kehidupannya, meliputi: kehidupan pribadinya, kehidupan keluarganya, kehidupan masyarakatnya dan kehidupan negaranya.
Adil dalam Kehidupan Pribadi
Pertama. Seorang muslim harus memiliki pandangan yang adil dalam melihat hukum-hukum Allah yang tampak berbeda antara dua jenis yang berlainan, khususnya antara laki-laki dan perempuan, misalnya dalam hal perannya dalam rumahtangga, pembagian warisan dan lain-lain. Artinya, seorang muslim harus melihat perbedaan hukum tersebut dalam perspektif keharusan adanya keseimbangan (tawazun) yang justru akan melahirkan kemaslahatan bagi manusia. Dia meyakini bahwa Allah swt adalah Maha Adil. Dia menciptakan alam semesta di-dasarkan kepada adanya keseimbangan antara satu dengan yang lain. Maka dengan adanya keseimbangan inilah segala sesuatu di alam raya ini dapat berjalan dengan baik dan teratur. Allah swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ (6) الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ – الانفطار : 6 ، 7
Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah. yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang.(QS al-Infithar, 82: 6-7)
Dengan demikian seorang muslim akan menerima hukum-hukum Islam dengan hati yang ikhlas dan penuh kerelaan hati. Dia terhindar dari pemahaman keagamaan yang cenderung lebih mengedepankan kebebasan akal dan nafsu daripada keimanannya, seperti paham liberalisme, feminisme, dan lain-lain.
Kelompok feminisme, misalnya, dalam berbagai kesempatan menuduh ajaran Islam bersifat diskriminatif karena tidak memberikan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Menurut mereka, seorang istri dapat menjadi kepala rumahtangga seperti halnya seorang suami. Begitu pula ia dapat menjalankan pekerjaan-pekerjaan apa pun seperti yang dilakukan oleh laki-laki seperti menarik becak, sopir dan lain-lain.
Sebenarnya, inilah awal dari adanya prahara rumahtangga dan kenakalan anak yang dewasa ini banyak terjadi, yaitu ketika dalam kehidupan rumah-tangga tak ada lagi tawazun antara peran suami dan istri.
Kedua. Seorang Muslim harus adil dalam menempatkan kepentingan duniawiyah nya dan ukhrawiyah, dalam pengertian mampu memenuhi keseimbangan antara amaliah-amaliah ukhrawiyah dengan duniawiyah. Yang dimaksud amaliah ukhrawiah adalah setiap perbuatan yang dilakukan untuk maksud memperoleh bekal di akhirat seperti shalat, puasa, haji, dan lain-lain. Sedangkan amaliah duniawiah adalah setiap usaha yang dilakukan seseorang guna memperoleh kesenangan dunia. Seperti: bekerja, makan, olahraga, dan lain-lain.
Dalam hal ini Allah swt berfirman:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ – القصص : 77
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(QS al-Qashash, 28: 77)
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ – الجمعة : 10
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS al-Jumuah, 62: 6-7)
Ayat di atas secara tegas memerintahkan seorang Muslim agar memenuhi keseimbangan (tawazun) antara kepentingan ukhrawiyah dengan menegakkan shalat dan kepentingan duniawiyah dengan bekerja untuk mencari karunia Allah di muka bumi.
Selanjutnya, Allah swt berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا – البقرة : 143
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS al-Baqarah, 2: 143)
Rasyid Ridla, dalam Kitab Tafsir al-Manar, menafsirkan kalimat ummatan wasathan dengan mengemukakan, bahwa sebelum kedatangan Islam umat manusia terbagi menjadi dua kelompok: Kelompok pertama, yang berlebih-lebihan dalam memperturutkan kepentingan materi, seperti orang-orang Yahudi dan musyrikin. Kelompok kedua, yang berlebih-lebihan dalam memperturutkan kepentingan spiritual, seperti kaum Nasrani, Shabi’in dan para penyembah patung dari kalangan Hindu. Sedangkan umat Islam, sesuai ajaran agamanya, mempertemukan antara keduanya.
Umat Islam disebut ummatan wasathan karena mereka mampu menempatkan hak-hak pada keduanya (hak-hak yang bersifat materi dan hak-hak yang bersifat spiritual) secara adil dalam pengertian adanya keseimbangan antara keduanya. Keseimbangan ini bukan berarti sama persis ukurannya, tetapi harus dengan mempertimbangkan aspek prioritas dan kepentingannya. Kepentingan ukhrawiyah jauh lebih penting daripada kepentingan duniawiyah, karena itu ia harus diprioritaskan melebihi kepentingan duniawiyah.
Allah swt berfirman:
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16) وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى – الأعلى : 16 ، 17
Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS al-A’la: 16-17)
Ketiga. Seorang muslim harus berlaku adil dalam pengertian mampu memberikan keseimbangan antara memenuhi hak pribadinya, hak Tuhannya dan hak keluarga serta masyarakat. Hak-hak pribadi misalnya: makan, minum, istirahat, berolahraga, dan lain-lain. Hak-hak Tuhannya misalnya menegakkan shalat, berdzikir, berpuasa, menunaikan haji, dan lain-lain. Hak-hak keluarga misalnya memberi nafkah, pendidikan, kasih sayang, dan lain-lain. Sedangkan hak-hak masyarakat misalnya: berdakwah, tolong-menolong, berinteraksi sosial, dan lain.
Seorang muslim harus berlaku adil, dalam pengertian selalu menjaga keseimbangan antara usahanya dalam mencari kepuasan batiniyah dengan kebutuhan orang lain yang menginginkan ketenangan. Seorang muslim diperintahkan Allah untuk berdzikir dan membaca al-Qur’an sebanyak-banyaknya, agar mendapatkan ketenangan batin. Namun, perlu diingat, ia tidak boleh berdzikir dengan suara keras, sebab dapat mengganggu orang lain yang juga membutuhkan ketenangan.
Rasulullah pernah menegur orang yang membaca al-Qur’an dengan suara keras sementara di dekatnya ada orang sedang shalat. Maka, dalam konteks ini, seorang muslim yang sedang berdzikir di masjid, membaca al-Qur’an atau mengalunkan syair tertentu, hendaknya dengan suara pelan yang hanya bisa didengar sendiri agar tidak mengganggu orang lain yang sedang shalat atau berdzikir.
Seorang Muslim haruslah mencontoh Rasulullah SAW dalam hal keseimbangan yang dilakukan oleh beliau dalam pemenuhan hak-hak di atas. Sebaliknya, seorang Muslim tidak boleh terjebak kepada pemenuhan hak-hak tertentu dengan meninggalkan hak-hak lainnya, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Rasulullah. Dalam suatu Hadits disebutkan:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ عَمَلِهِ فِى السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ آكُلُ اللَّحْمَ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ. فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ. فَقَالَ « مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّى أُصَلِّى وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى ». رواه مسلم
Artinya : “Dari Anas ra, bahwa beberapa orang sahabat Nabi SAW bertanya secara diam-diam kepada istri-istri Nabi tentang amal ibadah beliau. Lalu di antara mereka ada yang mengatakan: Aku tidak akan menikah dengan wanita. Yang lain berkata: Aku tidak akan memakan daging. Dan yang lain lagi mengatakan: Aku tidak akan tidur dengan alas. Mendengar itu, Nabi memuji Allah dan bersabda: “Apa yang diinginkan orang-orang yang berkata begini, begini! Padahal aku sendiri shalat dan tidur, berpuasa dan berbuka serta menikahi wanita! Barang siapa yang tidak menyukai sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” [HR. Muslim]
Kasus yang pernah terjadi pada masa Rasulullah di atas haruslah menjadi perhatian bagi setiap Muslim, karena umat Islam pada umumnya belum mampu memberikan keseimbangan (tawazun) dalam memenuhi hak-haknya. Sebagian umat Islam ada yang lebih mementingkan memenuhi hak-hak pribadinya, hak-hak keluarga dan masyarakat namun ia mengabaikan hak-hak Tuhannya. Mereka sangat senang makan yang enak-enak, rajin berolahraga, giat bekerja, peduli anak dan istri dan aktif berorganisasi, namun mereka jarang menghadiri shalat jamaah ke Masjid, jarang membaca al-Qur’an apalagi shalat malam.
Sebaliknya, sebagian yang lain ada yang lebih mementingkan hak-hak Tuhannya dan mengabaikan hak-hak yang lain. Mereka rajin menghadiri shalat jamaah di Masjid, rajin mengikuti majlis-majlis dzikir, rajin berpuasa Senin-Kamis, namun dalam hal makan, minum, berpakaian serba kekurangan dan acapkali mereka tidak memberikan nafkah dan perhatian yang cukup terhadap keluarganya. Tidak jarang pula dewasa ini kita saksikan sebagian umat Islam sangat besar perhatian dan kepeduliannya kepada hal-hal yang menyangkut kepentingan masyarakatnya, mereka sibuk mengadakan rapat-rapat dan bakti sosial, namun di sisi lain mereka kurang tidur, kurang makan dan acapkali kurang peduli terhadap kepentingan anak-anak dan istrinya.
Inilah contoh-contoh ketidakseimbangan hidup yang pada gilirannya akan melahirkan ketidakharmonisan yang akan menimbulkan kehidupan seorang muslim menjadi oleng dan tidak sehat.
Adil dalam Kehidupan Rumahtangga
Pertama. Seorang muslim wajib berbuat adil terhadap kedua orangtuanya dengan memenuhi hak-hak mereka secara baik. Hak-hak tersebut tercakup dalam perintah ihsan (berbuat baik), sebagaimana sering diungkapkan dalam al-Qur’an atau perintah birrul walidain (berbakti kepada kedua orangtua) sebagaimana sering dijelaskan dalam Hadits.
Allah Swt berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا – الإسراء : 23 ، 24
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (QS al-Isra, 17: 23-24)
Di dalam Hadits disebutkan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَىُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ قَالَ « الصَّلاَةُ لِوَقْتِهَا ». قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَىٌّ قَالَ « بِرُّ الْوَالِدَيْنِ ». قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَىٌّ قَالَ « الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ » – رواه مسلم
Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw : “Amalan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Shalat pada awal waktunya.” Kemudian aku bertanya, “Apa lagi?”, Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orangtua”. Lalu aku bertanya, “Apa lagi?”, Beliau menjawab: “Jihad fi sabilillah”. (HR Muslim)
Hak-hak ihsan yang harus diberikan seorang anak kepada orang tuanya berwujud antara lain: mengikuti keinginan atau saran keduanya, menghormati dan memuliakan keduanya, membantu secara fisik dan materi, serta mendo’akan keduanya agar dikaruniai ampunan dan rahmat Allah.
Bila orang tua telah meninggal dunia, hak ihsan yang diberikan antara lain: menyelenggarakan jenazahnya dengan baik, melunasi hutang-hutang, melaksanakan wasiat, melanjutkan silaturrahmi yang dibinanya, memuliakan sahabat-sahabatnya dan mendoakannya.
Seorang Muslim menyadari bahwa perintah berbuat ihsan kepada kedua orangtua menempati peringkat kedua setelah perintah beribadah kepada Allah. Hal ini memberi petunjuk adanya prioritas utama untuk memberikan hak-hak kepada kedua orangtua sebelum kerabat-kerabat lainnya. Seorang muslim akan berhati-hati dan tidak akan mengabaikan hak-hak kedua orangtuanya dengan melakukan kedurhakaan (uququl walidan), karena hal ini termasuk dosa besar, satu tingkat di bawah dosa syirik. Rasulullah saw bersabda:
عَنْ أَنَسٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ : عَنِ الْكَبَائِرِ قَالَ الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ. رواه البخاري
“Rasulullah saw ditanya tentang dosa-dosa besar, Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa dan persaksian palsu”. (HR Bukhari)
Selain kedua orang tua, seorang Muslim juga memberikan hak-hak kepada sanak kerabatnya berupa memberikan kasih sayang, bersilaturrahmi, memberi bantuan, nafkah dan waris sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Kedua. Seorang muslim wajib berlaku adil adil kepada suami atau istrinya, dalam pengertian memenuhi hak-hak suami atau istrinya menurut apa yang seharusnya diterimanya tanpa mengurangi hak-hak tersebut sedikit pun. Bagi seorang suami, hak-hak istri yang harus diberikan antara lain: memberikan tamattu’ badani (kenikmatan badan), mahar, nafkah, pergaulan yang baik (mu’asyarah bil ma’ruf), bimbingan agama, nasab anak dan harta waris.
Allah swt berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا – البقرة : 233
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani kecuali menurut kadar kesanggupannya.(QS al-Baqarah, 2: 233)
Dalam ayat yang lain Allah swt berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ – النساء : 19
Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) secara patut. (QS an-Nisa’, 4: 19)
Bagi seorang istri, hak-hak suami yang harus diberikan antara lain: memberikan tamattu’ badani (kenimatan badan), nasab anak, patuh, pergaulan yang baik dan harta waris. Sabda Rasulullah saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ – رواه النسائي
Dari Abu Hurairah: Pernah ditanyakan kepada Rasulullah saw“Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab Beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci”. (HR. An-Nasai)
Rumahtangga seorang muslim dipastikan akan berjalan secara harmonis dan diliputi suasana sakinah, mawaddah wa rahmah manakala masing-masing suami atau istri mampu berbuat adil dengan cara mereka saling memberikan hak dengan semestinya, sesuai hukum agama dan kesepakatan bersama. Dengan sangat indah, Allah SWT mengibaratkan suami istri sebagai pakaian. Allah berfirman:
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ – البقرة : 187
Mereka (istri-istrimu) adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. (QS al-Baqarah, 2: 187)
Pakaian yang baik, tidak ditentukan dari bahan yang mahal, tetapi oleh faktor pemakainya yang pandai menata dan menempatkannya sesuai proporsi dan pemanfaatannya. Begitu pula seorang suami atau istri, dalam memperlakukan satu sama lain, mereka harus dapat menata dan menempatkan pasangannya secara benar dan proporsional. Itulah yang disebut adil, yakni ketika seseorang mampu meletakkan sesuatu pada tempatnya (wadl’us syai’i fi mahallihi)
Ketiga. Seorang muslim wajib berbuat adil kepada anak-anaknya dalam bentuk memberikan hak-hak anak menurut yang semestinya. Hak-hak anak yang harus diberikan oleh orangtua antara lain: kasih sayang, nafkah yang halal, pendidikan agama, ilmu pengetahuan dan ketrampilan, harta waris, dan lain-lain. Rasulullah SAW mengingatkan kepada setiap orangtua akan tanggungjawabnya terhadap anak-anaknya. Sabda Nabi:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهْوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ – رواه البخاري
Kalian semua adalah pemimpin dan seluruh kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin. Penguasa adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin dan seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin. Wanita juga adalah pemimpin atas rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin. Pembantu adalah pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin. (HR Bukhari)
Diantara hak anak paling utama yang harus diperhatikan oleh orangtua saat ini adalah hak memperoleh pendidikan dan bimbingan agama yang memadai. Hal ini perlu dikemukakan, sebab hak inilah yang akan mengantarkan mereka menjadi anak shaleh yang sangat berguna bagi kehidupan orangtua di dunia dan akhirat, dan sebaliknya mampu menghindarkan anak dari kenakalan. Sabda Rasulullah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثٍ إِلا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ – رواه الطبراني
Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah (yang mengalir pahalanya), ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shaleh yang mendo’akan kebaikan baginya”. (HR Thabrani)
Kewajiban lain yang harus diperhatikan oleh orang tua adalah memperlakukan anak-anaknya secara adil, yakni menempatkan mereka dalam posisi yang sama (musawah), dalam memperoleh pemberian dan kasih sayang. Pada masa Rasulullah, ketika ada seorang sahabat yang akan memberi hadiah kepada salah seorang anaknya, beliau mengingatkan sahabat tersebut dengan sabdanya:
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ – صحيح البخاري
“Bertaqwalah kamu kepada Allah dan bersikap adillah terhadap anak-anakmu.” (HR. Bukhari)
Perlakuan yang sama terhadap anak bukan berarti orangtua menyamakan secara persis dalam memberikan sesuatu kepada anak-anaknya. Ia harus mempertimbangkan aspek kesesuaian (proporsionalitas) dengan kebutuhan masing-masing anak. Anak yang masih duduk di sekolah dasar sudah tentu kebutuhannya berbeda dengan anak yang telah duduk di perguruan tinggi.
Keempat. Seorang muslim yang beristri lebih dari satu (poligami) harus harus berlaku adil kepada istri-istrinya dalam pengertian memberikan hak yang sama di antara mereka. Hak tersebut meliputi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat lahiriyah, seperti rumah, makanan, pakaian, giliran dan lain-lain. Firman Allah:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا – النساء : 3
Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil atas (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS an-Nisa’: 3)
Ayat di atas tegas membuka peluang bagi seorang laki-laki beristri lebih dari satu, sampai empat orang. Tetapi, dengan syarat ia harus bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya, yakni memberikan hak yang sama terhadap semua istrinya dalam hal nafkah. Namun demikian, dalam urusan kecenderungan cinta, seorang suami tidak dituntut membagi sama untuk istri-istrinya. Karena hal ini tentu tidak mungkin dapat dilakukan oleh siapapun. Dalam konteks inilah Allah swt berfirman:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا – النساء : 129
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengam-pun lagi Maha Penyayang. (QS an-Nisa’, 4: 129)
Dalam soal poligami, kini kita jumpai dua kelompok umat Islam yang memiliki sikap saling berlawanan. Kelompok pertama menentang poligami karena dianggap berlawanan dengan rasa keadilan dan hak asasi perempuan. Kelompok kedua menerima dan mempraktekkan poligami dengan semau-maunya. Sikap kedua kelompok tersebut sama-sama tidak benar, karenanya perlu diluruskan.
Poligami adalah hukum Allah yang ditetapkan dalam al-Qur’an, sehingga siapapun tidak berhak membatalkannya. Tetapi ia tidak bersifat wajib melainkan mubah belaka. Poligami adalah sebuah solusi sehat bagi laki-laki yang tidak tercukupi oleh hanya seorang istri, baik dalam urusan seksual maupun lainnya.
Poligami juga dapat menjadi sarana bagi seorang laki-laki yang ingin memberikan pertolongan kepada seorang perempuan yang membutuhkan untuk dinikahi. Sekalipun demikian, seorang laki-laki baru diperbolehkan melakukan poligami manakala ia mampu berbuat adil dengan cara memberikan hak yang sama terhadap istri-istrinya. Terhadap suami yang tidak bisa berlaku adil, Rasulullah memberikan ancaman sebagai berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ ». رواه أبو داود
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa memiliki dua istri dan ia cenderung kepada salah satu dari keduanya, niscaya ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan sisi badannya condong.”(HR Abu Daud).[]
Narasumber utama artikel ini:
Zaini Munir Fadloli
Artikel terkait: Adil yang Patut dan Standar