banner 728x90

Adil Bermasyarakat Bernegara

 

Seorang Muslim pasti menyadari bahwa Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu. Namun ilmu yang tanpa diamalkan tidak  akan berpengaruh apapun, melainkan justru akan menjadi beban bagi pemiliknya. Karena itu, Islam sangat menekankan aspek pengamalan ilmu daripada berilmu tanpa diamalkan.  Dewasa ini masalah keadilan telah banyak dikaji dan dipelajari di berbagai perguruan tinggi sehingga  lahirlah  jutaan sarjana hukum. Namun, sayangnya, semakin banyak orang mempelajari hukum justru semakin banyak terjadi ketidakadilan di tengah-tengah masyarakat kita. Hal ini karena adanya jarak yang sangat lebar antara ilmu dan amal. Orang belajar ilmu hukum bukan untuk diamalkan tetapi hanya sekedar untuk ilmu itu sendiri, atau untuk mencapai kedudukan duniawi atau bahkan seringkali untuk sarana mencapai nafsunya yang tak terkendali. Adanya ketidak adilan Inilah faktor utama penyebab terjadinya kebencian dan permusuhan yang pada gilirannya menimbulkan malapetaka dan kehancuran  suatu masyarakat, seperti yang kita saksikan dewasa ini.

Maka, keadilan haruslah ditegakkan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Dimulai dari kehidupan pribadi dan keluarga, sebagaimana yang telah diuraikan pada edisi lalu, dilanjutkan pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagaimana yang akan diuraikan pada edisi ini.

 

Adil dalam Kehidupan Masyarakat
  1. Seorang muslim harus berlaku adil kepada orang lain yang berkunjung atau bertamu ke rumahnya dengan cara memberikan hak-hak mereka dengan baik. Hak tersebut berupa: menerima dan memuliakan tamu tanpa membeda-bedakan status sosial mereka; dan menjamu tamu yang ingin menginap selama 3 hari. Rasulullah saw bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ قَالَ وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَالضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهْوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ – رواه البخاري

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia perhatian dalam memuliakan tamunya.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud perhatian di sini, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu perhatikanlah ia sehari semalam dan menjamu tamu itu selama tiga hari. Siapa yang ingin melayaninya lebih dari tiga hari, maka itu adalah sedekah baginya.” (HR Al-Bukhari)

Sebaliknya, seorang tamu Muslim harus memberikan hak-hak tuan rumah dengan baik pula. Hak-hak tersebut berupa: meminta izin dan mengucapkan salam atas kedatangannya dan kepulangannya; bertamu pada saat yang tepat; tidak merepotkan atau mengganggu tuan rumah; dan menghormati jamuan tuan rumah. Rasulullah saw bersabda:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ  – النور : 27

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat”.

  1. Seorang muslim harus berlaku adil kepada tetangganya dengan cara memberikan hak-hak mereka dengan baik. Yang dimaksud tetangga adalah orang-orang yang tinggal di sekitar rumahnya yaitu di sebelah depan, belakang, kanan dan kiri rumahnya masing-masing berjumlah 40 rumah, sebagaimana dikatakan oleh al-Hasan:
عَنِ الْحَسَنِ ، أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الْجَارِ ، فَقَالَ : أَرْبَعِينَ دَارًا أَمَامَهُ ، وَأَرْبَعِينَ خَلْفَهُ ، وَأَرْبَعِينَ عَنْ يَمِينِهِ ، وَأَرْبَعِينَ عَنْ يَسَارِهِ

“Dari al-Hasan, sesungguhnya ia ditanya tentang tetangga, ia menjawab:” Empat puluh rumah di depannya, empat puluh rumah di belakangnya, empat puluh rumah di sebelah kanannya dan empat puluh rumah di sebelah kirinya”.

 Adapun hak-hak tetangga adalah: berbuat baik kepada mereka; memberikan bantuan kepada mereka sesuai yang dibutuhkan;  mengucapkan selamat atas kebajikan yang diterimanya; menjenguk mereka yang sakit; bertakziyah atas musibah yang mereka alami; mengiringkan jenazah mereka; dan tidak mengganggu atau menyusahkan mereka. Rasulullah saw bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ – رواه البخاري

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya..” (HR. Bukhari)

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ قِيلَ ، وَمَنْ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ. – رواه البخاري

“Demi Allah tidaklah sempurna iman seseorang, Demi Allah tidaklah sempurna iman seseorang”. Lalu ada sahabat yang bertanya, “Siapa itu ya Rosulullah?” Beliau mengatakan, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya

عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ ». – رواه مسلم

Dari Abu Dzar r.a., berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Hai Abu Dzar, kalau engkau memasak kuah maka perbanyaklah airnya dan perhatikanlah tetangga-tetanggamu.” (HR. Muslim).

  1. Seorang Muslim harus berlaku adil kepada sesama manusia, apa pun golongan, suku dan agamanya,  dengan cara memberikan hak-hak mereka secara proporsional sesuai ukuran-ukuran yang semestinya, baik hak dalam urusan kepemilikan harta, hak dalam urusan keselamatan jiwa dan badan maupun  hak dalam urusan kehormatan diri dan ketenangan hati.

Dalam urusan kepemilikan harta, seorang muslim harus menghormati hak milik orang lain; memberikan kesempatan yang sama kepada orang lain untuk memperoleh harta sesuai dengan usaha yang dilakukannya tanpa menghalang-langinya sedikitpun; dan ia pun akan memberikan hak milik orang lain   tanpa mengurangi sedikit pun. Bahkan, seorang muslim menyadari sepenuhnya bahwa pada hartanya terdapat hak orang lain yang harus dikeluarkannya dalam bentuk zakat, sadaqah dan infaq.

وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ (24) لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ   – المعارج : 24 – 25

“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta),”

Dalam urusan keselamatan jiwa dan badan, seorang muslim harus menghormati hak hidup orang lain; ikut terlibat dalam menjaga dan membela keselamatan jiwa dan badannya; dan pantang melakukan tindakan apapun yang dapat mengancam dan mencederai keselamatan jiwa dan badannya. Dia harus takut dengan ancaman Allah swt perihal orang yang mencabut hak hidup orang lain, bahwa nerakalah kelak tempat kembalinya.

Allah swt berfirman:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا – النساء : 93

“Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”

Dalam urusan kehormatan diri dan ketenangan hati, seorang muslim harus berusaha dengan sekuat tenaganya menjunjung tinggi kehormatan diri orang lain; berupaya menyenangkan dan menjaga ketenangan hatinya;  dan menjauhi setiap ucapan dan tindakan yang dapat menurunkan kehormatan diri orang lain ataupun menganggu ketenangannya. Karenanya, seorang muslim harus menjauhi ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), mencela, menghina, karena semua itu akan menyebabkan kehormatan diri seseorang terlukai.

  1. Seorang Muslim harus berlaku adil kepada saudara-saudaranya sesama muslim dengan cara memberikan hak-hak mereka dengan baik. Hak-hak tersebut antara lain: memberikan kepemimpinan (al-wala’); mencintai dan mengasihi mereka; beramar makruf dan  nahi munkar; tidak menyakiti atau merampas hak milik mereka;  mendamaikan mereka; menjawab salam mereka; mengunjungi yang sakit; mengiringkan jenazah mereka; mengabulkan undangan mereka dan; mendoakan ketika mereka bersin.

Allah swt berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ – التوبة : 71

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi pemimpin bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, 

عَنِ الشَّعْبِىِّ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى ».  رواه مسلم

Dari an-Nu’man bin Basyir: Rasulullah saw bersabda: “Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan saling bersikap lemah lembut adalah seperti satu tubuh, jika salah satu anggota tubuh merasakan sakit maka semua anggota tubuh yang lain akan sulit tidur dan demam.” (HR. Muslim).

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ : إذَا لَقِيته فَسَلِّمْ عَلَيْهِ ، وَإِذَا دَعَاك فَأَجِبْهُ ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَك فَانْصَحْهُ ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَشَمِّتْهُ ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ ، وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ } رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam: apabila engkau bertemu dengannya maka ucapkan salam kepadanya, apabila ia mengundangmu maka penuhilah undangannya, apabila ia meminta nasihat kepadamu maka nasihati ia, apabila ia bersin dan mengucapkan Al-hamdulillah, maka bertasymitlah (doakan) untuknya, apabila ia sakit maka jenguklah, dan apabila meninggal maka antarkanlah jelazahnya.” (HR. Muslim)

  1. Seorang Muslim harus berlaku adil kepada sesama orang beragama (non muslim) selagi mereka tidak memerangi kaum muslimin; dengan cara memberikan hak-hak mereka secara proporsional. Hak-hak tersebut berupa: mengajak mereka ke dalam Islam dengan baik; mengormati keberadaan mereka; membina hubungan baik dan  membantu mereka dalam urusan muamalah; tidak mengganggu peribadatan mereka; dan tidak menyakiti apalagi membunuh mereka.

Allah swt berfirman:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ – النحل : 125

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

 لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ – الممتحنة : 8

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.

Namun, manakala orang non Muslim memerangi kaum muslimin atau mengusir mereka dari kampung halamannya maka seorang Muslim wajib membalas tindakan mereka sepadan dengan yang dilakukannya.

إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ – الممتحنة : 9

Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.

 وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ   –  البقرة : 190

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Begitu pula dalam urusan agama, seorang muslim tidak boleh, dengan berdalih berbuat baik, ikut terlibat dengan orang non muslim. Misalnya, membantu mendirikan gereja, mengikuti upacara-upacara keagamaan mereka, mendo’akan mereka mendapat ampunan Allah atau dimasukkan ke dalam syurga, mengucapkan selamat natal, memberi salam, dan semacamnya. Hal ini dilarang karena dapat merusak aqidah seorang Muslim.

 

  Adil dalam Kehidupan Bernegara
  1. Seorang muslim yang diberikan amanah oleh Allah menjadi pemimpin dalam suatu negara harus berusaha berlaku adil kepada seluruh rakyatnya. Keadilan seorang pemimpin diimplemantasikan dalam bentuk:  memperlakukan seluruh rakyatnya dalam kedudukan yang sama dalam memperoleh hak-hak mereka sebagai anggota masyakat; dan memberikan hak-hak mereka secara proporsional, antara lain: hak kesejahteraan, hak  perlindungan, hak kedamaian, hak keamanan, hak kekuasaan, hak ketenangan hidup dan hak musyawarah.

Seorang pemimpin harus benar-benar menyadari bahwa dirinya kelak akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya   di hadapan Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah saw:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ – رواه البخاري

“Kalian semua adalah pemimpin dan seluruh kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin. Penguasa adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin” (HR Bukhari)

Karena beratnya tanggungjawab tersebut, seorang Muslim tidak dibenarkan meminta-minta jabatan, padahal ia tidak akan mampu melaksanakan amanah tersebut dengan baik. Rasulullah saw pernah memperingatkan kepada Abu Dzar ketika yang bersangkutan meminta jabatan kepada beliau. Rasulullah saw bersabda:

 إِنَّهَا أَمَانَةٌ ، وَخِزْيٌ ، وَنَدَامَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا. – رواه أحمد

“Sesungguhnya jabatan itu amanah, kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat. Kecuali, bagi orang yang memperolehnya dengan benar dan menunaikan hak-haknya dengan benar pula. (HR Ahmad).

Namun bilamana jabatan telah diberikan kepadanya, ia harus berusaha  dengan sungguh-sungguh  berlaku adil kepada rakyatnya. Ia harus melibatkan semua pihak agar dapat membantunya dalam memenuhi hak-hak rakyat yang dipimpinnya. Dia harus selalu mendengarkan kritik-kritik dan saran-saran yang datang dari manapun sekalipun kadang-kadang terdengar menyakitkan. Dia harus berusaha menerimanya dengan lapang dada dan memberikan respon positif.  Seorang pemimpin muslim tidak dibenarkan bersikap tertutup dan merasa benar sendiri, atau tetap bertahan pada jabatannya padahal ia telah terbukti tidak mampu lagi melaksanakan amanatnya dengan baik.

Kewajiban berlaku adil tidak hanya berlaku bagi pemimpin negara tetapi juga berlaku bagi  pemimpin organisasi atau kelompok-kelompok masyarakat yang lain. Karenanya seorang muslim harus menyadari bahwa menjadi pemimpin organisasi bukanlah sebuah kebanggaan atau kehormatan atau peluang menjadi terkenal melainkan sebuah tanggungjawab dan  kewajiban untuk memberikan hak-hak kepada yang berkepentingan secara adil.

  1. Seorang muslim yang berkedudukan sebagai rakyat harus berlaku adil kepada pemimpinnya dengan cara memberikan hak-hak kepemimpinan kepadanya dengan baik. Hak-hak tersebut berupa: mentaati dalam perkara-perkara yang benar; menghormati dan memuliakannya, menasihatinya dengan cara yang baik; dan memberikan imbalan materi sebagaimana mestinya.

Allah swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا -النساء: 59

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Seorang Muslim harus menyadari bahwa pemimpin harus tetap  dihormati, dan manakala ia  akan  memberikan nasihat atau saran-saran atau kritikan   haruslah tetap dilakukan dengan cara-cara beradab dan tidak kasar. Dalam hal ini perlu di perhatikan nasihat Allah swt kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ketika mereka akan menghadap Fir’aun dan menyampaikan nasihatnya.

Allah swt berfirman:

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (43) فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى   – طه: 43-44

 “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas; Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (Qs. Thaha: 43-44)

Seorang Muslim yang baik tidak akan bersikap abai dan tidak peduli kepada pemimpinnya apalagi membangkang atau membelot, kecuali bila pemimpin tersebut menyuruh kepada kemaksiyatan.

Rasulullah saw bersabda:

لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ – رواه البخاري

“Janganlah taat dalam perkara kemaksiatan. Ketaatan hanyalah dalam perkara yang baik”

Kewajiban berlaku adil tidak hanya berlaku bagi rakyat tetapi juga berlaku bagi  anggota organisasi atau kelompok-kelompok masyarakat yang lain. Karenanya seorang muslim harus menyadari bahwa menjadi anggota organisasi terikat dengan tanggungjawab dan  kewajiban untuk memberikan hak-hak kepada pemimpinnnya secara adil, sebagaimana keterikatannya sebagai rakyat kepada pemimpin negara.

  1. Seorang muslim yang diberikan amanah oleh Allah sebagai penegak hukum harus berusaha berlaku adil kepada siapapun, dalam bentuk memberikan perlakuan yang sama (musawah) dan sederajat dalam hukum, tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan status sosial, ekonomi, politik, warna kulit dan sebagainya. Allah swt berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا  – النساء : 58

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”

Keadilan hukum juga berarti menetapkan keputusan hukum dengan benar dan tepat. Keputusan tersebut diberlakukan kepada siapapun tanpa pandang bulu, sekalipun terhadap anaknya sendiri. Rasulullah saw pernah mengingatkan bahwa kehancuran suatu bangsa adalah dikarenakan adanya perlakuan diskriminatif hukum di mana, hukum hanya ditegakkan terhadap kalangan rendah dan tidak kepada kalangan terhormat.  Beliau dengan tegas pernah bersabda:

وَايْمُ اللَّهِ لَوْ سَرَقَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ لَقَطَعْتُ يَدَهَا – رواه النسائي

  “Dan demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuru niscaya aku potong tangannya” (HR an-Nasa’i).

Selain sebagai penegak hukum, seorang muslim yang tengah menjadi  saksi dalam suatu perkara juga harus dapat bertindak adil, yakni memberikan kesaksiannya sesuai apa yang diketahuinya tanpa menambah-nambah atau mengurang-ngurangi dan tanpa memandang bulu, bahkan sekalipun kepada kerabatnya sendiri.

Allah swt berfirman:

وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ  – الأنعام : 152

Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.

Keadilan hukum juga dilihat dari aspek hukuman yang dijatuhkan oleh seorang hakim kepada orang yang berbuat kejahatan. Hukuman baru dikatakan adil manakala ia sesuai dengan yang ditetapkan oleh Allah swt. Misalnya, seorang pencuri hukumannya adalah  potong tangan; seorang pembunuh, hukumannya adalah   diqishas; seorang pezina, hukumannya adalah dicambuk atau dirajam, dan lain-lain. Bilamana serang hakim menjatuhkan hukuman yang tidak sesuai dengan ketetapan Allah swt maka ia dapat dikategorikan kafir, dalim atau   fasiq.

Allah swt berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ – المائدة : 44

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ  – المائدة : 45

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ – المائدة : 47

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik

Berdasarkan ayat di atas, seorang hakim yang tidak memutuskan perkara menurut hukum Allah, terbagi menjadi  tiga macam: Pertama, disebut orang kafir disebabkan oleh kebencian dan keingkarannya kepada hukum Allah. Kedua, disebut dlalim,  disebabkan ia telah mengikuti  hawa nafsu dan merugikan orang lain. Ketiga disebut fasiq,   disebabkan ia telah keluar dari ketaatannya kepada Allah.

Mengingat pentingnya keadilan hukum maka seorang penegak hukum haruslah orang yang benar-benar memenuhi syarat-syarat yang diperlukan, baik dari aspek kepribadiannya maupun keahliannya. Seorang penegak hukum haruslah orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Dia harus orang yang jujur, amanah, wara’, tegas dan syaja’ah (berani) di samping pandai, cerdas dan menguasai ilmu hukum. Seorang penegak hukum bukanlah orang yang gemar berbuat maksiyat, mata duwitan dan mudah dipengaruhi oleh perasaannya dan orang lain. Dalam hal ini Rasulullah saw pernah mengklasifikasikan   hakim menjadi 3 golongan. Dua golongan diantaranya masuk neraka dan satu golongan masuk surga. Mereka yang masuk neraka adalah 1) Hakim yang menjatuhkan hukuman dengan cara yang tidak adil padahal dia mengetahuinya. 2). Hakim yang menjatuhkan hukuman dengan cara yang tidak adil  karena kebodohannya. Sedangkan hakim yang masuk surga adalah hakim yang menjatuhkan hukuman berdasarkan prinsip keadilan dan kebenaran (HR Ibnu Majah).

Wallahu a’lamu bishshawab.

Narasumber utama artikel ini:

Zaini Munir Fadloli

banner 468x60