Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 184
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ -١٨٤
- (yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Ayat 184 surat al-Baqarah ini memberi penjelasan tentang beberapa segi hukum berpuasa Ramadhan. Pangkal ayat, (Yaitu) pada beberapa hari tertentu, merupakan keterangan waktu yang menjelaskan masa pelaksanaan puasa (Ramadhan) yang diwajibkan, yaitu pada beberapa hari tertentu saja. Jumhur ulama ahli tafsir menegaskan bahwa frasa Yaitu pada beberapa hari tertentu itu maksudnya adalah bulan Ramadhan. Penyebutan frasa tersebut menegaskan bahwa waktu berpuasa itu ditentukan harinya dan sekaligus frasa tersebut mengandung konotasi sedikit atau tidak lama, artinya untuk menimbulkan kesan bahwa kewajiban puasa itu bukan suatu yang terlalu berat karena hanya beberapa hari saja yang tidak terlalu lama.
Sebelumnya telah disinggung adanya efek untuk menimbulkan kesan psikologis bahwa puasa bukan suatu yang amat berat dengan menyebutkan bahwa orang-orang terdahulu juga melaksanakannya. Pada ayat ini ditambah dengan menyebutkan bahwa pelaksanaannya tidak sangat lama, tetapi hanya beberapa hari tertentu saja. Kata ma‘dudat’ dalam ayat ini, yang secara harfiah berarti dapat dihitung, mengandung pengertian sedikit karena dapat dihitung dengan mudah. Dalam al-Qur’an sendiri pengertian seperti ini sering dijumpai, misalnya dalam ayat (Qs 3: 24), … mereka berkata, ‘Neraka tidak akan menyentuh kami kecuali beberapa hari saja’ (ayyaman ma‘dudat). Juga pada ayat lain (Qs 12: 20), Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja (darahima ma‘dudah).[1]
Dispensasi Puasa
Ayat 184 lebih lanjut memberikan beberapa ketentuan hukum syariah mengenai dispensasi (rukhsah) sehubungan dengan pelaksanaan kewajiban berpuasa Ramadhan. Oleh karena itu ditegaskan, Maka barang siapa di antara kamu sakit atau sedang dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka hendaklah ia menghitung (hari-hari ia tidak berpuasa itu untuk diganti) pada hari-hari yang lain. Dan atas orang-orang yang berat menjalankannya (sehingga tidak berpuasa) diwajibkan membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Dalam potongan ayat ini dijelaskan tiga macam orang yang diberi rukhsah untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan, yaitu (1) orang sakit, (2) orang dalam perjalanan, dan (3) orang mampu menjalankannya akan tetapi dengan amat berat.
Orang sakit dan orang dalam perjalanan wajib menghitung hari puasa yang ditinggalkannya untuk diganti pada hari-hari lain di luar Ramadhan. Orang yang berat menjalankannya karena sudah tua, misalnya, atau sakit menahun, sehingga karena itu ia tidak berpuasa di bulan Ramadhan, menggantinya dengan membayar fidyah berupa memberi makan satu orang miskin untuk satu hari tidak berpuasa Ramadhan.
Sakit
Kata “sakit” dalam ayat di atas tidak disertai dengan keterangan kualifikasi yang menjelaskan macam sakit yang membolehkan iftar (tidak berpuasa). Kenyataan ini, menurut Abu Hayyan (w 754/1353) dan Muhammad Rasyid Rida (w. 1354/1935), menunjukkan bahwa rukhsah (dispensasi) yang diberikan untuk tidak berpuasa itu tidak dibatasi pada sakit berat yang menyukarkan melakukan puasa.[2]
Ibn al-‘Arabi (w. 543/1148) dan al-Qurtubi (w. 671/1273) menyebutkan tiga kemungkinan sakit, yaitu (1) sakit yang sama sekali tidak memungkinkan menjalankan puasa, maka dalam kondisi ini orang wajib iftar (tidak puasa), (2) sakit yang masih memungkinkan melakukan puasa namun dengan amat berat dan susah payah, maka dalam kondisi ini lebih afdal tidak berpuasa, (3) sakit yang tidak menimbulkan kesukaran untuk melaksanakan puasa, maka dalam keadaan ini sah iftar (tidak puasa), tetapi berpuasa lebih afdal. Yang ketiga ini adalah pendapat Ibn Sirin (w 110/729), ‘Ata’ (w 114/732) dan al-Bukhari (w 256/870).[3]
Menurut jumhur ulama, sakit yang membolehkan iftar pada bulan Ramadhan adalah sakit yang memberatkan atau dapat menambah penyakit.[4] Pendapat jumhur ini termasuk kategori kedua. Al-Qurtubi menegaskan bahwa pendapat ketiga lebih moderat. Ia mengatakan, “Pendapat Ibn Sirin (pendapat ketiga) merupakan pendapat paling moderat mengenai masalah ini.”[5] Rasyid Rida juga cenderung kepada pendapat ini karena ia menyanggah argumen jumhur. Namun, menurut beliau dalam kondisi sakit pada kemungkinan ketiga ini lebih afdal untuk berpuasa.[6]
Jadi, ada tiga kondisi sakit yang menjadi alasan untuk iftar. Pertama, sakit parah yang tidak memungkinkan melakukan puasa atau sakit yang apabila tetap dilaksanakan puasa akan menyebabkan parahnya penyakit atau memperlambat kesembuhan. Dalam kondisi ini wajib iftar (tidak puasa).
Kedua, sakit yang masih memungkinkan melaksanakan puasa, namun dengan sangat berat, maka dalam kondisi ini lebih afdal tidak berpuasa, namun apabila tetap dilakukan puasa, maka puasanya sah dan tidak perlu mengganti pada hari yang lain.
Ketiga, sakit yang masih memungkinkan melaksanakan puasa secara tidak memberatkan, artinya sakit yang tidak terlalu berat. Dalam kondisi ini boleh iftar, namun lebih baik menjalankan puasa karena besarnya hikmah berpuasa di bulan Ramadhan yang tidak dapat ditemukan dalam berpuasa di bulan lain sebab berpuasa di bulan Ramadhan dan qiyam di malam harinya akan menghapus dosa-dosa yang telah lalu.
Safar (Dalam Perjalanan)
Keadaan dalam perjalanan (safar) analog dengan keadaan orang sakit. Safar (perjalanan), sebagaimana sakit, menjadi salah satu sebab (ilat) diberikannya rukhsah (dispensasi) untuk tidak berpuasa dengan ketentuan diganti pada hari lain di luar bulan Ramadhan. Seperti halnya sakit, perjalanan pun juga tidak diberi keterangan kualifikasi dalam ayat ini tentang macam perjalanan bagaimana yang membolehkan iftar. Oleh karena itu, kata “perjalanan” tersebut mencakup berbagai macam perjalanan, baik perjalanan panjang maupun pendek, perjalanan untuk ibadah seperti naik haji dan umrah, maupun perjalanan non ibadah seperti perjalanan bisnis, perjalanan tugas, atau pun perjalanan wisata.
Apabila kita memperhatikan Hadis-hadis Nabi SAW terkait dengan rukhsah untuk tidak berpuasa karena safar (perjalanan) terlihat bahwa yang dipertimbangkan adalah sejauhmana perjalanan itu memberatkan atau tidak memberatkan, sehingga: (1) ada perjalanan yang mengharuskan iftar, (2) ada perjalanan yang membolehkan iftar atau sebaliknya boleh berpuasa, namun iftar lebih utama, dan (3) ada perjalanan yang membolehkan iftar atau puasa, tetapi puasa lebih afdal.
Pertama, perjalanan yang mengharuskan iftar (tidak berpuasa) adalah perjalanan yang memang tidak memungkinkan untuk dilakukan puasa di mana apabila orang tersebut melakukannya akan timbul mudarat pada dirinya atau akan membuatnya tidak dapat melakukan kewajiban lain yang harus dilakukannya. Dalam kondisi ini orang tersebut wajib iftar (tidak puasa). Ini dapat dilihat dalam Hadis Abu Sa‘id al-Khudri yang menceritakan kisahnya dalam sebuah Hadis panjang,
… … … Kami pernah safar (berpergian) bersama Rasulullah saw ke Mekah dalam keadaan puasa. AbuSa‘id melanjutkan: Kemudian kami berhenti di suatu tempat, lalu Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya kamu telah mendekati musuhmu, maka iftar (tidak puasa) akan lebih menguatkanmu.” Hal itu adalah rukhsah, sehingga di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Kemudian pada pagi berikutnya kami berhenti di tempat lainnya, lalu beliau bersabda, “Kamu sudah lebih dekat kepada musuhmu, dan iftar (tidak puasa) akan lebih menguatkanmu. Oleh sebab itu berbukalah (iftar).” Hal itu adalah azimah, sehingga kami semua iftar (tidak puasa)… … … [HR Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad].[7]
Dalam Hadis ini, yang mengisahkan perjalanan menuju Mekah (barangkali saat penaklukan Mekah), terlihat bahwa pada perhentian pertama yang belum terlalu dekat dengan musuh, Rasulullah memberi rukhsah untuk berbuka (iftar) sehingga ada yang puasa dan ada yang berbuka. Tetapi pada perhentian yang sudah berada dekat dengan musuh pada hari lain, Nabi SAW memerintahkan untuk berbuka (tidak puasa) agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik, dan ini bukan rukhsah tetapi adalah azimah (ketentuan pokok) yang harus dijalani. Oleh karena itu semua Sahabat tidak berpuasa.
Dalam Hadis lain, Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan melihat beberapa sahabatnya berkerumun karena ada seorang sahabat yang semaput dan kemudian dihindarkan dari panas matahari. Rasulullah saw bertanya apa yang terjadi. Setelah diberi tahu salah seorang ternyata sahabatnya semaput karena berpuasa, kemudian beliau menyatakan bahwa berpuasa dalam perjalanan itu bukan suatu kebaikan. Hadis dimaksud adalah sebagai berikut
Dari Jabir Ibn ‘Abdullah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah dalam suatu perjalanan melihat suatu kerumunan dan seorang lelaki dikerumuni oleh orang banyak dan diteduhkan (dilindungi dari sengatan matahari). Lalu beliau bertanya, “Ada apa?” Mereka menjawab, “Ada orang berpuasa.” Lalu beliau bersabda, “Bukan suatu kebaikan berpuasa dalam perjalanan” [HR Enam Ahli Hadits, kecuali at-Tirmiżi, namun dia menyebutkannya].[8]
Hadits lain riwayat Muslim dan an-Nasa’i menerangkan bahwa dalam suatu perjalanan ke Makkah Rasulullah saw bersama rombongannya berpuasa dan dalam perjalanan itu beliau dilapori bahwa rombongan itu berat menjalankan puasa dan mereka menanti keputusan beliau. Lalu beliau minta satu cawan air dan minum di depan orang banyak. Beberapa waktu sesudah itu beliau dilapori bahwa ada beberapa orang yang masih tetap puasa. Lalu beliau bersabda, “Mereka itu pembangkang. Mereka itu pembangkang.”[9]
Dari Hadits-Hadits yang dikutip di atas dapat disimpulkan bahwa, pertama, perjalanan yang menimbulkan mudarat apabila orang berpuasa atau menyebabkannya terhalang melakukan kewajiban yang harus ditunaikannya, maka dalam perjalanan seperti itu dilarang berpuasa dan sebaliknya wajib iftar.
Kedua, perjalanan yang membolehkan iftar atau sebaliknya membolehkan juga berpuasa, tetapi iftar lebih diutamakan adalah perjalanan yang memberatkan, namun orang masih tetap mampu melakukannya meskipun dengan susah payah. Hal ini didasarkan kepada Hadis Anas berikut,
Dari Anas ra (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw pernah melakukan suatu perjalanan (bersama sahabat-sahabatnya). Sebagian berpuasa dan sebagian lagi tidak berpuasa. Lalu mereka yang tidak berpuasa bergiat dan melakukan beberapa pekerjaan, sementara yang berpuasa pada lemah tidak dapat mengerjakan pekerjaan. Anas melanjutkan: Lalu beliau (Rasulullah SAW) bersabda mengenai hal itu, “Pada hari ini orang yang tidak berpuasa mengambil pahala” [HR al-Bukhari, Muslim (ini lafalnya), dan an-Nasa’i].[10]
Hadits ini memuji orang yang melakukan beberapa pekerjaan penting untuk kepentingan perjalanan, meskipun mereka tidak berpuasa. Ibn ‘Umar (w 73/693) diriwayatkan mengatakan, “Berbuka dalam perjalanan lebih afdal menurutku daripada berpuasa.”[11] Ia juga diriwayatkan mengatakan kepada muridnya Mujahid (w 102/721) bahwa apabila sedang dalam perjalanan, seseorang jangan berpuasa karena nanti pahalanya akan diambil oleh mereka yang tidak berpuasa. Lalu Mujahid bertanya keheranan mengapa bisa terjadi demikian. Lalu Ibn ‘Umar menjelaskan bahwa orang yang berpuasa itu menjadi manja dan segala keperluannya dalam perjalanan diurus oleh yang tidak berpuasa karena ia lemah dan tidak mampu mengerjakan keperluannya yang karenanya diurus oleh orang lain, sehingga pahalanya diambil oleh orang yang tidak berpuasa itu. (Ibid,: 236). Ini semangatnya sama dengan Hadis Anas di atas.
Ketiga, perjalanan yang membolehkan baik iftar atau pun tetap berpuasa, tetapi berpuasa lebih utama ialah perjalanan yang tidak memberatkan meskipun jauh seperti perjalanan modern dengan naik pesawat yang tidak menimbulkan banyak kesukaran. Karena ini adalah sebuah perjalanan, maka perjalanan itu menjadi ilat (sebab) dibolehkan iftar (tidak puasa), namun dalam kondisi ini berpuasa lebih afdal. Untuk kondisi inilah dimaknai ujung ayat yang menegaskan bahwa berpuasa itu lebih baik bagimu.
Perlu dicatat bahwa di kalangan fukaha ada yang berpendapat bahwa berpuasa dalam perjalanan tidak dapat memenuhi kewajiban puasa Ramadhan, sehingga orang yang tetap berpuasa Ramadhan dalam perjalanan wajib mengqada puasa Ramadhan itu setelah kembali ke tempatnya. Artinya, menurut pendapat ini, puasa Ramadhan itu adalah puasa orang yang mukim. Apabila ia berpergian, maka kewajiban berpuasa itu adalah setelah kembali ke tempatnya, dan tidak sah ia melaksanakan puasa Ramadhan di perjalanan.[12]
Alasan pendapat ini yang menyatakan bahwa musafir wajib menunda puasanya hingga ia kembali dan puasa Ramadhan dalam perjalanan tidak menggugurkan kewajibannya adalah sebagai berikut:
Zahir pernyataan ayat, maka barang siapa di antara kamu sakit atau berada dalam perjalanan, hendaklah ia menghitungnya (guna dipuasai) pada hari-hari yang lain. Artinya siapa pun sakit atau dalam perjalanan hendaklah ia menghitung hari-hari ia sakit atau dalam perjalanan selama Ramadhan itu untuk dilakukan puasanya pada hari yang lain, sehingga berpuasa pada hari lain itu bukan rukhsah, melainkan ketentuan pokok yang asli bagi orang yang dalam bulan Ramadhan itu sakit atau dalam perjalanan. Jadi dalam ayat ini tidak ada idmar (pelesapan) frasa jika mereka tidak berpuasa.
Hadits Jabir di atas yang menyatakan bahwa berpuasa dalam perjalanan itu bukan suatu kebaikan dan beberapa Hadits lain senada yang sebagiannya telah dikutip di muka.
Menurut Tafsir at-Tanwir, pendapat ini terlalu zahiri, hanya menekankan logika formal teks sehingga hampa dari makna dan substansi spiritualitas, kurang mempertimbangkan struktur supra yang tercermin dalam maqasid asy-syari‘ah, dan karena itu terlalu menekankan metode pemahaman yang murni dogmatis. Paham ini mirip dengan Begriffsjurisprudenz, salah satu aliran dalam filsafat hukum Jerman abad ke-19, yang menekankan kebenaran logis teks dalam pemahaman hukum, meskipun janggal menurut realitas pengalaman empiris.
Jumhur ulama berpendapat bahwa pada ayat tersebut terdapat idmar (pelesapan) frasa lalu ia tidak puasa, sehingga ayat itu secara lebih lengkap berbunyi Maka barang siapa di antara kamu sakit atau berada dalam perjalanan (lalu ia tidak puasa), maka hendaklah ia menghitung (hari-hari ia tidak puasa itu untuk diganti) pada hari-hari yang lain.[13] Dengan cara ini ayat tersebut bermakna bahwa orang sakit atau dalam perjalanan itu berkewajiban mengqada puasanya hanya apabila ia tidak puasa. Sebaliknya apabila ia tetap puasa, karena ia mampu melaksanakannya meskipun sedang sakit atau dalam perjalanan, maka puasa itu sah dan sudah memenuhi kewajiban berpuasa dan oleh karena itu tidak perlu lagi mengqadanya di luar Ramadhan. Sedangkan Hadis yang menyatakan bahwa berpuasa dalam perjalanan bukan suatu kebajikan, sesuai dengan sebab wurudnya, dipahami sebagai puasa dalam perjalanan yang menimbulkan mudarat kepada pelakunya.
Pendapat yang menyatakan puasa dalam perjalanan di bulan Ramadhan tidak memadai dan tetap wajib mengqada di luar bulan Ramadhan, juga bertentangan dengan beberapa Hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah saw dalam perjalanan terkadang berpuasa, meski di kala lain tidak berpuasa, serta Hadis-Hadis yang menerangkan bahwa Nabi SAW juga memberi pilihan terhadap Sahabatnya untuk berpuasa jika ia mampu melakukannya dan juga membolehkan tidak berpuasa. Hadis-Hadis dimaksud antara lain adalah sebagai berikut,
Dari Ibn ‘Abbas ra (diriwayatkan bahwa) ia berkata, “Jangan engkau mencela orang yang berpuasa dan orang yang tidak berpuasa (dalam perjalanan), karena Rasulullah saw sendiri berpuasa dalam perjalanan dan juga tidak berpuasa [HR Muslim dan Ahmad].[14]
Dari ‘A’isyah ra (diriwayatkan) bahwa Hamzah Ibn ‘Amr al-Aslmi bertanya kepada Rasuklullah saw, ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, saya ini adalah orang yang banyak berpuasa, apakah saya boleh berpuasa dalam perjalanan?” Rasulullah saw menjawab, “Silahkan puasa jika engkau mau, dan silahkan tidak puasa jika engkau mau!”(HR Muslim dan Abu Dawud)[15]
Hadis Ibn ‘Abbas di atas menjelaskan bahwa Rasulullah saw terkadang berpuasa dan terkadang tidak berpuasa dalam perjalanan, dan Hadis ‘A’isyah mempersilahkan orang untuk berpuasa atau untuk tidak berpuasa dalam perjalanan sesuai dengan keadaannya. Jadi menurut Hadis-Hadis di atas boleh saja orang berpuasa dalam perjalanan dan terhadap orang yang melakukannya Nabi SAW tidak menyatakan keharusan untuk tetap menggantinya di luar Ramadhan. Artinya puasa dalam perjalanan itu sudah memadai sebagai pelaksanaan kewajiban puasa Ramadhan.
Mengenai cara mengqada hutang puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena sakit atau perjalanan tidak ada keharusan untuk melakukannya secara berturut-turut. Hal ini didasarkan kepada kenyataan bahwa frasa pada hari-hari yang lain adalah pernyataan lepas (mutlaq), yaitu tidak disertai keterangan kualifikasi apa pun sehingga pernyataan itu membolehkan untuk melaksanakan qada secara acak sebagaimana boleh juga berurutan. Begitu pula frasa tersebut tidak dikaitkan kepada waktu tertentu. Oleh karena itu pula qada puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena sakit atau perjalanan itu boleh dilakukan kapan saja sebelum datangnya Ramadhan berikutnya. ‘A’isyah menjelaskan bahwa ia sendiri di masa Rasulullah saw mengqada puasa Ramadhan yang ditinggalkannya pada bulan Syakban, sebagaimana tampak dalam Hadis berikut,
Dari Abu Salamah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Aku mendengar ‘A’isyah ra berkata: Aku sering berhutang puasa Ramadhan di mana aku tidak dapat membayarnya kecuali setelah bulan Syakban. Yahya berkata: (Hal itu terhalang oleh) kesibukan karena Rasulullah saw atau bersama Rasulullah saw (HR Muslim dan Abu Dawud].[16]
Menurut Hadits ini, ‘A’isyah baru mengqada hutang puasanya pada bulan Syakban. Apabila setelah sampai bulan Ramadhan berikutnya, hutang Ramadhan yang lalu belum terbayarkan karena menunda-nunda, maka terdapat perbedaan pendapat para ulama. Menurut Malik, asy-Syafi‘i, Ahmad dan Ishaq orang itu dikenai kafarat, sedang menurut Abu Hanifah, al-Hasan al-Basri dan an-Nakha‘i tidak dikenai kafarat. Pendapat terakhir ini dipegangi oleh al-Bukhari, ahli Hadits terkenal itu, dengan dasar kemutlakan (tanpa kualifikasi) pernyataan ayat pada hari-hari yang lain.[17]
Orang-orang yang Berat Menjalankan
Kelompok ketiga dari orang-orang yang diberi dispensasi (rukhsah) untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan adalah al-lażīna yutiqūnahu (orang-orang yang berat menjalankannya). Di atas telah dijelaskan makna harfiah dari kata yutiqūnahu. Yang dimaksud dengan al-lażīna yutiqūnahu adalah orang-orang yang mampu mengerjakan puasa tetapi dengan susah payah atau dengan amat berat. Mereka ini adalah orang tua lanjut usia, wanita hamil dan wanita menyusui, orang sakit menahun yang sulit diharapkan sembuh, serta orang-orang lain yang menjalani pekerjaan mereka yang amat berat seperti kuli (porter) pelabuhan, pekerja konstruksi jalan, atau buruh tambang.[18]
Mereka ini diperbolehkan tidak berpuasa dan sebagai gantinya mereka membayar fidyah berupa memberi makan satu orang miskin satu kali makan untuk satu hari tidak berpuasa. Apabila mereka juga tidak mampu membayar fidyah karena fakir, maka mereka tidak diwajibkan membayar fidyah karena “Allah tidak membebani seseorang kecuali sejauh yang mampu dilakukannya” (Qs [2]: 286) dan “Allah tidak membebani seseorang kecuali sejauh apa yang diberikan Allah kepadanya” (Qs [65]: 7).
Membayar Fidyah
Mengenai cara membayar fidyah, telah dijelaskan secara cukup detail dalam fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid. Di sini dikutip berapa hal pokok dari fatwa tersebut. Tidak ada ketentuan bahwa fidyah wajib dibayar secara diecer setiap hari tidak puasa. Oleh karena itu, boleh dilakukan pembayaran fidyah secara sekaligus baik sejak saat mulai tidak puasa di bulan Ramadhan maupun setelah selesai seluruh bulan Ramadhan karena itu lebih memudahkan.
Demikian pula, sesuai zahir ayat 184 al-Baqarah di atas, boleh seluruh fidyah itu diberikan kepada satu orang miskin saja atau, bilamana fidyah berupa memberikan makanan, boleh diberikan dalam satu hari saja kepada sejumlah orang miskin sesuai jumlah hari tidak berpuasa (memberi makanan satu hari saja untuk 30 orang miskin karena membayar fidyah puasa 30 hari). Ini merupakan pandangan yang dianut oleh kebanyakan ulama Syafiiah, Hanabilah, dan sejumlah ulama Malikiah. Ibn Muflih (w 763/1362) dan Ibn al-Mardawi (w 885/1480), keduanya dari mazhab Hanbali, menegaskan, “Boleh menyalurkan pemberian makan kepada satu orang miskin secara sekaligus.”[19] Artinya seluruh fidyah boleh diberikan kepada satu orang miskin saja. Penegasan yang sama juga dikemukakan oleh Imam an-Nawawi (w 676/1277), seorang ulama Syafi’iah, dalam kitab Raudat at-Talibin.[20]
Al-Bahuti (w 1046/1636) dalam Kasysyaful-Qina’ mendasarkan kebolehan tersebut kepada zahir ayat fidyah 184 al-Baqarah di atas.[21]
Seperti halnya memberikan seluruh fidyah boleh kepada satu orang, maka boleh pula memberikan fidyah, bila dalam bentuk makanan siap santap, kepada tiga puluh orang miskin dalam satu hari saja, sesuai dengan zahir ayat fidyah di atas, juga sesuai dengan yang dipraktikkan oleh Sahabat Anas Ibn Malik ra, salah seorang Sahabat Nabi saw yang ketika di usia tua tidak mampu lagi berpuasa, lalu beliau mengundang makan 30 orang miskin untuk satu hari saja.[22]
Adapun mendahulukan fidyah sebelum masuknya bulan Ramadhan tidak dapat dibenarkan karena fidyah itu adalah pengganti dari suatu kewajiban yang tidak dapat dilaksanakan karena uzur tetap. Sementara puasa Ramadhan sendiri, sebelum masuknya bulan Ramadhan, belum wajib dilaksanakan, jadi belum ada kewajiban sehingga karenanya tidak mungkin ada fidyah pengganti kewajiban.
Mengenai wujud fidyah yang dikeluarkan dapat berupa (1) makanan siap santap seperti dilakukan oleh Anas Ibn Malik ra dalam riwayat Ibn Mallas di atas, (2) bahan pangan seperti gandum, cantel, tamar, atau, di Indonesia, beras. Hal ini dipahami dari keumuman kata ta’am (makanan) di dalam ayat fidyah (Q. 2: 184) di atas. Dalam Hadis-Hadis Nabi saw kata ta’am dipakai dalam dua makna, yaitu makanan siap santap sebagaimana dalam Hadits Jābir yang menjelaskan sabda Rasulullah SAW bahwa apabila seseorang diundang makan (du‘iya ila ta‘am) hendaklah ia memenuhinya.[23] Dalam Hadis ini kata ta’am berarti makanan siap santap. Sementara itu dalam Hadis lain kata ta’am berarti bahan pangan, misalnya dalam Hadis Abu Hurairah yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW suatu ketika lewat dekat seorang lelaki yang menjual bahan pangan (ta’am).[24] Dalam Hadis ini dan banyak Hadis lainnya kata ta’am berarti bahan pangan. Jadi oleh karena itu fidyah dapat diberikan dalam bentuk makanan jadi atau dalam bentuk bahan pangan. Yang dimaksud dengan bahan pangan di sini adalah bahan pangan yang berupa makanan pokok seperti gandum, cantel atau tamar. Di Indonesia bahan pangan pokok adalah beras, yang dibayarkan sebanyak 6 ons untuk satu hari meninggalkan puasa karena tidak mampu berpuasa.
Fidyah dapat dibayarkan dalam bentuk uang senilai makanan atau bahan pangan yang diberikan kepada orang miskin. Mengenai pembayaran fidyah dengan uang ini memang terdapat perbedaan pendapat ulama. Ada fatwa-fatwa yang tidak membenarkannya, sementara fatwa-fatwa lain membolehkannya. Apabila dilihat dari segi sifat likuid dari uang sehingga lebih luwes dan dapat digunakan untuk kebutuhan yang diprioritaskan oleh orang miskin, maka pendapat yang membolehkan pembayaran fidyah dengan uang adalah lebih rajih. Ulama-ulama Hanafi ketika membolehkan memberikan zakat fitrah kepada orang miskin dalam bentuk uang beralasan bahwa uang lebih likuid sifatnya dan lebih luwes penggunaannya. Selain itu juga karena alasan bahwa zakat fitrah dan juga fidyah adalah kewajiban yang terletak dalam zimmah, bukan kewajiban kehartaan yang dikaitkan kepada jenis harta tertentu. Atas dasar itu dapat ditegaskan bahwa pembayaran fidyah dalam bentuk uang adalah sah dan memenuhi ketentuan perintah fidyah.
Mengerjakan Kebajikan dengan Suka Rela
Penggalan akhir ayat 184 berbunyi: Barang siapa mengerjakan kebajikan dengan suka rela, maka itu lebih baik baginya, dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Kata tatawwa‘a (تطوع , yang dalam tafsir ini diterjemahkan ‘mengerjakan kebajikan dengan suka rela’) berasal dari kata ‘taat’ sehingga berarti menjalankan secara suka rela perbuatan kebajikan yang tidak diwajibkan guna menunjukkan ketaatan. Dengan demikian bagian pertama dari penggalan akhir ayat di atas bermakna ‘barang siapa dengan suka rela menjalankan kebajikan lebih dari yang diwajibkan, maka itu lebih baik baginya.’
Terkait dengan bagian pertama dari penggalan akhir ini umumnya para mufasir menghubungkannya kepada pernyataan sebelumnya Dan atas orang-orang yang berat menjalankannya (sehingga tidak berpuasa) diwajibkan membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Bagian pertama dari penggalan akhir tersebut dipandang menjelaskan masalah pembayaran fidyah dalam statemen ini. Atas dasar itu, menurut tafsir-tafsir tersebut, ada tiga kemungkinan kebajikan suka rela terkait fidyah, yaitu:
1) memberi makan lebih dari satu orang miskin untuk satu hari tidak berpuasa,
2) memberi makan satu orang miskin lebih dari satu porsi untuk satu hari tidak berpuasa, atau
3) melakukan puasa, meskipun tidak wajib, disamping membayar fidyah yang diwajibkan, artinya menggabungkan fidyah dan puasa.[25]
Muhammad Rasyid Rida tidak menyetujui penafsiran ini dan menganggap tidak tepat menghubungkan frasa tersebut kepada soal pembayaran fidyah saja karena, menurut beliau, tidak masuk akal orang yang sudah digugurkan kewajibannya dan diganti dengan fidyah didorong lagi untuk mengerjakan kebajikan tambahan di luar kewajiban. Menurut beliau, frasa itu berkaitan dengan kewajiban puasa yang disebutkan pada permulaan ayat 184 dan menjelaskan bahwa orang diseyogiakan tidak hanya mengerjakan kewajiban puasa Ramadhan saja melainkan juga mengerjakan puasa-puasa lain yang tidak diwajibkan sebagai ibadah yang bersifat suka rela.[26] Abu Hayyan, sebelumnya, juga mencatat adanya penafsiran seperti ini dan beliau menilainya terlalu jauh.[27] Memang penafsiran ini kelihatannya meloncati tiga kelompok orang yang diberi keringanan dalam menjalankan puasa. Barangkali lebih tepat bagian penutup ayat 184 ini dipandang sebagai penjelasan mengenai ketiga kelompok orang tersebut.
Dari tafsir bagian ayat mengenai ketiga kelompok orang tersebut terlihat bahwa tidak ada ukuran yang pasti dan kategoris mengenai sakit, perjalanan, atau keadaan memberatkan yang menjadi alasan tidak berpuasa Ramadhan. Hal itu sangat kondisional, artinya tergantung kepada keadaan masing-masing orang bersangkutan. Bagian penutup ayat ini memberikan pegangan kepada masing-masing orang tersebut dalam menilai keadaan diri mereka bahwa asas yang menjadi patokan bagi mereka adalah bahwa sedapat-dapatnya mereka melaksanakan puasa Ramadhan, sepanjang pelaksanaan puasa itu tidak menimbulkan mudarat atau tidak membuat mereka menderita secara berlebihan, karena pelaksanaan puasa tersebut –meskipun boleh tidak dijalankan atas alasan sakit, dalam perjalanan atau keadaan memberatkan– adalah suatu kebajikan yang akan memberikan kebaikan kepada mereka sendiri.
Terdahulu telah dikemukakan bahwa sakit atau perjalanan itu –dan keadaan memberatkan dapat pula dianalogkan dengan ini– ada tiga macam, yaitu (1) sakit atau perjalanan yang sama sekali tidak memungkinkan untuk melakukan puasa dan kondisi ini mengharuskan iftar, (2) sakit atau perjalanan yang masih memungkinkan melaksanakan puasa tetapi sangat membuat orang menderita dan dalam kondisi ini orang lebih afdal tidak berpuasa karena syariah tidak bertujuan untuk menderitakan penganutnya, dan (3) sakit atau perjalanan yang sangat memungkinkan melaksanakan puasa dengan tanpa banyak kesukaran sehingga puasa dalam kondisi ini menjadi lebih afdal dilaksanakan.
Terkait kondisi ketiga yang disebutkan di atas, bagi penggandrung ibadah, penutup ayat ini dengan kedua penggalannya merupakan kabar gembira dan sekaligus pemberi kemantapan hati bahwa puasa yang dilakukannya, meskipun saat itu tidak wajib ia laksanakan dan boleh ia tunda, merupakan suatu kebajikan yang akan membawa kebaikan yang lebih besar kepada dirinya. Bagi orang yang melaksanakan ibadah sekedar memenuhi kewajiban, maka penutup ayat ini dengan kedua penggalannya secara tidak terpisah merupakan peringatan agar sedapatnya dan diseyogiakan ia melaksanakan puasa, meskipun ada alasan baginya untuk menunda pelaksanaannya di hari lain, karena hal itu merupakan suatu kebajikan yang lebih baik baginya dan karena pelaksanaan puasa itu menjadi tujuan utama dalam pesan ayat-ayat pada pase ini.
Begitu pula orang yang mengalami kesukaran (masyaqqah), seperti orang lanjut usia, wanita hamil dan atau menyusui, pekerja berat dan semacam itu, sedapatnya dan diseyogiakan berpuasa sepanjang tidak membuat mereka terlalu menderita. Memang tidak ada ukuran yang eksak tentang masyaqqah itu dan penentuannya diserahkan kepada yang bersangkutan untuk mengukur kemampuan diri mereka dengan patokan bahwa sedapatnya orang harus berpuasa karena hal itu akan lebih baik jika hikmah dan makna spiritual dari puasa itu benar-benar dipahami.
Jadi, penutup ayat tersebut hendak mengantisipasi kemungkinan orang bermudah-mudah untuk menentukan tidak berpuasa ketika menghadapi salah satu keadaan di atas. Pada sisi lain penutup ayat itu juga hendak menegaskan nilai spiritualitas dan makna simbolik yang mendalam yang terdapat pada puasa sehingga karenanya sedapat mungkin dilaksanakan. Wallahu a’lam.
Catatan akhir:
[1] Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhit, Beirut: Dar al-Fikr li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 1426/2005, I: 180.
[2] Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhit, II: 183; dan Rida, Tafsir al-Manar, II: 121.
[3] Ibn al-‘Arabi, Ahkam Al-Qur’an, diedit oleh Muhammad ‘Abd al-Qadir ‘Ata (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424/2003), I: 110; bandingkan dengan al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, II: 185.
[4] Rida, Tafsir al-Manar, II: 121; dan al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, II: 185.
[5] Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, II: 185.
[6] Rida, Tafsir al-Manar, II: 121 dan 127.
[7] Muslim, Sahih Muslim, I: 500, hadits no. 102 [1120], “Kitab as-Siyam, Bab Ajr al-Muftir fi Iża Tawalla al-‘Amal”; Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, diedit oleh Muhammad ‘Abd al-‘Aziz al-Khalidi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007/1428), h. 385, hadits no. 2406, “Kitab as-Siyam, Bab as-Saum fī as-Safar; Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad, XVII: 408-409, hadits no. 11307.
[8] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, h. 352, hadits no. 1946, “Kitab as-Saum, Bab Qaul an-Nabvi sw …”; Muslim, Sahih Muslim, I: 498, hadits no. 92 [1115], “Kitab as-Siyam, Bab Jawaz al-Fitr wa as-Siyam …”; Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, diedit oleh Muhammad ‘Abd al-‘Aziz al-Khalidi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1428/2007), h. 385, Hadits no. 2407, “Kitab as-Saum, Bab as-Saum fī as-Safar; an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, diedit oleh Ahmad Syamsuddin (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1425/2006), h. 375-376, Hadits no. 2259, lihat juga 2252-2254 dan 2258 “Kitab as-Siyam, Bab Ma Yukrahu min as-Siyam fī as-Safar”; at-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, diedit oleh Khalid ‘Abd al-Gani Mahfuz (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424/2003), h. 199, Hadits no. 710 “Kitab as-Saum, Bab Ma Ja’a fī Karahiyyat as-Saum fī as-Safar”; Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, diedit oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi (Indonesia: Maktabat Edahlan, t.t.), I: 532, Hadits no. 1664-1665, “Kitab as-Siyam, Bab Ma Ja’a fī al-Iftar fī as-Safar”; Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad, XXII: 317, Hadits no. 14426, XXIII: 424, Hadits no. 15282.
[9] Muslim, Sahih Muslim, I: 497-498, Hadits no. 90 [1114], “Kitab as-Siyam, Bab Jawaz al-Fitr wa as-Siyam …”; dan an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, h. 376, Hadits no. 22680, “Kitab as-siyam, Bāb Żikr Ism ar-Rajul”.
[10] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, h. 531, Hadits no. 2890, “Kitab al-Jihad wa as-Siyar, Bab fadl al-Khidmah fī al-Gazw”; Muslim, Sahih Muslim, I: 499, Hadits no. 1010 [1119], “Kitab as-Siyam, Bab Ajr al-Muftir fī Iza Tawalla al-‘Amal”; dan an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, h. 378, Hadits no. 2280, “Kitab as-Siyam, Bab Fadl al-Iftar fī as-Safar ‘ala as-Siyam”.
[11] At-Tabari, Tahzib al-Asar, diedit oleh Mahmd Muhammad Syakir (Kairo: Maktabat al-Khanji, tt), V: 242.
[12] Rida, Tafsir al-Manar, II: 124.
[13] Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, II: 188; dan Ab Hayyan, al-Bahr al-Muhit, II: 184.
[14] Muslim, Sahih Muslim, I: 497, hadis no. 89 [1113], “Kitab as-Siyam, Bab Jawaz al-Fitr wa as-Siyam…”; dan Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad, III: 489, Hadits no. 2057, XXIII: 424, Hadits no. 15282.
[15] Muslim, Sahih Muslim, I: 500, hadis no. 104 [1121], “Kitab as-Siyam, Bab at-Takhyir fī as-Saum wa al-Fikr fī as-Safar”; dan Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, h. 385, hadits no. 2402, “Kitab as-Saum, Bab as-Saum fī as-Safar”.
[16] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, h. 353, Hadits no. 1950, “Kitab al-Jihad wa as-Siyar, Bab as-Saum, Bab Mata Yuqda Qada’ Ramadan”; Muslim, Sahih Muslim, I: 509, hadits no. 151 [1146], “Kitab as-Siyam, Bab Qads’ Ramadan fī Sya‘ban”; dan Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, h. 384, hadits no. 2399, “Kitab as-Saum, Bab Ta’khir Qada’ Ramadan”.
[17] Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, II: 189-190.
[18] Ibn ‘Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir, II: 166-167.
[19] Ibn al-Muflih, Kitab al-Furu‘, diedit oleh at-Turki (Riyad: Dar al-Mu’ayyad li an-Nasyr wa at-Tauzi‘, dan Beirut: Mu’assasat ar-Risalah, 1424/2003), Ibn al-Mardawi, al-Insaf fī Ma‘rifat ar-Rajih min al-Khilaf (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1418/1997), IV: 448; III: 263.
[20] An-Nawawi, Raudat at-Talibin, diedit oleh ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Maujud dan ‘Ali Muhammad Mu‘awwat (Riyad: Dar ‘Alam al-Kutub, 1423/2003), II: 246.
[21] Al-Bahuti, Kasysyaf al-Qina‘ ‘an Matn al-Iqna‘, diedit oleh Muhammad Amin ad-Dunawi (Beirut: ‘Alam al-Kutub li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 1417/1997), II: 136).
[22] Ibn Mallas an-Numairi, Ahadis Muhammad Ibn Hisyam Ibn Mallas an-Numairi, diedit oleh asy-Syahri (Riyad: Maktabat Adwa’ as-Salaf, 1419/1998), h. 114, asar no. 17.
[23] Muslim, Sahih Muslim, I: 660, Hadits no. 105 [1430], “Kitab an-Nikah, Bab al-amr bi Ijabat ad-Da‘i ila Da‘wah”.
[24] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, h. 552, hadis no. 3452, “Kitab Kitab al-Buyu‘, Bab fi an-Nahy ‘an al-Gasysy”.
[25] At-Tabari, Tafsir at-Tabari (Jami‘ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, diedit oleh ‘Abdullahn Ibn ‘Abd al-Muhsin at-Turki (Kairo: Hajar li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘ wa al-I‘lan, 1422/2001), III: 183-186, khususnya h. 183 dan 185; ar-Razī, Tafsīr al-Fakhr ar-Razī (at-Tafsir al-Kabir / Mafatih al-Gaib) (Beirut: Dar al-Fikr at-Tiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 1401/1981), V: 88; Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, II: 194; Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhit, II: 192; dan Al-Maragī, Tafsīr al-Maragī, II: 72-73).
[26] Rida, Tafsir al-Manar, II: 128.
[27] AbuHayyan, al-Bahr al-Muhit, II: 192-193.
sumber: Tafsir Tahlily, disusun oleh MTT PPM, naskah awal disusun oleh Prof Dr H Syamsul Anwar.