Tafsir Qs. al-Baqarah (2) ayat 51-53
وَإِذْ وَاعَدْنَا مُوسَى أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ثُمَّ اتَّخَذْتُمُ الْعِجْلَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَنْتُمْ ظَالِمُونَ -51- ثُمَّ عَفَوْنَا عَنْكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ -52- وَإِذْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَالْفُرْقَانَ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ -53
51. Dan (ingatlah), ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat, sesudah) empat puluh malam, lalu kamu menjadikan anak lembu (sembahanmu) sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang yang lalim (zalim). 52. Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur. 53. Dan (ingatlah), ketika Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) dan keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang salah, agar kamu mendapat petunjuk.
Ibnu Katsir mengkaitkan ayat al-Baqarah (2): 51 dengan ayat al-A‘raf (7): 142
وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلَاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً وَقَالَ مُوسَى لِأَخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ – الأعراف: 142
“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (Qs. al-Baqarah/2: 142)
(وَإِذْ وَاعَدْنَا): wa idz waa‘adnaa: Dan ingatlah (Wahai Bani Isra’il), ketika Kami berjanji.
Yang dimaksud dengan janji di sini, menurut Imam At-Tabari, adalah “pertemuan” antara Allah ta’aala dan Nabi Musa di atas Gunung (Ath-Thuur). Kata (نَا) “Kami”, menurut para mufassir adalah Allah ta’aala sendiri atau diwakilkan kepada para Malaikat.
(أَرْبَعِينَ لَيْلَةً): arba‘iina lailatan: selama empat puluh malam
Di dalam Surat al-A‘raf (7): 142 di atas dijelaskan bahwa empat puluh malam itu adalah “ sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam”.
Menurut Tafsir At-Thabari dan Ibn Katsir, empat puluh hari itu adalah tigapuluh hari penuh pada bulan Dzul-Qa‘dah dan sepuluh hari berikutnya di bulan Dzul-Hijjah. Dan itu terjadi setelah Bani Isra’il terbebas dari Fir’aun dan bala tentaranya serta selamatnya mereka menyeberangi laut.
(ثُمَّ اتَّخَذْتُمُ الْعِجْلَ مِنْ بَعْدِهِ) tsummat takhadztumul ‘ijla min ba‘dihi: lalu kamu menjadikan anak lembu (sebagai sembahanmu) sepeninggalnya
Kata “kamu” yang dimaksud di sini adalah kaum Yahudi Bani Isra’il. Sepeninggal Nabi Musa berangkat ke bukit atau gunung (ath-Thuur), mereka membuat patung sapi yang dijadikan sesembahan mereka.
Hal ini berdasar ayat berikut:
يَسْأَلُكَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَنْ تُنَزِّلَ عَلَيْهِمْ كِتَابًا مِنَ السَّمَاءِ فَقَدْ سَأَلُوا مُوسَى أَكْبَرَ مِنْ ذَلِكَ فَقَالُوا أَرِنَا اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ بِظُلْمِهِمْ ثُمَّ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ فَعَفَوْنَا عَنْ ذَلِكَ وَآتَيْنَا مُوسَى سُلْطَانًا مُبِينًا – النساء: 153
Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah Kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata: “Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata”. Maka mereka disambar petir karena kelalimannya, dan mereka menyembah anak sapi, sesudah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata, lalu Kami maafkan (mereka) dari yang demikian. Dan telah Kami berikan kepada Musa keterangan yang nyata. (Qs. an-Nisaa/4: 153)
Istilah Ahli Kitab di dalam al-Qur’an banyak merujuk kepada Kaum Yahudi Bani Isra’il. Apalagi di dalam kasus Nabi Musa, maka Kaum Nasrani yang mengaku sebagai pengikut Nabi ‘Isa belum muncul.
Sementara itu ayat tentang penyembahan anak sapi juga disebutkan di dalam ayat Al-Baqarah: 92-93.
وَلَقَدْ جَاءَكُمْ مُوسَى بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ اتَّخَذْتُمُ الْعِجْلَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَنْتُمْ ظَالِمُونَ (92) وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاسْمَعُوا قَالُوا سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَأُشْرِبُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْعِجْلَ بِكُفْرِهِمْ قُلْ بِئْسَمَا يَأْمُرُكُمْ بِهِ إِيمَانُكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (93) – البقرة: 92، 93
92. Sesungguhnya Musa telah datang kepadamu membawa bukti-bukti kebenaran (mukjizat), kemudian kamu jadikan anak sapi (sebagai sembahan) sesudah (kepergian)nya, dan sebenarnya kamu adalah orang-orang yang lalim (zalim). 93. Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!” Mereka menjawab: “Kami mendengarkan tetapi tidak menaati”. Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah: “Amat jahat perbuatan yang diperintahkan imanmu kepadamu jika betul kamu beriman (kepada Taurat)”. (Qs. al-Baqarah/2: 92-93)
(وَأَنْتُمْ ظَالِمُونَ) wa antum dlaalimuun: dan kamu adalah orang-orang yang dlalim (zalim).
Ungkapan kata dlalim (yang di dalam bahasa Indonesia sering dibilang “zalim” atau terkadang juga “lalim”) di atas menunjukkan sebuah perbuatan dosa yang sangat besar, yaitu perbuatan syirik dan sekaligus dihukumi sebagai kafir. Tentu saja karena mereka bertaubat, maka Allah ta’aala mengampuni mereka.
Kedlaliman itu memiliki beberapa tingkatan dan semuanya sebenarnya berakibat dosa pada dirinya.
Kedlaliman itu istilah yang dipakai untuk kejadian pelanggaran kebenaran yang berada pada suatu titik tingkatan tertentu. Oleh karena itu ada banyak pelanggaran dan ada sedikit pelanggaran, juga ada dosa besar dan dosa kecil. Ketika Adam melanggar larangan Allah, dia disebut dlalim, begitu juga Iblis disebut dlalim, meskipun di antara keduanya ada perbedaan yang besar.
ثُمَّ عَفَوْنَا عَنْكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ [البقرة: 52]
Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur. (Qs. al-Baqarah/2: 52)
(ثُمَّ عَفَوْنَا عَنْكُمْ) Tsumma ‘afaunaa ‘ankum: Kemudian Kami (Allah) memaafkan kamu (Bani Isra’il)
Memaafkan itu tentunya setelah mereka bertaubat dari kesalahan mereka menyembah patung sapi.
Kata maaf (العفو) al-‘afwu mempunyai pengertian penghapusan dosa. Memaafkan ini terjadi setelah yang berdosa menerima hukuman atau sebelum menerima hukuman. Berbeda dengan kata ampunan (الغفران) al-ghufraan yang dalam hal ini tidak ada hukuman sama sekali.
Semua orang yang seharusnya dihukum tetapi ternyata tidak dihukum, maka orang itu dimaafkan. Permaafan itu penghapusan dosa.
(مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ) min ba‘di dzaalika: sesudah itu, yakni sesudah kamu menyembah patung anak sapi.
(لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ) la‘allakum tasykuruun: agar kamu bersyukur. Bersyukur atas ampunan Allah kepadamu.
Asy-Syukru: Berpikir atau membayangkan suatu kenikmatan dan menampakkannya
Al-Kufru: Melupakan kenikmatan dan menyembunyikannya (menutupinya)
Syukur dalam arti ini adalah dia dipenuhi oleh rasa ingat kepada nikmat dan sekaligus menyebut orang atau Dzat yang memberi rasa nikmat kepadanya.
Syukur itu ada tiga macam:
1. Syukurnya hati: Berpikir, mengingat, dan membayangkan kenikmatan.
2. Syukurnya lesan: memuji kepada yang memberi kenikmatan, baik itu sesama manusia maupun kepada Allah ta’aala..
3. Syukurnya seluruh anggota badan: membalas kenikmatan sesuai dengan yang seharusnya, menyesuaikan membalas kebaikan sebagai rasa syukur atas kebaikan yang telah diberikannya.
Syukur kepada manusia artinya adalah mengerjakan kebaikan yang sama sebagaimana yang orang berbuat baik kepadanya sebagai rasa syukur kepada Allah. Syukur kepada Allah adalah dengan tunduk dan ta’at kepada-Nya dengan memperbanyak amalan shalih.
Nilai pentingnya permaafan Allah dalam kasus ini adalah karena Allah ta’aala menghendaki masih adanya unsur kebaikan pada diri manusia. Dan Allah memberitahu kepada manusia pentingnya memberi maaf dan bahwa Allah itu adalah Maha Pengasih. Allah membuka pintu taubat terus-menerus untuk menghapus inti kejahatan di dalam diri manusia.
Sesungguhnya manusia itu apabila melakukan perbuatan dosa dan pintu taubat tidak terbuka dan permaafan juga tidak diberikan maka akan bertambahlah kejahatan mereka dan mereka tenggelam di dalam lumpur dosa. Apabila tidak ada pintu taubat sedangkan satu dosa saja bisa membawa ke neraka dan hukuman akan menimpa manusia maka bisa saja manusia akan menambah perbuatan dosa mereka. Hal inilah yang tidak dikehendaki oleh Allah ta’aala terjadi pada hambanya yang dikasihinya.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; “Sungguh kegembiraan Allah karena taubat hamba-Nya melebihi kegembiraan salah seorang dari kalian terhadap hewan tunggangannya di sebuah padang pasir yang luas, namun tiba-tiba hewan tersebut lepas, padahal di atasnya ada makanan dan minuman hingga akhirnya dia merasa putus asa untuk menemukannya kembali. kemudian ia beristirahat di bawah pohon, namun di saat itu, tiba-tiba dia mendapatkan untanya sudah berdiri di sampingnya. (HR Muslim 4932)
وَإِذْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَالْفُرْقَانَ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ [البقرة: 53
Dan (ingatlah), ketika Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) dan keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang salah, agar kamu mendapat petunjuk. (Qs. al-Baqarah/2: 53)
(وَإِذْ) wa idz: Dan ingatlah ketika
(آتَيْنَا) atainaa: Kami (Allah) memberikan
(الْكِتَابَ وَالْفُرْقَانَ) al-kitaab wal-furqaan: Al-Kitab (Taurat) dan keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang salah
Nabi Musa dianugerahi Taurat yang memiliki dua sifat:
- Al-Kitaab: Taurat merupakan sesuatu yang tertulis
- Al-Furqaan: Taurat merupakan sebuah pembeda yang membedakan antara yang benar dan yang salah.
(لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ) la‘allakum tahtaduun: agar kamu mendapat petunjuk, agar kamu menjadikannya petunjuk
Narasumber utama artikel:
M. Yusron Asrofie
Artikel terkait: Kata Dlalim (ظَالِم) Didalam Al-Qur’an