Tafsir Qs al-Baqarah ayat 41-43
وَآَمِنُوا بِمَا أَنْزَلْتُ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآَيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ (41) وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (42) وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ (43)0[البقرة/41-43] 0
41. Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Qur’an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa
42. Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.
43. Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk. (Qs al-Baqarah/2: 41-43)
(وَآَمِنُوا) wa aaminuu: Dan berimanlah. Beriman itu artinya membenarkan.
(بِمَا أَنْزَلْتُ) bimaa anzaltu: kepada apa yang Aku (Allah) turunkan (yaitu berupa al-Qur’an) dan melaksanakannya.
Ini adalah perintah awal Allah yang merupakan hal pokok bagi keimanan adalah beriman kepada al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an nanti akan dijelaskan apa saja hal-hal yang perlu atau wajib diimani.
Dalam versi yang lebih tegas, Imam Al-Tabari menjelaskan bahwa Iman atau orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang membenarkan (beriman kepada) Rasulullah shalla Allahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang beliau bawa (al-Qur’an dan as-Sunnah) kepada mereka adalah benar dari sisi Allah. Mereka beriman kepada hal itu dan membenarkannya (melaksanakannya).
(مُصَدِّقًا) mushaddiqan: Membenarkan, menguatkan
(لِمَا مَعَكُمْ) limaa ma’akum: apa yang ada padamu (wahai Bani Isra’il yaitu berupa Kitab Taurat).
Abul ‘Aaliyah sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir menjelaskan tentang potongan ayat di atas bahwa al-Qur’an itu membenarkan dan menguatkan apa yang terdapat di dalam Kitab Taurat dan Injil bahwa Rasulullah Muhammad itu namanya tertulis di situ.
(وَلَا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ) wa laa takuunu awwala kaafirin bih: dan kamu jangan menjadi orang yang pertama kafir kepadanya. Kata “kepadanya” bisa bermakna dua hal yang keduanya betul, yaitu bisa berarti kepada al-Qur’an atau bisa juga kepada Nabi Muhammad shalla Allahu ‘alaihi wa sallam.
(أَوَّلَ كَافِرٍ) awwala kaafirin: Orang yang pertama kali kafir dari kalangan Bani Isra’il. Hal ini karena telah banyak orang yang kafir sebelum mereka, yaitu orang-orang kafir dari kalangan orang Arab, seperti sebagian orang dari suku Quraisy. Jadi yang dimaksud adalah orang yang pertama kali kafir dari kalangan Bani Isra’il yang tinggal di Madinah. Belakangan, nanti ketika kelompok Bani Isra’il ini menjadi kafir, jahat dan sangat memusuhi Nabi Muhammad shalla Allahu ‘alaihi wa salla dan umat Islam pada umumnya, maka Allah ta’aala menyebut mereka dengan kaum Yahudi.
(وَلَا تَشْتَرُوا بِآَيَاتِي) wa laa tasytaru bi-aayaatii: Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah (yang sedikit, murah). Artinya Kamu jangan menukar iman kamu terhadap ayat-ayat-Ku dan pembenaran kamu terhadap Rasul-Ku Muhammad dengan materi dunia dan segala isinya yang lain. Materi dunia dan isi dunia yang menggiurkan itu di mata Allah ta’aala adalah sesuatu hal yang murahan dan tidak kekal.
(ثَمَنًا قَلِيلًا) tsamanan qaliilaa: harga yang murah, suatu hal yang bersifat sedikit dan kecil harganya. Yaitu dunia dan segala isinya itu di mata Allah ta’aala rendah nilainya.
(وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ) wa-iyyaya fattaquun: dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa
(وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ) wa laa talbisul haqqa bil-baatil: Dan janganlah kamu mencampur adukkan antara yang benar dengan yang salah, antara kebenaran dan kebohongan. Kaum Bani Isra’il itu berkilah bahwa Muhammad itu memang Nabi, tetapi Nabi yang dikirim untuk orang Arab bukan untuk kaum Bani Isra’il.
Sementara itu, Mujahid, pemimpin ahli tafsir pada zaman tabi’in dan murid Ibnu Abbas, mengatakan bahwa secara khusus artinya adalah larangan untuk mencampur aduk antara ajaran agama Islam dengan agama Yahudi dan Nasrani.
(وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ) wa taktumul haqqa: dan kamu menyembunyikan kebenaran. Ungkapan ini juga bisa diartikan dengan menggandengkan ungkapan sebelumnya yang mengandung larangan, yakni: dan janganlah kamu menyembunyikan kebenaran.
(وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ) wa antum ta’lamuun: sedangkan kamu mengetahui.
(وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ) Dan janganlah kamu menyembunyikan kebenaran yang kamu ketahui tentang kebenaran Nabi Muhammad shalla Allahu ‘alaihi wa sallam dan ajaran yang beliau bawa di dalam al-Qur’an dan Sunnahnya.
وَدَّ كَثِيرٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّاراً حَسَداً مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ فَاعْفُواْ وَاصْفَحُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة : [109]0
Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Qs al-Baqarah/2: 109)
(وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ) wa aqiimush shalaata: dan dirikanlah shalat.
Kalimat dirikanlah atau juga mendirikan shalat itu mempunyai pengertian yang dalam. Ungkapan ini tidak hanya sekedar melaksanakan shalat, tetapi mengerjakan shalat dengan tertib dan benar dan membaguskan shalatnya (khusyu’).
Ungkapan kata ini dengan segala macam bentuknya memberikan kepada pelakunya pahala yang sangat besar (An-Nisaa’ (4): 162).
Secara khusus bahkan kepada Bani Isra’il (dan tentunya kepada orang-orang beriman seluruhnya) dijanjikan bahwa siapa mengerjakan shalat dengan tertib dan benar dan membaguskan shalatnya (khusyu’), maka Allah akan menghapus dosanya dan memasukkannya ke surga:
وَلَقَدْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا وَقَالَ اللَّهُ إِنِّي مَعَكُمْ لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلَاةَ وَآَتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَآَمَنْتُمْ بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرَضْتُمُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَلَأُدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ فَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ (12) [المائدة/12]0]
Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israel dan telah Kami angkat di antara mereka dua belas orang pemimpin dan Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan salat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menghapus dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang uku; itu kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus”. (Qs al-Maidah/5: 12)
Ungkapan ini diakhiri dengan memperoleh pahala surga.
(وَآَتُوا الزَّكَاةَ) wa atuz zakaata; dan tunaikanlah, bayarlah (kewajiban) zakat.
(وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ) warka’uu ma’ar raaki’iin: rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.
Ruku’ itu membungkukkan badan. Secara khusus ruku’ itu dipakai untuk suatu gerakan dan posisi tubuh di dalam shalat. Secara syar’i dituntunkan bahwa ruku’ itu membungkukkan badan secara rata dan lurus dengan meletakkan kedua telapak tangan di kedua lutut.
Ruku’ juga terkadang dipakai untuk menunjukkan rasa merendah, hormat, dan kesopanan.
Pada ayat al-Baqarah (2): 40 edisi yang lalu Allah subhaanaHu wa ta’aala memanggil suatu kelompok orang dengam panggilan “Wahai, Bani Isra’il” yang secara keseluruhan ada lima kali panggilan Allah terhadap kelompok atau bangsa ini. Tiga kali panggilan ini ada di Surat al-Baqarah. Yang pertama Allah mengingatkan kepada mereka dan tentu saja juga kepada kita semua tentang banyaknya nikmat Allah yang telah diberikan kepada Bani Isra’il. Setelah itu Allah meminta kepada mereka untuk melakukan dua hal penting, yaitu: Pertama: Memenuhi janji mereka dengan Allah. Kedua: Allah menyuruh mereka beriman kepada al-Qur’an.
Adapun tanda keimanan yang dimaksud dan juga tandanya adalah bahwa mereka membenarkan al-Qur’an dan tiga hal yang harus mereka hindari:
Pertama: Bahwa mereka tidak menjadi orang pertama dari kalangan Bani Isra’il yang kafir atau mengingkari al-Qur’an. Mereka sudah tahu tentang al-Qur’an dan dari Kitab yang ada pada mereka yang masih murni dan belum ada perubahan.
Kedua: Bahwa mereka tidak lebih mementingkan kehidupan duniawi, mengagungkannya dan juga sangat menginginkannya daripada beriman kepada Allah ta’aala, kepada para rasulnya (termasuk kepada Nabi Muhammad shalla Allahu ‘alaihi wa sallam). Harta dunia itu remeh dan punah tidak dibawa ke akhirat.
Ketiga: Bahwa mereka tidak mencampur-adukkan kebenaran dengan kebatilan atau kesalahan. Mereka juga diminta untuk tidak menyembunyikan kebenaran yang mereka ketahui.
Setelah diminta untuk menghindari tiga hal yang buruk-buruk tadi, Bani Isra’il juga diminta untuk melakukan tiga kebaikan, yatu:
- Melaksanakan shalat
- Membayar Zakat
- Melaksanakan shalat berjama’ah bersama para shabat dan ummat Nabi Muhammad yang beriman.
Dengan melaksanakan tiga hal di atas jadilah mereka itu orang Islam bahkan mereka bisa menjadi orang-orang yang bertaqwa. Dan pantaslah mereka disebut sebagai keturunan Nabiyullah Isra’il atau Nabi Ya’qub ‘alaihis salaam.
narasumber utama artikel ini:
M. Yusron Asrofie
catatan:
terkait artikel ini, baca juga: Perilaku dan Kisah Bani Israil di dalam al-Qur’an