BERPINDAH TEMPAT
TANYA:
Adakah tuntunan untuk berpindah tempat ketika mengerjakan shalat sunnah setelah shalat fardhu?
JAWAB:
Ya, memang seyogyanya demikian. Ada beberapa dalil untuk itu. Yakni:
- Nabi bersabda: “Imam jangan shalat sunnah di tempat ia melakukan shalat fardhu, sehingga ia berpindah tempat.” (HR Ibnu Majah dari Mughirah bin Syu’bah)
- Nabi SAW bersabda: “Apakah kamu tidak berpindah tempat untuk shalat (sunnat) ke depan, atau ke belakang, atau ke kanan, atau ke kiri?” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Hadits-hadits tersebut memberi tuntunan agar setelah kita shalat fardhu (wajib), hendaknya bergeser tempat dengan pilihan ke empat penjuru (ke muka, belakang, kanan atau kiri) sebelum melakukan shalat sunnah. Hadits yang lain mengajarkan agar berbicara dulu dengan orang lain atau berpindah tempat.
Sejumlah ulama menggali hikmah di balik tuntunan itu. Salah satunya adalah untuk membanyakkan tempat kita sujud. Mengingat adanya konsep “tempat-tempat sujud itu kelak akan bersaksi di akhirat nanti”, maka menambah tempat sujud dengan berpindah tempat itu menjadi perlu dilakukan. Pak AR Fakhruddin menunjukkan hikmah yang lain, yakni: menimbulkan kesegaran ke dalam hati dengan adanya suasana yang baru.
SHALAT SUNNAH RAWATIB DI RUMAH
TANYA:
Adakah dalilnya shalat sunnah rawatib itu sebaiknya dikerjakan di rumah? Bagaimana kalau masjid itu jaraknya dari rumah beberapa ratus meter, sehingga jika shalat sunnah rawatib dikerjakan tidak dalam waktu berdekatan dikhawatirkan akan membuat shalat rawatibnya luput dikerjakan?
JAWAB:
Memang ada beberapa dalil tentang itu. Misalnya:
- Bahwa Nabi bersabda: “Bersembahyanglah engkau semua, hai sekalian manusia, sebab sesungguhnya seutama-utama shalat itu ialah shalatnya seseorang yang dikerjakan dalam rumahnya, kecuali shalat yang diwajibkan.” (Muttafaq ‘alaih, dari Zaid bin Tsabit)
- Nabi SAW bersabda, “Jadikanlah dari sebahagian shalatmu, yakni yang sunnah itu, di rumah-rumahmu sendiri dan janganlah menjadikan rumah-rumah itu sebagai kuburan, yakni tidak pernah digunakan shalat sunnah atau membaca al-Quran yakni sunyi dari ibadat.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu Umar)
Dalam menghadapi pilihan-pilihan praktis dalam hidup sehari-hari, tentu kita perlu cermat menimbang-nimbang. Sehingga perlu memperhitungkan segi urgensi (=pentingnya) dan kemendesakan (=disegerakan).
Perlu diingat, shalat sunnah rawatib itu posisinya adalah disangatkan. Jika kita punya pertimbangan “kalau tidak segera dilakukan ada kemungkinan luput dikerjakan”, maka sebaiknya dikerjakan saja di masjid, daripada menunggu pulang ke rumah yang jaraknya beberapa ratus meter. Itu untuk shalat yang bakdiyah.
Demikian juga untuk yang qabliyah. Karena shalat rawatib qabliyah itu antara azan dan iqamat, ada kemungkinan jika shalatnya dilaksanakan di rumah setelah mendengar azan, lalu baru pergi ke masjid, sehingga berpeluang terlambat shalat atau minimal selalu menjadi masbuq (tidak mengikuti imam semenjak takbiratul ikram), maka niscaya lebih baik shalat sunnah di masjid.
Sesungguhnya ada pilihan lain dari uraian di atas yang —insya Allah— lebih baik. Yakni, pergi-pulang ke masjid menggunakan kendaraan. Bukankah mengupayakan kendaraan sepeda atau sepedamotor kini merupakan hal yang relatif mudah? Jadi, setelah mendengar azan lalu shalat sunnah rawatib qabliyah di rumah, terus pergi ke masjid dan shalat wajib di sana. Selesai shalat, pulang ke rumah tanpa mampir-mampir dulu, untuk menunaikan shalat sunnah. Baru setelah itu bisa melakukan urusan yang lain-lain.
Wallahu alam bissawab.●