banner 728x90

Tatacara Shalat Dhuha

 

  1. Waktu Pelaksanaan Shalat Dhuha

Shalat dhuha mulai dilaksanakan pada saat matahari sudah naik, kira-kira sepenggal atau setinggi tonggak (maksudnya bukan pada waktu matahari baru terbit), dan berakhir menjelang masuk waktu dzuhur. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad s.a.w. sebagai berikut:

عَنْ أَبِي رَمْلَةَ الأَزْدِيِّ ، عَنْ عَلِيٍّ : أَنَّهُ رَآهُمْ يُصَلُّونَ الضُّحَى عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ ، فَقَالَ : هَلاَّ تَرَكُوهَا حَتَّى إذَا كَانَتِ الشَّمْسُ قِيدْ رُمْحٍ أَوْ رُمْحَيْنِ ، صَلَّوْهَا فَذَلكَ صَلاَةُ الأَوَّابِينَ. رواه ابن أبي شيبة

Dari Abu Ramlah al-Azdi dan Ali, Beliau telah melihat orang-orang melaksanakan shalat dhuha ketika terbit matahari. Lalu Ali berkata: “Tidakkah mereka meninggalkannya hingga matahari setinggi tombak atau dua tombak. Shalatlah dhuha, karena dia adalah shalat awwabin (orang-orang yang kembali kepada Allah” (HR. Ibu Syaibah).

Di dalam Kalender Hijriyah yang diterbitkan oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) D.I. Yogyakarta tertulis bahwa jadwal waktu shalat dhuha dimulai satu jam setelah matahari terbit (syuruq). Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menjelaskan bahwa waktunya untuk mengerjakan shalat dhuha dimulai kira-kira 20 menit setelah matahari terbit hingga 10 atau 5 menit sebelum matahari bergeser ke barat. Al-Lajnah ad-Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) menjelaskan bahwa waktu awal shalat dhuha adalah sekitar 15 menit setelah matahari terbit. Sedangkan, yang utama dalam mengerjakan shalat dhuha adalah di akhir waktu, yaitu keadaan yang semakin panas. Adapun dalil tentang hal ini adalah sebagai berikut:

أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلاَةَ فِى غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ » أخرجه مسلم

Dari Zaid bin Arqam, bahwa ia melihat orang-orang mengerjakan shalat dhuha [pada waktu yang belum begitu siang], maka ia berkata: “mereka mungkin tidak mengetahui bahwa shalat dhuha pada selain saat-saat seperti itu adalah lebih utama, karena sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: “Shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (al-Awwabin) adalah pada waktu anak-anak unta sudah bangun dari pembaringannya karena tersengat panasnya matahari” (HR. Muslim).

Hadits tersebut di atas menjelaskan bahwa waktu yang paling afdhal untuk melakukan shalat dhuha adalah ketika matahari sudah mulai meninggi, di mana anak-anak unta sudah bangun karena panas matahari (sekitar jam 08:00 atau 09:00 WIB). Meskipun demikian, shalat dhuha boleh pula dilaksanakan setelah matahari terbit hingga menjelang matahari bergeser ke barat (zawal). Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Imam an-Nawawi dan para ulama di kalangan Syafi’iyah.

  1. Jumlah Raka’at Shalat Dhuha

Jika dirunut berdasarkan pendapat yang paling kuat, maka jumlah minimal raka’at shalat dhuha adalah 2 raka’at, sedangkan jumlah maksimalnya adalah tanpa batas. Adapun dalil-dalil yang mendasari hal tersebut adalah sebagai berikut:

  • Shalat dhuha dikerjakan sebanyak 2 raka’at. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang bersumber dari Abu Hurairah, sebagaimana telah disebutkan di atas.
  • Shalat dhuha dikerjakan sebanyak 4 raka’at. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Adu Dawud dan Imam Ahmad yang bersumber dari Abu Dzar, sebagaimana telah disebutkan di atas.
  • Shalat dhuha dikerjakan sebanyak 6 raka’at. Hal ini didasarkan pada hadits berikut:
 عَنْ أنس بن مالك ” أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي الضحى ست ركعات “. أخرجه الترمذي. قال الشيخ الألباني : صحيح

Dari Anas bin Malik: Sungguh Nabi Muhammad SAW. telah melaksanakan shalat dhuha sebanyak 6 raka’at” (HR. at-Turmudzi). Syaikh al-Bani berkata bahwa hadits ini adalah hadits shahih.

  • Shalat dhuha dikerjakan sebanyak 8 raka’at. Hal ini didasarkan pada hadits berikut:
أَنَّ أُمَّ هَانِئٍ بِنْتَ أَبِى طَالِبٍ حَدَّثَتْهُ أَنَّهُ لَمَّا كَانَ عَامُ الْفَتْحِ أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ بِأَعْلَى مَكَّةَ. قَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى غُسْلِهِ فَسَتَرَتْ عَلَيْهِ فَاطِمَةُ ثُمَّ أَخَذَ ثَوْبَهُ فَالْتَحَفَ بِهِ ثُمَّ صَلَّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ سُبْحَةَ الضُّحَى. أخرجه الشيخان.

Ummu Hani binti Abi Thalib telah menceritakan kepadanya bahwa dia ketika tahun Fath al-Makkah (penaklukan kota Makkah) mendatangi Rasulullah SAW., sedangkan beliau di bagian dataran teratas dari Makkah, Rasulullah sedang mandi, lalu Fathimah menutupinya, kemudian beliau mengambil bajunya, lalu berselimut dengannya, kemudian shalat 8 rakaat pada pagi dhuha(HR. Bukhari dan Muslim).

Di dalam riwayat lain disebutkan:

دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتِي ، فَصَلَّى الضُّحَى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ رواه ابن حِبَّان قال الشيخ الألباني: صحيح لغيره

Umu Hani’ berkata: Rasulullah SAW. masuk ke dalam rumahku lalu Beliau mengerjakan shalat dhuha 8 raka’at” (HR. Ibn Hibban). Syaikh al-Bani menyebut hadits ini adalah hadits shahih li ghairih.

  • Shalat dhuha dikerjakan dengan jumlah raka’at sesuai yang kita inginkan. Hal ini didasarkan pada hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى أَرْبَعًا وَيَزِيدُ مَا شَاءَ اللَّهُ. – رواه مسلم

Diriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata; Rasulullah SAW. mengerjakan shalat dhuha empat raka’at dan adakalanya menambah sesukanya” (HR. Muslim).

Selain itu, di dalam “Syarah at-Tirmidzi”, al-‘Iraqi mengatakan: “Aku tidak melihat seseorang dari kalangan Sahabat ataupun Tabi’in yang membatasi jumlah shalat dhuha pada duabelas raka’at. Demikian juga pendapat Imam as-Suyuti, dari Ibrahim an-Nakha’i, bahwa seseorang bertanya kepada Aswad bin Yazid, “berapa raka’at aku harus shalat dhuha?” Ia menjawab: “terserah kamu”. (Lihat: Fiqh as-Sunnah, jilid 1, halaman 251, terbitan Dar al-Fath li al-‘Ilam al-Arabi). Menurut as-Sun’ani: “hadits-hadits yang menyatakan jumlah raka’atnya dua belas raka’at tidak ada yang lepas dari cacat” (Lihat: Subul as-Salam, Juz 2, halaman 19, terbitan Dar al-Kutub al-Ilmiah).

 

  1. Pelaksanaan Shalat Dhuha

    Jika shalat dhuha dilakukan lebih dari 2 raka’at, hendaklah dikerjakan dengan diakhiri salam pada setiap 2 raka’at. Hal ini didasarkan pada hadits berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « صَلاَةُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى » سنن أبي داود.قال الشيخ الألباني :صحيح

Dari Ibnu Umar dari Nabi SAW, Beliau bersabda: “shalat di malam dan siang hari adalah dua-dua [raka’at]” (HR. Abu Dawud). Syaikh al-Bani menyebut hadits ini adalah hadits shahih.

  •  Shalat dhuha dapat dikerjakan secara berjama’ah. Hal ini didasarkan pada hadits berikut:
عَنْ عِتْبَانِ بْنِ مَالِكٍ وَهُوَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّنْ شَهَدَ بَدْرًا مِنَ اْلأَنْصَارِ أَنَّهُ أَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّى قَدْ أَنْكَرْتُ بَصَرِي وَأَنَا أُصَلِّى لِقَوْمِي وَإِذَا كَانَتِ اْلأَمْطَارُ سَالَ اْلوَادِى بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ وَلَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ أَتَى مَسْجِدَهُمْ فَأًُصَلِّي لَهُمْ وَوَدِدْتُ أَنَّكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ تَأْتِي فَتُصَلِّي فِي مُصَلَّى فَأَتَّخِذُهُ مُصَلًى قَالَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَأَفْعَلُ إِنْ شَآءَ اللهُ. قَالَ عِتْبَانُ: فَغَدَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيْقُ حِيْنَ ارْتَفَعَ النَّهَارُ فَاسْتَأْذَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَذِنْتُ لَهُ فَلَمْ يَجْلِسْ حَتَّى دَخَلَ الْبِيْتَ ثُمَّ قَالَ: أَيْنَ تُحِبُّ أَنْتُصَلِّي مِنْ بَيْتِكَ. قَالَ: فَأَشَرْتُ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنَ الْبَيْتِ فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَبَّرَ فَقُمْنَا وَرَاءَهُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ. – متفق عليه

Diriwayatkan dari Itban bin Malik [dia adalah salah seorang sahabat Nabi yang ikut perang Badar dari kalangan Ansar] bahwa dia mendatangi Rasulullah s.a.w. lalu berkata: Wahai Rasulullah, sungguh aku sekarang tidak percaya kepada mataku [maksudnya: matanya sudah kabur] dan saya menjadi imam kaumku. Jika musim hujan datang maka mengalirlah air di lembah [yang memisahkan] antara aku dengan mereka, sehingga aku tidak bisa mendatangi masjid untuk mengimami mereka, dan aku suka jika engkau wahai Rasulullah datang ke rumahku lalu shalat di suatu tempat shalat sehingga bisa kujadikannya sebagai tempat shalatku. Ia meneruskan: Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: “Akan kulakukan insya Allah”. Itban berkata lagi: Lalu keesokan harinya Rasulullah s.a.w. dan Abu Bakar ash-Shiddiq datang ketika matahari mulai naik, lalu Beliau meminta izin masuk, maka aku izinkan Beliau. Beliau tidak duduk sehingga masuk rumah, lalu Beliau bersabda: “Mana tempat yang kamu sukai aku shalat dari rumahmu? Ia berkata: Maka aku tunjukkan suatu ruangan rumah”. Kemudian Rasulullah s.a.w. berdiri lalu bertakbir, lalu kami pun berdiri (shalat) di belakang Beliau. Beliau shalat dua rakaat kemudian mengucapkan salam”. (Muttafaq Alaih).

  • Pada dasarnya, pelaksanaan shalat dhuha, (sebagaimana shalat-shalat tathawwu’ yang lain), baik gerakan-gerakan maupun bacaan-bacaannya, tidak berbeda dengan pelaksanaan shalat wajib. Satu hal yang membedakannya hanyalah pada niat seseorang yang harus disesuaikan dengan shalat yang akan dikerjakan.
  • Tidak ditemukan hadits-hadits maqbullah yang menjelaskan bahwa di dalam shalat dhuha dituntunkan adanya bacaan-bacaan khusus mengenai ayat-ayat al-Qur’an atau do’a dan dzikir, baik yang dibaca di dalam shalat maupun sesudahnya. Meskipun demikian, terdapat bacaan shalat dhuha yang dikenal selama ini adalah sebagai berikut:
اَللهُمَّ اِنَّ الضُّحَآءَ ضُحَاءُكَ، وَالْبَهَاءَ بَهَاءُكَ، وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اَللهُمَّ اِنْ كَانَ رِزْقَى فِى السَّمَآءِ فَأَنْزِلْهُ وَاِنْ كَانَ فِى اْلاَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَاِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ وَاِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَاِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَاءِكَ وَبَهَاءِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِىْ مَآاَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ

Wahai Tuhanku, sesungguhnya waktu dhuha adalah waktu dhuha-Mu, keagungan adalah keagunan-Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu, kekuasaan adalah kekuasaan-Mu, penjagaan adalah penjagaan-Mu. Wahai Tuhanku, apabila rizkiku berada di atas langit maka turunkanlah, apabila berada di dalam bumi maka keluarkanlah, apabila sukar mudahkanlah, apabila haram sucikanlah, apabila jauh dekatkanlah dengan hak dhuha-Mu, keagungan-Mu, keindahan-Mu, kekuatan-Mu dan kekuasaan-Mu. (Wahai Tuhanku) datangkanlah padaku apa yang Engkau datangkan kepada hamba-hamba-Mu yang shalih”.

Do’a tersebut di atas disebutkan as-Syarwani dalam kitabnya yang berjudul “Syarah al-Minhaj” dan ad-Dimyati dalam kitabnya yang berjudul “I’anatut-Thalibin”. Kendati demikian, menurut penelitian para ulama, tidak dijumpai satu pun hadits (sekalipun hadits lemah) yang dapat dijadikan sebagai rujukan terhadap do’a tersebut.

Di dalam kitabnya yang berjudul “al-Islam, Su’alun wa Jawabun”, Syaikh Muhammad Shalih al-Munjid mengatakan bahwa mereka (as-Syarwani dan ad-Dimyati) mengkhususkan bacaan-bacaan yang indah di atas pada ibadah tertentu (shalat dhuha) dengan tanpa berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Di dalamnya, mereka menyebut kalimatبِحَقِّ ضُحَاءِكَ  (dengan hak dhuha-Mu). Padahal, tidak diketahui (ajaran yang menjelaskan) bahwa waktu dhuha memiliki hak dan kebesaran yang dapat dijadikan perantara (wasilah) untuk memohon sesuatu kepada Allah.”

Selanjutnya, Beliau mengatakan bahwa adanya anggapan bahwa do’a di atas disunnahkan dibaca untuk shalat dhuha adalah membuka pintu bid’ah di dalam agama. Mereka bukanlah petunjuk para Fuqaha’ terdahulu yang mendalam ilmunya, juga tidak bersumber dari para Shalafus Shalih. Oleh kerena itu, kita semestinya tidak mengamalkannya. Anggapan di atas adalah sebuah kebohongan yang diatasnamakan kepada Nabi Muhammad SAW.” (Lihat: Syaikh Muhammad Shalih al-Munjid, al-Islam, Su’alun wa Jawabun, IV/228).

  • Shalat Dhuha dapat dikerjakan di masjid, namun lebih utama dikerjakan di rumah. Hal ini didasarkan pada hadits berikut:
فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِى بُيُوتِكُمْ ، فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ. رواه البخاري)

Hendaklah kalian manusia melaksanakan shalat (sunnah) di rumah kalian, karena sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib” (HR. Bukhari).

  • Jumhur (mayoritas) ulama, selain dari kalangan Hanafi, berpendapat bahwa shalat dhuha lebih utama dilakukan secara rutin (setiap hari). Hal ini didasarkan pada hadits Nabi yang berisi wasiat Rasulullah SAW. kepada Abu Hurairah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas. Selain itu, pendapat ini juga didasarkan pada hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ يُحَافِظُ عَلَى صَلاَةِ الضُّحَى إِلاَّ أَوَّابٌ . قَالَ : وَهِيَ صَلاَةُ الأَوَّابِينَ. رواه ابن خُزَيمة والحاكم. قال الشيخ الألباني : حسن

Tidak ada yang memelihara shalat dhuha kecuali orang yang kembali kepada Allah. Beliau bersabda: “Dia adalah Shalat Awwabin (shalat orang-orang yang kembali kepada Allah)” (HR. Ibnu Khuzaimah dan al Hakim). Syaikh al-Bani menyebut hadits ini adalah hadits hasan.

Hadits di atas juga diperkuat oleh hadits berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ » رواه مسلم

Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu, walaupun itu sedikit” (HR. Muslim).

Wallahu a’lamu bis-shawab

Narasumber utama artikel ini:

Zaini Munir Fadloli

banner 468x60