Niat Puasa
Kapan seseorang berniat puasa, dan bagaimana caranya?
Niat dalam ibadah adalah perbuatan hati, berupa kehendak yang kuat, untuk mengerjakan sesuatu secara ikhlas, dengan mengharap ridha Allah, untuk memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan Allah.
Perintah niat dalam ibadah dapat dilihat dalam Qs. al-Bayyinah ayat 5:
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ…
Dan tidaklah mereka diperintah kecuali agar supaya beribadah kepada Allah dengan ikhlas menjalankan agama secara lurus… (Qs. al-Bayyinah/98: 5)
Hadis Nabi berikut juga menyebutkan tentang ketentuan niat:
عن أمير المؤمِنين أبي حَفْصٍ عمرَ بنِ الخطابِ بنِ نُفَيْلِ بنِ عبدِ العُزّى بن رياحِ بنِ عبدِ اللهِ بن قُرْطِ بن رَزاحِ بنِ عدِي بنِ كعب بنِ لُؤَيِّ بنِ غالبٍ القُرشِيِّ العَدويِّ رضي الله عنه، قالَ: سَمِعتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، يقُولُ: (( إنّمَا الأَعْمَالُ بالنِّيّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امرِىءٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هجرته إلى الله ورسوله، فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصيبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكَحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلى مَا هَاجَرَ إِلَيْه
Dari Amirul Mu’minin, Abu Hafsh Umar bin Al Khathab Radhiallahu Ta’ala ‘Anhu, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya tidak ada amal perbuatan yang dilakukan tanpa niat. Dan seseorang tidak akan memperoleh sesuatu kecuali dengan niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang hijrah karena (niat) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya (akan memperoleh balasan sebagaimana niatnya yang ditujukan) untuk Allah dan Rasulnya, dan barangsiapa melakukan hijrah karena (niat) untuk (kepentingan) dunia yang ingin diperolehnya atau karena (menginginkan) seseorang yang ingin dikawini, maka (balasan) hijrahnya akan sesuai dengan apa niatnya hijrah tersebut.” (HR Bukhari-Muslim)
Dari Hafshah Ummul Mu’minin r.a. (diriwayatkan bahwa) Nabi SAW. bersabda: Barangsiapa tidak berniat puasa di malam hari sebelum fajar, maka ia (dianggap) tidak berpuasa [Ditakhrijkan oleh al-Khamsah, lihat ash-Shan‘aniy, II, 153].
Berdasarkan hadis tersebut, niat puasa harus dinyatakan pada malam hari sebelum fajar (imsyak) jika besoknya akan melakukan puasa wajib. Mengenai cara melakukan niat, oleh karena niat adalah perbuatan hati, maka niat puasa cukup dinyatakan dalam hati.
Junub Setelah Niat Puasa
Seseorang telah berniat untuk puasa ramadhan pada malam harinya sebelum fajar (imsyak). Setelah itu ia melakukan hubungan suami isteri. Ketika shubuh tiba, ia belum mandi junub, jika demikian, apakah puasanya nanti tetap sah?
Tentang masalah masih junub ketika shubuh sudah tiba, bagi orang yang akan berpuasa ramadhan, dapat dijelaskan berdasarkan hadis dari Aisyah berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
Rasulullah SAW sungguh pernah memasuki waktu fajar pada bulan Ramadhan sementara beliau dalam keadaan junub bukan karena mimpi, maka beliau kemudian mandi dan berpuasa (HR Muslim, dari Aisyah).
Dari Abu Bakr bin Abdurrahman, dia berkata:
كُنْتُ أَنَا وَأَبِي فَذَهَبْتُ مَعَهُ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ أَشْهَدُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ كَانَ لَيُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ ثُمَّ يَصُومُهُ ثُمَّ دَخَلْنَا عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ فَقَالَتْ مِثْلَ ذَلِكَ
Dahulu aku pergi bersama-sama bersama ayahku kepada ‘Aisyah radhiyallahu’anha untuk menanyakan suatu perkara. Beliau menjawab, “Aku bersaksi atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh beliau pernah memasuki waktu pagi dalam keadaan junub karena berhubungan -dengan istri di malamnya- dan bukan karena mimpi, kemudian beliau mandi dan tetap berpuasa.” Kemudian kami juga bertanya kepada Ummu Salamah, dan ternyata beliau juga memberikan jawaban yang serupa (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)
Ciuman Suami-Isteri Saat Berpuasa
Apakah mencium isteri atau sebalik pada saat menjalani puasa dapat membatalkan puasanya?
Seseorang yang mencium isterinya atau suaminya pada saat menjalani puasa tidak membatalkan puasanya. Hal ini berdasarkan hadis berikut:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
“Dahulu Nabi SAW pernah mencium dan mencumbui istrinya, padahal ketika itu beliau sedang berpuasa. Namun beliau adalah lelaki yang paling bisa mengendalikan hawa nafsunya daripada kalian.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,
إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ وَهُوَ صَائِمٌ ثُمَّ ضَحِكَتْ
“Sesungguhnya Rasulullah SAW dulu pernah mencium sebagian istrinya dalam keadaan beliau sedang berpuasa.” Kemudian ‘Aisyah tertawa (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)
Qadha (Membayar) Puasa bagi yang Sakit, Wanita Haid, Hamil dan Menyusui
Bagaimana mengganti Puasa bagi orang yang sakit sehingga tidak bisa berpuasa Ramadhan? Kemudian bagi seseorang wanita yang haid di bulan Ramadhan, wanita yang hamil dan menyusui, bagaimana cara mengganti puasanya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita pelajari kembali surat al-Baqarah (2) ayat 184:
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
“(Yaitu) Dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditingggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [QS. al-Baqarah (2): 184]
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa ada beberapa golongan yang mendapat keringanan untuk tidak melaksanakan puasa Ramadhan, tetapi wajib bagi mereka untuk mengganti puasa yang ditinggalkan, yaitu:
Pertama, orang yang sakit dan orang yang sedang bepergian, boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan tetapi orang tersebut wajib mengganti (qadla) puasanya pada hari lain di luar bulan Ramadhan. Perempuan yang sedang haid bahkan tidak boleh berpuasa Ramadhan, tapi wajib mengganti puasa (qadla) di luar bulan Ramadhan, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Aisyah r.a.:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كاَنَ يُصِيْبَنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَلاَةِ. – رواه مسلم
“Diriwayatkan dari Aisyah r.a., bahwa ia berkata: Kami kadang-kadang mengalami itu (haid), maka kami diperintahkan untuk mengganti puasa dan tidak diperintahkan untuk mengganti shalat.” [HR. Muslim]
Kedua, orang tua yang merasa berat (tidak mampu) untuk berpuasa Ramadhan, ia wajib mengganti dengan membayar fidyah, tidak perlu mengganti dengan puasa (qadla), berdasarkan hadis:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رُخِصَ لِلشَيْخِ الْكَبِيْرِ أَنْ يُفْطِرَ، وَيُطْعِمَ عَلىَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ. – رواه الحاكم، حديث صحيح على شرط البخاري
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata: Telah diringankan bagi orang yang sudah tua untuk berbuka puasa (di bulan Ramadhan) dan memberi makan (fidyah) kepada orang miskin setiap hari (sesuai dengan hari yang ia tidak puasa) dan tidak wajib mengganti dengan puasa (qadla).” [HR. al-Hakim, hadis ini shahih menurut syarat al-Bukhari]
Perempuan yang hamil dan perempuan yang sedang menyusui, boleh tidak berpuasa dan wajib mengganti dengan membayar fidyah, berdasarkan hadis:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ لِلْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ. [رواه النسائي]
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah membebaskan puasa dan separuh shalat bagi orang yang bepergian serta membebaskan puasa dari perempuan yang hamil dan menyusui.” [HR. an-Nasa’i]
أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِيْ لاَ يُطِيْقُ فَعَلَيْكَ اْلفِدَاءَ وَلاَ قَضَاءَ. [رواه البزار وصححه الدارقطني]
“Engkau termasuk orang yang berat berpuasa, maka engkau wajib membayar fidyah dan tidak usah mengganti puasa (qadla).” [HR. al-Bazar dan dishahihkan ad-Daruquthni]
Bagi orang yang batalnya puasa karena sakit, maka wajib baginya menggganti puasa dan tidak perlu membayar fidyah. Caranya adalah mengganti dengan puasa (qadla) di hari lain di luar bulan Ramadhan. Hal ini karena fidyah hanya diperuntukkan bagi orang tertentu yang dalam kategori “yutiqunahu” atau orang yang berat untuk berpuasa. Sedangkan waktu untuk membayar puasa adalah pada hari-hari lain di luar bulan Ramadhan, dan berdasarkan keumuman ayat tersebut tidak ada batas akhir waktu kapan harus mengganti puasa (qadla). Namun demikian, baik sekali jika mengganti puasa dilaksanakan sebelum Ramadhan berikutnya. Supaya hutang puasa segera terlunasi dan tidak menjadi beban. Tetapi, jika tidak bisa melakukannya karena ada hal yang membuat terhalang, maka tetap harus diganti setelah Ramadhan berikutnya.
Cara Melakukan I’tikaf Ramadhan
Bagaimana tuntunan i’tikaf yang benar menurut Nabi?
I’tikaf menurut bahasa artinya berdiam diri dan menetap dalam sesuatu. Secara istilah, pengertian i’tikaf ada perbedaan dikalangan para ulama. Ulama-ulama Hanafi berpendapat i’tikaf adalah berdiam diri di masjid yang biasa dipakai untuk melakukan shalat berjama’ah. Menurut asy-Syafi’iyyah (ulama-ulama Syafi’i), i’tikaf artinya berdiam diri di masjid dengan melaksanakan amalan-amalan tertentu, dengan niat karena Allah. Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid, i’tikaf adalah aktifitas berdiam diri di masjid dalam satu tempo tertentu dengan melakukan amalan-amalan (ibadah-ibadah) tertentu untuk mengharapkan ridha Allah.
I’tikaf disyariatkan berdasarkan dalil-dalil berikut:
… فَاْلآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ.
” …maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hinggga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka jangan kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.”
[QS. al-Baqarah (2):187]
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ اْلعَشَرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ. [رواه مسلم]
“Bahwa Nabi saw melakukan i’tikaf pada hari kesepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, (beliau melakukannya) sejak datang di Madinah sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melakukan i’tikaf setelah beliau wafat.” [HR. Muslim, riwayat Aisyah]
I’tikaf sangat dianjurkan dilaksanakan setiap waktu di bulan Ramadhan. Memang ada perbedaan di kalangan para ulama tentang waktu pelaksanaannya, al-Hanafiyah berpendapat bahwa i’tikaf dapat dilaksanakan pada waktu yang sebentar tapi tidak ditentukan batasan lamanya. Menurut al-Malikiyah, i’tikaf dilaksanakan dalam waktu minimal satu malam satu hari.
Memperhatikan pendapat di atas, maka i’tikaf dapat dilaksanakan dalam beberapa waktu tertentu, misalnya dalam waktu 1 jam, 2 jam, 3 jam dan seterusnya, dan boleh juga dilaksanakan dalam waktu sehari semalam (24 jam).
Tentang tempat untuk melaksanakan i’tikaf, di dalam Qs al-Baqarah ayat 187 dijelaskan bahwa i’tikaf dilaksanakan di masjid. Namun demikian, sebagian ulama (dari kalangan al-Hanafiyah) berpendapat bahwa masjid yang dapat dipakai untuk pelaksanaan i’tikaf adalah masjid yang memiliki imam dan muadzin khusus, baik masjid tersebut digunakan untuk pelaksanaan salat lima waktu atau tidak. Pendapat lain (dari ulama-ulama Hambali) mengatakan bahwa i’tikaf hanya dapat dilaksanakan di masjid yang biasa dipakai untuk melaksanakan salat jama’ah. Maka, dapat disimpulkan bahwa masjid yang dapat dipakai untuk melaksanakan i’tikaf sangat diutamakan masjid jami, yakni masjid yang biasa digunakan untuk salat Jum’at, dan tidak mengapa i’tikaf dilaksanakan di masjid biasa.
Untuk sahnya i’tikaf diperlukan beberapa syarat, yaitu; Orang yang melaksanakan i’tikaf beragama Islam, sudah baligh, baik laki-laki maupun perempuan, berniat melaksanakan i’tikaf, dan orang yang beri’tikaf tidak disyaratkan puasa. Artinya, orang yang tidak berpuasa boleh melakukan i’tikaf.
Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan i’tikaf harus tetap berada di dalam masjid tidak keluar dari masjid. Namun demikian bagi mu’takif (orang yang melaksanakan i’tikaf) boleh keluar dari masjid karena beberapa alasan yang dibenarkan, yaitu; a. Karena alasan syar’i (’udzrin syar’iyyin), seperti melaksanakan salat Jum’at; b. Karena keperluan hajat manusia (hajah thabi’iyyah) seperti buang air besar, kecil, mandi janabah dan lainnya; c. Karena sesuatu yang sangat darurat, seperti ketika bangunan masjid runtuh dan lainnya.
Adapun amalan-amalan yang dapat dilaksanakan selama i’tikaf, antara lain adalah: a. Melaksanakan salat sunat, seperti salat tahiyatul masjid, salat lail dan lain-lain; b. Tadarus, membaca, memahami al-Qur’an; c. Berdzikir dan berdo’a; d. Membaca buku-buku agama.
Wallahu a’lam bish shawab.
Pembagian Zakat Fitrah
Bolehkah zakat fitrah diberika kepada 8 asnaf (yang berhak menerima zakat) lainnya yang tidak termasuk fakir miskin?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, baiklah kita cermati kembali ayat al-Qur’an berikut:
إِنَّمَا ٱلصَّدَقَـٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَـٰكِينِ وَٱلۡعَـٰمِلِينَ عَلَيۡہَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُہُمۡ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَـٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةً۬ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَڪِيمٌ۬ -٦٠
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Qs. At Taubah/9: 60)
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Ibnu Abbas, ia berkata:
فَرَضَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ، طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْل الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
” Rasulullah SAW memfardhukan zakat fitrah sebagai pensuci orang-orang yang berpuasa dari perbuatan-perbuatan tak bermanfaat dan perkataan yang jelek (saat berpuasa), serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang membayarnya sebelum terlaksananya shalat ied maka itu merupakan zakat yang diterima sedangkan barang siapa yang membayarnya setelah terlaksananya shalat ied maka itu merupakan salah satu dari shadaqah sunnah .” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah).
Pengertian ayat dan hadis tersebut memang menyatakan bahwa zakat fitrah itu hanya menjadi hak bagi fakir meiskin sebagai makanan bagi mereka. Mengenai makna kata fakir miskin dalam hadis tersebut, para ulama berbeda pendapat.
Ibnu Qudamah yang menganut madzhab Hambali, dalam kitab AlMughni menyatakan bahwa yang berhak menerima zakat fitrah adalah mereka yang berhak menerima zakat yang diwajibkan. Pendapat ini didasarkan kepada makna zakat fitrah sebagaimana juga zakat pada umumnya. Oleh karena itu, siapa yang berhak menerima zakat fitrah adalah mereka yang termasuk ke dalam asnaf 8 sebagaimana yang berhak menerima zakat.
Annawawi, penganut madzhab Syafi’i dalam kitab al-Majmu’ berpendapat bahwa penerima zakat fitrah adalah mereka yang berhak menerima zakat (asnaf). Sayyid Sabiq dalam Fiqhus-Sunnah juga berpendapat serupa. Namun dekimian, karena ada hadis yang menunjuk secara khusus bahwa penerima zakat fithrah adalah orang miskin, maka mereka menjadi prioritas utama penerima zakat fithrah tersebut.
Dengan demikian, jika masih ada orang yang tergolong miskin, maka asnaf yang lain tidak perlu diberi bagian zakat fitrah tersebut. Wallahu a’lam.
Zakat dan Zakat Fitrah untuk Panti Asuhan
Apakah hukumnya (sah atau tidak) membayarkan zakat harta atau fitrah kepada Panti Asuhan (anak-anak yatim piatu)?
Memperhatikan kembali dasar pemberian zakat kepada 8 asnaf, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat at-Taubah ayat 60 tersebut di atas, dimana ayat tersebut menentukan bahwa diantara yang berhak menerima bagian zakat adalah fakir miskin, sementara anak-anak yatim dan piatu tidak disebutkan di situ. Namun, dalam ayat tersebut tidak terdapat batasan mengenai usia fakir miskin tersebut, apakah harus sudah dewasa ataukah anak-anak. Dengan demikian, semua orang yang dapat dikategorikan sebagai fakir miskin berhak menerima zakat sebagaimana dimaksudkan pada ayat 60 dari surat At-Taubah tersebut. Oleh karena itu, jika anak-anak yatim piatu sebagaimana dimaksud oleh pertanyaan di atas termasuk kategori miskin, maka pembayaran zakat kepada mereka dipandang sah.
Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa yang berhak menerima zakat tidak hanya Panti Asuhan Yatim Piatu saja. Masih terdapat golongan lain yang berhak menerima zakat dan masih terdapat orang lain yang tergolong fakir miskin. Dengan demikian sedapat mungkin golongan itu hendaknya juga mendapatkan haknya.
Nisab dan Cara Pembayaran Zakat
Berapa nisab zakat hasil tanaman dan hewan ternak?
Sebelum menjawab pertanyaan, ada baiknya dijelaskan tentang kewajiban membayar zakat. Al-Qur’an memberikan petunjuk mengenai kewajiban zakat atas beberapa jenis harta milik yang wajib dizakati.
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٲلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ -٥
Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan condong menjalankan agama karena-Nya, (supaya) mereka menegakkan shalat dan membayarkan zakat; dan itulah agama yang benar. (Qs. al-Bayyinah/98: 5)
قَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ -١- ٱلَّذِينَ هُمۡ فِى صَلَاتِہِمۡ خَـٰشِعُونَ -٢- وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَنِ ٱللَّغۡوِ مُعۡرِضُونَ -٣- وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِلزَّكَوٰةِ فَـٰعِلُونَ -٤
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, Dan orang-orang yang menunaikan zakat, (Qs. al-Mu’minuun/23: 1-4)
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَـٰتِ مَا ڪَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِۖ وَلَا تَيَمَّمُواْ ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ تُنفِقُونَ وَلَسۡتُم بِـَٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغۡمِضُواْ فِيهِۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ حَمِيدٌ -٢٦٧
Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah daripada barang-barang yang baik yang aku tumbuhkan, dan janganlah kamu sengaja memberikan barang yang jelek, padahal kamu sendiri tidak suka menerimanya kecuali dengan menutup mata. Dan ketahuilah bahwa Allah itu Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Qs. al-Baqarah: 267)
Dari surat al-Baqarah ayat 267 ini dapat dipahami tentang kewajiban zakat atas hasil tanaman dan kualitas hasil tanaman yang akan digunakan untuk membakar zakatnya.
Adapun mengenai nisab harta yang wajib dizakati, dijelaskan melalui ayat dan hadis berikut:
وَهُوَ ٱلَّذِىٓ أَنشَأَ جَنَّـٰتٍ۬ مَّعۡرُوشَـٰتٍ۬ وَغَيۡرَ مَعۡرُوشَـٰتٍ۬ وَٱلنَّخۡلَ وَٱلزَّرۡعَ مُخۡتَلِفًا أُڪُلُهُ ۥ وَٱلزَّيۡتُونَ وَٱلرُّمَّانَ مُتَشَـٰبِہً۬ا وَغَيۡرَ مُتَشَـٰبِهٍ۬ۚ ڪُلُواْ مِن ثَمَرِهِۦۤ إِذَآ أَثۡمَرَ وَءَاتُواْ حَقَّهُ ۥ يَوۡمَ حَصَادِهِۦۖ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُ ۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ -١٤١
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) jika berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (Qs. al-An’am/6: 141)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ فِي حَبٍّ وَلَا تَمْرٍ صَدَقَةٌ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ
Dari Abu Sa’id al-Khudriy, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah dikenakan zakat atas biji-bijian dan kurma, sehingga sampai 5 wasaq….”. (HR Muslim, kualitas shahih)
عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِيمَا سَقَتْ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشْرُ وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ
Dari Abdullah Ibn Umar bahwa Rasulullah saw bersabda, “Pada tanaman yang tersiram hujan dari langit dan dari mata air atau yang digenangi air selokan, dikenakan zakatnya spersepuluhnya, sedang bagi tanaman yang disiram dengan sarana pengairan seperduapuluhnya”.(HR Bukhari, kualitas shahih)
Memperhatikan dalil-dalil di atas, maka zakat hasil tanaman wajib dibayarkan apabila telah sampai nisab, yaitu 5 wasaq (setara 7,5 kwintal). Adapun zakatnya adalah sebesar sepersepuluhnya (10%), kecuali tanaman yang diairi dengan sarana pengairan, maka zakatnya dikenakan seperduapuluhnya (5%).
Adapun zakat atas hewan ternak, yakni unta, kambing, atau sapi, jumlahnya sampai pada nisabnya, yaitu 5 ekor unta, 40 ekor kambing, atau 30 ekor sapi, dan telah telah menjadi hak milik selama setahun. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثٌ مَنْ فَعَلَهُنَّ فَقَدْ طَعِمَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ عَبَدَ اللَّهَ وَحْدَهُ وَأَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَعْطَى زَكَاةَ مَالِهِ طَيِّبَةً بِهَا نَفْسُهُ رَافِدَةً عَلَيْهِ كُلَّ عَامٍ وَلَا يُعْطِي الْهَرِمَةَ وَلَا الدَّرِنَةَ وَلَا الْمَرِيضَةَ وَلَا الشَّرَطَ اللَّئِيمَةَ وَلَكِنْ مِنْ وَسَطِ أَمْوَالِكُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَسْأَلْكُمْ خَيْرَهُ وَلَمْ يَأْمُرْكُمْ بِشَرِّهِ
Rasulullah saw bersabda, “Ada tiga perkara, siapa yang melakukannya tentulah mengenyam rasa iman, yaitu: 1. Orang yang hanya beribadah kepada Allah yang memang tiada Tuhan melainkan Allah, 2. memberikan zakat harta bendanya dengan ikhlas serta berusaha memberikannya pada tiap tahum, dan 3. tidak memberikan hewan yang sngat tua, korengan, berpenyakit atau tidak mengeluarkan susu, akan tetapi dalam mengeluarkan zakatnya itu memberikan yang cukupan dari kekayaanmu; karena sesungguhnya Allah tidaklah meminta yang terbaik daripadanya dan tidak menyuruh yang terburuk”. (HR Abu Dawud, menurut al-Syaukaniy, hadis ini memiliki sanad yang baik sehingga bisa dipakai untuk hujjah).
Mengenai ketentuan zakat hewan tersebut adalah sebagai berikut.
- Zakat Unta, apabila memiliki unta sebanyak:
- 5 – 24 ekor: tiap 5 ekor zakatnya seekor kambing
- 25-35 ekor: zakatnya seekor unta betina umur 2 tahun
- 36-45 ekor: zakatnya seekor unta betina umur 3 tahun
- 46-60 ekor: zakatnya seekor unta betina umur 4 tahun
- 61-75 ekor: zakatnya seekor unta betina umur 5 tahun
- 76-90 ekor: zakatnya 2 ekor unta betina umur 3 tahun
- 90-120 ekor: zakatnya 2 ekor unta betina umur 4 tahun
- lebih 120 ekor: tiap 40 ekor zakatnya seekor unta betina umur 3 tahun, dan tiap 50 ekor zakanya seekor unta betina umur 4 tahun
- Kambing, apabila memiliki kambing sebanyak:
- 40-120 ekor: zakatnya seekor kambing
- 121-200 ekor: zakatnya 2 ekor kambing
- 201-300 ekor: zakatnya 3 ekor kambing
- Lebih 300 ekor: tiap 100 ekor zakatnya seekor kambing
- Sapi, apabila memiliki sapi sebanyak:
- Tiap 30 ekor: zakatnya seekor sapi (jantan atau betina) umur 1 tahun.
- Tiap 40 ekor: zakatnya seekor anak sapi umur 2 tahun
Ketentuan zakat hewan ternak ini berdasar pada hadis dari Anas, berikut ini:
قَالَ حَدَّثَنِي ثُمَامَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ أَنَّ أَنَسًا حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ هَذَا الْكِتَابَ لَمَّا وَجَّهَهُ إِلَى الْبَحْرَيْنِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ هَذِهِ فَرِيضَةُ الصَّدَقَةِ الَّتِي فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَالَّتِي أَمَرَ اللَّهُ بِهَا رَسُولَهُ فَمَنْ سُئِلَهَا مِنْ الْمُسْلِمِينَ عَلَى وَجْهِهَا فَلْيُعْطِهَا وَمَنْ سُئِلَ فَوْقَهَا فَلَا يُعْطِ فِي أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ مِنْ الْإِبِلِ فَمَا دُونَهَا مِنْ الْغَنَمِ مِنْ كُلِّ خَمْسٍ شَاةٌ إِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا وَعِشْرِينَ إِلَى خَمْسٍ وَثَلَاثِينَ فَفِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ أُنْثَى فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَثَلَاثِينَ إِلَى خَمْسٍ وَأَرْبَعِينَ فَفِيهَا بِنْتُ لَبُونٍ أُنْثَى فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَأَرْبَعِينَ إِلَى سِتِّينَ فَفِيهَا حِقَّةٌ طَرُوقَةُ الْجَمَلِ فَإِذَا بَلَغَتْ وَاحِدَةً وَسِتِّينَ إِلَى خَمْسٍ وَسَبْعِينَ فَفِيهَا جَذَعَةٌ فَإِذَا بَلَغَتْ يَعْنِي سِتًّا وَسَبْعِينَ إِلَى تِسْعِينَ فَفِيهَا بِنْتَا لَبُونٍ فَإِذَا بَلَغَتْ إِحْدَى وَتِسْعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَفِيهَا حِقَّتَانِ طَرُوقَتَا الْجَمَلِ فَإِذَا زَادَتْ عَلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ وَفِي كُلِّ خَمْسِينَ حِقَّةٌ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ إِلَّا أَرْبَعٌ مِنْ الْإِبِلِ فَلَيْسَ فِيهَا صَدَقَةٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا فَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا مِنْ الْإِبِلِ فَفِيهَا شَاةٌ وَفِي صَدَقَةِ الْغَنَمِ فِي سَائِمَتِهَا إِذَا كَانَتْ أَرْبَعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ شَاةٌ فَإِذَا زَادَتْ عَلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ إِلَى مِائَتَيْنِ شَاتَانِ فَإِذَا زَادَتْ عَلَى مِائَتَيْنِ إِلَى ثَلَاثِ مِائَةٍ فَفِيهَا ثَلَاثُ شِيَاهٍ فَإِذَا زَادَتْ عَلَى ثَلَاثِ مِائَةٍ فَفِي كُلِّ مِائَةٍ شَاةٌ فَإِذَا كَانَتْ سَائِمَةُ الرَّجُلِ نَاقِصَةً مِنْ أَرْبَعِينَ شَاةً وَاحِدَةً فَلَيْسَ فِيهَا صَدَقَةٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا
Samamah ibn Abdullah ibn Anas meriwayatkan bahwa Anas bercerita kepadanya tentang Abu Bakar pernah mengirim surat kepadanya ketika ia diutus ke negeri Bahrain, seperti berikut: “Bismilla-hirrahma-nirrahi-m. Inilah kewajiban sedekah (zakat) yang telah diwajibkan oleh Rasulullah saw kepada semua orang Islam dan yang telah diperintahkan oleh Allah kepada Utusan-Nya. Barang siapa diantara orang Islam yang diminta sebagaimana mestinya, wajiblah ia memberikannya dan siapa yang diminta lebih dari itu, janganlah ia memberikannya.
Pada 24 ekor unta atau kurang dari itu, dikenakan zakat seekor kambing. Jika unta itu genap 25 sampai 35 ekor, maka dikenakan zakat seekor anak unta betina umur 2 tahun. Jika jumlahnya 36 sampai 45 ekor, maka dikenakan zakat seekor anak unta betina umur 3 tahun. Jika jumlahnya mencapai 46 sampai 60 ekor unta, dikenakan zakat seekor anak unta betina umur 4 tahun yang telah sampai masanya dikawinkan. Jika jumlahnya mencapai 61 sampai 75 ekor, dikenakan zakat seekor anak unta betina umur 5 tahun. Jika jumlahnya mencapai 76 sampai 90 ekor, maka dikenakan zakat 2 ekor anak unta betina umur 2 tahun. Jika 91 sampai 120 ekor, dikenakan zakat 2 ekor anak unta betina umur 4 tahun yang telah sampai masanya dikawinkan. Dan jika lebih dari 120 ekor, maka pada tiap 40 ekor, dikenakan zakat seekor anak unta betina umur 4 tahun. Dan siapa yang tidak mempunyai unta melainkan 4 ekor maka tidaklah dikenakan zakat, kecuali atas kerelaan yang punya sendiri. Dan jika ia mempunyai 5 ekor, maka dikenakan zakat seekor kambing.
Tentang kambing gembala, jika ada 40 sampai 120 ekor, dikenakan zakat seekor kambing. Jika kambing itu lebih dari 120 sampai 200, dikenakan zakat 2 ekor kambing. Jika lebih 200 sampai 300, dikenakan zakat 3 ekor kambing. Jika lebih dari 300, maka tiap-tiap 100 dikenakan zakat seekor kambing. Kalau kambing gembala itu kurang dari 40 meskipun seekor, tidaklah dikenakan zakat, kecuali dari kehendak yang punya sendiri”. (HR Bukhari, shahih)
Selain hadis panjang di atas, hadis dari Muadz bin Jabal juga menjadi dasar bagi zakat atas hewan.
عَنْ مُعَاذٍ قَالَ لَمَّا بَعَثَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْيَمَنِ أَمَرَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ كُلِّ ثَلَاثِينَ مِنْ الْبَقَرِ تَبِيعًا أَوْ تَبِيعَةً وَمِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ مُسِنَّةً
Muadz bin Jabal ketika ia diutus oleh Nabi SAW ke negeri Yaman, ia disuruh memungut dari tiap-tiap 30 ekor sapi, seekor anak sapi yang berumur 1 tahun (jantan atau betina), dan tiap-tiap 40 ekor, seekor anak sapi yang berumur 2 tahun. (HR Turmudzi)
Pembayaran Zakat Emas Setiap Tahun
Bagaimana cara mengeluarkan zakat harta emas, berapa nishab atau batas minimum wajib zakat? Jika tahun sebelumnya sudah pernah dikeluarkan zakatnya, apakah tahun berikutnya tetap wajib dikeluarkan zakatnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perhatikan sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ali r.a.
Dari Ali r.a. bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada kewajiban bagimu, sehingga mencapai (harta itu) 20 dinar dan mencapai waktu satu tahun, maka zakatnya setengah dinar. Adapun selebihnya sesuai dengan perhitungan itu (dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 persen)”. Dan suatu harta tidak wajib dizakati, kecuali telah mencapai satu tahun. (HR. Abu Dawud).
Kewajiban zakat atas emas adalah kewajiban atas harta milik yang telah mencapai nisab selama satu tahun. Dengan demikian maka jika pada setiap akhir tahun harta emas yang dimiliki seseorang mencapai batas minimum zakat (nishab) maka emas tersebut wajib dizakati, tanpa memperhitungkan apakah tahun yang lalu emas tersebut telah dizakati.
Maksud ketentuan ini sejalan dengan hadis Nabi SAW riwayat Turmudzi yang menyatakan bahwa Nabi berpesan kepada para wali anak yatim, agar mereka mengembangkan harta warisan anak tersebut dengan maksud agar tidak habis diambil zakatnya setiap tahun.
Keterangan: 1 dinar = 4,25 gram emas murni, jadi 20 dinar sama dengan 85 gram emas murni.
Zakat Uang dan Gaji Pegawai
Bagi seorang pegawai, baik negeri atau swasta, yang memperoleh gaji setiap bulan, atau batas waktu tertentu, apakah gaji tersebut wajib dikeluarkan zakatnya?
Untuk menetapkan nisab zakat uang atau gaji dapat dilakukan dengan memahami makna hadis mengenai zakat emas. Harta berupa uang atau gaji adalah merupakan kekayaan yang dapat disetarakan dengan emas. Dengan demikian maka zakat uang dan gaji, nisabnya dihitung setara dengan emas yaitu 85 gram emas murni dibayarkan setiap tahun. Jika pada akhir tahun gaji tersebut setelah dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya ternyata mempunyai sisa lebih yang mencapai batas minimum (nisab) setara dengan harga 85 gram emas, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 persen. Dengan demikian maka nisab gaji setara dengan emas murni 85 gram dan diperhitungkan pada akhir tahun, bukan setiap menerima gaji tersebut pada setiap bulan atau mingguan.
Zakat Hasil Usaha Perdagangan
Bagaimana cara menghitung zakat harta dari hasil perdagangan? Apakah diperhitungkan dari modal usaha atau dari keuntungan yang diperoleh?
Sebagaimana zakat emas dan gaji, zakat perdagangan identik dengan ketentuan mengenai zakat harta kekayaan yaitu emas. Adapun cara menghitung nisab dan saat pembayaran harta perdagangan dengan jalan menghitungnya setiap akhir tahun pembukuan. Besarnya zakat yang harus dikeluarkan diperhitungkan dari jumlah akumulasi antara modal dalam bentuk uang, keuntungan dan simpanan dan piutang yang mungkin terbayar pada akhir tutup buku di atas, diluar nilai alat-alat yang dipergunakan untuk usaha perdagangan yang memang tidak dikenai ketentuan wajib zakat. Selanjutnya, mengenai kemungkinan rugi dalam usaha perdagangan, jika jumlah akumulasi berbagai hal di atas masih berada dalam batas minimum atau nisab wajib zakat, maka tetap harus dikeluarkan zakatnya.
Mengenai alat-alat produksi seperti took, rumah sewaan, mobil-mobil niaga, pabrik dan alat produksi lainnya, beberapa pendapat mutakhir menyatakan wajib dikeluarkan zakatnya. Adapun cara menghitung batas minimal nisab zakatnya, ada dua cara:
Pertama, dengan memperhitungkan kesetaraannya dengan emas. Jika nilai jual alat produksi tersebut pada akhir tahun ditambah dengan hasil produksi pada akhir tahun setara dengan nilai 85 gram emas murni, maka harus dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 persen.
Kedua, dengan menyamakannya dengan harta tanaman yang menghasilkan. Oleh karena itu, setiap kali menghasilkan atau berproduksi, dikeluarkan zakatnya sebesar 10 persen jika tanpa biaya pemeliharaan, atau sebesar 5 persen jika memerlukan biaya pemeliharaan pada saat berproduksi atau menerima hasilnya, sebagaimana zakat hasil pertanian.
Pemanfaatan Hasil Zakat
Sesuai perkembangan lehidupan masyarakat, sekarang sudah ada berbagai badan amil zakat. Dengan demikian, memungkinkan hasil pengumpulan zakat tersebut berhenti beberapa saat dalam kekuasaan amil sebelum dibagikan kepada yang berhak. Apakah dibenarkan jika hasil pengumpulan zakat tersebut dibudidayakan sehingga memperoleh keuntungan atau dipinjamkan kepada orang lain yang sesungguhnya tidak berhak menerima zakat?
Wahyu Allah dalam Al-Qur’an telah memberikan penjelasan mengenai siapa yang berhak menerima zakat, sebagaimana tercantum dalam surat at-Taubah ayat 60.
إِنَّمَا ٱلصَّدَقَـٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَـٰكِينِ وَٱلۡعَـٰمِلِينَ عَلَيۡہَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُہُمۡ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَـٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةً۬ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَڪِيمٌ۬ -٦٠
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Qs. At Taubah/9: 60)
Dari makna ayat tersebut, jelas bahwa orang-orang yang meminjam uang sebagaimana biasa terjadi dalam kehidupan masyarakat kita (dari hasil zakat) tidaklah termasuk salah satu jenis orang atau sesuatu yang berhak menerima zakat. Karena itu, sebaiknya jika ada orang atau lembaga masyarakat yang memerlukan pinjaman uang dicarikan dari sumber lain selain harta hasil pengumpulan zakat tersebut.
Berbeda halnya jika harta hasil zakat tersebut dibudidayakan sehingga jasanya dimaksudkan untuk memperbaiki nasib fakir miskin seperti pembelian alat-alat produksi (mesin jahit, alat-alat pertanian, dan sebagainya) yang dapat memberikan peluang kerja bagi mereka sehingga fakir miskin tersebut dapat meningkatkan pendapatan mereka. Cara pembudidayaan demikian kiranya dapat dibenarkan bahkan dalam jangka panjang justru lebih bermanfaat bagi fakir miskin tersebut.
Sudah barang tentu karena harta zakat pada dasarnya adalah hak orang-orang yang tergolong berhak menerima maka perlu terlebih dahulu dimintakan kesepakatan mereka jika harta tersebut akan dibudidayakan (dikembangkan seperti untuk modal dan sebagainya). Berbeda hanlnya dengan usaha meminjamkan kepada orang atau lembaga sosial, tidak terdapat ketentuan yang membenarkan tindakan tersebut. Wallahu a’lam bish-shawab.
Tim Redaksi
sumber: Islam yang Menggembirakan
Jawaban Pak A.R. dan Problem Keseharian
Artikel terkait: