banner 728x90

Mukhlis Pribadi Ikhlas

Keikhlasan seseorang tidak dapat diketahui orang lain, sekalipun ada di antara mereka yang telah banyak beramal dan mengatakan melalui lisannya bahwa dirinya betul-betul ikhlas. Sebab, ikhlas merupakan perbuatan hati, sedangkan hati yang paling tahu adalah Allah SWT. Dengan demikian, seseorang yang ingin menjadi mukhlis harus mengawali niatnya untuk mendapatkan ridha dari Allah SWT.

 

Kata mukhlis merupakan bentuk isim fail yang terambil dari kata akhlasha– yukhlishu–ikhlaashan–mukhlishun, yang berarti orang yang ikhlas. Kata mukhlis terambil dari kata khalasha yang berarti bersih, jernih, atau murni. Dengan demikian, kata mukhlis dapat kita pahami sebagai orang yang berhati bersih, jernih atau murni (hanya mengharap ridha Allah SWT) dalam melakukan seluruh amalnya.

Orang yang mukhlis selalu menjaga setiap amal perbuatan yang dilakukannya murni untuk mendapatkan ridha-Nya semata, dan tidak tercampur sedikitpun dengan harapan untuk mendapatkan pujian atau balasan dari selain Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:

قُلۡ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحۡيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِينَ

Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” [QS. al-An’aam: 162].

Setiap mukmin yang ingin menjadi mukhlis harus memiliki modal dasar yang berupa tauhid uluhiyyah yang benar. Modal ini merupakan suatu prioritas, mengingat sendi utama sikap ikhlas adalah bertauhid kepada Allah dengan bersih dan murni. Oleh karena itu, seseorang akan sulit menjadi mukhlis apabila belum memiliki dasar-dasar bertauhid yang benar.

Uraian di atas tidak hanya menggambarkan bahwa mukhlis harus dijadikan sebagai bagian dari kepribadian seorang mukmin. Tetapi lebih dari itu, mukhlis juga merupakan indikator kekuatan iman seorang mukmin kepada Allah SWT. Lantas, apakah kita sudah menjadi seorang yang mukhlis? Untuk menjawab pertanyaan ini, terdapat beberapa hal yang bisa digunakan sebagai indikator bahwa seseorang telah mukhlis, yaitu:

  1. Tatkala ada orang lain yang memuji atau merendahkan amal perbuatan yang telah atau sedang dilakukan, maka hati kita tidak sedikitpun merasa terganggu. Hal ini disebabkan karena adanya kemantapan hati, bahwa apa yang telah atau sedang kita lakukan sudah sesuai dengan syariat Islam, dan cukup Allah SWT sajalah yang membalas amal perbuatan tersebut;
  2. Kita selalu termotivasi untuk berbuat yang terbaik dan optimal. Motivasi ini didasarkan oleh keinginan untuk meningkatkan kualitas diri, di mana semakin baik prestasi amal yang dilakukan, maka Allah SWT akan membalasnya lebih baik lagi;
  3. Jika amal perbuatan yang kita lakukan terasa berat dan banyak hambatan, maka hanya kepada Allah-lah kita memohon bantuan dan mendekatkan diri. Dengan demikian, kita tidak selalu berkeluh-kesah, apalagi sampai berputus-asa;
  4. Kita selalu terdorong untuk berbuat banyak amal kebajikan. Dorongan ini didasari oleh keyakinan bahwa setiap amal kebaikan yang dilakukan akan dapat melahirkan amal kebaikan yang lainnya. Dengan demikian, indikator pribadi yang mukhlis dalam hal ini adalah tumbuhnya sikap kecanduan untuk selalu beramal kebaikan.

Beberapa indikator tersebut di atas sejatinya dapat diringkas bahwa pribadi yang mukhlis akan senantiasa teguh pendirian dan kuat hatinya karena Allah SWT, selalu memberikan yang terbaik, tidak pernah berkeluh-kesah, dan terdorong untuk banyak berbuat amal kebajikan. Dalam kehidupan sehari-hari, pribadi demikian itu jelas akan membawa dampak yang baik terhadap diri dan lingkungan. Di dalam buku “Kuliah Akhlaq”, Profesor Yunahar Ilyas menguraikan dampak dari pribadi yang mukhlis:

  1. Seseorang tidak akan pernah merasa sombong ketika berhasil. Seorang hamba yang mukhlis sadar betul bahwa keberhasilan yang diperolehnya hanyalah pemberian dari Allah SWT;
  2. Seseorang yang gagal dalam usahanya tidak akan pernah berputus- Hamba yang mukhlis menyadari bahwa kegagalan itu adalah kehendak Allah SWT, yang memiliki hikmah kebaikan bagi dirinya yang belum bisa ia pahami pada saat kegagalan itu terjadi. Selain itu, kegagalan tersebut juga disadari sebagai sebuah ujian bagi dirinya;
  3. Seseorang tidak lupa diri di saat menerima pujian, dan tidak mundur karena Seorang hamba yang mukhlis merasa bahwa pujian yang diharapkan hanyalah dari Allah SWT, dan yang paling ditakutkan adalah mendapatkan kemurkaan dari-Nya;
  4. Seorang hamba yang mukhlis selalu bersemangat dalam beramal.

Begitu besar dampak yang akan diperoleh dan diberikan oleh seorang hamba yang mukhlis. Untuk itu, menjadi penting bagi kita agar selalu dan terus-menerus mengupayakan diri menjadi seorang yang mukhlis. Lantas, apa yang bisa dilakukan agar kita menjadi seorang hamba yang mukhlis? Di bawah ini terdapat dua upaya yang bisa dilakukan untuk mendidik diri kita menjadi seorang hamba yang mukhlis.

  1. Kunci untuk menjadi seorang hamba yang mukhlis terletak pada kata ikhlas. Mengingat, ikhlas adalah penentu di dalam kita berislam. Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Untuk menjadi mukhlis, maka hal mendasar yang perlu diperbaiki adalah keimanan kita kepada Allah SWT.

Seseorang yang lemah imannya kepada Allah bisa dipastikan amat sulit untuk beramal dengan ikhlas. Walaupun melalui lisannya ia berkata ikhlas dalam melakukan amal perbuatan, namun selalu saja muncul rasa keragu-raguan, dan ketidak-tulusan. Bahkan ia sering merasa kecewa terhadap setiap amal perbuatan yang telah dilakukan, tetapi tidak mendapatkan respons yang sesuai harapan.

Keikhlasan seseorang tidak dapat diketahui orang lain, sekalipun ada di antara mereka yang telah banyak beramal dan mengatakan melalui lisannya bahwa dirinya betul-betul ikhlas. Sebab, ikhlas merupakan perbuatan hati, sedangkan hati yang paling tahu adalah Allah SWT. Dengan demikian, seseorang yang ingin menjadi mukhlis harus mengawali niatnya untuk mendapatkan ridha dari Allah SWT.

Jangan sekali-kali mengeluarkan kata-kata agar didengar orang lain bahwa apa yang kita lakukan adalah ikhlas. Jika masih perlu meyakinkan orang lain bahwa perbuatan tersebut didasarkan keihklasan, maka sebenarnya kita tidak meyakini bahwa cukuplah Allah SWT yang tahu tentang apa maksud dari perbuatan itu. Artinya, kita masih minta perhatian kepada selain Allah. Situasi ini akan lebih menciptakan ketidak-ikhlasan kita dalam beramal.

  1. Mengenal Allah SWT melalui al-asma was-shifat. Hal ini dapat lebih mendorong kita menjadi seorang yang mukhlis. Allah SWT memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang menunjukkan ke-Mahasempurnaan-Nya. Mengenal Allah SWT melalui al-asma was-shifat dengan mengkajinya dari al-Qur’an dan as-Sunnah akan memunculkan rasa takut, kagum, cinta serta memenuhi panggilan-Nya.

Orang yang mengenal Allah SWT dengan baik dapat dipastikan bahwa amal perbuatannya adalah yang terbaik. Ia sadar betul bahwa setiap amal perbuatan yang dilakukannya akan mendapatkan balasan yang tiada bandingannya. Hal inilah yang membedakan harapan seseorang jika amal perbuatannya ditujukan kepada selain Allah. Jika amal tersebut ditujukan untuk mengharap balasan dari manusia, maka hal itu belum tentu dibalas. Bahkan, balasan yang akan diberikan orang lain belum tentu sesuai dengan harapan, dan mungkin juga dapat menyakitkan perasaan.

Oleh sebab itu, marilah kita coba merenung dengan mengingat kembali setiap amal yang telah dilakukan. Bandingkan jika amal tersebut ditujukan untuk mengharap pujian dan balasan manusia dengan mengharap balasan dan ridha Allah SWT. Adakah rasa kecewa yang muncul pada hati kita ketika berharap balasan amal dari manusia? Pernahkah kita kecewa setelah beramal dengan mengharap ridha Allah? Kalau yang berkembang dalam hati adalah rasa puas bila berbuat amal dengan mengharap ridha Allah SWT, dan betapa seringnya kita kecewa terhadap respon orang-orang sekitar terhadap amal perbuatan kita, maka doronglah semangat diri kita, bahwa berbuat amal dengan mengharap ridha Allah SWT adalah yang terbaik bagi kita [ ]

 

narasumber artikel ini:

Syahrir

banner 468x60