banner 728x90

Kompetisi menuju al-Khairat

Bercermin pada diri Nabi Muhammad saw, adalah seorang yang mampu mensyukuri nikmat Allah. Beliau adalah seorang berjiwa besar, termasuk dalam upayanya untuk meraih kesuksesan. Dengan seluruh potensi dan kesempatan yang dimiliki, beliau selalu bisa berjuang untuk menjadi yang terbaik, tanpa mengusik kehadiran orang lain.

 

Muhammad Husain Haikal menyebut Nabi Muhammad saw. sebagai seorang inspirator bagi kesuksesan orang lain. Muhammad berhasil menjadi Insân Kâmil (manusia paripurna). Manusia “multi-dimensi”, yang berhasil mencapai puncak prestasi tertinggi tanpa harus mezalimi orang lain. Beliau bisa bermitra dengan siapa pun, dan memandang para kompetitornya sebagai mitra untuk meraih prestasi.

Perhatikan firman Allah berikut:

وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Qs. al-Baqarah/2: 148).

Kata orang bijak, hidup ini adalah sebuah proses untuk memahami dan memanfaatkan fungsi dari waktu. Ia terus saja berjalan, tidak ada delay (penundaan). Oleh karenanya “tataplah arloji” yang melekat di pergelangan tangan anda, adakah ia mau menunggu diri anda? Inilah ungkapan orang-orang bijak yang bisa kita jadikan sebagai alas belajar. “Belajar untuk menghargai waktu”.

Di sebuah buku tarikh, terdapat sebuah kisah tentang seorang “lelaki surgawi” yang tak mau menjalani hidup untuk sekadar menunggu. Ia ingin menjadi yang terdepan dalam kebaikan. Dalam suatu kesempatan, Rasulullah saw. memaparkan profilnya, dengan menyatakannya: “Ialah penghuni surga tanpa azab dan hisab mulai dari para nabi hingga Nabi Muhammad saw. Mendengar pernyataan Rasulullah saw. itu, para sahabat pun ‘mulai kasak-kusuk’, menduga-duga, gusar, seperti apakah dan siapakah gerangan manusia istimewa tersebut?

Ketika itu Rasulullah saw. bertanya kepada para sahabatnya, “Apa yang kalian bicarakan?”, maka setelah mereka memberitahukan, Rasulullah saw. pun bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang tidak mendemonstrasikan “ruqyah” (mengisi seluruh aktivitasnya hanya dengan berdoa), tidak pesimistik dan kepada Rabbnya mereka bertawakkal.”

Tiba-tiba saja, di tengah kerumunan orang di sekitar Rasulullah saw. — ada seorang lelaki bangkit dan berkata, “Berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikan aku termasuk golongan mereka”. Setelah itu, ada lagi seorang lelaki yang bangkit, untuk kedua kalinya dengan permintaan yang sama, “Berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikan aku termasuk golongan mereka”. Mencermati kata-kata lelaki yang bangkit pada kesempatan yang kedua itu, Rasulullah saw. pun berkomentar, “Engkau sudah didahului ‘Ukasyah” (seorang lelaki yang bangkit pertama kali).

Memang, pemuda yang pertama kali bangkit itu bernama ‘Ukasyah bin Mihsan. ‘Ukasyah tidak perlu menunggu untuk menjadi yang kedua. Karena keberaniannya pada kesempatan yang pertama, permohonannya di“amini oleh Rasulullah saw. Dia memiliki semangat “seperti api yang menyala-nyala”. Seperti itulah semangat ‘Ukasyah yang hadir di awal waktu, bukan di akhir kesempatan. Inilah satu di antara sahabat Rasulullah saw., mereka – para sahabat Rasulullah saw. pada umumnya — memiliki satu ruh (spirit) yang sudah lama kita tinggalkan. Ruh (spirit) Budaya Fastabiqû al-Khairât, “kesediaan untuk berlomba-lomba dalam menuju dan meraih kebaikan”.

أُوْلَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ

“Mereka itulah (sekelompok orang) yang selalu bergegas (segera) dalam meraih kebaikan, dan merekalah orang-orang yang (ingin selalu) terdahulu memerolehnya,” (Qs. al-Mu’minûn/23 : 61).

Ada sebuah kisah dalam hadits Nabi saw. yang mengiringi kisah tentang asbâbun nuzûl. Diceriterakan, bahwa ketika turun ayat tentang hijâb; tanpa membuang waktu, para shahabiyah (para sahabat perempuan Nabi saw.) langsung mengambil kain-kain mereka dan melilitkan ke seluruh tubuhnya. Para shahabiyah (para sahabat perempuan Nabi saw.) yang berada di pasar-pasar lantas tidak langsung pulang ke rumah. Mereka memilih untuk bersembunyi di balik batu-batu besar, menunggu malam yang sepi. Setelah benar-benar situasinya ‘aman’ dari pandangan orang, barulah mereka pulang ke rumah. Ini merupakan salah satu bukti, bahwa para sahabat Rasulullah saw. adalah orang-orang yang memiliki ruh (spirit) budaya Fastabiqû al-Khairât, budaya tak mau menunggu dan selalu ingin berkompetisi dalam kebaikan dan ketaatan. Ingin menjadi yang utama dan pertama.

Sementara itu, ketika kita amati kondisi kekinian dalam masyarakat kita, ternyata situasi dan kondisinya telah jauh berbeda. Budaya kompetisi ini lebih digandrungi dalam “ranah keduniaan”. Mereka – pada umumnya – lebih berkeinginan untuk berlomba-lomba dalam memperkaya diri, mempercantik (tampilan) fisik, menggagah-gagahkan sikap, mengejar jabatan, mencicil gelar demi gelar dan menumpuk atribut-atribut keduniaan lainnya untuk sekadar memuaskan hawa nafsu mereka.

Dalam kaitannya dengan fenomena ini Rasulullah saw. pun pernah bersabda:

« مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُم » .

“Bukanlah kefaqiran yang sangat aku khawatirkan terjadi pada kalian, tetapi aku sangat khawatir jika (kemewahan, kesenangan) dunia dibentangkan luas atas kalian, kemudian karenanya kalian berlomba-lomba untuk meraihnya seperti yang pernah terjadi pada orang-orang sebelum kalian. Maka akhirnya kalian binasa sebagaimana mereka juga binasa karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Uqbah bin ‘Amir).

Semestinya, jikalau pun kita memperoleh dunia, maka teruslah melangkah sebagai orang yang dititipi amanah, berjalanlah sambil merunduk, indahkan titipan itu dengan keihklasan dan niat pengabdian kepada umat.

Prototype (Purwarupa) Orang-orang Pilihan

Fastabiqû al-Khairât adalah purwarupa orang-orang yang terpilih. Dalam Qs. Fâthir/ 35: 32, Allah menggambarkan purwarupa atau prototype kelompok manusia menjadi tiga jenis.

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba kami, lalu diantara mereka ada yang mezalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar,” (Qs. Fâthir/35: 32).

Kelompok manusia “jenis pertama’ adalah “mereka yang zalim (mezalimi dirinya sendiri)”. Keburukan mereka lebih banyak daripada kebaikan yang mereka perbuat. Mereka menghabiskan waktunya untuk melakukan aktivitas yang tidak diridhai oleh Allah. Hidupnya lebih banyak diisi dengan tindakan maksiat.

Kelompok manusia “jenis kedua” adalah mereka yang ada di pertengahan (persimpangan). Dalam arti, di satu waktu mereka melakukan keburukan, tetapi di waktu lain merekapun melakukan kebaikan. Merekalah orang yang ibadahnya ‘jalan’, keburukannya pun jalan seiring dengan ketaatannya, yang dalam banyak hal sering disebut sebagai orang yang terjebak dalam budaya STMJ (shalat terus, maksiat jalan).

Dan kelompok manusia “jenis ketiga” adalah mereka yang selalu membangun ruh (spirit) budaya Fastabiqû al-Khairât, berlomba-lomba dalam kebaikan (ketaatan). Inilah karakteristik (dari) para sahabat Rasulullah s.a.w. terbaik.

Karena ruh (spirit) budaya Fastabiqû al-Khairât inilah para sahabat Rasulullah saw. pantas dikatakan sebagai “khairu ummah” atau generasi yang terbaik. Mereka tidak pernah melewatkan momentum untuk menjalankan ketaatan mereka kepada Allah. Tak rela melepaskan kesempatan untuk mengisi setiap desahan nafas mereka dalam ketaatan kepada Allah. Mereka selalu memaksimalkan setiap pintu kebaikan yang telah dibukakan oleh Allah kepada diri mereka, kapan pun dan di mana pun.

Sejenak menengok purwarupa di atas, apakah kita telah menjadi kelompok manusia “jenis ketiga”? Jawabannya tentu kembali kepada (perilaku) diri kita masing-masing.

Saatnya kita merenung, alangkah berbedanya ghirah/semangat beribadah para sahabat dengan kebanyakan dari diri kita sekarang. Seringkali kita tidak memiliki semangat untuk ber Fastabiqû al-Khairât, berlomba-lomba dalam kebaikan dan ketaatan. Kita seolah telah merasa cukup dan baik-baik saja berada di luar arena, menjadi penonton atau bahkan komentator, pengeritik perlombaan kebaikan dan ketaatan yang dilakukan oleh orang lain.

Ketika orang lain, misalnya, telah mengamalkan tuntunan Islam secara tepat dan lebih baik daripada diri kita, kita sering mengomentari mereka dengan komentar-komentar yang kurang bersahabat. Pada saat orang lain membudayakan sedekah, misalnya, kita justeru berpikir (negatif) bahwa mereka melakukannya dengan kemungkinan besar untuk mencari muka atau berkeinginan untuk dibilang pemurah (riya’). Ketika saudara kita ‘menahan perkataan’ untuk mengamalkan sebuah hadits, kita lantas menyimpulkan bahwa mereka adalah orang-orang sombong yang “pelit bicara”. Dan di saat yang lain memanjangkan sujudnya, terbersitlah dalam benak kita untuk mengatakan: “mereka hanya ingin dikatakan khusyu’ saja”.

Terkadang kita memosisikan diri sebagai komentator dan kritikus tanpa terlibat dalam perlombaan untuk meraih ridha Allah. Sebuah peran yang teramat melelahkan, membuang-buang waktu. Adalah sebuah musibah jika kita kehilangan kesempatan dalam ketaatan kepada Allah, lantas kita tenang-tenang saja. Tak inginkankah kita meraih surga seperti ‘Ukasyah? Menjadi yang Utama dan Pertama!

Maka, saatnya kini untuk tidak hanya ingin menjadi penonton; mari kita bangun ruh (spirit) budaya Fastabiqû al-Khairât”. Agar kita menjadi yang terbaik untuk yang pertama kali, sebelum orang lain melakukannya.

 

Narasumber utama artikel ini:

Muhsin Hariyanto

banner 468x60