Syarah Hadits #2
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya dunia itu lahan yang manis lagi hijau. Sesungguhnya Allah telah menguasakannya kepadamu sekalian. Kemudian Allah menunggu (memperhatikan) apa yang kamu kerjakan (di dunia itu). Karena itu takutilah dunia dan takutilah wanita, karena sesungguhnya sumber bencana Bani Israil adalah wanita.” (HR Muslim).
Takhrij:
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahih Muslim bab Aktsar Ahl al-Jannat al-Fuqara’ hadits no. 4925. Diriwayatkan dalam sanad dengan rawi secara berurutan sebagai berikut:
1) Muhammad bin al-Mutsanna bin ‘Ubaid Abu Musa. Tinggal di Bashrah dan termasuk generasi Tabi’ul Atba’ al-Tabi’in kalangan tua. Wafat tahun 252 H. Yahya ibn Ma’in, Maslamah ibn Qasim, Dzahabi, Ibn Hajar al-Asqalani dan Ibn Hibban, semuanya menilainya sebagai rawi siqqah. Sedangkan Abu Hatim menilainya dengan shaduq sholihul hadits.
2) Muhammad ibn Ja’far Abu Abdullah. Berdomisili di Bashrah dan termasuk generasi Tabi’ al-Tabi’in, wafat tahun 193 H. Muhammad ibn Sa’ad, al-Ijli dan Ibn Hibban menilainya sebagai rawi yang siqqah. Abul Fath al-Azdiy menilainya shaduq.
3) Syu’bah ibn al-Hajjaj ibn al-Warad Abu Bistham. Berdomisili di Bashrah dan termasuk generasi Tabi’ut Tabi’in tua. Wafat tahun 160 H. Al-‘Ijliy, Ibn Sa’ad, Ibn Hajar & Dzahabi semuanya menyatakannya sebagai rawi yang siqqah. Menurut Abu Dawud, tidak ada seorangpun yang lebih baik haditsnya daripadanya. Sufyan al-Tsauri menyatakannya sebagai amirul mukminin fil hadits.
4) Sa’id ibn Yazid ibn Maslamah Abu Maslamah. Berdomisili di Bashrah dan termasuk generasi Tabi’in. Ibn Hajar al-‘Asqalani, Yahya ibn Ma’in, Nasai, Bazzar, al-‘Ijli, Ibn ‘Adi, Dzahabi semuanya menyatakannya sebagai rawi yang siqqah. Abu Hatim al-Razi menilainya sebagai shahih.
5) Al-Mundzir ibn Malik ibn Qath’ah Abu Nadhrah. Domisili di Bashrah dan termasuk generasi Tabi’in pertengahan. Wafat tahun 108 H. Abu Zur’ah, Nasai, Ibn Ma’in, Ahmad ibn Hanbal, Ibn Syahin dan Ibn Hajar, semuanya menilainya sebagai rawi yang siqqah. Dzahabi juga menilainya sebagai siqqah tetapi terkadang lalai. Sedangkan al-‘Uqaili memasukkannya dalam daftar rawi dha’if. Bukhari dan Muslim memakai al-Mundzir sebagai rawi yang haditsnya dimasukkan dalam kitab shahihnya.
6) Sa’ad ibn Malik ibn Sinan ibn ‘Ubaid Abu Sa’id al-Khudriy. Domisili di Madinah dan termasuk sahabat Nabi yang banyak meriwayatkan hadits. Wafat tahun 74 H. Hadits ini diriwayatkan oleh orang-orang yang siqqah dengan sanad bersambung dan kualitasnya merupakan hadits shahih. Hadits ini memiliki jalur sanad yang menguatkan yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam kitab Sunan Tirmidzi bab Berita Nabi saw. Kepada Para Sahabat no. 2117; riwayat Ibn Majah dalam kitab Sunan Ibn Majah, bab Fitnah Wanita no. 3990 dan 8 hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hanbal. Selain imam Muslim yang menyatakan hadits ini sebagai hadits shahih, Muhammad Nashiruddin al-Albani juga menyatakan sebagai shahih (Silsilah al-Shahihah, 2: 578).
Mufrodat:
khulwah : manis
khadhirah : hijau
mustakhlifukum : menguasakan kepadamu, menjadikanmu khalifah
Syarah Hadits:
“Sesungguhnya dunia itu lahan yang manis lagi hijau”
Dunia dinyatakan sebagai lahan yang manis lagi hijau karena kenikmatan dunia yang indah menawan dan memikat hati manusia. Kenikmatan dunia yang menyilaukan mata adalah kenikmatan sebagaimana dikemukakan dalam surat Ali ‘Imran: 14:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Qs. Ali ‘Imran: 14)
“Sesungguhnya Allah telah menguasakan dunia kepadamu sekalian”
Apa fungsi manusia hidup di dunia? Bagi orang atheis, hidup manusia tak ubahnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan yaitu sebagai bagian dari alam. Segala hal yang dialami manusia, seperti perang dan bencana alam, adalah tak lebih sebagai peristiwa alam yang tidak perlu diambil pelajaran dan tidak perlu dihubungkan dengan dosa. Bagi mereka, dibalik kehidupan ini tidak ada apa apa, tidak ada Tuhan dan tidak ada akhirat serta tidak ada surga atau neraka.
Bagi orang sekuler, manusia adalah pemilik alam yang boleh menggunakannya sesuai keinginannya. Manusia bisa mengatur kehidupan di dunia ini dengan berbagai hal yang dipandang perlu, baik dan masuk akal. Manusia memiliki akal agar bisa mengatur dan memutuskan apa yang dianggap perlu.
Manusia dan dunia mungkin diciptakan Tuhan, tapi bagi orang sekuler, kehidupan dunia adalah urusan manusia yang tidak perlu dicampuri oleh agama. Agama adalah urusan individu setiap manusia yang tidak perlu dicampuri oleh orang lain apalagi oleh negara.
Bagi orang Islam, hidup manusia di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah. Allah swt. sebagai Pencipta manusia telah menetapkan kehendak-Nya agar manusia beribadah kepada-Nya.
Ibadah, menurut rumusan Muktamar Tarjih adalah “mendekatkan diri kepada Allah dengan cara menunaikan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan mengamalkan apa yang diizinkan-Nya”.
Dari pengertian dasar ini, dikenal ibadah “umum” dan ibadah “khusus”. Ibadah “umum” ialah semua amal yang diperintahkan atau diizinkan Allah untuk dilakukan oleh manusia (dalam rangka untuk ber-taqarrub), sedangkan ibadah ‘khusus’ ialah amal yang diperintahkan Allah dengan disertai pembatasan atau perincian mengenai tata caranya.
Allah memberikan kepercayaan kepada manusia untuk memegang amanah. Amanah tersebut pernah ditawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanah tersebut. Manusia kemudian menyanggupi amanah yang semula telah ditolak oleh langit, bumi dan gunung tersebut (Qs. al-Ahzab: 72)
إِنَّا عَرَضۡنَا ٱلۡأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱلۡجِبَالِ فَأَبَيۡنَ أَن يَحۡمِلۡنَہَا
وَأَشۡفَقۡنَ مِنۡہَا وَحَمَلَهَا ٱلۡإِنسَـٰنُۖ إِنَّهُ ۥ كَانَ ظَلُومً۬ا جَهُولاً۬
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh . (Qs. al-Ahzab/33: 72).
Oleh karena kesanggupan manusia mengemban amah tersebut, maka Allah mengangkat manusia sebagai khalifah, “mewakili” Allah mengelola dunia.
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَـٰٓٮِٕكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةً۬ۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيہَا مَن يُفۡسِدُ فِيہَا
وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. al-Baqarah/2: 30).
Dengan demikian wujud hidup dan kehidupan ibadah manusia ialah menyejahterakan serta mengupayakan kemakmuran hidup di dunia (Qs. Hud: 61), dalam bentuk pengaturan kehidupan manusia maupun pengaturan dan pemanfaatan alam dan kekayaan di dalamnya.
وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمۡ صَـٰلِحً۬اۚ قَالَ يَـٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَيۡرُهُ ۥۖ هُوَ أَنشَأَكُم
مِّنَ ٱلۡأَرۡضِ وَٱسۡتَعۡمَرَكُمۡ فِيہَا فَٱسۡتَغۡفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓاْ إِلَيۡهِۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌ۬ مُّجِيبٌ۬
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, Karena itu mohonlah ampunan-Nya, Kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (Qs. Hud/11: 61).
Agar dapat melaksanakan amanah tersebut, orang Islam harus mengembangkan dirinya menjadi ahli ibadah, dan terus mengembangkan dirinya sehingga menjadi hamba yang shalih. (Qs. al-Anbiya/21: 105-106)
وَلَقَدۡ ڪَتَبۡنَا فِى ٱلزَّبُورِ مِنۢ بَعۡدِ ٱلذِّكۡرِ أَنَّ ٱلۡأَرۡضَ يَرِثُهَا عِبَادِىَ ٱلصَّـٰلِحُونَ (105) ٥
إِنَّ فِى هَـٰذَا لَبَلَـٰغً۬ا لِّقَوۡمٍ عَـٰبِدِينَ (106) ٠
Dan sungguh telah kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang shaleh. Sesungguhnya (apa yang disebutkan) dalam (Surat) ini, benar-benar menjadi peringatan bagi kaum yang menyembah (Allah). (Qs. al-Anbiya/21: 105-106).
Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Seseorang tidak dibenarkan memetik bunga sebelum mekar atau mengambil buah sebelum matang karena itu berarti tidak member kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaanNya. Manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan dan terhadap semua proses yang sedang terjadi.
Agar tugas kekhalifahan tersebut bisa terlaksana dengan baik, maka manusia harus memanfaatkan segala anugerah yang telah dianugerahkan Allah berupa harta, ilmu, kedudukan, dan sebagainya demi terlaksananya kewajiban tersebut (Qs. al-An’am: 165).
وَهُوَ ٱلَّذِى جَعَلَڪُمۡ خَلَـٰٓٮِٕفَ ٱلۡأَرۡضِ وَرَفَعَ بَعۡضَكُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٍ۬ دَرَجَـٰتٍ۬ لِّيَبۡلُوَكُمۡ
فِى مَآ ءَاتَٮٰكُمۡۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ ٱلۡعِقَابِ وَإِنَّهُ ۥ لَغَفُورٌ۬ رَّحِيمُۢ
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. al-An’am/6: 165).
“Kemudian Allah menunggu (memperhatikan) apa yang kamu kerjakan (di dunia itu)”
Allah akan meminta pertanggungjawaban kepada manusia terhadap apapun yang dilakukannya terhadap dunia. Apalagi secara khusus Allah telah memberi tugas kepada manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi yang bertugas menjaga kemakmuran bumi. Pelaksanaan tugas penting tersebut menjadi tolak ukur penting dan menjadi kriteria keberhasilan manusia dalam mengemban amanah yang dibebankan kepadanya. Allah swt. telah berfirman:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Qs. al-Isra’/17: 36)
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (Qs. at-Takatsur/102: 8)
“Karena itu takutilah dunia”
Menurut al-Ghazali, cinta dunia adalah pangkal dosa. Gemerlap dunia seringkali membuat orang tersesat sehingga lupa tujuan hidupnya sebagai musafir menuju alam akhirat. Cinta dunia dan takut mati adalah dua hal yang menyebabkan manusia tidak bermartabat.
Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lalu menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS al-Hadid/57: 20).
Kenikmatan dunia adalah kesenangan yang menipu. Berbagai kesibukan dan pekerjaan yang dilakukan manusia demi mendapatkan makanan dan pakaian telah membuat mereka lupa akan diri mereka sendiri, tujuan utama kehidupan mereka dan tempat kembali (akhirat). Imam al-Ghazali membagi golongan orang yang “cinta dunia” menjadi beberapa kelompok:
- Golongan yang tujuan hidupnya untuk makan. Mereka makan agar dapat bekerja dan bekerja agar dapat makan. Ini adalah aliran oang yang tidak punya kenikmatan dunia dan tidak punya pijakan agama. Mereka letih di siang hari untuk makan di malam hari dan makan di malam hari untuk bersusah payah di siang hari.
- Golongan yang tujuan hidupnya pada pelampiasan syahwat dunia yaitu syahwat perut dan kemaluan. Mereka menghabiskan waktu untuk mengejar wanita (lawan jenis) dan mengumpulkan berbagai macam makanan lezat. Mereka makan sebagaimana binatangmakan, mereka berhubungan badan sebagaimana binatang berhubungan badan. Mereka mengira bila telah mendapatkan hal tersebut berarti telah mencapai puncak kebahagiaan, hingga akhirnya melupakan Allah dan hari Akhirat.
- Golongan yang mengira bahwa kebahagiaan terletak pada banyaknya harta dan simpanan kekayaan. Mereka bersusah payah mengumpulkan harta siang dan malam. Mereka melakukan perjalanan siang dan malam hingga kelelahan, mondar-mandir melakukan berbagai pekerjaan berat hingga kesampaian. Mereka berusaha dan mengumpulkan kekayaan hingga mereka sendiri tidak memakannya kecuali sekadarnya saja. Hal itu karena mereka kikir dan takut hartanya berkurang.
- Golongan yang mengira bahwa kebaikan terletak pada nama baik, pujian dan penghormatan. Mereka rela mengurangi makanan dan minuman hanya untuk dapat membeli pakaian yang bagus dan kendaraan yang mewah serta membuat rumahyang mewah agar dipuji dan dikatakan sebagai orang kaya dan memiliki banyak harta.
- Golongan yang mengira kebahagiaan terletak pada kedudukan dan kehormatan di kalangan manusia. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan simpati dari manusia. Mereka mengira bahwa dengan menjadi pemimpin akan membawa dirinya dihormati dan dipatuhi. Mereka menyibukkan diri agar orang lain tunduk kepadanya,dan bukan berusaha agar ia tunduk kepada Allah dan taat beribadah kepada-Nya.
Selain golongan di atas, masih banyak lagi golongan yang semuanya sesat dan menyesatkan.
Apabila seseorang tidak rakus akan kehidupan dunia atau mengambil bagian dunia sekedar kebutuhannya, maka ia akan terhindar dari tipu daya dunia dan akan banyak mengingat kehidupan akhirat (zikrul akhirat) dan perhatiannya akan tercurah pada persiapan menghadapi kehidupan akhirat.
Ada juga orang yang menyadari bahwa kenikmatan dunia adalah kesenangan yang menipu lalu mereka berpaling dari dunia. Namun, ternyata setan juga berhasil menyesatkan mereka. Paling tidak, ada dua golongan manusia yang berpaling dari dunia tetapi juga berada dalam kesesatan.
Pertama, Orang yang membebaskan diri dari dunia dengan cara membunuh segala sifat-sifat kemanusiaan dan memutusnya dari nafsu secara total. Kebahagiaan itu, menurut mereka, dapat dicapai setelah ia mampu mematikan syahwat dan amarah serta melakukan mujahadah dengan menjalani hidup melarat.
Kedua, Orang yang mengira bahwa tujuan ibadah adalah mujahadah untuk mencapai ma’rifatullah. Apabila telah mencapai ma’rifah, maka mereka telah sampai kepada Allah (wushul). Setelah wushul maka tidak diperlukan lagi wasilah (perantara) dan hillah (usaha) seperti beribadah. Dengan keyakinannya bahwa mereka telah sampai kepada ma’rifah, mereka merasa tidak diwajibkan lagi mengerjakan syariat, karena syariat hanya untuk orang orang awam.
Diantara semua golongan tersebut, yang selamat hanyalah golongan yang menempuh jalan yang telah dilalui Rasulullah dan sahabat Beliau, yaitu tidak meninggalkan dunia secara total dan tidak menjadi budak dunia dan syahwat.
Narasumber utama artikel ini:
Agung Danarta