banner 728x90

Tuntunan Shalat Idul Adha

 

 

Hari raya Islam  disebut  “Id”  karena pada hari itu Allah  SWT  mempunyai kebaikan  dan  kemurahan  yang  kembali  berulang-ulang  dan  dianugerahkan kepada makhluk-Nya setiap tahun yang membawa kegembiraan dan kepuasan.

 

Kata  “Id” selalu  diterjemahkan  ke  bahasa  Indonesia  dengan  ‘hari  raya’, menurut etimologinya bermakna al-mausim (musim), disebut demikian karena setiap tahun berulang.

Idul Adha disebut juga sebagai Idul Qurban, sebab pada hari raya Idul Adha ini umat Islam dianjurkan untuk menyembelih hewan kurban.

Sementara, disebut  Idul  Fitri  karena  pada  hari  itu  orang-orang  Islam  yang berpuasa Ramadhan berbuka (iftar), tidak lagi berpuasa seperti hari-hari sebelumnya selama  Ramadlan.  Hari raya Idul  Fitri  ini  dirayakan  dengan melaksanakan shalat Idul Fitri secara berjamaah. Ibadah ini disyariatkan pada tahun pertama Nabi saw sampai di Madinah.

Sebagaimana pada hari raya Idul Fitri, pada hari raya Idul Adha, umat Islam disunnahkan untuk melakukan salat Id. Hal ini dituntunkan oleh banyak hadis Nabi, diantaranya adalah hadis berikut:

hadis shalat id

Dari Ibnu Umar, ia berkata: “Rasulullah saw., Abu Bakar, Umar melakukan shalat dua hari raya sebelum khutbah dilaksanakan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

 

Waktu dan Tempat Shalat Id (Idul Fitri dan Adha)

Waktu shalat  ‘Id  dimulai dari matahari setinggi tombak sampai waktu zawal  (matahari  bergeser  ke  barat).  Ibnu  Qayyim   al-Jauziyah  mengatakan:

Nabi SAW biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha”. (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khair al-‘Ibad, 1:425).

Tujuan shalat  ‘Idul  Adha  dikerjakan  lebih  awal  adalah  agar orang-orang  dapat  segera  menyembelih  qurbannya.  Sedangkan  shalat  ‘Idul Fitri  agak  diundur waktunya,  bertujuan  agar  kaum  muslimin  masih  punya  kesempatan untuk menunaikan zakat fitri (Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm. 201)

Tempat pelaksanaan shalat  ‘Id  lebih utama (afdhal) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada  udzur (halangan) seperti hujan. Hal ini sesuai dengan hadis dari Abu Sa’id al-Khudri sebagai berikut:

Rasulullah  saw  biasa  keluar  pada  hari  raya   Fitri  dan  Adha  menuju  tanah lapang. (HR. Al-Bukhari)

An -Nawawi mengatakan dalam Syarh Muslim, III: 280:

Hadis  Abu  Sa’id   al-Khudri  di  atas  adalah  dalil  bagi  orang  yang menganjurkan bahwa shalat ‘Id sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih  afdhal  (lebih  utama)  daripada  melakukannya  di  masjid.  Inilah  yang dipraktikkan  oleh  kaum  muslimin  di  berbagai  negeri.  Adapun  bagi penduduk Makkah,  sejak  masa  silam  shalat ‘Id  selalu  dilakukan  di  Masjidil

Haram.”

 

Pelaksanaan Shalat ‘Id
  • Dilaksanakan 2  (dua) raka’at,  tidak  ada  Shalat  Sunnah  Qabliyah  ‘Id  dan Ba’diyah ‘Id.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Bahwasanya  Rasulullah  Saw   keluar  pada  hari  Idul  Adha  atau  Idul  Fitri, lalu mengerjakan shalat ‘Id dua raka’at, beliau tidak mengerjakan  shalat qabliyah maupun ba’diyah ‘Id. (HR. Muslim)

  • Tanpa Adzan, Iqamah, dan tanpa ucapan “ash-Shalaatu Jâmi’ah

Dari Jabir bin Samurah, ia berkata, Aku  pernah  melaksanakan  shalat  ‘Id  (Idul  Fitri  dan  Idul  Adha)  bersama Rasulullah saw bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqamah. (HR. Muslim)

Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika Nabi saw sampai ke tempat shalat, beliau  pun  mengerjakan  shalat  ‘Id  tanpa  ada  adzan  dan  iqamah.  Juga ketika  itu  untuk  menyeru  jama’ah  tidak  ada  ucapan  “Ash-  Shalaatu Jâmi’ah”. (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, I: 425).

 

Tata Cara Shalat ‘Id

1)  Memulai  dengan  takbiratul  ihram,  sebagaimana  shalat-shalat  lainnya, diiringi niat ikhlas karena Allah.

2)  Membaca doa Iftitah.

Abu  Zur’ah   menceritakan  kepada  kami,  ia  berkata:  Abu  Hurairah menceritakan  kepada  kami,  ia  berkata  :  “Rasulullah  saw  berdiam antara  takbir  dan  bacaan  al-Qur’an.”-Abu  Zur’ah  berkata,”  Aku mengira  Abu  Hurairah  berkata,  “Diam  sebentar,”-  lalu  aku  berkata, “Wahai  Rasulullah,  demi  bapak  dan  ibuku!  Anda  berdiam  antara takbir  dan  bacaan.  Apa  yang  anda  baca  di  antaranya?”  Beliau bersabda, “Aku membaca:

ALLAHUMMA BAA’ID BAINII WA BAINA KHATHAAYAAYA  KAMAA  BAA’ADTA  BAINAL  MASYRIQI  WAL MAGHRIB.  ALLAHUMMA  NAQQINII  MINAL  KHATHAAYAA KAMAA  YUNAQQATS  TSAUBUL  ABYADHU  MINAD  DANAS. ALLAHUMMAGHSIL  KHATHAAYAAYA  BILMAA’I  WATSTSALJI WAL  BARAD

(Ya  Allah,  jauhkanlah  antara  aku  dan  kesalahanku sebagaimana  Engkau  menjauhkan  antara  timur  dan  barat.  Ya  Allah, sucikanlah  kesalahanku  sebagaimana  pakaian  yang  putih  disucikan dari kotoran. Ya Allah, cucilah kesalahanku dengan air, salju, dan air yang dingin).” (HR. Al-Bukhari no. 702)

Doa Iftitah  ini dianjurkan dibaca untuk membuka shalat. Maka doa Iftitah  adalah  diawal  sebagaimana  dalam  shalat  lainnya.  Sedangkan pembacaan  ta’awudz  dilakukan  sebelum  membaca  surat.  Ta’awudz letaknya  selalu  diikuti  setelahnya  dengan  pembacaan  surat.  Karena  Allah Ta’ala berfirman: Apabila  kamu  membaca  Al-Quran  hendaklah  kamu  meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (QS. An Nahl: 98). (Ibnu Qudamah, al- Mughni, III: 273-274).

3)  Kemudian bertakbir (takbir al-zawaid/takbir tambahan)  sebanyak tujuh kali  takbir-setelah  takbiratul  ihram-  sebelum  memulai  membaca  al-Fatihah.  Boleh  mengangkat  tangan  ketika  takbir-takbir  tersebut sebagaimana yang dicontohkan dalam hadis:

Diriwayatkan  dari  Nafi’  dari  Ibnu  Ibnu  Umar  bahwasanya  ia mengangkat  kedua  tangannya  pada  setiap  takbir,  seperti  takbir  pada shalat  janazah  dan  apabila   bangkit  dari  rakaat  kedua  yakni  pada shalat wajib. (HR. Al-Baihaqi)

4)  Di  antara  takbir-takbir  (takbirat  zawaid) tidak ada bacaan dzikir tertentu. Belum didapatkan hadits  shahih marfu’ yang menerangkan bacaan Rasulullah SAW di antara takbir

5)  Membaca  al-Fatihah,  dilanjutkan  dengan  membaca  surat  lainnya.

Surat  yang  dibaca  oleh  Nabi  SAW  adalah  surat  Qaaf  pada  raka’at pertama dan surat al- Qamar pada raka’at kedua.

Diriwayatkan  dari  Ubaidillah  bin  Abdillah   bahwa  ‘Umar  bin  al-Khattab pernah menanyakan kepada Waqid al-Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah saw ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fitri.  Ia  pun  menjawab,  “Nabi  SAW  biasa  membaca  “Qaaf,  wa  al-Qur’an al-majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarabat as-saa’atu wan syaqq al-qamar” (surat al-Qamar).” (HR. Muslim)

Boleh  juga  membaca  surat  al-A’laa  pada  raka’at  pertama  dan surat  al-Ghasiyah  pada  raka’at  kedua.  Jika  hari  ‘Id  jatuh  pada  hari Jum’at, dianjurkan pula membaca surat al-A’laa pada raka’at pertama dan  surat  al-Ghasiyah  pada  raka’at  kedua,  pada  shalat  ‘Id  maupun shalat Jum’at.

Diriwayatkan dari an-Nu’man bin Basyir ia berkata: “Rasulullah SAW  biasa  membaca  dalam  shalat  ‘Id  maupun  shalat  Jum’at  “Sabbihisma rabbikal a’la” (surat al A’laa) dan “Hal ataka haditsul ghasiyah” (surat al-Ghasiyah).”  An-Nu’man  bin  Basyir  mengatakan  begitu  pula  ketika hari ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat. (HR. Muslim)

6)  Setelah  membaca  surat,  kemudian  melakukan  gerakan  shalat  seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dan seterusnya).

7)  Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua.

8)  Kemudian bertakbir (takbir al-zawaid /takbir tambahan) sebanyak lima kali takbir  -setelah takbir  intiqal  (bangkit dari sujud)  -sebelum memulai membaca al-Fatihah.

9)  Kemudian  membaca  surat  al-Fatihah  dan  surat  lainnya  sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

10)  Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.

 

Khutbah Setelah Shalat ‘Id

Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan, Bahwasanya  Nabi  saw  dan  Abu  Bakr,  begitu  pula  ‘Umar  biasa melaksanakan shalat ‘Id sebelum khutbah.(HR. Muslim)

Setelah melaksanakan shalat  ‘Id, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah  ‘Id  dengan  sekali  khutbah  (karena  khutbah  ‘Id  hanya  satu khutbah,  maka  tidak  ada  duduk  di  antara  dua  khutbah).  Nabi  Saw memulai  khutbah  dengan  “hamdalah”  (ucapan  alhamdulillah) sebagaimana khutbah-khutbah beliau yang lainnya.

Diriwayatkan dari Jabir ia berkata Rasulullah saw berkhutbah di hadapan manusia  memuji  Allah  dan  memujinya  kemudian  bersabda:   Siapa  saja yang mendapat petunjuk dari Allah maka tidak ada yang menyesatkannya, dan  siapa  saja  yang  disesatkan  oleh  Allah,  maka  tidak  ada  yang  dapat memberi petunjuk. (HR. Muslim)

Kemudian  diakhiri  dengan  doa,  dengan  mengangkat  jari  telunjuk  tangan kanan, sebagaimana pada khutbah Jumu’ah.

Diriwayatkan  dari  Sahl  bin  Sa’din  ia  berkata:  Tidak  pernah  sama  sekali aku melihat Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya berdoa di atas mimbar  tidak  pula  di  atas  lainnya,  namun  aku  melihat  beliau mengisyaratkan  telunjuknya  dan  menggenggam  jari  tengah  dan  ibu  jari. (HR. Al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, III: 210)

 

Sumber:

Materi Pengembangan HPT

Majelis Tarjih PP Muhammadiyah

banner 468x60