Hari raya Islam disebut “Id” karena pada hari itu Allah SWT mempunyai kebaikan dan kemurahan yang kembali berulang-ulang dan dianugerahkan kepada makhluk-Nya setiap tahun yang membawa kegembiraan dan kepuasan.
Kata “Id” selalu diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan ‘hari raya’, menurut etimologinya bermakna al-mausim (musim), disebut demikian karena setiap tahun berulang.
Idul Adha disebut juga sebagai Idul Qurban, sebab pada hari raya Idul Adha ini umat Islam dianjurkan untuk menyembelih hewan kurban.
Sementara, disebut Idul Fitri karena pada hari itu orang-orang Islam yang berpuasa Ramadhan berbuka (iftar), tidak lagi berpuasa seperti hari-hari sebelumnya selama Ramadlan. Hari raya Idul Fitri ini dirayakan dengan melaksanakan shalat Idul Fitri secara berjamaah. Ibadah ini disyariatkan pada tahun pertama Nabi saw sampai di Madinah.
Sebagaimana pada hari raya Idul Fitri, pada hari raya Idul Adha, umat Islam disunnahkan untuk melakukan salat Id. Hal ini dituntunkan oleh banyak hadis Nabi, diantaranya adalah hadis berikut:
Dari Ibnu Umar, ia berkata: “Rasulullah saw., Abu Bakar, Umar melakukan shalat dua hari raya sebelum khutbah dilaksanakan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Waktu dan Tempat Shalat Id (Idul Fitri dan Adha)
Waktu shalat ‘Id dimulai dari matahari setinggi tombak sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat). Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan:
“Nabi SAW biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha”. (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khair al-‘Ibad, 1:425).
Tujuan shalat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat ‘Idul Fitri agak diundur waktunya, bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fitri (Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm. 201)
Tempat pelaksanaan shalat ‘Id lebih utama (afdhal) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur (halangan) seperti hujan. Hal ini sesuai dengan hadis dari Abu Sa’id al-Khudri sebagai berikut:
Rasulullah saw biasa keluar pada hari raya Fitri dan Adha menuju tanah lapang. (HR. Al-Bukhari)
An -Nawawi mengatakan dalam Syarh Muslim, III: 280:
“Hadis Abu Sa’id al-Khudri di atas adalah dalil bagi orang yang menganjurkan bahwa shalat ‘Id sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdhal (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktikkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun bagi penduduk Makkah, sejak masa silam shalat ‘Id selalu dilakukan di Masjidil
Haram.”
Pelaksanaan Shalat ‘Id
- Dilaksanakan 2 (dua) raka’at, tidak ada Shalat Sunnah Qabliyah ‘Id dan Ba’diyah ‘Id.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Bahwasanya Rasulullah Saw keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fitri, lalu mengerjakan shalat ‘Id dua raka’at, beliau tidak mengerjakan shalat qabliyah maupun ba’diyah ‘Id. (HR. Muslim)
- Tanpa Adzan, Iqamah, dan tanpa ucapan “ash-Shalaatu Jâmi’ah”
Dari Jabir bin Samurah, ia berkata, Aku pernah melaksanakan shalat ‘Id (Idul Fitri dan Idul Adha) bersama Rasulullah saw bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqamah. (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika Nabi saw sampai ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan shalat ‘Id tanpa ada adzan dan iqamah. Juga ketika itu untuk menyeru jama’ah tidak ada ucapan “Ash- Shalaatu Jâmi’ah”. (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, I: 425).
Tata Cara Shalat ‘Id
1) Memulai dengan takbiratul ihram, sebagaimana shalat-shalat lainnya, diiringi niat ikhlas karena Allah.
2) Membaca doa Iftitah.
Abu Zur’ah menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Hurairah menceritakan kepada kami, ia berkata : “Rasulullah saw berdiam antara takbir dan bacaan al-Qur’an.”-Abu Zur’ah berkata,” Aku mengira Abu Hurairah berkata, “Diam sebentar,”- lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, demi bapak dan ibuku! Anda berdiam antara takbir dan bacaan. Apa yang anda baca di antaranya?” Beliau bersabda, “Aku membaca:
ALLAHUMMA BAA’ID BAINII WA BAINA KHATHAAYAAYA KAMAA BAA’ADTA BAINAL MASYRIQI WAL MAGHRIB. ALLAHUMMA NAQQINII MINAL KHATHAAYAA KAMAA YUNAQQATS TSAUBUL ABYADHU MINAD DANAS. ALLAHUMMAGHSIL KHATHAAYAAYA BILMAA’I WATSTSALJI WAL BARAD
(Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, sucikanlah kesalahanku sebagaimana pakaian yang putih disucikan dari kotoran. Ya Allah, cucilah kesalahanku dengan air, salju, dan air yang dingin).” (HR. Al-Bukhari no. 702)
Doa Iftitah ini dianjurkan dibaca untuk membuka shalat. Maka doa Iftitah adalah diawal sebagaimana dalam shalat lainnya. Sedangkan pembacaan ta’awudz dilakukan sebelum membaca surat. Ta’awudz letaknya selalu diikuti setelahnya dengan pembacaan surat. Karena Allah Ta’ala berfirman: Apabila kamu membaca Al-Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (QS. An Nahl: 98). (Ibnu Qudamah, al- Mughni, III: 273-274).
3) Kemudian bertakbir (takbir al-zawaid/takbir tambahan) sebanyak tujuh kali takbir-setelah takbiratul ihram- sebelum memulai membaca al-Fatihah. Boleh mengangkat tangan ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan dalam hadis:
Diriwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu Ibnu Umar bahwasanya ia mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir, seperti takbir pada shalat janazah dan apabila bangkit dari rakaat kedua yakni pada shalat wajib. (HR. Al-Baihaqi)
4) Di antara takbir-takbir (takbirat zawaid) tidak ada bacaan dzikir tertentu. Belum didapatkan hadits shahih marfu’ yang menerangkan bacaan Rasulullah SAW di antara takbir
5) Membaca al-Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat lainnya.
Surat yang dibaca oleh Nabi SAW adalah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat al- Qamar pada raka’at kedua.
Diriwayatkan dari Ubaidillah bin Abdillah bahwa ‘Umar bin al-Khattab pernah menanyakan kepada Waqid al-Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah saw ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fitri. Ia pun menjawab, “Nabi SAW biasa membaca “Qaaf, wa al-Qur’an al-majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarabat as-saa’atu wan syaqq al-qamar” (surat al-Qamar).” (HR. Muslim)
Boleh juga membaca surat al-A’laa pada raka’at pertama dan surat al-Ghasiyah pada raka’at kedua. Jika hari ‘Id jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula membaca surat al-A’laa pada raka’at pertama dan surat al-Ghasiyah pada raka’at kedua, pada shalat ‘Id maupun shalat Jum’at.
Diriwayatkan dari an-Nu’man bin Basyir ia berkata: “Rasulullah SAW biasa membaca dalam shalat ‘Id maupun shalat Jum’at “Sabbihisma rabbikal a’la” (surat al A’laa) dan “Hal ataka haditsul ghasiyah” (surat al-Ghasiyah).” An-Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat. (HR. Muslim)
6) Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dan seterusnya).
7) Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua.
8) Kemudian bertakbir (takbir al-zawaid /takbir tambahan) sebanyak lima kali takbir -setelah takbir intiqal (bangkit dari sujud) -sebelum memulai membaca al-Fatihah.
9) Kemudian membaca surat al-Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
10) Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.
Khutbah Setelah Shalat ‘Id
Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan, Bahwasanya Nabi saw dan Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘Id sebelum khutbah.(HR. Muslim)
Setelah melaksanakan shalat ‘Id, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘Id dengan sekali khutbah (karena khutbah ‘Id hanya satu khutbah, maka tidak ada duduk di antara dua khutbah). Nabi Saw memulai khutbah dengan “hamdalah” (ucapan alhamdulillah) sebagaimana khutbah-khutbah beliau yang lainnya.
Diriwayatkan dari Jabir ia berkata Rasulullah saw berkhutbah di hadapan manusia memuji Allah dan memujinya kemudian bersabda: Siapa saja yang mendapat petunjuk dari Allah maka tidak ada yang menyesatkannya, dan siapa saja yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk. (HR. Muslim)
Kemudian diakhiri dengan doa, dengan mengangkat jari telunjuk tangan kanan, sebagaimana pada khutbah Jumu’ah.
Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’din ia berkata: Tidak pernah sama sekali aku melihat Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya berdoa di atas mimbar tidak pula di atas lainnya, namun aku melihat beliau mengisyaratkan telunjuknya dan menggenggam jari tengah dan ibu jari. (HR. Al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, III: 210)
Sumber:
Materi Pengembangan HPT
Majelis Tarjih PP Muhammadiyah