Shalat jenazah adalah shalat yang dilakukan untuk mendo’akan seorang muslim atau muslimah yang telah meninggal dunia; baik dia laki-laki maupun perempuan; orang dewasa maupun anak-anak. Shalat jenazah hukumnya wajib kifayah, yakni kewajiban yang pelaksanaannya dapat tercukupi manakala telah ditunaikan oleh sebagian kaum muslimin. Namun jika tidak ada yang melaksanakannya maka seluruh kaum muslimin berdosa karenanya.
Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا ، فَقَالَ : هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ ؟ قَالُوا : لاَ فَصَلَّى عَلَيْهِ ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى ، فَقَالَ : هَلْ عَلَيْهِ مَنْ دَيْنٍ قَالُوا نَعَمْ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ قَالَ أَبُو قَتَادَةَ عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللهِ فَصَلَّى عَلَيْهِ – رواه البخاري
Dari Salamah bin al-Akwa’ r.a., ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah didatangkan seorang jenazah, agar beliau menshalatinya. Lantas beliau bertanya, ‘Apakah orang ini punya hutang . Mereka menjawab: “Tidak” , maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolatkan jenazah tersebut. Kemudian didatangkan jenazah yang lain. Beliau bertanya: “ Apakah dia punya hutang. Mereka menjawab: “ Ya”. Beliau berkata , ‘Shalatkanlah sahabat kalian.’ Abu Qatadah berkata:” Saya yang menanggung hutangnya wahai Rasulullah.”. Lalu beliau menyolatkan jenazah tersebut. (HR. Bukhari).
Hadits ini menjadi dasar hukum melaksanakan shalat jenazah, dan bahwa shalat tersebut hukumnya wajib kifayah. Karena saat itu Rasulullah saw hanya melakukannya untuk seorang jenazah, sementara jenazah yang lain beliau hanya memerintahkan para sahabat untuk melaksanakannya dikarenakan ia mempunyai hutang, sekalipun akhirnya beliau menyolatkannya setelah ada sahabat yang menanggung hutangnya. .
Keutamaan Shalat Jenazah
Mengenai keutamaan shalat Jenazah, diterangkan di dalam beberapa hadits berikut:
- Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّىَ عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ . قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ
“Barangsiapa yang menyaksikan jenazah sampai ia menyolatkannya, maka baginya satu qiroth. Lalu barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga dimakamkan, maka baginya dua qiroth.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud dua qiroth?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Dua qiroth itu semisal dua gunung yang besar.” (HR. Bukhari dan Muslim )
Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
« مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ وَلَمْ يَتْبَعْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ فَإِنْ تَبِعَهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ ». قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ « أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ ».
“Barangsiapa shalat jenazah dan tidak ikut mengiringi jenazahnya, maka baginya (pahala) satu qiroth. Jika ia sampai mengikuti jenazahnya, maka baginya (pahala) dua qiroth.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud dua qiroth?” “Ukuran paling kecil dari dua qiroth adalah semisal gunung Uhud”, jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Muslim )
- Hadits yang bersumber dari Kuraib, ia berkata,
أَنَّهُ مَاتَ ابْنٌ لَهُ بِقُدَيْدٍ أَوْ بِعُسْفَانَ فَقَالَ يَا كُرَيْبُ انْظُرْ مَا اجْتَمَعَ لَهُ مِنَ النَّاسِ. قَالَ فَخَرَجْتُ فَإِذَا نَاسٌ قَدِ اجْتَمَعُوا لَهُ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ تَقُولُ هُمْ أَرْبَعُونَ قَالَ نَعَمْ. قَالَ أَخْرِجُوهُ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلاَّ شَفَّعَهُمُ اللَّهُ فِيهِ
“Anak ‘Abdullah bin ‘Abbas di Qudaid atau di ‘Usfan meninggal dunia. Ibnu ‘Abbas lantas berkata, “Wahai Kuraib, lihat berapa banyak manusia yang menyolati jenazahnya.” Kuraib berkata, “Aku keluar, ternyata orang-orang sudah berkumpul dan aku mengabarkan pada mereka pertanyaan Ibnu ‘Abbas tadi. Lantas mereka menjawab, “Ada 40 orang”. Kuraib berkata, “Baik kalau begitu.” Ibnu ‘Abbas lantas berkata, “Keluarkan mayit tersebut. Karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim meninggal dunia lantas dishalatkan (shalat jenazah) oleh 40 orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah sedikit pun melainkan Allah akan memperkenankan syafa’at (do’a) mereka untuknya.” (HR. Muslim)
- Hadits yang bersumber dari ‘Aisyah RA, ia berkata “ Bahwa Nabi SAW telah bersabda”:
مَا مِنْ مَيِّتٍ يُصَلِّى عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلاَّ شُفِّعُوا فِيهِ
“Tidaklah seorang mayit dishalatkan (dengan shalat jenazah) oleh sekelompok kaum muslimin yang mencapai 100 orang, lalu semuanya memberi syafa’at (mendoakan kebaikan untuknya), maka syafa’at (do’a mereka) akan diperkenankan.” (HR. Muslim)
- Hadits yang bersumber dari Malik bin Hubairah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيُصَلِّى عَلَيْهِ ثَلاَثَةُ صُفُوفٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ أَوْجَبَ
“Tidaklah seorang muslim mati lalu dishalatkan oleh tiga shaf kaum muslimin melainkan do’a mereka akan dikabulkan.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud). Imam Nawawi menyatakan dalam Kitab Al Majmu’ 5/212 bahwa hadits ini hasan.
Syarat-syarat Shalat Janazah
Shalat jenazah sah dilakukan jika terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Seseorang yang melaksanakan shalat jenazah harus memenuhi syarat-syarat sahnya seperti yang terdapat pada shalat yang lain. Yakni ia harus bersih dari hadats dan najis, menutup aurat dan menghadap kiblat.
- Shalat jenazah harus didirikan setelah jenazah dimandikan dan dikafani.
- Jenazah harus diletakkan di sebelah kiblat orang yang menyalatkannya.
Waktu dan Tempat Shalat Jenazah
- Waktu Shalat:
Dalam melakukan Shalat jenazah, tidak ditentukan waktunya secara khusus, melainkan ia dapat dilakukan kapan saja, baik siang maupun malam hari, kecuali 3 waktu yakni saat matahari terbit hingga ia agak meninggi; saat matahari tepat berada di pertengahan langit (tengah hari tepat) hingga ia telah condong ke barat; dan saat matahari hampir terbenam, hingga ia terbenam sama sekali. Hal ini didasarkan pada Hadits berikut ini:
ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّىَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ – رواه مسلم
Dari Musa bin Ali dari bapaknya ia berkata, saya mendengar Uqbah bin Amir Al Juhani berkata; “Ada tiga waktu, yang mana Rasulullah SAW telah melarang kita untuk shalat atau menguburkan jenazah pada waktu-waktu tersebut. (Pertama), saat matahari terbit hingga ia agak meninggi. (Kedua), saat matahari tepat berada di pertengahan langit (tengah hari tepat) hingga ia telah condong ke barat, (Ketiga), saat matahari hampir terbenam, hingga ia terbenam sama sekali.”
“Ada tiga waktu, yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kita untuk shalat atau menguburkan jenazah pada waktu-waktu tersebut. (Pertama), saat matahari terbit hingga ia agak meninggi. (Kedua), saat matahari tepat berada di pertengahan langit (tengah hari tepat) hingga ia telah condong ke barat, (Ketiga), saat matahari hampir terbenam, hingga ia terbenam sama sekali.” (HR Muslim)
- Tempat Shalat :
Shalat jenazah dapat dilakukan di mana saja, di tempat-tempat yang layak untuk melaksanakan shalat; termasuk di dalam masjid sebagaimana disebutkan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim:
أَنَّ عَائِشَةَ لَمَّا تُوُفِّىَ سَعْدُ بْنُ أَبِى وَقَّاصٍ قَالَتِ ادْخُلُوا بِهِ الْمَسْجِدَ حَتَّى أُصَلِّىَ عَلَيْهِ. فَأُنْكِرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا فَقَالَتْ وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى ابْنَىْ بَيْضَاءَ فِى الْمَسْجِدِ سُهَيْلٍ وَأَخِيهِ. قَالَ مُسْلِمٌ سُهَيْلُ بْنُ دَعْدٍ وَهُوَ ابْنُ الْبَيْضَاءِ أُمُّهُ بَيْضَاءُ.
Bahwa ketika Sa’d bin Abu Waqash meninggal, Aisyah berkata, “Masukkanlah ia ke dalam masjid hingga aku bisa menshalatkannya.” Namun mereka tidak menyetujuinya, maka ia pun berkata, “Demi Allah, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menshalatkan jenazah dua orang putra Baidla` di dalam masjid, yaitu Suhail dan saudaranya.” Muslim berkata; “Suhail bin Da’d adalah Ibnul Baidla`, dan ibunya adalah Baidla`. (HR Muslim)
Di dalam Kitab al-Muwatho, Imam Malik meriwayatkan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ : صُلِّيَ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي الْمَسْجِدِ
Dari Abdullah bin Umar, bahwa dia berkata, “Umar bin Khatthab dishalatkan di masjid.”
Tata cara Shalat Janazah
Berdasarkan petunjuk-petunjuk Rasulullah saw, Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah di dalam Kitab Himpunan Putusan Tarjih menjelaskan tata cara shalat Jenazah sebagai berikut:
- Mengikhlaskan niat semata-mata mencari ridla Allah swt.
Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah saw:
” إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى – رواه البخاري
“Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; )HR Bukhari).
- Lebih utama dilakukan dengan berjamaah dan makmum hendaklah dibagi menjadi 3 baris.
عَنْ مَالِكِ بْنِ هُبَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوتُ ، فَيُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبَلَغُوا أَنْ يَكُونُوا ثَلاَثَ صُفُوفٍ إِلاَّ غُفِرَ لَهُ. قَالَ فَكَانَ مَالِكُ بْنُ هُبَيْرَةَ يَتَحَرَّى إِذَا قَلَّ أَهْلُ جَنَازَةٍ أَنْ يَجْعَلَهُمْ ثَلَاثَةَ صُفُوفٍ – رواه أحمد
Dari Malik bin Hubarah berkata; Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Tidaklah seorang mukmin yang meninggal lalu ada sekelompok orang yang menshalatinya sampai tiga shaf kecuali pasti dia diampuni.” (Martsad bin Abdullah Al Yazani Radliyallahu’aanhu) berkata; jika keluarga jenazah sedikit, Malik bin Hubarah tetap menjaga agar bisa dijadikan tiga shaf. (HR Ahmad)
- Hendaklah imam berdiri pada arah kepala mayat pria dan pada arah kepala mayat wanita. Hal ini didasarkan pada hadits berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو غَالِبٍ الْخَيَّاطُ ، قَالَ : شَهِدْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ صَلَّى عَلَى جِنَازَةِ رَجُلٍ ، فَقَامَ عِنْدَ رَأْسِهِ ، فَلَمَّا رُفِعَتْ أُتِيَ بِجِنَازَةِ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ أَوْ مِنَ الأَنْصَارِ فَقِيلَ لَهُ : يَا أَبَا حَمْزَةَ ، هَذِهِ جِنَازَةُ فُلاَنَةَ ابْنَةِ فُلاَنٍ ، فَصَلِّ عَلَيْهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا ، فَقَامَ وَسَطَهَا وَفِينَا الْعَلاَءُ بْنُ زِيَادٍ الْعَدَوِيُّ ، فَلَمَّا رَأَى اخْتِلاَفَ قِيَامِهِ عَلَى الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ ، قَالَ : يَا أَبَا حَمْزَةَ ، هَكَذَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يصنع يَقُومُ مِنَ الرَّجُلِ حَيْثُ قُمْتَ ، وَمِنَ الْمَرْأَةِ حَيْثُ قُمْتَ ؟ قَالَ : نَعَمْ قَالَ : فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا الْعَلاَءُ فَقَالَ : احْفَظُوا. – رواه أحمد
Telah mengabarkan kepada kami Abu Ghalib Al-Khayyat berkata, saya melihat Anas menyalati jenazah seorang laki-laki, maka beliau berdiri di dekat kepalanya. Setelah jenazah itu diangkat, datang lagi jenazah wanita dari Quraisy atau dari anshar, dan ia diberitahu, wahai Abu Hamzah, ini adalah jenazah wanita fulanah binti fulan, shalatkanlah! lalu beliau berdiri didekat pusarnya. Diantara kami saat itu ada al-‘Ala’ Bin Ziyad Al-‘Adawi. Tatkala ‘Ala’ bin Ziyad melihat perbedaan letak berdiri Anas radhiyallahu’anhu antara jenazah laki-laki dan wanita, ‘Ala’ bertanya, wahai Abu Hamzah, begitukah cara Rasulullah shallahu’alaihi wasallam berdiri saat menyalatkan jenazah, yaitu seperti yang anda lakukan?. (Anas bin Malik radhiyallahu’anhu) menjawab ‘iya’. Abu Ghalib Khayyat berkata, lalu ‘Ala’ menoleh kami dan mengatakan, jagalah!. (HR Ahmad)
- Dilakukan dengan berdiri tanpa ruku’, tanpa sujud dan tanpa duduk; namun cukup dengan bertakbir sebanyak empat kali, termasuk takbiratul ihram. Hal ini didasarkan pada hadits:
عن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ نَعَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَصْحَابِهِ النَّجَاشِيَّ ثُمَّ تَقَدَّمَ فَصَفُّوا خَلْفَهُ فَكَبَّرَ أَرْبَعًا . – رواه البخاري
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata,: Nabi Shallallahu’alaihiwasallam mengumumkan kematian An-Najasyi, kemudian Beliau maju dan membuat barisan shaf di belakangnya, Beliau lalu takbir empat kali . (HR Bukhari)
Setiap takbir dilakukan dengan mengangkat tangan; berdasarkan riwayat yang disandarkan kepada Ibnu Umar:
عَنْ نَافِعٍ , عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي كُلِّ تَكْبِيرَةٍ عَلَى الْجَنَازَةِ .- رواه البيهقي
Dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwasanya beliau mengangkat kedua tangannya dalam setiap takbir pada shalat jenazah. (HR Baihaqi)
- Sesudah takbiratul ihram hendaklah dilanjutkan dengan membaca surat al-Fatihah dan membaca shalawat atas Nabi Muhammad saw. Hal ini didasarkan pada hadits:
إِنَّ السُّنَّةَ فِي الصَّلَاةِ عَلَى الْجِنَازَةِ أَنْ يَقْرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَيُصَلِّيَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يُخْلِصُ الدُّعَاءَ لِلْمَيِّتِ حَتَّى يَفْرَعَ وَلَا يَقْرَأَ إِلَّا مَرَّةً ثُمَّ يُسَلِّمَ ، وَأَخْرَجَهُ اِبْنُ الْجَارُودِ فِي الْمُنْتَقَى . قَالَ الْحَافِظُ : وَرِجَالُهُ مُخَرَّجٌ لَهُمْ فِي الصَّحِيحَيْنِ
“Sungguh menurut sunnah dalam menyalatkan jenazah adalah hendaklah seseorang membaca surat al fatihah dan membaca shalawat atas Nabi saw lalu dengan ikhlas mendo’akan bagi mayit sampai selesai dan ia tidak membaca kecuali sekali kemudian salam” ( HR Ibnul Jarud di dalam kitab al-Muntaqo”) al-Hafidz berkata : para perawi Hadits ini tersebut di dalam kitab Bukhari dan Muslim.
Bacaan do’a diucapkan dengan suara lembut, sebagaimana dijelaskan dalan hadits:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّهُ قَالَ : إِنَّ السُّنَّةَ فِي الصَّلاَةِ عَلَى الْجَنَائِزِ أَنْ يُقْرَأَ فِي التَّكْبِيرَةِ الأُولَى بِأُمِّ الْقُرْآنِ مُخَافَتَةً ثُمَّ يُكَبِّر ثَلاَثًا وَالتَّسْلِيمُ عِنْدَ الآخِرَةِ) رواه ألنسائي
Dari Umamah, dia berkata: “ Sesunguhnya sunnah didalam shalat jenazah ialah membaca al-al-fatihah pada takbir pertama dengan suara lembut kemudian bertakbir 3 kali dan salam di akhir shalat. (HR an_Nasa’i)
- Setelah takbir yang kedua, ketiga dan keempat, dilanjutkan dengan berdo’a kepada Allah secara ikhlas untuk mayit.
Hal ini didasarkan pada Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda:
« إِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ فَأَخْلِصُوا لَهُ الدُّعَاءَ ». – رواه أبو داود
“Apabila kalian menshalatkan mayit, maka ikhlaskanlah doa untuknya.” (HR Abu Dawud)
Adapun do’a-do’a yang dibaca dalam shalat jenazah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw adalah sebagai berikut:
Pertama: Riwayat Imam Muslim dan an-Nasa’i:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَاعْفُ عَنْهُ وَعَافِهِ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِمَاءٍ وَثَلْجٍ وَبَرَدٍ وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَقِهِ فِتْنَةَ الْقَبْرِ وَعَذَابَ النَّارِ
Ya Allah, Ampunilah dia (mayat) berilah rahmat kepadanya, maafkanlah dia dan selamatkanlah dia (dari beberapa hal yang tidak disukai), dan tempatkanlah di tempat yang mulia (Surga), luaskan kuburannya, mandikan dia dengan air salju dan air es. Bersihkan dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang putih dari kotoran, berilah rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), berilah keluarga (atau istri di Surga) yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada istrinya (atau suaminya), jagalah dia dari siksa kubur dan Neraka lindungilah ia dari siksa kubur atau siksa api neraka.
Kedua: Riwayat Ibnu Majah, dan lain-lain:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا ، وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا ، وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا ، وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا ، اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الإِسْلاَمِ ، وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الإِيمَانِ ، اللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ ، وَلاَ تُضِلَّنَا بَعْدَهُ.
(Ya Allah, ampunilah kami yang masih hidup, yang telah meninggal dari kami, yang masih ada, yang telah tiada, anak kecil kami, orang tua kami, lelaki kami, perempuan kami. Ya Allah, siapa saja yang Engkau hidupkan dari kami, maka hidupkanlah di atas Islam, dan siapa saja yang Engkau wafatkan dari kami, maka wafatkanlah di atas iman. Ya Allah, janganlah Engkau haramkan bagi kami pahalanya, dan janganlah Engkau sesatkan kami sepeninggalnya. “
Ketiga: Riwayat Abu Dawud:
اللَّهُمَّ إِنَّ فُلَانَ بْنَ فُلَانٍ فِي ذِمَّتِكَ فَقِهِ فِتْنَةَ الْقَبْرِ قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ مِنْ ذِمَّتِكَ وَحَبْلِ جِوَارِكَ فَقِهِ مِنْ فِتْنَةِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ وَأَنْتَ أَهْلُ الْوَفَاءِ وَالْحَمْدِ اللَّهُمَّ فَاغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Ya Allah, sesungguhnya Fulan bin Fulan berada dalam jaminanMu maka lindungilah dia dari Fitnah kubur.” Sedang Abdurrahman berkata; dari jaminanMu. Berada dalam jaminan keamananMu, maka lindungilah dirinya dari fitnah kubur, serta adzab neraka. Engkau senantiasa menepati janji dan Pemilik segala pujian. Ya Allah, ampunilah dosanya dan sayangilah dia, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Catatan: Lafadz فُلَانَ بْنَ فُلَانٍ pada do’a di atas agar diganti dengan nama jenazah yang dishalatkan.
Keempat: Riwayat Al-Baihaqi dan at-Tabrani:
اللَّهُمَّ عَبْدُكَ وَابْنُ أَمَتِكَ احْتَاجَ إِلَى رَحْمَتِكَ، وَأَنْتَ غَنِيٌّ عَنْ عَذَابِهِ، فَإِنْ كَانَ مُحْسِنًا فَزِدْ فِي إِحْسَانِهِ، وَإِنْ كَانَ مُسِيئًا فَتَجَاوَزْ عَنْهُ
“ Ya Allah hambaMu dan putra hamba perempuanMu membutuhkan rahmatMu, Engkau tidak membutuhkan akan siksaannya. Jika dia orang yang baik, tambahilah kebaikannya dan jika ia orang yang jahat ampunilah kejahatannya” Kemudian hendaklah seseorang berdo’a sekehendaknya.
Jika mayat seorang anak, do’a yang diajarkan oleh Rasulullah saw adalah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لَنَا فَرَطًا وَسَلَفًا وَأَجْرًا.
“ Ya Allah jadikanlah ia bagi kami sebagai imbuhan, titipan dan pahala” (HR Baihaqi)
- Mengucapkan salam secara sempurna dengan menoleh ke sebelah kanan dan kekiri.
Hal ini didasarkan pada Hadits yang diriwayatkan Ibnul Jarud di atas.
Selain tata cara di atas, shalat jenazah dapat pula dilakukan dengan urutan-urutan sebagai berikut: Dimulai dengan niat kemudian bertakbir lalu membaca surat al-fatihah dilanjutkan takbir kedua lalu membaca shalawat atas Nabi Muhammad saw kemudian bertakbir ketiga lalu berdo’a untuk si mayit kemudian takbir keempat dilanjutkan salam.
أَنَّ السُّنَّةَ فِى الصَّلاَةِ عَلَى الْجَنَازَةِ أَنْ يُكَبِّرَ الإِمَامُ ، ثُمَّ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ الأُولَى سِرًّا فِى نَفْسِهِ ، ثُمَّ يُصَلِّى عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَيُخْلِصُ الدُّعَاءَ لِلْجَنَازَةِ فِى التَّكْبِيرَاتِ لاَ يَقْرَأُ فِى شَىْءٍ مِنْهُنَّ ، ثُمَّ يُسَلِّمُ سِرًّا فِى نَفْسِهِ – رواه البيهقي
Sungguh menurut sunnah dalam menyalatkan jenazah adalah hendaklah seorang imam bertakbir kemudian membaca surat al fatihah dengan suara lirih setelah takbir pertama kemudian membaca shalawat atas Nabi saw dan ikhlas mendo’akan bagi mayit pada takbir-takbir berikutnya dan ia tidak membaca apapun di dalamya (selain mendoakan mayit) kemudian salam dengan suar lirih (HR al- Baihaqi)
Shalat Jenazah di Kuburan
Jika jenazah telah dikuburkan lalu ada seorang atau sekelompok orang yang ingin menyalatinya maka diperbolehkan untuk menyalatinya di atas kuburnya walaupun jenazah itu sudah dishalati sebelumnya. Rasullullah saw pernah melakukan sholat jenazah di kuburan seorang laki-laki atau wanita yang meninggal pada malam hari, ketika tidak diberi tahu oleh para sahabat. Dari Abu Hurairah RA dia berkata:
أَنَّ رَجُلًا أَسْوَدَ أَوْ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَ يَقُمُّ الْمَسْجِدَ فَمَاتَ فَسَأَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ فَقَالُوا مَاتَ قَالَ أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي بِهِ دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ أَوْ قَالَ قَبْرِهَا فَأَتَى قَبْرَهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا
“Ada seorang laki-laki kulit hitam atau wanita kulit hitam yang menjadi tukang sapu di masjid telah meninggal dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya tentang keberadaan orang tersebut. Orang-orang pun menjawab, “Dia telah meninggal!” Beliaupun bersabda, “Kenapa kalian tidak memberi kabar kepadaku? Tunjukkanlah kuburannya padaku!” Beliau kemudian mendatangi kuburan orang itu kemudian menshalatinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama berpendapat tentang disunahkannya sholat jenazah dikuburan . Pendapat ini merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan para penganut Imam Hanafi. Hanya, mereka berbeda pendapat tentang syarat dan berapa waktu yang dibolehkan untuk sholat jenazah di atas kuburan.
Mengenai syarat diisyariatkan nya sholat jenazah diatas kuburan para ulama’ berpendapat bahwa shalat tersebut hanya diperuntukkan bagi orang yang patut dan termasuk diperintahkan shalat jenazah ketika mayat masih belum dikubur. Misalnya, orang yang tidak mengetahui kabar kematian seseorang yang seandainya dia tahu pasti akan ikut menyolati jenazah nya, atau orang yang tertinggal jenazah dan mayat terlanjur dikuburkan. Apabila seseorang tidak termasuk yang diperintahkan sholat jenazah maka tidak disyariatkan shalat dikubur nya. Pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa Nabi saw tidak pernah melaksanakan shalat jenazah di atas kuburan setiap kali melewati kuburan
Dalam hal waktu pelaksanaan shalat, Ibnu qoyyim rahimahullah memilih pendapat tanpa adanya batasan waktu. Dia berkata : “Rasullullah saw melakukan shalat jenazah di atas kuburan setelah 3 hari penguburan nya, bahkan pernah satu bulan setelah penguburan. Akan tetapi, Nabi saw tidak membatasi waktu tertentu (dibolehkannya shalat jenazah diatas kuburan).”
.
Shalat Ghaib
Shalat ghaib adalah shalat jenazah yang dilakukan oleh kaum muslimin terhadap saudaranya yang wafat, sementara jenazahnya tidak ada di depan mereka atau berada di tempat yang lain.
Shalat Ghaib pernah dilakukan oleh Rasulullah saw di Madinah terhadap An Najasyi, seorang raja negeri Habasyah (Ethiopia) yang beragama Islam, yang wafat di negeri tersebut. Pada saat itu negeri Habasyah adalah adalah negeri Nasrani. Hal ini didasarkan pada Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ وَخَرَجَ بِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ
“Bahwasanya Rasulullah saw mengumumkan kematian An Najasyi pada hari kematiannya. Rasul keluar bersama para sahabatnya ke lapangan, lalu mengatur shaf, kemudian (melaksanakan shalat dengan) bertakbir sebanyak empat kali.” (HR Al Bukhari dan Muslim)
Mengenai hukum shalat Ghaib, para ulama’ berbeda pendapat dalam 3 macam:
Pertama, bahwa sholat ghoib adalah masyru’ (disyariatkan) dan hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Pendapat ini didasarkan pada hadits di atas.
Kedua, bahwa shalat ghaib berlaku khusus bagi jenazah raja Najasyi, tidak untuk yang lainnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Pendapat mereka didasarkan pada argumentasi bahwa peristiwa sholat Ghoib ini tidak pernah ada kecuali pada kejadian meninggalnya raja Najasyi.
Ketiga: bahwa shalat Ghaib disyari’atkan, tetapi hanya diperuntukkan bagi seorang muslim yang meninggal di suatu daerah yang tidak ada orang yang menshalatkannya. Adapun jika ia telah disholatkan di tempat dia meninggal atau tempat lainnya, maka tidak dilaksanakan sholat Ghoib karena kewajiban untuk mensholatkannya telah gugur dengan sholatnya kaum muslimin atasnya. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan dipilih oleh beberapa ulama’ seperti Al Khattabi, Abu Dawud, Nashiruddin Al Albany dan lain-lain.
Pendapat ketiga tampaknya paling kuat karena merupakan hasil kompromi di antara dalil-dalil yang dikemukakan oleh kelompok pertama dan kedua. Wallahu a’lam
narasumber artikel ini:
Zaini Munir Fadloli