banner 728x90

Hakikatnya Harta Kekayaan

 

 

Islam merupakan way of life bagi kehidupan manusia, sebuah konsep kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia. Fitrah (kecendrungan) yang diciptakan untuk mempunyai rasa suka pada harta kekayaan, kefitrahan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan kesungguhan dalam bekerja. Firman Allah:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Q.S. Ali Imran: 14)

Secara umum al-Qur’an mengambarkan kecenderungan manusia untuk menyukai dan memiliki harta. Harta itu bisa berupa emas, perak, kuda pilihan, hewan ternak, sawah ladang dan lain sebagainya yang kesemuanya itu diperlukan untuk memenuhi hajat hidup. Sejalan dengan konteks zaman, jenis harta itu tentu berubah. Kini harta itu bisa berupa mobil, gadget (ponsel, laptop), apartemen, saham, deposito, kapal pesiar, pesawat terbang dan sebagainya.

Perihal kepemilikan harta, Islam hadir dalam sosok integratif yang memadukan antara pengakuan terhadap kepemilikan sosial (social property) dan kepemilikan pribadi (personal property). Islam tidak menghendaki terbentuknya masyarakat dengan ciri kesenjangan yang mencolok antar anggotanya. Kebebasan tetap diberikan, namun dengan tetap memperhatikan keseimbangan.

 

Pengertian Harta

Dalam bahasa Arab, harta disebut dengan al-mal,  dalam bentuk jamaknya adalah al-amwal. Menurut kamus al-Muhith, harta adalah ma malaktahu min kulli syai (segala sesuatu yang engkau punyai). Berdasarkan pengertian ini, harta bisa berupa benda yang berguna dan bermanfaat, seperti uang, tanah, rumah, kendaraan, perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil peternakan dan perkebunan, dan juga berupa harta intelektual (bisa dinilai dengan harga, apapun macamnya) seperti hak cipta, yang kesemuanya itu termasuk dalam kategori al-amwal, harta kekayaan.

Kepemilikan merupakan suatu ikatan seseorang dengan hak miliknya sehingga ia mempunyai hak untuk menggunakan barang atau harta tersebut sejauh tidak melanggar batasan syariah.

Hak Milik dalam Al-Qur’an

Dalam ayat-ayat Al-Qur’an kita jumpai penegasan-penegasan bahwa alam semesta, termasuk manusia, adalah ciptaan Allah. Oleh karena itu al-Qur’an pun banyak menyebut bahwa segala sesuatu di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah. Allah berfir’man:

وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS al-Maidah: 17)

Ayat lainya:

لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا فِيهِنَّ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS al-Maidah: 120).

Dan masih ada ayat-ayat al-Qur’an lainnya, menunjukkan bahwa kesemuanya itu adalah kepunyaan Allah SWT.

Namun demikian, pada saat yang sama, al-Qur’an menegaskan juga bahwa manusia diciptakan Allah berkedudukan sebagai khalifah, berfungsi untuk memakmurkan kehidupan di bumi. Allah menundukkan dan menganugerahkan alam semesta ini agar dimanfaatkan bagi kebutuhan hidup manusia. Manusia dianugerahi berbagai macam kekuatan dan kemampuan, baik kemampuan naluriah maupun akal budi untuk mempertahankan eksistensinya, baik perseorangan maupun kelompok.

Dari uraian tersebut, diketahui bahwa pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan manusia hanya bersifat relatif atau nisbi, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan dengan ketentuan-Nya. Firman Allah:

آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ

Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. (QS al-Hadid: 7)

وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ

… Dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu…. (QS. an-Nur: 33)

Kepemilikan Individu (Private Property)

Islam telah menetapkan adanya kebolehan setiap individu untuk memiliki harta benda secara pribadi, Allah berfirman:

… لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا .

(Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS an-Nisa’: 32)

وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ ….

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk …. (QS an-Nisa: 2)

Konsep kepemilikan dalam Islam mempunyai ciri yang khas, hal ini sejalan dan selaras dengan fitrah manusia. Berbeda dengan dua konsep yang berkembang saat ini, yakni kapitalisme dan komunisme, tak satu pun dari kedua sistem itu yang berhasil menempatkan individu atau pribadi selaras dalam suatu tatanan kehidupan sosial. Kebebasan dalam hak milik individu merupakan dasar dari konsep kapitalisme; dan penghapusan atas hak milik individu merupakan sasaran pokok dari ajaran sosialisme-komunisme.

Di dalam sistem ekonomi sosialis tidak dikenal kepemilikan individu (private property), yang ada hanya kepemilikan negara (state property) yang dibagikan secara merata kepada seluruh individu masyarakat. Kepemilikan negara selamanya tidak bisa dirubah menjadi kepemilikan individu. Sebaliknya, di dalam sistem ekonomi Kapitalis dikenal kepemilikan individu (private property), dan hak kepemilikan ini merupakan dasar dari kapitalisme. Pemilik harta bebas mengembangkan kekayaan dengan cara apapun untuk meningkatkan kekuasaan dan pengaruh perserikatan perusahaan; perusahaan yang mempunyai hak memonopoli harga dan produksi, berujung pada kekayaan segelintir orang. Hak milik yang tanpa batas ini telah membuat si kaya menjadi lebih kaya dan si miskin menjadi lebih miskin, sehingga kesenjangan sosial atau pembagian kekayaan dan pendapatan mencolok di tatanan sosial masyarakat atau negara.

Islam memelihara keseimbangan antara hal-hal berlawanan yang terlalu dilebih-lebihkan. Tidak hanya dengan mengakui hak milik pribadi tetapi juga dengan menjamin pembagian kekayaan yang seluas-luasnya. Salah satu perbedaan konsep kepemilikan dalam Islam adalah pada sisi pengelolaan harta, baik dari segi nafkah (konsumsi) maupun upaya pengembangan (investasi) kepemilikan harta.

Konsep dasar Islam yang harus dipahami dan diimani seorang muslim adalah, bahwa harta adalah titipan atau amanah Allah yang harus dimanfaatkan (konsumsi) dan dikembangkan sesuai dengan aturan-aturan yang telah digariskanNya. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ (رواه احمد عَنْ أَبِى أُمَامَةَ )

Sesungguhnya aku diutus dengan membawa ajaran lurus dan kelapangan (H.R Ahmad)

Dalam sistem ekonomi konvensional, harta yang telah dimiliki dapat digunakan (konsumsi) dan dikembangkan (investasi) secara bebas tanpa memperhatikan aspek halal dan haram serta bahayanya bagi masyarakat. Sebagai contoh, membeli dan mengkonsumsi minuman keras (khamr) adalah sesuatu yang dibolehkan, bahkan upaya pembuatannya dalam bentuk pendirian pabrik-pabrik minuman keras dilegalkan dan tidak dilarang.

Menurut Islam, harta yang telah dimiliki, pemanfaatan (konsumsi) maupun pengembangannya (investasi) wajib terikat dengan ketentuan halal dan haram. Dengan demikian maka membeli, mengkonsumsi barang-barang yang haram tidak diperkenankan (dilarang). Termasuk juga upaya investasi berupa pendirian pabrik  barang-barang haram juga dilarang. Karena itu, memproduksi, menjual, membeli dan mengkonsumsi minuman keras (memabukkan) dilarang dalam ajaran Islam.

Selain menerapkan aturan-aturan terkait kepemilikan harta dari segi pemanfaatan (konsumsi) maupun pengembangannya atau cara memperoleh harta tersebut. Islam juga sangat menjaga adanya kepemilikan tersebut. Bahkan, terhadap orang yang mati terbunuh karena mempertahankan harta miliknya dari gangguan atau pelanggaran yang mungkin dilakukan orang lain, maka kematian orang itu dikategorikan mati syahid.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ (رواه البخاري و مسلم )

Barangsiapa terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka dia (mati) syahid. (H.R Bukhari muslim)

Jika terdapat pelanggaran atas kepemilikan individu, Islam mempunyai hukuman yang harus dijalankan demi menjaga keselamatan dan keutuhan masyarakat. Namun sebelum hukuman itu dijalankan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Allah berfirman:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S Al-Maidah:38)

Diceritakan dari Abu Said al-Khudri berkata:’Suatu hari kita dalam perjalanan, kemudian Nabi SAW bersabda;”Barangsiapa yang mempunyai kelebihan atas bekal, maka berikanlah kepada orang yang tidak mempunyai bekal, barangsiapa mempunyai kelebihan atas kendaraan yang dimiliki, maka berikanlah kendaraan kepada orang lain, orang yang mempunyai kelebihan atas hartanya bersegera untuk memberikan kepada orang lain, sehingga mereka menyangka bahwa kita tidak berhak memiliki harta kecuali apa yang kita perlukan untuk mencukupi kebutuhan kita.”

Ibnu Hazm dalam kitabnya “al-Muhalla” berkata: “Tidak dihalalkan bagi seorang muslim yang dalam keadaan lapar untuk memakan bangkai atau daging babi, jika ia masih mendapatkan kelebihan makanan saudaranya, karena sudah menjadi kewajiban bagi orang yang mempunyai makanan untuk memberikan makan orang yang sedang lapar, jika hal ini dilakukan maka orang tersebut tidak akan butuh terhadap bangkai dan daging babi.”

Atas dasar tersebut, had potong tangan atas pencurian tidak akan dilaksanakan kecuali atas orang yang telah terpenuhi kebutuhan pokok mereka. Baik dipenuhi dengan jerih payahnya atau ditanggung orang lain; baik keluarga, ahli waris, atau mendapatkan zakat dari baitul mal. Diriwayatkan dari Rasyid bin Khattab, dia didatangi dua pemuda Ibnu Khatib bin Abi Bal’ah yang telah melakukan pencurian unta milik majikannya. Beliau membiarkan mereka bercerita, kemudian memutuskan kepada sayyidnya (majikan) untuk mengganti (menebus) unta tersebut dengan harga dua kali lipat. Karena ketika dilakukan penelitian masalah (menginvestigasi), ternyata majikan mereka tidak memberikan jatah yang cukup bagi kebutuhan pokok mereka. Seperti halnya had itu tidak dijalankan ketika terjadi paceklik.

Islam mengajak umatnya untuk mendahulukan kemaslahatan masyarakat daripada kemaslahatan individu, dan hak kepemilikan oleh individu harus tetap bertujuan untuk mendatangkan kemashlahatan yang sebesar mungkin dan juga dibatasi dengan tidak menimbulkan dharar (bahaya) bagi orang lain.
Sumber Kepemilikan

Salah satu konsep yang ditetapkan Islam adalah harta tidak bisa melahirkan harta. Dengan demikian, kepemilikan yang ditetapkan kepada pemilik harta merupakan hasil dari usaha atau jerih payah yang dilakukan. Kepemilikan yang dimiliki oleh manusia harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan syara’. Dengan kata lain, otoritas syara’ mempunyai kekuatan penuh atas kepemilikan yang dimiliki oleh manusia. Di antara cara-cara untuk memperoleh hak milik sebagai berikut:

  1. Bekerja: meliputi aktivitas menghidupkan tanah mati, menggali kandungan bumi, berburu, bertani, berdagang dan lain-lain.
  2. Warisan
  3. Pemberian negara kepada rakyat (i‘tha’ al-dawlah).
  4. Perolehan seseorang atas harta, seperti hibah, hadiah, wasiat, diyat (harta yang diperoleh sebagai ganti rugi dari kemudharatan yang menimpa seseorang), mahar (harta yang diperoleh melalui akad nikah), luqathah (barang temuan).
Kepemilikan Terlarang

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjaga sumber-sumber kepemilikan dan kekayaan. Rasulullah SAW sangat marah terhadap praktik-praktik pemberian hadiah kepada para pegawai pemerintah, dengan alasan, seandainya ia tidak menjadi pegawai pemerintah, mungkin ia tidak akan memerima hadiah. Pencegahan pemberiah hadiah ini di maksud sebagai tindakan prefentif agar tidak terjebak dalam praktik suap. Dengan kata lain, hal itu merupakan jalan yang tidak dibenarkan untuk mendapatkan sebuah kepemilikan atas harta benda.

Jalan lain yang dikategorikan sebagai jalan yang diingkari dan tidak diakui oleh Islam diantaranya: mencuri, menipu, atau pun berjudi, dan barang-barang yang haram yang dikembangkan atau dibudidayakan. Firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS al-Maidah: 90)

Kepemilikan Umum (Public Property)

Kepemilikan umum adalah harta atau barang yang diizinkan syara’ untuk dimanfaatkan pada komunitas masyarakat. Kepemilikan umum menyangkut tiga jenis:

  1. Sarana-sarana umum yang diperlukan oleh seluruh kaum muslimin dalam kehidupan sehari-hari; sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلاَءِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ (رواه ابن ماجه عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ)

Masyarakat muslim (redaksi di hadist lain “manusia”) bersama-sama mempunyai hak atas tiga macam benda, yaitu: air, padang rumput dan api. Menjualnya haram. (HR Ibnu Majah, dari Ibnu Abbas)

Komoditas ini tidak terbatas hanya pada tiga jenis di atas tetapi meliputi setiap benda yang didalamnya terdapat sifat-sifat sarana umum. Seperti pembangkit listrik, industri gas alam, batu bara, dan lain-lain.

  1. Harta-harta yang keadaan asalnya terlarang bagi individu tertentu untuk memilikinya;

Contohnya: laut, sungai, danau, teluk, selat, lapangan umum, jalan, masjid dan lain-lain.

  1. Barang tambang (sumber alam) yang jumlahnya tak terbatas dan menyangkut hajat hidup masyarakat.

Sesuai dengan sabda Rasulullah:

عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ الَّذِي بِمَأْرِبَ فَقَطَعَهُ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَ مِنْهُ

Dari Abyad ibnu Khammal, “Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambak) garam kepada Rasulullah SAW, maka beliau memberikannya. Tatkala memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majelis, apakah Engkau mengetahui apa yang telah Engkau berikan kepadanya? Sesungguh apa yang telah Engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir. Akhirnya Beliau bersabda: (kalau begitu) tarik kembali darinya”. (HR Abi Dawud)

Harta-harta itu merupakan harta umat, yang pengelolaan dan penggunaanya menjadi tanggung jawab ulil amri, yakni penguasa atau pemerintah.

 

Kesimpulan

Manhaj Islam yang diturunkan oleh Allah yang Maha Mengetahui segala rahasia yang ada dalam kehidupan manusia, merupakan aturan yang sesuai dengan fitrah manusia. Dalam konsepsi Islam, kepemilikan mutlak berada di tangan Allah, kepemilikan manusia atas harta kekayaan diakui dan dihormati eksistensinya sebagai bentuk amanah. Manusia harus menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya dengan cara; menghargai asas manfaat, pengelolaan harta, baik dari segi nafkah (konsumsi) maupun upaya pengembangan (investasi) kepemilikan harta sesuai dengan ketentuan syara’(syah), menuanaikan zakat, tidak merugikan orang lain, dan pengunaannya secara seimbang.

Narasumber utama artikel ini:

Abdul Qodir

banner 468x60