NIAT HAJI ATAU UMRAH
Niat adalah maksud atau keinginan hati untuk mendekatkan diri pada Allah SWT yang dibuktikan dengan suatu pekerjaan. Mayoritas ulama bersepakat, niat terletak di hati untuk segala situasi, namun mengecualikan untuk masalah-masalah tertentu harus disertai pelafalan (talaffuzh), di antaranya masalah perceraian dan haji. Niat haji atau umrah terkait erat dengan masalah ihram, yaitu berniat ikhlas di dalam hati karena Allah SWT untuk melakukan haji atau umrah kemudian diiringi mengucapkan lafal “Labbaika ‘umratan”, atau “Labbaika hajjan wa ‘umratan”, atau “Labbaika hajjan” sesuai dengan jenis haji yang hendak dilakukan di tempat-tempat (miqat) yang sudah ditentukan. Cara niat yang diiringi dengan ucapan dalam hal ini berdasarkan firman Allah SWT dan perbuatan Nabi Saw. dalam riwayat berikut:
- Firman Allah Swt,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء……
Artinya: “Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…..” [QS. Al-Bayyinah (89): 5]
مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى
Artinya: “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya” [QS. an-Najm (53): 11]
Hadis dari Umar bin al-Khatab ra. dari Rasulullah Saw.
إِنَّما الأعْمَالُ بالنِّيات – رواه البخارى
Artinya: “Sesungguhnya amalan-amalan itu (harus dilakukan) dengan niat, dan bagi setiap orang apa yang diniatkan…..” [HR. al-Bukhari]
- Hadis dari Anas ra.,
Artinya: “Saya mendengar Rasulullah Saw membaca talbiyah untuk berihram haji dan umrah bersama-sama dengan bacaan “Labbaika ‘umratan wa hajjan” (Aku patuhi perintahMu untuk umrah dan haji)” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
LAFAL/REDAKSI TALBIYAH
- Lafal/redaksi talbiyah yang disepakati ulama adalah sebuah riwayat populer dari Rasulullah Saw.:
عن عبد اللهِ بنِ عمرَ رضيَ اللهُ عنهما أنَّ تلْبيةَ رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لَبَّيْكَ اللّهمَّ لبَّيك،
لبَّيكَ لاشريكَ لكَ لبَّيكَ، إنَّ الحمدَ والنعمةَ لكَ والملكَ، لا شَرِيكَ لكَ -رواه البخارى
Artinya: Dari Abdulah bin Umar ra. (diriwayatkan) bahwa talbiyyah Rasulullah Saw: “aku patuhi perintahMu ya Allah, aku patuhi, aku patuhi. Tiada sekutu bagimu, sesungguhnya segala puji dan nikmat adalah milikMu, begitu pula kekuasaan, tiada sekutu bagiMu [HR. Al-Bukhari]
Membaca lafal ini dapat dilakukan sendiri, bersamaan, atau boleh melalui komando hingga anggota/jamaah mengikutinya. Demikian didasarkan pada sebuah riwayat mauquf:
عَنْ عَبْدِ الرَّحمَنِ بْنِ يَزِيدَ وَالْأَسْوَدِ بْنِ يَزِيدَ قَالَا سمِعْنَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ يقَولُ بِجَمْعٍ سمِعْتُ الَّذِي أُنْزِلَتْ
عَلَيْهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ هَاهُنَا يقَولُ لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ ثُمَّ لَبَّى وَلَبَّيْنَا مَعَ هُ – رواه مسلم
Artinya: (Diriwayatkan) Dari Abdurrahman bin Yazid dan al-Aswad binYazid keduanya berkata: Kami mendengar Abdullah bin Mas’ud berkata di Ja m’ (nama tempat): aku mendengar seseorang yang diturunkan padanya surat al-Baqarah di tempat ini membaca labbaikallahumma labbaik, sesudah itu ia membaca talbiyah dan kami pun ikut bertalbiyah (memulai ihram) (HR. Muslim)
THAWAF BAGI WANITA HAID
1. Haid sebelum Thawaf Wada’
Wanita haid tidak diwajibkan melaksanakan thawaf wada’, berdasar sabda Nabi saw. riwayat dari Ibnu Abbas:
Manusia diperintahkan agar mengakhiri pelaksanaan hajinya dengan thawaf di Baitullah, kecuali bagi wanita haid diberi keringanan tidak melaksanakannya (H.R. Muslim)
2. Haid sebelum Thawaf Ifadhah
Keadaan suci (termasuk dari haid) adalah syarat syahnya thawaf. Maka, bagi wanita haid yang belum melaksanakan thawaf ifadhah, ia harus menunggu sampai selesai haid. Setelah suci baru melaksanakan thawaf ifadhah.
Hal ini berdasar hadis dari ‘Aisyah:
Setiba di Makkah, saya haid dan belum thawaf (ifadhah) dan belum sya’i. Ia berkata: maka saya laporkan hal ini kepada Rasulullah. Beliau bersabda: Kerjakanlah sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang berhaji, selain thawaf di Baitullah sampai engkau suci (H.R. al-Bukhari)
Namun demikian, jika kondisi sangat darurat, tidak mungkin menunggu sampai suci, misal karena jadwal pesawat terbang, maka wanita haid boleh melaksanakan thawaf ifadhah dan sa’i, dengan cara mandi dulu, kemudian menjaga agar darah haid tidak tercecer.
Kebolehan darurat ini berdasar dalil:
يُرِيدُ ٱللَّهُ بِڪُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِڪُمُ ٱلۡعُسۡرَ
…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran.. (al-Baqarah [2]: 185)
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya (al-Baqarah [2]: 286).
هُوَ ٱجۡتَبَٮٰكُمۡ وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِى ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٍ۬ۚ
…dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untukkmu dalam agama sesuatu kesempitan (al-Hajj [22]: 78).
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu…(at-Taghabun [64]: 16)
Rasulullah bersabda: … jika aku memerintahkan sesuatu kepadamu kerjakanlah sesuai kemampuanmu (H.R. al-Bukhari).
Untuk menjaga agar tidak haid pada waktu thawaf dibolehkan minum obat dengan konsultasi dokter.
BADAL HAJI
Badal Haji adalah ibadah haji yang dilaksanakan oleh seseorang atas nama orang lain yang telah memiliki kewajiban untuk menunaikan ibadah haji, namun karena orang tersebut uzur (ada halangan) sehingga tidak dapat melak-sanakan sendiri. Maka, pelaksanaan ibadah hajinya didelegasikan kepada orang lain. Orang lain tersebut, mungkin anaknya, keluarganya atau bahkan orang lain sama sekali.
Badal haji menjadi masalah meng-ingat ada beberapa ayat al-Qur’an yang dapat dipahami bahwa sesorang hanya akan mendapat pahala dari hasil usahanya sendiri. Artinya, seseorang tidak dapat melakukan suatu peribadatan untuk orang lain, pahala dari peribadatan itu tetap bagi orang yang melakukannya bukan bagi orang lain.
Selain itu, ada hadits Nabi saw. yang menerangkan bahwa seseorang anak dapat melaksanakan ibadah haji untuk orang tuanya, atau seseorang dapat melaksanakan haji untuk saudaranya.
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal, (yaitu) shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya.” [HR. Muslim].
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata: Seseorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw. dan ia berkata: “Saudara perempuan saya bernadzar untuk berhaji, lalu ia meninggal dunia.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Bagaimana kalau saudara perempuanmu itu berhutang? Apakah engkau melunasinya?” Laki-laki itu berkata: “Ya.” Rasulullah saw. bersabda: “Lunasilah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih berhak pelu-nasannya” (HR. al-Bukhari).
Setelah memahami dalil-dalil, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah berpendapat bahwa badal haji bagi seseorang yang telah memenuhi kewajiban haji tetapi ia tidak dapat melaksanakannya karena udzur atau karena telah meninggal dunia, dapat dilakukan oleh anaknya atau saudaranya yang telah berhaji terlebih dahulu.
(Artikel tentang ibadah haji dan umrah ini diambil dari Tuntunan Manasik Haji Menurut Putusan Tarjih Muhammadiyah
yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Keterangan selengkapnya tentang dalil-dalil dapat dibaca dari buku tersebut).