ألَسلامُ عليكم ورحمةُ الله وبركاتُهُ
Pembaca yang budiman!
Para Nabi dan Rasul menghadapi ummat manusia yang menyekutukan Allah dengan patung-patung dan tugas utama kenabian dan kerasulan mereka adalah mengajak manusia kembali menjadikan Allah sebagai satu-satunya ilah. Mereka menyeru, “Wahai kaumku, sembahlah Allah, tidak layak bagimu sekalian menjadikan ilah selain Dia” (QS al-A’raf: 85). Patung tidak layak menjadi sekutu bagi Allah. Demikian pula benda-benda lain di semesta raya, semuanya tidak ada yang layak menjadi sekutu-Nya.
Nabiyullah Ibrahim ‘alaihis salam mendapati kaumnya menyembah berhala dan bapaknya termasuk di antaranya. Beliau berkata kepada bapaknya Azar, “Pantaskah kamu menjadikan patung-patung sebagai ilah-ilah? Sungguh aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata (QS al-An’am: 74).
Allah memperlihatkan tanda-tanda keagungan-Nya di langit dan di bumi kepada Ibrahim agar menjadi yakin dan memberinya petunjuk sehingga pikirannya menjadi jernih. Ketika malam telah gelap, Ibrahim melihat bintang cemerlang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata; “Saya tidak suka kepada yang tenggelam (QS al-An’am: 76). Ketika melihat bulan terbit dia berkata, “Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala bulan itu tenggelam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat” (QS al-An’am: 77). Ketika melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: ”Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (QS al-An’am: 78).
Patung-patung tidak layak menjadi ilah. Bintang gemintang yang bertebaran di langit tidak layak menjadi ilah. Bulan yang tampak indah bercahaya juga tidak layak menjadi ilah. Demikian pula matahari sebagai penerang bumi dan sumber energi yang memancar terus, juga tidak layak menjadi ilah. Semuanya tidak ada yang layak, kecuali hanya Allah satu-satunya Dzat yang layak menjadi ilah. Maka kita harus menyatakan: Tidak ada ilah kecuali Allah.
Kaum Bani Israil yang dibimbing langsung oleh Nabi Musa juga tidak terlepas dari menjadikan patung-patung sebagai ilah. Bahkan dalam kondisi baru saja terlepas dari bahaya kejaran Fir’aun, mereka terkagum-kagum dengan patung yang diagung-agungkan oleh kaum yang dilewati. Mereka meminta kepada Musa untuk membuatkannya. Al-Qur’an mengabadikannya dalam ayat berikut:
وَجَـٰوَزۡنَا بِبَنِىٓ إِسۡرَٲٓءِيلَ ٱلۡبَحۡرَ فَأَتَوۡاْ عَلَىٰ قَوۡمٍ۬ يَعۡكُفُونَ عَلَىٰٓ أَصۡنَامٍ۬ لَّهُمۡۚ قَالُواْ يَـٰمُوسَى ٱجۡعَل لَّنَآ إِلَـٰهً۬ا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةٌ۬ۚ قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمٌ۬ تَجۡهَلُونَ
“Dan Kami seberangkan Bani Israil melalui lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang menyembah patung mereka, Bani Israil berkata: “Hai Musa, buatkan untuk kami ilah sebagaimana mereka punya ilah-ilah. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui” (QS al-A’raf: 138).
Di saat lain, ketika Nabi Musa meninggalkan kaumnya, Bani Israil disesatkan oleh Samiri dengan sebuah patung anak sapi yang bertubuh dan bersuara. Mereka berkata: “Inilah ilah-mu dan ilah Musa, tetapi Musa telah lupa” (QS Thaha: 88). Mereka tetap bersikukuh tidak mau merubah keyakinannya meskipun telah diingatkan oleh Nabi Harun.
Hampir semua Nabi dan Rasul utusan Allah berhadapan dengan kaum yang ber-taaluh kepada patung dan sejenisnya. Termasuk penutup para Nabi dan Rasul Muhammad Sallallahu’alaihi wa sallam menghadapi juga.
Pada awal kenabian beliau, di Hijaz ada tempat pemujaan yang dikenal sebagai kuil tiga “putri Tuhan”, yakni al-Lata, al-Uzza, dan al-Manat. Al-Lata adalah “Dewi Thaif”, patungnya ditempatkan di sebuah kuil mewah di Tha’if. Kuil al-Uzza terletak di lembah Nakhlah, sehari perjalanan unta ke arah selatan Makkah. Kuil al-Manat terletak di Qudayd Laut Merah.
Di dalam Ka’bah ada patung Hubal yang diminta dari kaum Moabit di Syria, patung itu berada di dalamnya selama beberapa generasi. Di sekitar Ka’bah ada sekitar 360 patung. Banyak suku di jazirah Arab yang membawa dan meninggalkan patung di sekitar Ka’bah ketika mereka berziarah ke tempat suci tersebut.
Orang-orang Mekkah juga menyimpan patung-patung di rumah mereka sebagai penjaga rumah. Bila akan bepergian jauh, mereka menghadap patung dan bersujud didepannya meminta berkah dan keselamatan. Demikian juga yang mereka lakukan saat kembali. Bukan hanya orang Mekkah yang melakukan itu, hampir semua bangsa Arab memuja berhala. Sedikit saja yang masih mengikuti agama hanif.
Sekarang inipun di berbagai belahan dunia masih bisa didapati para pemuja patung, termasuk di sekitar kita. Mereka memiliki ritual tertentu yang dilakukan di hadapan patung-patung yang mereka per-ilah-kan. Agama-agama yang memiliki penganut besar di dunia juga menjadikan patung sebagai ilah.
Mengapa mereka menjadikan patung-patung itu sebagai ilah?
1. Melanjutkan tradisi
Orang-orang yang menjadikan patung sebagai ilah sebenarnya sadar bahwa patung-patung itu tidak berkuasa menciptakan sesuatu dan tidak mampu memberi rejeki. Ketika Nabi Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, “Patung-patung apakah ini yang kamu sekalian tekun beribadah kepadanya?” (QS al-Anbiya: 52). Mendapat pertanyaan tersebut mereka tidak memiliki jawaban yang meyakinkan dan hanya bisa mengatakan bahwa mereka telah mendapati orang tua mereka melakukan sebelumnya (QS al-Anbiya: 53). Mereka hanya mewarisi kebiasaan itu. Ketika dijelaskan bahwa yang mereka lakukan keliru dan sesat, dan seharusnya mereka menyembah Tuhan semesta alam yang menciptakan mereka, mereka mengabaikan dan marah.
Kebiasaan memang sulit dirubah kecuali dengan sadar ingin merubahnya, dan itupun harus dengan keinginan dan usaha yang kuat. Kebiasaan muncul akibat melakukan perbuatan yang sama berulang-ulang. Semakin sering suatu perbuatan diulang dan semakin lama proses pengulangannya akan semakin melekat menjadi kebiasaan. Perbuatan baik atau buruk yang diulang-ulang, otak akan memrogramnya menjadi kebiasaan.
Mereka menjadikan patung sebagai ilah dalam kurun waktu yang lama, melakukannya berulang-ulang, bahkan turun-temurun sejak jaman nenek moyangnya dan telah menjadi bagian program otak bawah sadarnya. Mereka melakukannya tanpa berpikir lagi dan akal sehatnya tidak mampu bekerja. Orang yang telah terikat dengan kebiasaannya, setelah tahu bahwa kebiasaannya buruk dan bertentangan dengan aturan Allah, tidak mau meninggalkannya maka ia telah mengangkat derajat kebiasaan tersebut menjadi ilah.
“Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar di antaranya, agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya (QS al-Anbiya: 59). Dan benar, ketika mereka tahu patung-patung sembahan mereka hancur, mereka yakin bahwa Ibrahimlah yang melakukan. Mereka bertanya: “Apakah engkau telah menghancurkan ilah-ilah kami? Ibrahim menjawab: “Patung yang besar itulah pelakunya, maka bertanyalah kepada mereka jika mereka dapat berbicara” (QS al-Anbiya: 62-63).
Mendapat tantangan Nabi Ibrahim, mereka tersadar bahwa yang mereka lakukan tidak benar. Ilah mereka tidak bisa bicara! Namun, ketika diingatkan bahwa ilah-ilah mereka tidak memberikan manfaat apapun, juga tidak dapat memberikan mudharat, mereka menjadi marah kemudian memberikan hukum bakar kepada Ibrahim.(QS al-Anbiya: 65-70). Mereka tidak mampu lagi menggunakan akal sehat. Mereka keukeuh dengan tradisinya meskipun tahu bahwa yang dilakukannya tidak benar.
Ketika membaca ayat-ayat al-Qur’an yang berkisah tentang ummat penyembah berhala, seharusnyalah kita bercermin. Apakah ada perbuatan kita yang mirip-mirip mereka? Apakah ada kebiasaan-kebiasaan buruk yang kita lakukan, baik berasal dari diri sendiri, orang tua atau dari tradisi masyarakat yang masuk kategori syirik, bid’ah, ataupun khurafat? Kalau ternyata masih ada, harus berani meninggalkannya. Orang yang tetap keukeuh setelah sadar, masuk kategori memper-ilah-kan tradisi. Ia memilih tradisi buruk dibanding petunjuk Allah.
2. Pengaruh Lingkungan
Ummat Nabi Ibrahim sadar bahwa patung-patung mereka tidak bisa bicara, bahkan patung yang terbesar sekalipun. Mereka sadar pula bahwa ilah-ilah mereka sama sekali tidak bisa mendatangkan manfaat atau bahaya. Tetapi mereka terlanjur “biasa” melakukan. Kaum mereka melakukan. Orang tua mereka melakukan. Nenek moyang mereka juga melakukan. Jadi apanya yang salah? Pikir mereka. Itulah dahsyatnya pengaruh lingkungan! Perbuatan salah yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat, tampak seakan-akan menjadi perbuatan yang benar. Rasulullah SAW mengingatkan: “Seseorang bergantung kepada agama temannya. Maka perhatikan kepada siapa ia berteman”.
Pengaruh lingkungan tersebut juga terjadi pada kaum Bani Israil ummat Nabi Musa, sebagaimana diceritakan di muka. Belum lama mereka diselamatkan Allah dari kejaran Fir’aun, mereka tertarik dan mengikuti suatu kaum yang menyembah patung, bahkan mereka meminta Nabi Musa untuk membuatkan patung seperti itu. Sangat keterlaluan! Kepada Nabi Musa mereka berani meminta patung yang akan mereka jadikan ilah. Padahal misi Nabi Musa adalah mengajak Bani Israil menjadikan Allah sebagai satu-satunya ilah. Karena itu, berhati-hatilah dalam memilih lingkungan pergaulan karena pengaruhnya sangat besar. Memastikan pergaulan di tengah-tengah orang shaleh, membuka peluang lebih besar menjadi shaleh.
3. Untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah
Kaum yang dihadapi Nabi Muhammad SAW juga penyembah berhala. Meski demikian, mereka mengakui bahwa Allah adalah Tuhan langit dan bumi. Ketika ditanya, siapakah Tuhan langit dan bumi? Jawab mereka: “Allah” (QS ar-Rad: 16). Mereka mengakui bahwa langit, Arsy dan bumi adalah milik Allah. Ketika ditanya, siapa yang memiliki langit yang tujuh dan Arsy yang besar, mereka menjawab: “Kepunyaan Allah” (QS al-Mu’minun: 86-87). Mereka juga mengakui bahwa Allah yang memberikan rejeki, menciptakan pendengaran dan penglihatan, mengeluarkan yang hidup dari yang mati, mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan mengatur segala urusan (QS Yunus: 31)
Lantas, mengapa mereka mengambil pelindung dari selain Allah, mengapa mereka tidak bertakwa, mengapa mereka tidak mengingat semua itu, mengapa mereka masih menyimpan patung-patung di rumah, di tempat pemujaan dan di sekitar Ka’bah? Allah memberi penjelasan sebagai berikut: “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya” (QS az-Zumar: 3).
Mereka tidak mau masuk Islam bukan masalah keyakinan akan keberadaan Allah sebagai pencipta, pengatur, pemberi rejeki, yang menghidupkan dan mematikan. Mereka telah meyakininya. Mereka paham bahwa konsekuensi mempersaksikan “Laa ilaaha Illallah” demikian besar. Tidak cukup hanya mengakui Allah sebagai Tuhan pencipta, pengatur, pemberi rejeki, yang menghidupkan dan mematikan, tetapi mencakup penyerahan total kepada aturan-aturan Allah yang harus mereka lakukan.
Mereka harus meninggalkan semua kebiasaan dan perbuatan yang tidak sejalan dengan aturan Allah, termasuk menjadikan patung-patung sebagai media pendekatan diri kepada Allah. Barangkali mereka merasa lebih khusyu’ ibadahnya kalau di hadapannya ada patung yang bisa dilihat, yang diyakini sebagai media atau perantara ibadahnya kepada Allah.
Meskipun maksudnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi mereka masuk kedalam kategori mengambil pelindung selain Allah. Perbuatan mereka termasuk syirik.
Inti dari perbuatan menjadikan patung sebagai ilah sesungguhnya adalah penolakan terhadap keesaan Allah dan menyekutukannya dengan benda. Pada jaman para Nabi dan Rasul, bendanya berupa patung berbahan batu, emas, kayu, atau lainnya. Patung-patung tersebut dipersepsikan sebagai ilah yang mampu menguasai hati dan pikiran mereka, sehingga mereka sukarela melakukan sesuatu untuk patung-patung tersebut. Mereka juga mau berkorban untuk patung-patung tersebut. Pada jaman kita sekarang ini masih banyak agama maupun kepercayaan yang menjadikan patung-patung sebagai Ilah.
Kita mesti berhati-hati terhadap masalah syirik karena menjadi satu-satunya dosa tanpa ampunan kalau sampai terbawa mati sebelum bertobat. Kita wajib memperbaharui tauhid kita setiap saat. Minimal kita lakukan hal itu sebanyak ketika kita melakukannya saat duduk tahiyat dalam shalat kita setiap hari. Setiap mengucapkan:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Kita lakukan dengan penuh kesadaran, “Saya bersaksi bahwa tidak ada ilah kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya”. Jangan sampai ada benda (termasuk uang/ harta) atau apapun yang mendominasi hidup kita selain Allah. Wallahu A’lam.
Yogyakarta, 18 Nopember 2014
Agus Sukaca
guskaca@gmail.com