Dalam tulisan sebelumnya telah dibahas tentang asas-asas bisnis (bekerja/berusaha) dalam perspektif Islam, selanjutnya dalam tulisan ini akan dibahas tentang etika bisnis Islam. Pembicaraan tentang asas-asas berbisnis berarti berbicara tentang persoalan spirit agama dan pondasi bangunan usaha atau bisnis berdasarkan petunjuk agama. Sedangkan etika menyangkut norma-norma dan aturan-aturan operasional yang harus diperhatikan dalam menjalankan roda usaha atau berbisnis.
Dengan memperhatikan asas dan etika bisnis Islam ini seseorang akan terhindar dari berbagai praktek bisnis yang yang dilarang oleh agama, serta dapat menjadikan usaha yang dijalankannya bernilai ibadah di hadapan Allah swt. Dalam etika bisnis Islam ini mencakup berbagai macam larangan yang harus dihindari sehingga tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Adapun larangan-larangan berbisnis dalam Islam tersebut adalah sebagai berikut:
-
Kesamaran (Jahalah)
Kesamaran atau ketidakjelasan (jahalah) merupakan salah satu bentuk larangan yang harus dihindari dalam berusaha, terlebih lagi dalam urusan berbisnis. Dalam percakapan umum, istilah jahalah semakna dengan ungkapan “tidak transparan” atau “membeli kucing dalam karung”, yang mengisyaratkan tentang perlunya transparansi dalam melakukan segala bentuk transasksi mu’amalah.
Dalam praktek jual beli misalnya, orang yang terbebas dari unsur jahalah adalah orang yang melakukan transaksi jual beli dengan transparan dan akuntable, baik menyangkut jenis barang, jumlah atau ukuran, kehalalan dan keharamannya, masa kadaluarsa dan lain sebagainya, sehingga dalam praktek bisnis yang dijalankannya tidak ada pihak yang merasa tertipu dan dirugikan.
Dalam banyak hadis, Rasulullah saw menjelaskan tentang pentingnya persoalan ini, antara lain dalam hadis berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُخَاضَرَةِ وَالْمُلاَمَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ والْمُزَابَنَةِ – رواه البخارى
“Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata: Rasulullah saw melarang jual beli muhaqalah (yaitu; jual beli buah yang masih di atas pohonnya),dan muhadharah (jual beli buah yang belum matang/masih hijau dan belum jelas kualitasnya), jual beli raba (yaitu; jual beli dengan tidak mengetahui ukuran, jenis dan kualitas barang), jual beli lempar dan jual beli muzabanah”. (HR. Al-Bukhari)
Esensi yang terkandung dalam hadis tersebut terkait dengan berbagai bentuk usaha yang dijalankan secara tidak transparan dan penuh dengan ketidakpastian. Tentu saja praktek-praktek bisnis atau berusaha semacam itu tidak hanya terjadi pada kurun waktu tertentu saja, namun hal tersebut dapat ditemukan di setiap kurun dan generasi. Salah satu jenis praktek jual beli yang banyak terjadi di tengah masyarakat dewasa ini dan memiliki banyak kesamaan dengan praktek jual beli terlarang sebagaimana dijelaskan dalam hadis di atas adalah jual beli dengan sistem ijon.
Jual beli ijon yang dimaksudkan di sini adalah jual-beli buah-buahan (seperti padi dan lainnya) yang masih hijau atau masih di atas pohonnya. Prakteknya, seorang pembeli membayar padi atau buah-buahan yang masih di atas pohonnya tersebut secara kontan jauh sebelum musim panen tiba, tanpa mengetahui secara pasti kuantitas dan kualitas barang yang akan didapatkannya nanti. Praktek jual beli seperti ini tentu akan membuka peluang terjadinya kerugian yang bisa menimpa salah satu dari kedua belah pihak yang bertransaksi.
Praktek jual beli semacam ini bisa terjadi karena masing-masing pihak baik penjual maupun pembeli memiliki strategi dan tujuan tertentu. Bagi pihak penjual (buah yang masih di atas pohon) mau melepas dengan harga tertentu karena ia memprediksi bahwa volume barang sesuai dengan harga yang ditetapkan atau bahkan keuntungan yang akan didapatkan jauh melebihi volume barang yang dijualnya. Sedangkan pihak pembeli rela membeli dengan harga tertentu, karena ia memprediksi bahwa barang yang akan didapatkan di musim panen nanti melebihi harga yang telah ditentukan jauh sebelumnya. Maka jika prediksi yang telah mendorong kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli ternyata tidak sesuai dengan kenyataan, niscaya akan melahirkan kekecewaan (gelo) dan bahkan penyesalan yang sangat mendalam atau bahkan terjadi percekcokan di antara kedua belah pihak.
Oleh sebab itu, dalam hadis lain Nabi saw. ditegaskan;
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَهُمْ يُسْلِفُوْنَ فِى الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ – رواه مسلم
“Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: Nabi saw datang ke Madinah, sementara mereka sudah biasa melaksanakan akad salam terhadap buah-buahan untuk waktu satu tahun dan dua tahun. Beliau bersabda: Barangsiapa melakukan akad salam, hendaklah dilakukan dengan takaran tertentu, timbangan tertentu dalam jangka waktu tertentu”. (HR. Muslim)
Contoh lain dari praktek jual beli yang memiliki unsur kesamaran (jahalah) ini adalah; jual beli ikan yang masih dalam kolam. Praktek semacam ini juga sarat dengan unsur manipulasi dan ketidakpastian yang berakibat pada kerugian salah satu pihak. Praktek semacam ini banyak terjadi di berbagai tempat, dimana seorang menjual ikan yang masih di dalam tambak atau dalam kolamnya dengan harga tertentu, sesuai dengan perkiraannya terhadap jumlah ikan yang terdapat dalam kolam atau tambaknya.
Padahal bagi seseorang yang menyaksikan ikan yang masih dalam kolam, ia dapat saja melihat yang sedikit seolah terlihat banyak, atau ikan yang masih kecil terlihat besar dan sebagainya. Faktor-faktor semacam ini dapat menyebabkan seseorang membuat keputusan yang tidak tepat dan berahir dengan kerugian dan penyesalan.
2. Perjudian (Maisir)
Salah satu motivasi seseorang melakukan praktek perjudian adalah untuk mendapatkan penghasilan sekalipun dengan cara yang diharamkan. Dalam perkembangannya, praktek perjudian (maisir) tidak lagi sekedar praktek penyimpangan yang berdiri sendiri dan tidak terkait dengan aspek mu’amalah lainnya. Namun saat ini praktek perjudian (maisir) justru dapat dijumpai dalam beberapa bentuk mu’amalah seperti jual-beli dan lainnya.
Salah satu contoh praktek jual beli yang mengandung unsur maisir (perjudian) adalah; jual beli minuman botol (seperti; sprite/coca cola dan lainnya) dengan cara (media) gelang yang terbuat dari plastik atau rotan, untuk disewakan atau dijual dengan harga tertentu. Lalu gelang-gelang tersebut dilemparkan ke arah botol-botol minuman yang dijajakan secara berbaris. Jika gelang tersebut masuk (melingkari) botol, maka minuman tersebut menjadi hak pembeli, tetapi jika tidak ada yang masuk maka pembeli tidak mendapatkan apa-apa sekalipun gelang yang dibeli jauh melampui harga minuman yang disediakan. Praktek semacam ini banyak ditemukan di pasar-pasar tradisional hingga mal-mal besar dengan teknis yang beraneka ragam.
Sebagaimana perjudian (maisir) pada umumnya, orang yang sudah terlanjur mengeluarkan uang untuk mendapatkan sesuatu barang, ia akan semakin terobsesi untuk mendapatkan barang yang menjadi targetnya. Jika ia belum berhasil, ia akan semakin penasaran hingga barang yang diincar bisa didapatkan, sekalipun ia harus mengeluarkan biaya yang banyak bahkan melebihi harga barang yang menjadi targetnya. Begitu pula jika dengan kelihaiannya ia berhasil mendapatkan suatu barang, maka ia akan terobsesi untuk mendapatkan barang yang lebih banyak dengan biaya yang relatif sedikit.
Keharaman segala bentuk perjudian (maisir) ini banyak dijelaskan dalam ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi SAW., antara lain:
يَآيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ والأَنْصَابُ والأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. – المائدة: 90
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras (khamar), berjudi (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntunga”. (QS. al-Ma’idah: 90)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَالْكُوبَةِ وَالْغُبَيْرَاءِ – رواه أحمد و أبو داود
“Dari Abdullah bin Amru, bahwasanya Nabi saw melarang (meminum) khamar, perjudian, menjual barang dengan alat dadu atau sejenisnya (jika gambar atau pilihannya keluar maka ia yang berhak membeli) dan minuman keras yang terbuat dari biji-bijian (biji gandum). (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
3. Penindasan (Az-Zhulmu)
Kezaliman merupakan tindakan melampui batas yang sering terjadi dan digunakan oleh seseorang untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Tindakan dengan melakukan kezaliman untuk mendapatkan keuntungan ini sering juga disebut dengan “Machiavellian” yaitu sikap menghalalkan segala cara asal tujuan bisa tercapai (al-ghayah tubalighul washilah).
Kezaliman (penindasan) merupakan salah satu hal yang sangat dimurkai dan diharamkan dalam Islam. Bahkan kezaliman kepada orang lain tidak akan diampuni oleh Allah sehingga orang tersebut meminta maaf kepada orang yang dizaliminya. Kezaliman juga dapat menjadi faktor penyebab seseorang mengalami kerugian besar (muflis) pada hari kiamat. Karena semua kebaikan dan pahala yang diperolehnya di dunia habis untuk membayar setiap kezaliman yang pernah dilakukannya saat ia hidup di dunia. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi saw;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ – رواه مسلم
“Dari Abi Hurairah ra berkata; bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Tahukah kamu sekalian apakah yang dimaksud orang yang merugi itu? Para sahabat menjawab: orang yang merugi di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki uang (dirham) dan harta benda. Lalu Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya orang yang merugi dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala) shalat, puasa, zakat, (namun ia juga) datang pada hari kiamat dengan (membawa dosa karena) telah mencaci orang lain, menuduh orang lain (berzina), memakan harta orang lain (secara bathil), membunuh orang lain, memukul (menyiksa/menzalimi) orang lain, lalu diambillah kebaikan-kebaikan (pahala) nya untuk membayar semua kesalahan-kesalahannya itu. Jika kebaikan (pahala) nya sudah habis sebelum selesai menebus semua kesalahannya, maka diberikanlah dosa-dosa dari orang-orang yang pernah disakiti/dizaliminya, lalu dibebankan atasnya kemudian ia dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim)
Larangan untuk melakukan kezaliman (penindasan) dapat diujumpai dalam banyak ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi saw antara lain:
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ. – البقرة: 279
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari mengambil riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. al-Baqarah: 279)
إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُوْنَ. – القصص: 37
“Sesungguhnya tidaklah akan mendapat kemenangan (bagi) orang-orang yang zhalim”. (QS. al-Qashash: 37)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ – رواه مسلم
“Dari Jabir bin Abdillah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: Takutlah (jauhilah) kamu sekalian akan kezaliman, karena sesungguhnya kezaliman itu adalah kegelapan (kezaliman) pada hari kiamat, dan jauhilah kamu sekalian sifat bakhil, karena sesungguhnya kebakhilan itu telah menyebabkan binasanya orang-orang sebelum kamu, (karena kebakhilan pula) telah menyebabkan mereka mengucurkan darah mereka (saling membunuh) dan mereka menghalalkan segala sesuatu yang telah diharamkan kepada mereka.” (HR. Muslim)
عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا رَوَى عَنْ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ قَالَ يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا…. – رواه مسلم
“Dari Abi Dzar ra., dari Nabi saw. berupa sesuatu yang telah beliau riwayatkan (dapatkan) dari Allah tabarakata wa ta’ala, bahwasanya Allah berfirman; wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku, dan Aku jadikan kezaliman itu di antara kamu sekalian (sebagai) sesuatu yang diharamkan, maka janganlah kamu sekalian saling menzalimi….” (HR. Muslim)
Adapun contoh-contoh kezaliman yang seringkali terjadi dalam bidang mu’amalah antara lain; melakukan penipuan, penimbunan barang sehingga menyebabkan kelangkaan barang dan melonjaknya harga barang di pasaran (ihtikar), pemaksaan, pencurian, perampokan dan lain sebagainya. Termasuk di antaranya salah satu bentuk bisnis yang banyak digandrungi oleh sebagian orang, yaitu Multi Level Marketing (MLM), sekalipun tidak semua bentuk MLM memiliki unsur maisir, kezaliman dan gharar (penipuan atau manipulasi). Namun pada umumnya MLM sarat dengan money game, dan tidak murni sebagai praktek jual beli yang syar’i.
4. Mengandung Unsur Riba
Riba merupakan salah satu rintangan sekaligus tantangan yang seringkali menggiurkan banyak orang untuk meraih keuntungan. Oleh karena itu dalam banyak ayat dan hadis Nabi saw. persoalan riba ini memperoleh perhatian yang sangat serius dan dijelaskan dengan sangat rinci. Diharamkannya riba dalam Islam tentu memiliki banyak hikmah baik bagi diri sendiri maupun orang lain, baik bagi kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Beberapa ayat dan hadis di bawah ini sangat cukup memberikan gambaran kepada kita tentang maksud, tujuan dan hikmah diharamkannya riba dalam Islam.
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِى يَتَخَبَّطَهُ الشَّيْطَانَ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوْا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا – البقرة: 275
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS.al-Baqarah: 275)
يَآيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوْا مَابَقِىَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ – البقرة: 278
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkankan sisa-sisa (yang belum dipungut) dari riba, jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. al-Baqarah: 278)
يَآيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَأْكُلُوْا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوْا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ – ال عمران: 130
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta riba secara berlipat ganda dan takutlah kamu kepada Allah agar kamu memperoleh keberuntungan”. (QS. Ali Imran: 130)
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلُ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ – رواه مسلم
“Dari Jabir (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw melaknat orang yang makan riba, yang memberi riba, yang menuliskannya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda: Mereka itu sama”. (HR. Muslim)
Bahkan Rasulullah SAW memasukkan persoalan riba ini sebagai salah satu dari tujuh hal yang membinasakan, sebagaimana sabda beliau:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ – رواه البخاري ومسلم
“Dari Abi Hurairah ra., dari Nabi saw. bersabda: Jauhilah oleh kamu sekalian tujuh hal yang membinasakan, (para sahabat bertanya) wahai Rasulullah apakah tujuh hal yang membinasakan itu ? Rasulullah saw bersabda: menyekutukan Allah, sihir, membunuh nyawa (seseorang) yang diharamkan kecuali karena kebenaran, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang dan menuduh wanita terhormat lagi beriman melakukan zina.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
5. Unsur Membahayakan (adh-Dharar)
Perintah maupun larangan dalam Islam memiliki tujuan yang sangat prinsip dan mendasar guna menjaga lima kebutuhan mendasar manusia. Kelima kebutuhan pokok manusia (dlaruriyat) ini lebih dikenal dengan maqhashid al khamsah (lima sasaran hukum Islam), yaitu: Menjaga nyawa (hifzhun nafs), menjaga akal (hifzhul ‘Aql), menjaga harta (hifzhul mal), menjaga keturunan (hifzhun Nasl), dan menjaga agama (hifzhud din).
Maka barometer untuk mengukur dan menjadi acuan apakah suatu usaha, bisnis atau segala usaha yang dijalankan oleh seseorang memiliki unsur yang membahayakan (dharar), tentu mengacu kepada maqhashid al khamsah (lima sasaran hukum Islam ) di atas.
Adapun ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi saw.yang menjelaskan tentang persoalan ini antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا – النساء: 29
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta di antara kamu sekalian dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’/4: 29)
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ – البقرة: 195
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah/2: 195)
عَنْ عُبَادَةَ ابْنِ صَامِتِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ – رواه أحمد وابن ماجة
“Dari Ubadah bin shamit r.a.; bahwasanya Rasulullah saw menetapkan tidak boleh membuat kemudharatan dan tidak boleh pula membalas kemudharatan”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
6. Penipuan atau Kecurangan (al-Gharar)
Menurut bahasa, al-gharar berarti pertaruhan (al-mukhatharah) dan ketidakjelasan (al-jahalah). Sedangkan, menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, al-gharar adalah sesuatu yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah). Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa semua praktik jual-beli, seperti menjual burung di udara, unta (binatang) yang kabur, dan buah-buahan sebelum tampak buahnya, termasuk jual-beli yang diharamkan oleh Allah SWT. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli gharar adalah jual-beli yang mengandung ketidakjelasan, pertaruhan atau perjudian.
Di dalam syari’at Islam, jual-beli gharar termasuk salah satu bentuk jual-beli yang terlarang. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ – رواه مسلم
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah SAW melarang jual-beli dengan lempar kerikil dan jual-beli gharar (spekulasi)”. [HR. Muslim]
Sekalipun telah dilarang, tetapi praktik jual-beli gharar masih dapat ditemukan di tengah-tengah masyarakat. Pertama, seorang penjual menjajakan berbagai bentuk barang dagangan dengan variasi harga dan menyediakan batu kerikil, atau gelang yang terbuat dari rotan atau sejenisnya. Kemudian, seorang pembeli melemparkan kerikil atau gelang tersebut ke arah barang yang diinginkannya. Apabila kerikil yang dilempar mengenai salah satu barang atau gelang tersebut masuk pada barang yang diinginkannya, maka secara otomatis barang tersebut menjadi milik pembeli. Sebaliknya, jika kerikil tersebut tidak mengenai atau gelang yang dilempar tidak masuk pada barang yang diinginkan, maka pembeli tidak mendapatkan apa-apa, sekalipun harga barang sudah diserahkan kepada penjual. Kedua, menjual tanah atau pekarangan dengan harga tertentu sejauh batas lemparan pembeli. Apabila lemparannya jauh, maka pekarangan yang akan didapatkannya pun luas, dan begitu pula sebaliknya. Ketiga, jual-beli barang yang belum ada atau belum jelas (ma’dum), seperti misalnya jual-beli janin binatang yang masih dalam rahim induknya (habal al habalah).
Dalam syari’at Islam, larangan jual-beli gharar tentu memiliki banyak hikmah. Di antara hikmah tersebut adalah agar seseorang tidak memakan harta orang lain secara batil. Di dalam Islam, memakan harta orang lain secara batil termasuk perbuatan yang dilarang agama. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah SWT:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ – البقرة:188
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” [Q.s. al-Baqarah: 188].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا – النساء: 29
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” [Q.s. an-Nisaa’: 29].
Larangan memakan harta orang lain secara batil juga dikuatkan dengan pengharaman perbuatan judi. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ – المائدة:90
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” [Q.s. al-Maa’idah: 90]
7. Penyalahgunaan Hak (at–Ta’assuf )
Dalam istilah fikih, penyalahgunaan hak (ta’assuf fi isti’malil haqq) berarti penggunaan hak secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan pelanggaran hak dan kerugian terhadap kepentingan orang lain maupun masyarakat umum. Jika difahami secara mendalam, adanya larangan penyalahgunaan hak (at-ta’assuf) ini tidak lepas dari pembicaraan tentang hakikat kepemilikan dalam Islam. Dalam perspektif Islam, kepemilikan harta benda tidak bersifat absolut sebagaimana dianut oleh faham kapitalis, dan juga tidak membenarkan kepemilikan serba negara seperti dianut oleh faham sosialis.
Islam mengakui hak individu sebagai amanah Allah SWT, dan dalam saat yang sama juga mengakui bahwa di dalam kepemilikan individu terdapat hak orang lain (fakir miskin). Terkait dengan masalah kepemilikan, Islam mengatur tentang dua hal sekaligus, yaitu dari mana sumbernya (halal atau haram) dan untuk apa pendistribusian atau penggunaannya. Oleh sebab itu, sekalipun harta benda merupakan milik seseorang, namun tidak berarti ia dengan leluasa menggunakannya tanpa mempertimbangkan aspek kemaslahatan dan kemudharatan yang mungkin akan dialami oleh masyarakat luas. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:
عَنْ عُباَدَةَ ابْنِ صَامِتِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قََضَى أَنْ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ – رواه أحمد وابن ماجة
“Dari Ubadah bin Shamit, bahwasanya Rasulullah SAW menetapkan tidak boleh berbuat kemudharatan dan tidak boleh pula membalas kemudharatan” [HR. Ahmad dan Ibnu Majah].
Di antara beberapa contoh tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan hak (ta’assuf) adalah: pertama, penggunaan hak yang dapat mengakibatkan pelanggaran hak orang lain. Islam tidak membenarkan seseorang melakukan sesuatu yang dianggapnya sebagai hak asasi dengan mengabaikan dan melanggar hak asasi orang lain. Dalam ungkapan para ulama disebutkan “haqqul mar’i mahjûbun bihaqqi ghairihi” (hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain. Kedua, penggunaan hak untuk kemaslahatan pribadi tetapi dapat mengakibatkan madharat yang besar terhadap pihak lain serta tidak sesuai tempatnya atau bertentangan dengan adat kebiasaan yang berlaku. Ketiga, penggunaan hak secara ceroboh dan tidak hati-hati.
8. Monopoli dan Konglomerasi (Ihtikar)
Secara bahasa, ihtikar berarti penimbunan dan kezaliman (aniaya). Sedangkan menurut istilah, para ulama telah mengemukakan beberapa pengertian. Imam Muhammad bin Ali as-Syaukani mendefinisikan ihtikar sebagai bentuk penimbunan atau penahanan barang dagangan dari peredarannya. Imam Al-Ghazali menyebut ihtikar adalah penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk dijual pada saat melonjaknya harga barang tersebut. Sedangkan, ulama madzhab Maliki menyatakan bahwa ihtikar adalah penyimpanan barang oleh produsen, baik makanan, pakaian dan segala barang yang dapat merusak pasar.”
Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ihtikar adalah penimbunan barang dalam jumlah banyak yang menyebabkan kelangkaan dan harganya melonjak naik, sehingga mengakibatkan harga pasar menjadi rusak serta kebutuhan konsumen terganggu. Imam as-Syaukani dalam kitab “Nailul Authaar V/338” menjelaskan bahwa penimbunan (ihtikar) yang diharamkan Islam adalah sebagai berikut: pertama, menimbun barang kebutuhan manusia dengan tujuan menaikkan harga di pasaran. Kedua, memborong barang kebutuhan pokok dengan cara memonopoli dan menimbunnya sehingga terjadi kelangkaan dan memunculkan kemudharatan bagi banyak orang.
Dengan demikian, stok barang yang sengaja disimpan di gudang dalam jumlah terbatas sebagaimana dilakukan oleh para pemilik toko, mini market dan swalayan pada umumnya, tentu tidak termasuk kategori penimbunan (ihtikar). Sebab tindakan tersebut hanya dijadikan sebagai persediaan, sehingga tidak sampai mengakibatkan kelangkaan barang dan merusak harga pasar. Hal ini sesuai dengan spirit yang terkandung dalam firman Allah SWT dan sabda Rasulullah sebagai berikut:
مَا أَفَاءَ اللهُ عَلَى رَسُوْلِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّه وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ كَى لاَ يَكُوْنَ دُوْلَةً بَيْنَ الأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا وَااتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ. – الحشر: 7
“Apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang dibawa Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya” [Qs. al-Hasyr: 7].
عَنْ يَحْيَ وَهُوَ ابْنُ سَعِيْدٍ قَالَ: كَانَ سَعِيْدُ ابْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ…. – رواه مسلم و أحمد و أبو داود
“Dari Yahya beliau adalah ibn Sa’id, ia berkata: Bahwa Sa’id ibn Musayyab memberitakan bahwa Ma’mar berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang menimbun barang, maka ia berdosa… [HR. Muslim, Ahmad dan Abu Dawud]
-
Obyek Bisnis Bukan Sesuatu yang Haram
Islam tidak menganut paham serba boleh, sebagaimana yang diyakini oleh kaum sekuler. Islam tidak pula menganut faham yang serba tidak boleh (haram) sebagaimana keyakinan segelintir orang. Namun, dalam syari’at Islam diatur regulasi tentang persoalan yang halal dan haram. Kehalalan sesuatu bisa disebabkan oleh zat barang itu sendiri yang dihukumi haram, atau karena cara memperolehnya yang dilarang oleh agama. Karena itu, faham Machiavellian, yang menghalalkan segala cara asal tujuan tercapai, sebagaimana dilakukan sebagian orang dalam memperoleh keuntungan materi, merupakan faham yang sangat menyimpang dan dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya.
Oleh sebab itu, salah satu etika bisnis dalam Islam yang harus diperhatikan dan dipraktikkan oleh setiap muslim adalah menghindari segala sesuatu yang diharamkan sekalipun hal tersebut menguntungkan secara finansial. Setiap muslim dilarang memperjual-belikan barang yang diharamkan oleh agama, seperti menjual daging babi, minuman keras, dan narkotika. Selain itu, setiap muslim juga haram memakan hasil penjualan barang-barang tersebut. Dalam haditsnya, Rasulullah SAW menjelaskan beberapa contoh barang yang haram untuk diperjualbelikan:
عَنْ جَابِرِ ابْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ إِنَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيْرِ وَالأَصْنَامِ فَقِيْلَ يَارَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ شُحُوْمُ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُوْدُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ. فَقَالَ لاَ هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَالِكَ قَاتَلَ اللهُ الْيَهُوْدَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُوْمُهَا أَجْمَلُوْهُ ثُمَّ بَاعُوْهُ فَأَكَلُوْا ثَمُنَهُ. – رواه الجماعة
“Dari jabir Ibn Abdullah r.a. Ia mendengar Rasulullah SAW bersabda pada waktu tahun kemenangan, ketika itu beliau di Makkah: Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual-beli khamr, bangkai, babi dan berhala. Kemudian ditanyakan kepada beliau: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang lemak bangkai, karena ia dapat digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit, dan dapat digunakan oleh orang-orang untuk penerangan. Beliau bersabda: Tidak, ia adalah haram. Kemudian beliau bersabda: Allah melaknat orang-orang Yahudi. Sesungguhnya Allah tatkala mengharamkan lemaknya, mereka mencairkan lemak itu, kemudian menjualnya dan makan hasil penjualannya” [HR. al-Jama’ah].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ حُرِّمَتْ عَلَيْهِمُ الشُّحُوْمُ فَبَاعُوْهَا وَ أَكَلُوْ أَثْمَانِهَا وَإِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْئٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ. – رواه أحمد و أبو داود
Artinya: “Dari Ibnu Abbas Nabi SAW bersabda: Allah melaknat orang-orang Yahudi, karena telah diharamkan kepada mereka lemak-lemak (bangkai) namun mereka menjualnya dan memakan hasil penjualannya. Sesungguhnya Allah jika mengharamkan kepada suatu kaum memakan sesuatu, maka haram pula hasil penjualannya” [HR. Ahmad dan Abu Dawud].
-
Tidak Boleh Mubazzir
Salah satu persoalan yang sangat dimurkai oleh agama adalah sikap berlebihan dalam menggunakan sesuatu hingga melampui batas yang diperbolehkan oleh syari’at Islam. Dalam terminologi agama, persoalan itu disebut tabzir atau mubazzir. Bahkan orang yang melakukan tindakan mubazzir dianggap sebagai saudaranya setan. Penyerupaan manusia yang melakukan tindakan mubazzir sebagai saudara setan tentu memiliki makna penghinaan dan larangan yang sangat keras. Karena itulah, setiap muslim harus menghindari tindakan tersebut. Allah SWT menjelaskan:
وَءَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَ الْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلَ وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا. إِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْا إِخْوَانَ الشَّيَاطِيْنِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوْرًا. – الإسراء: 26-27
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan, dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. [Qs. al-Israa’: 26-27].
Salah satu makna dan tindakan tabzir dalam perilaku bisnis adalah menimbun kekayaan dan keuntungan secara berlebihan (dengan tidak wajar), sehingga ia hidup dalam bergelimang harta namun keluarga dekat, tetangga dan orang yang seharusnya mendapatkan santunannya diabaikan dan hidup dalam kekurangan. Sikap semacam ini, di samping merupakan tindakan berlebihan (tabzir), juga merupakan tindakan zalim, rakus, pelit, kufur nikmat dan beberapa bentuk perilaku (akhlak) yang dilarang oleh agama. Wallahu A’lam bis Shawab.
Narasumber utama artikel ini:
Ruslan Fariadi