Ibadah Haji adalah puncak ketaatan seseorang kepada Allah SWT. Dikatakan demikian karena di dalam ibadah haji terangkum seluruh amaliah yang terdapat pada Rukun-rukun Islam lainnya. Oleh karena itu, seseorang yang melaksanakan haji seharusnya memperhatikan 2 (dua) prinsip ibadah agar diterima oleh Allah SWT. Kedua prinsip tersebut adalah beribadah dengan hati ikhlas, dan mengikuti tata cara berhaji sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Allah berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ … [البينة : 5
Dalam ayat lain, Allah juga berfirman:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
“Sungguh telah ada pada Rasulullah suri tauladan yang terbaik bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir dan bagi orang yang banyak berdzikir kepada Allah” [Q.s. al-Ahzab: 21].
Pada saat Rasulullah SAW melaksanakan Haji Wada’, Beliau bersabda:
خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي أَنْ لَا أَحُجَّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ
“Ambillah manasik haji kalian, sesunguhnya Aku tidak mengetahui barangkali Aku tidak akan mengerjakan haji lagi setelah ini” [HR. Ahmad].
Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah (rahimahullah), mengatakan bahwa tata cara ibadah haji adalah paling rumit dibandingkan dengan ibadah-ibadah yang lainnya. Mengingat begitu rumitnya tata cara tersebut, maka banyak ditemukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan seseorang dalam melaksanakan ibadah haji. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini akan dikemukakan beberapa kesalahan yang sering dilakukan para jama’ah haji. Uraian ini didasarkan pada buku “Petunjuk Jama’ah Haji dan Umrah serta Penziarah Masjid Rasulullah SAW” yang diterbitkan Departemen Agama dan Waqaf Dakwah, serta “Bimbingan Islam” yang disusun oleh sekumpulan ulama dengan beberapa keterangan dan tambahan dari penulis.
Kesalahan dalam Ihram
a. Melewati miqat makani tanpa melakukan ihram. Hal ini menyalahi perintah Rasulullah SAW yang mengharuskan setiap jama’ah haji berihram dari miqat yang dilaluinya. Apabila hal ini terjadi, maka seseorang harus kembali ke miqat yang telah dilaluinya, dan berihram dari miqat kalau memang memungkinkan. Jika tidak memungkinkan, maka para ulama telah bersepakat bahwa ia diwajibkan membayar fidyah dengan menyembelih binatang kurban di Makkah dan memberikan seluruhnya kepada orang-orang fakir.
b. Memahami pelaksanaan ihram sekedar mengenakan pakaian. Padahal ihram yang sebenarnya adalah niat untuk masuk ke dalam manasik. Sedangkan mengenakan pakaian ihram merupakan persiapan ihram, sehingga belum berlaku larangan-larangan ihram.
c. Tidak melakukan ihram dengan alasan sedang haid. Perempuan yang sedang haid seharusnya tetap melaksanakan ihram. Selain itu, baginya juga berlaku hal-hal yang terkait dengan amaliah dan larangan-larangan ihram, kecuali shalat sunat ihram.
Dari ‘Aisyah r.a., Dia berkata: “Nabi telah masuk ke tempatku, (dan) aku sedang menangis”. Beliau SAW bertanya: “apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab: “Demi Allah, aku berkeinginan seandainya aku tidak haji pada tahun ini”. Beliau bertanya: “Barangkali engkau sedang haid?” Aku menjawab: “Benar”. Beliau bersabda:
فَإِنَّ ذَلِكِ شَيْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَافْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي
“Itu adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan untuk perempuan keturunan Adam. Kerjakanlah semua yang dikerjakan oleh orang yang haji, kecuali engkau jangan thawaf di Ka’bah, sehingga engkau suci” [HR. al-Bukhari].
d. Memakai pakaian ihram dengan cara idh-thiba’ (membuka pundak sebelah kanan dan menutup sebelah kiri dengan kain ihram). Menurut pendapat Jumhur Fuqaha’, idh-thiba’ tidak disyari’atkan, kecuali ketika seseorang sedang melakukan thawaf, yakni thawaf qudum atau thawaf umrah. Selain itu, idh-thiba’ tidak disyari’atkan dan pundak tetap dalam keadaan tertutup dengan pakaian ihram-nya.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ ، طَافَ مُضْطَبِعًا ]ابن ماجة
“Sesungguhnya Rasulullah SAW thawaf di Baitullah dalam keadaan beridlthiba’ [HR. Ibnu Majah].
Kesalahan dalam Thawaf
a. Memulai thawaf sebelum sampai di Hajar Aswad. Menurut HR. Muslim, thawaf yang benar hendaknya dimulai dari Hajar Aswad.
b. Thawaf di dalam Hijr Ismail. Jika hal ini dilakukan, berarti seseorang tidak mengelilingi seluruh Ka’bah, tetapi hanya sebagiannya saja, karena Hijr Ismail itu termasuk Ka’bah. Dengan demikian, thawaf yang dilakukan tersebut tidak sah atau batal.
c. Ramal (berlari-lari kecil) pada seluruh putaran yang tujuh. Berdasarkan hadits riwayat Bukhari, ramal itu hanya dilakukan pada tiga putaran pertama dalam thawaf qudum atau thawaf umrah. Sedangkan untuk putaran berikutnya, dan pada thawaf yang lain, dilakukan dengan berjalan biasa.
d. Berdesak-desakan, dan bahkan terkadang saling menjatuhkan untuk dapat mencium Hajar Aswad. Hal itu tidak boleh dilakukan karena lebih besar madlaratnya daripada manfaatnya. Menyakiti orang lain hukumnya haram, sedangkan mencium Hajar Aswad adalah sunah. Bahkan amalan tersebut bisa dicukupkan dengan menjamahnya atau berisyarat manakala tidak memungkinkan dapat mencium Hajar Aswad [ Bukhari].
e. Mengusap-ngusap Hajar Aswad dengan maksud untuk mendapatkan barakah darinya. Hal ini tidak mempunyai dasar sama sekali dalam syariat Islam. Karenanya, mengusap-usap Hajar Aswad dengan maksud untuk memperoleh barakah dari batu itu termasuk perbuatan bid’ah dlalalah, dan bahkan termasuk perbuatan syirik yang bisa merusak akidah seseorang.
Umar bin al-Khaththab r.a. berkata:
وَإِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Dan sesungguhnya aku mengetahui bahwa engkau adalah batu, tidak memberi madharat dan tidak bermanfaat. Jika seandainya aku tidak melihat Rasulullah SAW menciummu, maka aku tidak akan menciummu”.
f. Mencium Rukun Yamani. Hal ini merupakan kesalahan, karena Rukun Yamani hanya disentuh dengan tangan saja, tidak dicium. Yang dicium hanyalah Hajar Aswad. Itu pun jika kita mampu untuk menciumnya. Jika tidak mampu, maka cukup Jika tidak bisa (diusap) juga, maka kita cukup dengan memberi isyarat dari jarak jauh.
Terkait dengan hal ini, Ibnu Taimiyyah berkata bahwa “menurut pendapat yang sahih, Rukun Yamani tidak boleh dicium”. Sedangkan, menurut Ibnul Qayyim, “telah sahih dari beliau SAW, bahwa beliau SAW menyentuh Rukun Yamani. Dan tidak ada yang sah dari beliau SAW bahwa beliau SAW menciumnya, atau mencium tangan beliau SAW setelah menyantuhnya”.
g. Menjamah setiap pojok Ka’bah, dan bahkan terkadang disertai dengan mengusap-ngusap seluruh dindingnya. Selain itu, jama’ah haji juga ada yang mengusap-usap setiap yang mereka jumpai di dekat Ka’bah, seperti Maqam Ibrahim, dinding Hijr Ismail, kain Ka’bah, dan yang lainnya. Tindakan semacam ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, kecuali pada Hajar Aswad dan Rukun Yamani saja [HR. Abu Dawud]. Karena itu, perbuatan semacam ini termasuk bid’ah dlalalah. Ibnu Taimiyyah berkata: “adapun seluruh sudut Ka’bah dan Maqam Ibrahim, dan seluruh masjid dan dindingnya, dan kuburnya para Nabi dan orang-orang yang salih, seperti kamar Nabi, dan tempatnya Nabi Ibrahim dan tempat Nabi kita yang dahulu mereka gunakan untuk shalat, dan selainnya dari kuburnya para Nabi serta orang yang salih, atau batu yang ada di Baitul Maqdis, maka menurut kesepakatan ulama, semuanya itu tidak boleh untuk diusap dan tidak boleh juga untuk dicium”.
h. Menentukan do’a-do’a dan bacaan-bacaan khusus untuk setiap putaran dalam thawaf. Perbuatan ini terkadang dipimpin oleh seseorang untuk membaca dan ditirukan oleh jamaah lain secara berulang-ulang. Hal ini tidak dibenarkan, karena dua hal, pertama, tidak dijumpai adanya do’a-do’a khusus dari Rasulullah SAW, kecuali dua bacaan, yakni setiap melewati Hajar Aswad, Beliau bertakbir [HR. Bukhari]; dan pada setiap akhir putaran antara Hajar Aswad dan Rukun Yamani Beliau membaca: Rabbanaa aatinaa fi-d-dunyaa hasanah wa fil akhirati hasanah wa qinaa ‘adzaa ba-n-naar. Artinya: Wahai Tuhan kami, berilah kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksaan api neraka (HR. Abu Dawud dan as-Syafi’i). Kedua, do’a secara berjamaah adalah perbuatan bid’ah. Perbuatan ini mengganggu bagi orang lain yang juga sedang thawaf.
Ibnu Taimiyyah berkata: “di dalam hal ini –yakni thawaf– tidak ada dzikir yang khusus dari Nabi, baik perintah atau ucapan. Beliau SAW tidak mengajarkan hal itu. Bahkan setiap orang dibenarkan berdo’a dengan do’a-do’a yang masyru’ (disyariatkan). Adapun yang disebut oleh kebanyakan orang bahwa terdapat do’a tertentu di bawah Mizab dan tempat lainnya, maka hal itu sama sekali tidak ada asalnya”. Dengan demikian, yang disyariatkan adalah, setiap orang berdo’a sendiri-sendiri tanpa mengeraskan suaranya, dan ia boleh berdo’a apa saja tanpa menentukan do’a-do’a khusus kecuali yang telah diajarkan Rasulullah SAW.
i. Berdesak-desakan untuk melakukan shalat di dekat Maqam Ibrahim sehingga dapat mengganggu orang yang sedang thawaf dan shalatnya pun tidak dapat ditunaikan dengan baik. Hal ini tidak perlu dilakukan, karena shalat dua raka’at thawaf itu bisa dilakukan di tempat lain di dalam Masjid Haram.
j. Setelah selesai thawaf seseorang tetap memakai kain ihram dalam keadaan idh-thiba’ dan melakukan shalat dua raka’at dalam keadaan idh-thiba’. Dalam hal ini terdapat dua kesalahan, yaitu pertama, yang sunah dalam idh-thiba’, yakni ketika Thawaf Qudum. Kedua, mereka terjatuh ke dalam larangan Nabi SAW tentang shalat, sedangkan pundak mereka terbuka. Dari Abu Hurairah a., dia berkata; Nabi SAW telah bersabda:
لَا يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقَيْهِ شَيْءٌ
“Janganlah salah seorang di antara kalian shalat dengan satu baju yang tidak ada di atas kedua pundaknya sesuatu dari kain” [HR. al-Bukhari].
Kesalahan dalam Sa’i
a. Sewaktu membaca takbir ketika berada di atas Shafa dan Marwa, seseorang sering mengangkat tangan ke arah Ka’bah, seolah-olah bertakbir untuk shalat. Padahal, menurut hadits yang diriwayatkan oleh al-Bakhari, sewaktu Rasulullah SAW berada di atas Shafa, Beliau melihat Ka’bah dan mengangkat tangan sewaktu akan memulai berdo’a tanpa diarahkan ke Ka’bah.
b. Melakukan sa’i dalam keadaan idh-thiba’. Seharusnya, jamaah haji tidak idh-thiba’. Sebab, hal ini tidak ada dalilnya. Imam Ahmad mengatakan: “kami tidak mendengar sesuatu (tentang sunahnya ketika sa’i) sedikitpun juga”.
c. Berlari-lari kecil (ramal) pada seluruh putaran. Menurut sunah Rasul, berjalan cepat itu hanyalah dilakukan antara kedua tanda hijau saja, adapun yang lain cukup dengan berjalan biasa [HR. Muslim].
d. Perempuan ikut berlari-lari kecil (ramal) di antara dua tanda hijau seperti yang dilakukan oleh kaum lelaki. Perempuan tidak dianjurkan untuk ramal, namun berjalan biasa di antara dua tanda hijau. Ibnu Umar berkata: “bagi kaum perempuan tidak disunnahkan ramal (berlari kecil) di sekitar Ka’bah, dan (tidak) juga antara Shafa dan Marwa”. Syaikh Abdul Aziz bin Baz r.a. berkata: “adapun kaum perempuan, (ia) tidak disyariatkan untuk berjalan cepat di antara dua tanda hijau, karena perempuan adalah aurat. Akan tetapi, bagi mereka disyari’atkan untuk berjalan di seluruh putaran”.
e. Setiap kali menghadap Shafa dan Marwa selalu membaca:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللهِ
Padahal yang sunah ialah membaca ayat ini ketika pertama kali menghadap kepada Shafa saja.
f. Shalat dua raka’at setelah selesai dari sa’i, seperti ketika selesai dari thawaf. Shalat dua raka’at setelah selesai thawaf telah ditetapkan oleh sunah. Adapun shalat dua raka’at setelah selesai dari sa’i adalah bid’ah yang munkar dan menyelisihi petunjuk Nabi. Dalam masalah ini tidak bisa diqiyaskan, karena bertentangan dengan nash yang sahih dalam sa’i.
Kesalahan dalam Wukuf di Arafah
a. Melakukan wukuf di luar batas Arafah dan tetap tinggal di tempat tersebut hingga terbenam matahari. Wukuf seharusnya dilakukan di Arafah. Apabila seseorang berada di luar Arafah, berarti ia tidak melaksanakan wukuf. Hal ini menyebabkan hajinya batal dan harus diulang lagi pada tahun mendatang. Sabda Nabi SAW bersabda:
الْحَجُّ عَرَفَةُ مَنْ جَاءَ لَيْلَةَ جَمْعٍ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ
“Haji adalah Arafah, barangsiapa yang datang pada malam harinya sebelum terbit fajar (hari kesepuluh), maka dia telah mendapatkan wukuf” [HR. at-Tirmidzi].
b. Melakukan wukuf dengan cara berdo’a menghadap Gunung Arafah (Jabal Rahmah) atau berdesak-desakan untuk dapat naik ke puncak gunung sehingga dapat mendatangkan banyak madlarat. Anggapan seperti ini menyelisihi sunah, karena yang sunah dalam hal ini ialah menghadap ke arah kiblat sebagaimana dikerjakan oleh Nabi SAW [HR. Muslim]. Dan tidak diketemukan riwayat bahwa beliau pernah naik ke atas Gunung Arafah untuk wukuf di atasnya.
Syaikh Shalih Alu Syaikh berkata: “menghadap ke arah bukit Arafah atau tempat lain tidaklah terdapat keutamaan atau anjuran. Bahkan, jika dia mengharuskan hal ini dan meyakini bahwa perbuatan ini afdhal, maka mengerjakannya merupakan bid’ah. Dan naik ke atas bukit dengan maksud beribadah di sana merupakan bid’ah yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi SAW”.
c. Meninggalkan Arafah sebelum terbenam matahari. Rasulullah SAW melakukan wuquf di Arafah sampai matahari terbenam dengan sempurna [HR Muslim].
Kesalahan Mabit di Muzdalifah
Ketika tiba di Muzdalifah, seseorang sibuk dengan memungut batu kerikil sebelum melaksanakan shalat Maghrib dan Isya. Ia berkeyakinan bahwa batu-batu kerikil pelempar Jumrah itu harus diambil dari Muzdalifah, dan bahkan terkadang batu-batu tersebut dicuci.
Semestinya, ketika seseorang tiba di Muzdalifah, yang pertama kali dilakukan adalah mendirikan shalat Maghrib dan Isya’, di-jama’ dan di-qasar, dengan berjamaah [HR. Muslim]. Setelah itu, ia kemudian diperbolehkan mencari batu kerikil untuk melempar Jumrah Aqabah, dan boleh pula mencari kerikil-kerikil itu di tempat-tempat lain di Tanah Haram, tanpa dicuci.
Syaikh Ibnu Baz berkata: “apa yang dikerjakan oleh sebagian orang untuk mengambil kerikil ketika sampai di Muzdalifah sebelum mengerjakan shalat, kebanyakan mereka berkeyakinan bahwa hal itu masyru’, maka hal ini merupakan kesalahan yang tidak ada asalnya. Nabi SAW tidak memerintahkan untuk diambilkan kerikil, kecuali ketika Beliau meninggalkan Masy’aril Haram menuju Mina. Kerikil yang diambil berasal dari mana saja sah baginya, tidak harus dari Muzdalifah, akan tetapi boleh diambil di Mina”.
Kesalahan dalam Melempar Jumrah
a. Anggapan bahwa ketika seseorang sedang melempar Jumrah, ia sedang melempar se Karenanya, di saat melempar Jumrah, ia mengiringinya dengan penuh kemarahan dan disertai caci maki terhadapnya. Anggapan dan tindakan semacam ini tidak berdasarkan sunah. Melempar Jumrah itu hanya semata-mata disyariatkan sebagai bentuk ketaatan kita kepada perintah Allah SWT dan dalam rangka untuk berdzikir kepada-Nya.
b. Melempar Jumrah dengan batu besar, atau dengan sepatu, atau dengan kayu. Perbuatan seperti ini adalah berlebih-lebihan dalam masalah agama, yang dilarang oleh Rasulullah SAW. Yang disyariatkan dalam melempar Jumarah hanyalah dengan batu-batu kecil (kerikil) [ Ahmad dan Abu Dawud].
c. Berdesak-desakan dan pukul-memukul di dekat tempat-tempat Jumrah untuk dapat melempar. Yang disyariatkan adalah agar melempar dengan tenang dan hati-hati, dan berusaha semampu mungkin tanpa menyakiti orang lain.
d. Melemparkan kerikil-kerikil tersebut seluruhnya dan Yang disyariatkan adalah melemparkan batu satu persatu sambil bertakbir pada setiap lemparan. Jika seseorang melemparkan tujuh batu sekaligus, menurut pendapat para Ulama, maka hanya dihitung satu batu saja.
e. Tidak berhenti berdo’a setelah melempar Jumrah yang pertama dan kedua pada hari tasyrik.
f. Padahal Nabi SAW dahulu berdiri setelah melempar Jumrah ‘Ula dan Wustha, dengan menghadap ke arah kiblat mengangkat kedua tangannya dan berdo’a dengan do’a yang panjang [HR. Ahmad dan Abu Dawud].
g. Mewakilkan kepada orang lain untuk melempar, sedangkan ia sendiri mampu. Hal ini dilakukan karena yang bersangkutan menghindari kesulitan dan desak-desakan. Mewakilkan untuk melempar itu hanya dibolehkan jika seseorang benar-benar tidak mampu melakukannya, misalnya karena sakit.
Kesalahan dalam Thawaf Wada’
a. Meninggalkan Mina pada hari Nafar (tanggal 12 atau 13 Dzu-l-Hijjah) sebelum melempar Jumrah, dan langsung melakukan Thawaf Wada’, kemudian kembali ke Mina untuk melempar Ju Setelah itu, mereka langsung pergi dari sana menuju negara masing-masing. Dengan demikian, akhir perjumpaan mereka adalah dengan tempat-tempat Jumrah, bukan di Baitullah. Terkait dengan hal ini, Nabi SAW bersabda yang artinya: “janganlah sekali-kali seseorang meninggalkan Makkah, sebelum mengakhiri perjumpaannya (dengan melakukan Thawaf) di Baitullah” [HR. Abu Dawud]. Maka dari itu, Thawaf Wada’ wajib dilakukan setelah selesai dari seluruh amalan haji, dan langsung beberapa saat sebelum bertolak. Setelah melakukan Thawaf Wada’, jamaah haji hendaknya jangan menetap di Makkah, kecuali untuk sedikit keperluan.
b. Setelah melakukan Thawaf Wada’, seseorang keluar dari Masjidil Haram dengan berjalan mundur sambil menghadapkan muka ke arah Ka’ Saat sampai di pintu Masjidil Haram, ia mengucapkan berbagai do’a seakan-akan mengucapkan selamat tinggal kepada Ka’bah. Perbuatan ini adalah bid’ah, dan tidak ada dasarnya sama sekali dalam agama.
Kesalahan dalam Ziarah ke Masjid Nabawi
a. Mengusap-ngusap dinding dan tiang-tiang besi ketika menziarahi makam Rasulullah SAW dan mengikatkan benang-benang atau semacamnya pada jendela-jendelanya untuk mendapatkan berkah. Tindakan semacam ini tidak disyariatkan, bahkan bisa mendatangkan kesyirikan. Sebab, keberkahan hanyalah terdapat dalam hal-hal yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
b. Pergi ke gua-gua di Gunung Uhud, Gua Hira dan Gua Tsur di Makkah, dan mengikatkan potongan-potongan kain di tempat-tempat itu, di samping membaca berbagai do’a yang tidak diperkenankan oleh Allah, serta bersusah payah untuk melakukan hal-hal tersebut. Begitu pula menziarahi beberapa tempat yang dianggapnya sebagai tanda peninggalan Rasulullah SAW, mengusap-usap dan mengambil benda-benda darinya dengan mengharapkan barakah. Kesemuanya ini adalah bid’ah, tidak ada dasarnya sama sekali dalam syariat Islam yang suci ini.
c. Memohon kepada penghuni-penghuni kuburan ketika berziarah ke makam Baqi’ dan Uhud, serta melemparkan uang ke makam itu demi mendekatkan diri dan mengharapkan barakah dari penghuninya. Menurut pendapat para ulama, berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW, tindakan ini termasuk kesalahan besar, dan bahkan termasuk perbuatan syirik yang terbesar. Karena sesungguhnya ibadah itu hanyalah ditujukan kepada Allah semata, tidak boleh sama sekali mengalihkan tujuan ibadah selain kepada-Nya, seperti dalam berdo’a, menyembelih hewan kurban, bernadzar dan jenis ibadah yang lainnya. Allah berfirman:
[ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ [البينة : 5
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”.
Dalam kesempatan lain, Allah juga berfirman:
[وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا [الجن : 18
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di samping menyembah Allah”.
Wallahu a’lamu Bis–Shawab.
Narasumber utama artikel ini:
Zaini Munir Fadloli