Dasar Perintahnya:
Tuntunan shalat idul fitri didasarkan kepada Hadits Nabi Muhammad saw yang berbunyi:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ ، أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ. ]متفق عليه[.
Artinya: “Dari Abu Sa‘id al-Khudri (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw keluar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adlha menuju lapangan tempat shalat, maka hal pertama yang dia lakukan adalah shalat, kemudian manakala selesai beliau berdiri menghadap orang banyak yang tetap duduk dalam saf-saf mereka, lalu Nabi saw menyampaikan nasehat dan pesan-pesan dan perintah kepada mereka; lalu jika beliau hendak memberangkatkan angkatan perang atau hendak memerintahkan sesuatu beliau laksanakan, kemudialalu beliau pulang. [HR. Muttafaq ‘Alaih].
Dalam Hadits lain disebutkan:
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِى الْفِطْرِ وَالأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ. قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ « لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا »..]رواه الجماعة[.
Artinya: “Dari Ummu ‘Athiyyah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw memerintahkan kami supaya menyuruh mereka keluar pada hari Idul Fitri dan Idul Adlha: yaitu semua gadis remaja, wanita sedang haid dan wanita pingitan. Adapun wanita-wanita sedang haid supaya tidak memasuki lapangan tempat shalat, tetapi menyaksikan kebaikan hari raya itu dan panggilan kaum Muslimin. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana salah seorang kami yang tidak mempunyai baju jilbab? Rasulullah menjawab: Hendaklah temannya meminjaminya baju kurungnya.” [HR. Al-Jama‘ah].
Berdasarkan Hadits di atas dan riwayat-riwayat lain yang semakna dengannya, sebagian para ulama’ berpendapat bahwa hukum shalat ‘idulfitri adalah wajib ‘ain bagi muslim yang sedang mukim. Sedangkan sebagian yang lain berpendapat fardlu kifayah dan yang lain berpendapat Sunah Mu’akkadah. Dalam hal ini patut diperhatikan pandangan Ibnu Taimiyah yang mengatakan:
“Pendapat yang menyatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim lebih kuat daripada yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah (wajib bagi sebagian orang saja). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah sunnah (dianjurkan, bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk melakukan shalat ini. Lalu beliau sendiri dan para khulafaur rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen), begitu pula kaum muslimin setelah mereka terus menerus melakukan shalat ‘ied. Dan tidak dikenal sama sekali kalau ada di satu negeri Islam ada yang meninggalkan shalat ‘ied. Shalat ‘ied adalah salah satu syi’ar Islam yang terbesar. … Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi keringanan bagi wanita untuk meninggalkan shalat ‘ied, lantas bagaimana lagi dengan kaum pria (Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/183)
Tempat Pelaksanaan Shalat ‘Ied
Tempat pelaksanaan shalat ‘ied lebih utama (lebih afdhol) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. Dasarnya adalah amaliah Nabi Muhammad saw sebagaiman yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri yang mengatakan:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى) متفق عليه(
Artinya: “Rasulullah saw keluar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adlha menuju lapangan tempat shalat ([HR. Muttafaq ‘Alaih].
Imam An Nawawi mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang yang menganjurkan bahwa shalat ‘ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdhol (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam shalat ‘ied mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.”[ Syarh Muslim, An Nawawi, 3/280)
Tuntunan Ketika Hendak Keluar Melaksanakan Shalat ‘Id
1. Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat shalat.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari ‘ied sebelum berangkat shalat.”[ Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, 1/425]
2. Berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik.
عَنْ انس قَالَ : أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْعِيدَيْنِ أَنْ نَلْبَسَ أَجْوَدَ مَا نَجِدُ ، وَأَنْ نَتَطَيَّبَ بِأَجْوَدَ مَا نَجِدُ ، وَأَنْ نُضَحِّيَ بِأَسْمَنِ مَا نَجِدُ (الحاكم[.
Artinya: “Dari Anas r.a. (diriwayatkan bahwa) Rasulullah saw menyuruh kami pada dua hari raya [Idul Fitri dan Idul Adlha] agar memakai pakaian yang terbaik yang kami miliki, memakai wangi-wangian yang terbaik, dan menyembelih binatang yang paling gemuk.” [HR. Al-Hakim].
3. Makan sebelum keluar menuju shalat ‘ied khusus untuk shalat ‘Idul Fithri.
Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.”[ HR. Ahmad 5/352.Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan]
Hikmah dianjurkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fithri adalah agar tidak disangka bahwa hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan untuk shalat Idul Adha dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging qurban bisa segera disembelih dan dinikmati setelah shalat ‘ied
4. Bertakbir ketika keluar hendak shalat ‘ied. Dalam suatu riwayat disebutkan,
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر )رواه ابن أبي شيبة(
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.”[HR Ibnu Syaibah] Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
Ibnu ‘Umar meriwayatkan, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berangkat shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Al Fadhl bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin’Abbas, ‘Ali, Ja’far, Al Hasan, Al Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat suara membaca tahlil (laa ilaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar).”[ Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/279). Hadits ini hasan. Lihat Al Irwa’ (3/123)]
Sebagian ulama’ menganjurkan agar memperbanyak takbir pada malam Hari Raya ‘Idul Fitri, sejak matahari terbenam, hingga esok, ketika shalat ‘Id dimulai. Dasarnya adalah firman Allah SWT:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ [البقرة : 185]
Artinya: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”[QS. Al-Baqarah (2): 185]. 49
Lafadz Takbir
lafadz takbir ’Ied yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw adalah:
- Lafadz takbir ‘Ied seperti disandarkan kepada Ibn Mas’ud, ‘Umar ibn al-Khattab dan ‘Ali ibn Abi Thalib, di antaranya adalah sebagai berikut:
اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ اْلحَمْدُ.
Artinya: “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tiada Tuhan melainkan Allah dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar dan bagi Allah-lah segala puji.” (berdasarkan hadits riwayat Ibn Abi Syaibah, Mushannaf, tahqiq: Kamal al-Hut, juz 1 hlm 490 no. 5650, 5651, 5653. Ibn al-Mundzir, Al-Awshat, juz 7, hlm 22 no: 223, hlm 23, 24, 25 no:224, 225, 226)
Ucapan Allahu Akbar dalam takbir ‘Ied pada redaksi hadits di atas jelas hanya diucapkan dua kali, tidak tiga kali.
- Lafadz takbir ‘Ied sesuai hadits riwayat Abdur Razaq dari Salman dengan sanad yang shahih, yang mengatakan:
كَبِّرُوْا، اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
Artinya: “Bertakbirlah: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Sungguh Maha Besar. (lihat ash-Shan’aniy, Subul as-Salam, Juz II: 76)
كَبِّرُوْا، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
Artinya: “Bertakbirlah: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Sungguh Maha Besar. (lihat al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, Juz III: 316)
Pada hadits kedua ini, terdapat perbedaan lafadz. Pada lafadz pertama disebutkan takbir diucapkan tiga kali, sementara pada lafadz kedua, takbir diucapkan dua kali. Majelis Tarjih Muhammadiyah, melalui Muktamar Tarjih XX yang berlangsung tanggal 18 s.d 23 Rabi’ul Akhir 1939 Hijriyah di Kota Garut Jawa Barat memilih menggunakan lafadz takbir dengan mengucapkan Allahu Akbar dua kali.
Adapun ucapan takbir yang berupa: Allahu Akbar Kabira wal-hamdu lil-Lahi katsira… dan seterusnya sampai wa lau karihal-kafirun, musyrikun dan lain-lain, kemudian diteruskan dengan La ilaha illa-Llahu wahdah … dan seterusnya sampai wa hazamal-ahzaba wahdah. belum ditemukan dasar atau dalil yang secara jelas menuntunkan bertakbir hari raya dengan lafadz seperti itu
5. Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat shalat ‘ied.
Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyah di atas. Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai harum-haruman.
Sedangkan dalil mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas –yang ketika itu masih kecil- pernah ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab,
نَعَمْ ، وَلَوْلاَ مَكَانِى مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ
“Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.”[ HR. Bukhari]
6. Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda.
Dari Abu Hurairah r.a, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا خَرَجَ إِلَى الْعِيدِ رَجَعَ مِنْ غَيْرِ الطَّرِيقِ الَّذِى ذَهَبَ فِيهِ. (رواه أحمد ومسلم[.
Artinya: “Rasulullah saw apabila keluar ke tempat shalat dua Hari Raya, pulangnya selalu mengambil jalan laindari ketika beliau keluar.” [HR. Ahmad dan Muslim].
7. Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada hajat.
Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan,
عن علي قال : من السنة أن يخرج إلى العيد ماشيا ، وأن يأكل شيئا قبل أن يخرج. ]رواه الترمذي[.
Artinya: “Dari ‘Ali r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Termasuk sunnah Nabi, pergi ke tempat shalat ‘Id dengan berjalan kaki dan makan sedikit sebelum keluar.” [HR at- Tirmidzi]
Dalam riwayat lain disebutkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا ، وَيَرْجِعُ مَاشِيًا. )ابن ماجة( قال الشيخ الألباني : حسن.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki (HR Ibnu Majah) Menurut al-Albani: Hasan
Tata cara Shalat ‘Idul Fitri
1. Sebelum shalat Id dimulai dan sesudahnya tidak ada tuntunan mengerjakan shalat sunnah qobliyah ‘ied dan sunnah ba’diyah ‘ied.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم صَلَّى يَوْمَ الْفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا ، وَلاَ بَعْدَهَا…]أخرجه السبعة[.
Artinya: “Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan) bahwasanya Rasulullah saw pada hari Idul Adlha atau Idul Fitri keluar, lalu shalat dua rakaat, dan tidak mengerjakan shalat apapun sebelum maupun sesudahnya. [Ditakhrijkan oleh tujuh ahli hadis].
2. Untuk menyerukan dimulai shalat tidak dituntunkan mengumandangkan adzan dan iqomah ataupun bacaan-bacaan lain seperti ashshalatu jami’ah
Dari Jabir bin Samuroh, ia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.
“Aku pernah melaksanakan shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah.”[ HR. Muslim]
3. Shalat Idul Fitri dikerjakan secara berjama‘ah di tanah lapang. Jumlah rakaat shalat Idul Fitri adalah dua rakaat, dengan tujuh kali takbir setelah takbiratul ihram pada rakaat pertama, dan lima kali takbir pada rakaat kedua. Dasar-dasarnya adalah:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ]رواه البخاري[.
Artinya: “Dari Abu Sa‘id al-Khudri (diriwayatkan bahwa) ia berkata: NabiMuhammad saw selalu keluar pada hari Idul Fitri dan hari Idul Adlha menuju lapangan, lalu hal pertama yang ia lakukan adalah shalat …” [HR. Al-Bukhari].
عَنْ عَائِشَةَ أ كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْعِيدَيْنِ سَبْعًا وَخَمْسًا قَبْلَ الْقِرَاءَةِ. ]رواه أحمد[.
Artinya: “Dari Aisyah (diriwayatkan bahwa) Rasulullah saw pada shalat dua hari raya bertakbir tujuh kali dan lima kali sebelum membaca (al- Fatihah dan surat). [HR Ahmad].
Di antara takbir-takbir tersebut (takbir zawa-id) tidak ada bacaan dzikir tertentu
1. Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat Al Qomar pada raka’at kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun menjawab
كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ((رواه مسلم[.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat Al Qomar).”[HR Muslim]
Boleh juga membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua. Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua, pada shalat ‘ied maupun shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ(رواه مسلم[.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat Al A’laa) dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat Al Ghosiyah).” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[ HR Muslim]
2. Sehabis shalat, hendaklah dilakukan Khutbah Idul Fitri sebanyak satu kali; dimulai dengan bacaan hamdalah. Dasarnya adalah:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ ، أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ. ]متفق عليه[.
Artinya: “Dari Abu Sa‘id al-Khudri (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw keluar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adlha menuju lapangan tempat shalat, maka hal pertama yang dia lakukan adalah shalat, kemudian manakala selesai beliau berdiri menghadap orang banyak yang tetap duduk dalam saf-saf mereka, lalu Nabi saw menyampaikan nasehat dan pesan-pesan dan perintah kepada mereka; lalu jika beliau hendak memberangkatkan angkatan perang atau hendak memerintahkan sesuatu beliau laksanakan, kemudialalu beliau pulang. [HR. Muttafaq ‘Alaih].
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا تَشَهَّدَ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ … [رواه أبو داود].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw jika memulai khutbah dengan mengucapkan ‘al-hamdulillah’ …”. [HR. Abu Dawud].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ كَلاَمٍ لاَ يُبْدَأُ فِيهِ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ فَهُوَ أَجْذَمُ. [رواه أبو داود].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Setiap pidato yang tidak dimulai dengan ‘al-hamdulillah’, maka tidak barakah.” [HR. Abu Dawud].
Orang yang memulai khutbah dengan takbir didasarkan kepada Hadits yang berbunyi:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُتْبَةَ قَالَ السُّنَّةُ أَنْ تُفْتَتَحَ اْلخُطْبَةُ بِتِسْعِ تَكْبِيْرَاتٍ تَتْرَى وَبِسَبْعِ تَكْبِيْرَاتٍ تَتْرَى. [رواه البيهقي].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Abdullah Ibnu ‘Utbah ia berkata: Merupakan sebuah sunnah Nabi membuka khutbah dengan tujuh takbir secara pelan-pelan dan yang kedua dengan sembilan takbir secara pelan-pelan.” [HR. al-Baihaqi].
Hadits di atas tidak bisa dijadikan dalil (tidak maqbul) karena termasuk hadits maqtu’(terputus). disebabkan Abdullah Ibnu Abdullah adalah seorang tabi’in,dan berdasarkan ushulul-hadits ia tidak dapat diterima kalau ia mengatakan ‘sebagai suatu sunnah Nabi’ Demikian dikatakan oleh Asy-Syaukani dalam Nailul-Authar Juz III halaman. Dalam hal ini dengan tegas Ibnul-Qayyim mengatakan bahwa memulai khutbah Idain (Fithri dan Adlha) dengan takbir, sama sekali tidak ada sunnah yang dapat dijadikan dasarnya. Sebaliknya yang disunnahkan adalah memulai segala macam khutbah dengan ‘al-hamdu’
3. Pada Hari raya idul fitri dianjurkan saling mendo’akan antara sesama kaum muslimin dengan mengucapkan kalimah “taqabbalallahu minna wa minkum” ”(mudah-mudahan Allah menerima amal kami dan amal kamu). Hal ini didasarkan pada Hadits berikut ini:
عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ قَالَ : لَقِيتُ وَاثِلَةَ بْنَ الأَسْقَعِ فِى يَوْمِ عِيدٍ فَقُلْتُ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ فَقَالَ : نَعَمْ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ قَالَ وَاثِلَةُ : لَقِيتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ عِيدٍ فَقُلْتُ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ فَقَالَ :« نَعَمْ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ » رواه البيهقي(
Diriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan, ia berkata: “ Aku bertemu dengan Watsilah bin al-Asqo’ pada hari raya, lalu aku berkata “taqabbalallahu minna wa minkum”(mudah-mudahan Allah menerima amal kami dan amal kamu). Dia menjawab: “Ya, taqabbalallahu minna wa minkum”. Lalu ia berkata: “ Aku pernah bertemu dengan Rasulullah saw pada hari raya lalu aku berkata “taqabbalallahu minna wa minkum”, beliau menjawab “taqabbalallahu minna wa minkum”. (HR al-Baihaqi),
Wallaahu a‘lam bish-shawab.
Narasumber utama artikel ini
Zaini Munir Fadloli