Rusaknya orang-orang terdahulu, itu karena ketika yang mencuri adalah orang terhormat, maka mereka melepaskannya dari jerat hukum. Tapi ketika yang mencuri orang lemah, maka mereka menjeratnya dengan hukuman. (Muhammad SAW)
Allah SWT menurunkan ajaran Islam bertujuan untuk membentuk masyarakat yang menyelamatkan dan membawa rahmat pada seluruh alam (rahmatan lil alamin) (Qs. Al- Anbiya’/21: 107). Untuk itu, Islam meletakkan ajaran adil sebagai salah satu di antara nilai-nilai kemanusiaan yang asasi dan dijadikan sebagai pilar kehidupan pribadi, rumah tangga dan masyarakat. Ajaran ini sangat dijunjung tinggi oleh Islam. Allah swt mengutus para Rasul dalam rangka untuk menegakkan dan mewujudkan keadilan di muka bumi. Allah berfirman :
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ )الحديد : 25
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan mizan (neraca, keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Qs. al-Hadid/57: 25)
Tidak terhitung ayat-ayat al-Qur’an maupun teks-teks hadist yang memerintahkan manusia untuk berlaku adil, di antaranya Allah swt berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ )النحل : 90
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Qs. an-Nahl: 90)
Menurut M. Quraish Syihab, dalam al-Qur’an, kata “adil” dalam berbagai bentuknya terulang 28 kali. Tema dan konteksnya beragam. Salah satunya menyebutkan bahwa Allah SWT sangat mencintai kepada orang-orang yang berlaku adil, terutama kepada para pemimpin yang adil. Ini kentara dari firman Allah berikut:
وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ [الحجرات : 9
”Dan berbuat adillah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.” (Qs. al-Hujurat/49: 9).
Rasulullah SAW bersabda:
أَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلاَثَةٌ ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ لِكُلِّ ذِى قُرْبَى وَمُسْلِمٍ وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ ) مسلم
”(Diantara) penghuni surga ialah tiga orang; seorang penguasa yang adil, serta ahli sedekah dan mendapat bimbingan dari Allah; orang yang memiliki sifat penyayang dan lembut hati kepada keluarga dekatnya dan setiap kepada muslim serta orang yang tidak mau meminta-minta sementara ia menanggung beban keluarga yang banyak jumlahnya.” (HR Muslim).
Nash-nash di atas menunjukan bahwa penegakan keadilan merupakan gagasan penting dalam ajaran Islam. Sebaliknya, al-Qur’an mengecam orang-orang yang berlaku zalim. Menurut Thabathaba’iy, hampir dua pertiga surah dalam al-Qur’an membicarakan masalah-masalah kezhaliman. Dalam hadits pun tak terhitung kecaman yang dialamatkan kepada orang yang berbuat zalim.
Rasulullah SAW bersabda:
اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ) صحيح مسلم
“Takutlah berbuat dlalim karena sungguh ia mendatangkan kegelapan-kegelapan di hari Kiamat.” (HR. Muslim)
Pengertian Adil dan Hakikatnya
Kata adil berasal dari bahasa Arab yang secara harfiyah berarti sama. Menurut kamus bahasa Indonesia, adil berarti sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, berpegang kepada kebenaran dan sepatutnya. Dengan demikian, seseorang disebut berlaku adil apabila ia tidak berat sebelah dalam menilai sesuatu, tidak berpihak kepada salah satu kecuali keberpihakannya kepada siapa saja yang benar sehingga ia tidak akan berlaku sewenang-wenang.
Pembahasan tentang adil merupakan salah satu tema yang mendapat perhatian yang serius dari para ulama’ dan intelektual Muslim. Dalam buku “Wawasan Al-Qur’an”, Prof. Dr. M. Quraish Shihab membahas perintah penegakan keadilan dalam al-Qur’an dengan mengutip tiga kata yakni al-adl, al-qisth, al-mizan.
Kata al-adl menunjuk kepada arti “sama” yang memberi kesan adanya dua pihak atau lebih, sedangkan kata al-qist menunjuk kepada arti “bagian” (yang wajar dan patut), dan al-mizan menunjuk kepada arti alat untuk menimbang yang berarti pula “keadilan”. Ketiganya sekalipun berbeda bentuknya namun memiliki semangat yang sama yakni perintah kepada manusia untuk berlaku adil.
Prof. Dr. Yusuf Qardlawi dalam bukunya “Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah” memberikan pengertian adil adalah “memberikan kepada segala yang berhak akan haknya, baik secara pribadi atau secara berjamaah, atau secara nilai apa pun, tanpa melebihi atau mengurangi, sehingga tidak sampai mengurangi haknya dan tidak pula menyelewengkan hak orang lain”
Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan ada setidaknya tiga hakikat keadilan yang harus kita tegakkan, yaitu:
1. Adil dalam Arti Sama (al-Musawat)
Yaitu perlakuan yang sama atau tidak membedakan antara yang satu dengan yang lain; menyangkut persamaan hak perlindungan atas kekerasan, kesempatan dalam pendidikan peluang mendapatkan kekuasaan, memperoleh pendapatan dan kemakmuran. Juga persamaan dalam hak, kedudukan dalam proses di muka hukum tanpa memandang ras, kelompok, kedudukan/jabatan, kerabat, kaya atau miskin, orang yang disukai atau dibenci hatta terhadap musuh sekalipun.
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ [النساء : 58
Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil…(Qs. an-Nisa’/4: 58)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ [النساء : 135
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu .” (Qs. an-Nisa’: 135)
Allah SWT memerintahkan kepada kita agar berlaku adil, sekalipun terhadap komunitas non muslim ataupun kaum yang kita musuhi, sebagaimana dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ [المائدة : 8
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa, bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Maidah: 8).
2. Adil dalam Arti Keseimbangan (at-Tawazun)
Seimbang di sini tidak selalu sama antara dua pihak tersebut secara kuantitatif, tapi lebih kepada proporsional dan profesional Di sini, keadilan identik dengan pengertian kesesuaian, bukan lawan kata “kezaliman”, yakni kesesuaian antara ukuran, kadar dan waktu. Ia ditetapkan apabila memang kondisi menghendaki demikian. Allah SWT telah menciptakan alam semesta dengan segala isinya, termasuk pada diri kita dengan keseimbangan yang sangat tepat.
يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ (6) الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ [الانفطار : 6 ، 7
“Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan menyeimbangankan (kejadian)–mu.” (Qs. al-Infithar/82: 6-7).
Adil dalam pengertian ini merupakan hakikat yang penting dalam keadilan. Namun keseimbangan bukan berarti kesamaan dalam memperoleh sesuatu, misalnya kesamaan dalam penghasilan. Tetapi jangan pula terjadi jurang pemisah yang sangat tajam dan tidak ada unsur pemerataan di antara sesama anak bangsa. Kesempatan diberikan kepada semua orang dalam jumlah yang sama, namun apa yang diperolehnya sangat tergantung pada usaha yang dilakukan. Ketika pembangunan hanya berpusat di tempat tertentu itu namanya tidak adil, karena tidak ada keseimbangan dan ini akan menimbulkan kecemburuan sosial yang berbahaya bagi suatu masyarakat.
Termasuk pula dalam tataran ini, keseimbangan antara pembangunan material dan spiritual, keseimbangan antara zikir dan fikir, pertengahan dalam menyikapi harta, tidak kikir dan tidak boros. Orang yang bisa menyeimbangkan antara zikir dan fikir disebut orang-orang yang berakal sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ (119) [آل عمران : 190 ، 191
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi” (Qs. Ali Imran: 190-191)
Dalam ayat yang lain, Allah memerintahkan agar seseorang menyeimbangkan antara kepentingan ruhiyyah (spiritual) dengan kepentingan jasmaniyah, sebagaimana dinyatakan oleh Allah di dalam al-Qur’an sebagai berikut:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [الجمعة : 10
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Qs. Al-Jumuah: 10)
Dalam konteks ini pula Rasululullah SAW bersabda:
إِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ
“Sesungguhnya bagi dirimu ada hak, bagi Tuhanmu ada hak, bagi tamumu ada hak dan bagi keluargamupun ada hak. Maka berikanlah masing-masing akan haknya.” (HR Turmudzi)
Jika kita baca dengan seksama, petunjuk-petunjuk Al-Quran yang membedakan satu dengan yang lain, seperti pembedaan lelaki dan perempuan pada beberapa hak waris dan persaksian -apabila ditinjau dari sudut pandang keadilan- harus dipahami dalam arti keseimbangan. Keadilan dalam pengertian ini menimbulkan keyakinan bahwa Allah Yang Maha bijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan dan mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan demikian ini mengantarkan kepada pengertian Keadilan Ilahi.
3. Adil dalam Pengertian “Perhatian Terhadap Hak-Hak Individu dan Memberikan Hak-Hak Itu kepada Setiap Pemiliknya”
Adil dalam pengertian inilah yang didefinisikan dengan “menempatkan sesuatu pada tempatnya” (wadh al-syai’ fi mahallihi) atau “memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat”. Lawannya adalah “kezaliman” yaitu menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya (wadh’ al-syai’ fi ghairi mahallihi). Dengan demikian memasang peci di kepala adalah keadilan dan meletakkannya di kaki adalah kezaliman. Pengertian keadilan seperti ini, melahirkan keadilan sosial dimana setiap muslim terutama pemimpinnya wajib menegakkannya.
Setiap manusia tentu mempunyai hak untuk memiliki atau melakukan sesuatu, karenanya hak-hak itu harus diperhatikan dan dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Hak-hak setiap manusia itu misalnya hak untuk hidup, memiliki sesuatu, belajar, bekerja, berobat, kelayakan hidup dan jaminan keamanan. Kesemua itu harus diberikan kesempatannya yang sama kepada setiap orang.
Karena itu, di dalam Islam seseorang tidak dibenarkan melakukan pembunuhan tanpa alasan yang benar karena yang demikian itu berarti ia telah merampas hak hidup orang lain. Allah SWT berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا [الإسراء : 33
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Qs. Al-Isra/17: 33)
Islam juga melarang seseorang makan harta orang lain dengan cara mencuri, menipu dan semacamnya, karena yang demikian itu berarti ia mengambil hak-hak orang lain.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ [النساء : 29]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (Qs. An-Nisa’/4: 29)
Seringkali perampasan hak orang lain dilakukan melalui pengurangan dalam timbangan dan takaran. Dalam hal ini Allah mengecam dengan sangat keras dalam firman-Nya:
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ (1) الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (2) وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ (3) أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ (4) لِيَوْمٍ عَظِيمٍ (5) يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ [المطففين : 1 – 6]
”Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang[ (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (Qs. al-Muthaffifin/83: 1-6)
Dalam kehidupan keluarga pun seseorang diperintahkan berlaku adil dengan cara memberikan hak anggota keluarganya secara proporsional. Seorang laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu orang harus bisa berlaku adil kepada mereka. Allah berfirman:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً [النساء : 3
“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja …” (Qs. an-Nisa’: 3)
Orang tua juga dituntut berlaku adil kepada anak-anaknya. Rasulullah SAW bersabda:
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ (صحيح البخاري
“Bertaqwalah kamu kepada Allah dan bersikap adillah terhadap anak-anakmu.” (HR. Bukhari)
Dalam pengertian ini pula Islam memerintahkan seseorang agar bersikap adil dalam memberikan kesaksian. Seseorang tidak boleh memberi kesaksian kecuali dengan sesuatu yang ia ketahui, tidak boleh menambah dan tidak boleh mengurangi, tidak boleh merubah dan tidak boleh mengganti, Allah SWT berfirman:
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ [الطلاق : 2
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah …” (Qs. ath-Thalaq: 2)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ [المائدة : 8
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah. menjadi saksi dengan adil.” (Qs. Al-Maidah: 8)
Penutup
Untuk bisa disebut berlaku adil diperlukan adanya mizan (standar) yang dipergunakan untuk menilai dan mengukur keadilan atau kezaliman seseorang. Mizan keadilan dalam Islam adalah al-Qur’an. Firman Allah :
اللَّهُ الَّذِي أَنْزَلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَالْمِيزَانَ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ قَرِيبٌ [الشورى : 17]
“Allah-lah yang menurunkan kitab dengan membawa kebenaran dan menurunkan neraca (keadilan)”(Qs.as-Syura/42: 17)
Firman Allah (yang artinya):
لَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا رُسُلَنَا بِٱلۡبَيِّنَـٰتِ وَأَنزَلۡنَا مَعَهُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ وَٱلۡمِيزَانَ لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَأَنزَلۡنَا ٱلۡحَدِيدَ فِيهِ بَأۡسٌ۬ شَدِيدٌ۬ وَمَنَـٰفِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعۡلَمَ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُ ۥ وَرُسُلَهُ ۥ بِٱلۡغَيۡبِۚ إِنَّ ٱللَّهَ قَوِىٌّ عَزِيزٌ۬ (٢٥
“ Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia” (Qs. al-Hadid/57: 25)
Rasyid Ridla, dalam Tafsir al-Manar menjelaskan ayat ini dengan mengatakan:
“Sebaik-baik orang adalah orang yang bisa berhenti dari kezaliman dan permusuhan dengan hidayah al-Qur’an, kemudian orang yang berhenti dari kezaliman karena kekuasaan (penguasa) dan yang paling buruk adalah orang yang tidak bisa diterapi kecuali dengan kekerasan. Inilah yang dimaksudkan dengan al-Hadid (besi)”.
Kedamaian dunia hanya bisa ditegakkan dengan al-Qur’an yang telah mewajibkan umat manusia akan keadilan dan mengharamkan kezaliman dan kesewenang-wenangan. Maka dengan al-Qur’an manusia akan menjauhi tindakan-tindakan kezaliman karena rasa takutnya kepada murka Allah di dunia dan akhirat, disamping untuk mengharapkan balasan/ganjaran dunia akhirat. Wallahu a’lamu bish-shawab. ●
Narasumber utama artikel ini:
Zaini Munir Fadlali