Syarah Hadits #1
Terjemah: Nabi saw. bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya kalian benar-benar mengajak kepada yang ma’ruf dan benar-benar mencegah dari yang munkar atau jika tidak, niscaya Allah akan mengirimkan hukuman/siksa kepada kalian sebab keengganan kalian tersebut, kemudian kalian berdo’a kepada-Nya namun do’a kalian tidak lagi dikabulkan.”
(HR. Tirmidzi dari Hudzaifah ibn al-Yaman, hadits no. 2095).
Takhrij Hadits:
Hadits diriwayatkan oleh Tirmidzi dengan jalur sanad berturut-turut dari tingkat sahabat: Hudzaifah ibn al-Yaman, Abdullah al-Anshori, ‘Amr ibn Abi ‘Amr, Abdul Aziz ibn Muhammad, Qutaibah, Tirmidzi. Hadits ini menurut penilaian Tirmidzi berkualitas hasan. (lihat Sunan al-Tirmidzi, 8: 75). Muhammad Nashiruddin Albani juga menilai hadits ini berkualitas hasan (Shahih wa Dha’if Sunan al-Tirmidzi, 5: 169).
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hanbal (Musnad Ahmad, 47: 281, hadis no. 22212, dan 47:307, hadits no. 22238) dan Baihaqi (al-Sunan al-Kubra, 10: 302).
Mufradat:
Ma’ruf: Semua jenis perbuatan yang diketahui oleh akal atau oleh syariat akan kebaikannya; perbuatan baik.
Munkar: Semua jenis perbuatan yang tidak diketahui atau diingkari oleh akal atau oleh syariat akan kebaikannya; perbuatan buruk.
Syarah Hadits:
1. Beramar ma’ruf nahi munkar atau akan disiksa dan doanya tidak dikabulkan
Hadis Nabi saw ini kembali menegaskan akan kewajiban setiap muslim untuk mengajak orang lain, dirinya sendiri serta keluarganya kepada kebaikan dan mencegah perbuatan yang buruk. Hukum wajib tersebut tercermin pada ancaman yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad SAW. bagi orang-orang yang tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar tersebut, yaitu akan diberi hukuman/siksa atas keengganannya tersebut, dan juga pada saat itu do’a yang ia panjatkan tidak akan dikabulkan lagi oleh Allah.
Hadits ini seiring dengan firman Allah dalam Qs. Ali Imran/3 ayat 110, terjemah: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Ayat ini memerintahkan agar ada sebagian dari golongan kaum muslimin untuk menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Dengan hadits riwayat Hudzaifah tersebut, kata waltakun minkum yang artinya, “hendaknya sebagian dari kamu sekalian menjadi” dipahami dengan waltakun kullun minkum yang artinya “hendaknya setiap kamu sekalian menjadi” (lihat Tafsir ibn Katsir, 2: 91).
Terjemah Qs. Ali Imran/3 ayat 110: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. Menurut ayat ini, sifat umat terbaik, salah satunya adalah menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.
Terjemah Qs. at-Taubah/9 ayat 71: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Ayat ini menegaskan bahwa salah satu ciri orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan adalah menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.
Perbuatan ma’ruf adalah perbuatan baik yang kebaikannya diketahui dengan salah satu dari dua jalan. Pertama, diketahui oleh akal pikiran yang sehat. Kedua, diketahui melalui dalil-dalil syar’i yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw. Oleh karenanya, ma’ruf meliputi semua jenis kebaikan yang ada, baik ada dalilnya dari al-Qur’an dan al-hadits, atau hanya berdasar pikiran manusia semata.
Hadits Nabi riwayat Hudzaifah tersebut memberi ancaman bagi orang mukmin yang enggan melakukan amar ma’ruf nahi munkar akan mendapatkan hukuman dari Allah. Ketika ia sedang dihukum, maka doa yang ia panjatkan tidak akan dijawab dan tidak dikabulkan.
2. Mampu mengubah kemunkaran, tapi tidak mengubahnya, akan disiksa sebelum meninggal.
قَالَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ رَجُلٍ يَكُونُ فِي قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي يَقْدِرُونَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا عَلَيْهِ فَلَا يُغَيِّرُوا إِلَّا أَصَابَهُمْ اللَّهُ بِعَذَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَمُوتُوا
Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah seorang laki-laki berada pada sebuah kaum yang di dalamnya dilakukan suatu kemaksiatan, mereka mampu mengubah kemaksiatan tersebut lalu tidak melakukannya, maka Allah akan menimpakan siksa kepada mereka sebelum mereka meninggal.” (HR. Abu Dawud dari Jarir, hadits no. 3776).
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan jalur periwayatan berturut-turut, dari sahabat Jarir, Ubaidillah Ibn Jarir, Abu Ishaq, Abu al-Ahwash, Musaddad dan Abu Dawud.(Sunan Abi Da-wud, 11: 414). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Hibban (Shahih ibn Hibban, 2:93). Menurut Nashiruddin Albani hadits ini berkualitas hasan (Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud, 9: 337). Sedangkan menurut Ibn Hibban, hadits ini berkualitas shahih.
Mufradat:
Al-Ma’ashi jamak dari al-Ma’shiyat: durhaka; lawan katanya: taat.
Syarah:
Ma’shiyat adalah perkataan, perbuatan dan perilaku durhaka yang mencerminkan ketidaktaatan hamba kepada Tuhannya. Termasuk dalam ma’shiyat adalah perilaku kekafiran, kemusyrikan, keengganan melakukan perintah-Nya, dan perbuatan yang melanggar larangan-Nya.
Bila dalam suatu masyarakat ada perilaku ke-ma’shiyat-an tersebut, padahal ada orang yang sanggup dan mampu mengubahnya, tetapi ia tidak melakukannya, maka Allah akan menimpakan siksa kepada orang tersebut sebelum ia meninggal dunia.
3. Bila tidak ada yang berusaha mengubah kemunkaran, Allah akan meratakan adzab-Nya kepada yang melakukan kemunkaran dan yang tidak melakukannya.
قَالَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الْمُنْكَرَ لَا يُغَيِّرُونَهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللَّهُ بِعِقَابِهِ
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya manusia apabila melihat kemunkaran, kemudian mereka tidak merubahnya di khawatirkan Allah akan meratakan adzab-Nya kepada mereka.” (HR. Ibn Majah dari Abu Bakar, hadits no. 3995).
Takhrij hadits:
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Majah dengan jalur sanad melalui: Abu Bakar, Qais ibn Abu Hazim, Ismail ibn Abi Khalid, Abdullah ibn Numair dan Abu Usamah, Abu Bakar ibn Abi Syaibah, Ibn Majah. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hanbal (Musnad Ahmad, 1:4, 33, 53), Thabrani (al-Mu’jam al-Ausath, 6:67) dan Abu Ya’la (Musnad Abu Ya’la, 1: 124).
Hadis ini berkualitas hasan shahih menurut al-Baghawi (Syarh al-Sunnah, 1:991), dan berkualitas shahih menurut penilaian al-Tibrizi (Misykat al-Ma-shabih, 3: 115) dan menurut penilaian Nashiruddin Albani (Shahih wa Dha’if Sunan Ibn Majah, 9:5).
Syarah:
Suatu kemunkaran yang terjadi di muka bumi, apabila tidak ada yang merubahnya, maka kemunkaran tersebut akan meluas dan mempengaruhi semua elemen masyarakat. Dan efek merusak yang ditimbulkan akibat adanya kemungkaran itu tidak hanya dirasakan oleh pelaku kemunkaran itu saja, tetapi juga dirasakan oleh orang lain yang tidak melakukannya tetapi membiarkan kemungkaran tersebut tetap berlangsung. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Qs. al-Anfal/8 ayat 25, terjemah: Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.
4. Perumpamaan orang yang melanggar hukum seperti orang yang ada di kapal
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُدْهِنِ فِي حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا مَثَلُ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا سَفِينَةً فَصَارَ بَعْضُهُمْ فِي أَسْفَلِهَا وَصَارَ بَعْضُهُمْ فِي أَعْلَاهَا فَكَانَ الَّذِي فِي أَسْفَلِهَا يَمُرُّونَ بِالْمَاءِ عَلَى الَّذِينَ فِي أَعْلَاهَا فَتَأَذَّوْا بِهِ فَأَخَذَ فَأْسًا فَجَعَلَ يَنْقُرُ أَسْفَلَ السَّفِينَةِ فَأَتَوْهُ فَقَالُوا مَا لَكَ قَالَ تَأَذَّيْتُمْ بِي وَلَا بُدَّ لِي مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ أَخَذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَنْجَوْهُ وَنَجَّوْا أَنْفُسَهُمْ وَإِنْ تَرَكُوهُ أَهْلَكُوهُ وَأَهْلَكُوا أَنْفُسَهُمْ
(BUKHARI – 2489) : Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Perumpamaan orang yang bertahan pada batas-batas hukum Allah dan orang yang jatuh di dalamnya (melanggar) adalah seperti sekelompok orang yang berlayar dengan sebuah kapal. Sebagian dari mereka mendapat tempat di bagian bawah dan sebagian lagi di bagian atas perahu. Orang yang berada di bawah perahu bila mencari air untuk minum, mereka harus melewati orang-orang yang berada di atas sehingga mengganggu orang yang berada di atas. Lalu salah seorang yang berada di bawah mengambil kapak untuk membuat lubang di bawah kapal. Orang-orang yang berada di atas mendatanginya dan berkata: “Apa yang kamu lakukan?” Orang yang di bawah itu berkata: “Kalian telah terganggu olehku sedangkan aku sangat memerlukan air”. Bila orang yang berada di atas itu mencegahnya dengan tangan mereka , maka mereka telah menyelamatkan orang tadi dan menyelamatkan diri mereka sendiri, namun apabila mereka membiarkan saja berarti dia telah membinasakan orang itu dan diri mereka sendiri”.
Takhrij Hadis
Hadis ini secara lafdziyah diriwayatkan oleh Bukhari (Shahih al-Bukhari, 3:237) dengan mata rantai sanad: ‘Umar ibn Hafs ibn Ghayyats dari ayahnya (Hafs ibn Ghayyats) dari A’masy dari Sya’bi dari Nu’man ibn Basyir. Hadis semakna dengan lafal sedikit berbeda diriwayatkan juga oleh Bukhari (Shahih al-Bukhari, 3: 182) dengan mata rantai sanad: Abu Nu’aim – Zakaria – A’masy – Sya’bi – Nu’man ibn Basyir. Juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dengan mata rantai sanad: Ahmad ibn Muni’ – Abu Mu’awiyah – A’masy – Sya’bi – Nukman ibn Basyir. Selain itu hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hanbal (Musnad Ahmad, 4: 268, 269), dan oleh al-Humaidi (Musnad al-Humaidi, 3:919).
Hadis ini berkualitas shahih sebagaimana yang dikemukakan oleh imam Bukhari.
Syarah
Rasulullah saw telah membuat suatu perumpamaan yang sangat baik. Masyarakat beliau umpamakan seperti sebuah kapal besar yang menyeberangi samudra.Gelombang besar maupun kecil datang silih berganti menyebabkan kapal bergoyang. Kemahiran nakoda sangat diperlkan untuk menjaga kestabilan kapal agar selamat dan tidak tenggelam, begitu juga bantuan semua penumpang. Setiap orang yang ada di atas kapal harus merasa bertanggung jawab atas keselamatan kapal.
Ustadz Ahmad Azhar Basyir ketika menjelaskan hadis ini mengatakan, “Banyak orang lupa bahwa kehidupan bermasyarakat kita itu benar-benar ibarat kapal besar yang mengarungi samudera luas. Dikira bahwa mereka yang hidup di darat, tenang tidak pernah oleng dan kadang-kadang goncang. Sebab itu, banyak di antara mereka yang tidak merasa berat untuk hidup menyeleweng, hidup semau gue, dengan alasan asal tidak mengganggu orang lain. Mereka lupa bahwa apa yang mereka lakukan itu berpengaruh besar dalam kehidupan bermasyarakat”.
Atas adanya kenyataan bahwa banyak orang yang tidak menyadari kedudukannya dalam hidup inilah Nabi memperingatkan agar orang jangan berdiam diri dan acuh tak acuh terhadap tindakan-tindakan yang akan membahayakan diri, orang lain dan hidup bermasyarakat itu. Kalau kita berdiam diri terhadap hal hal yang membahayakan tersebut, bukan saja yang berbuat yang akan mengalami kerugian tetapi masyarakat seluruhnya, termasuk kita.
5, Barang siapa melihat kemunkaran hendaknya mengubah dengan tangannya
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
(MUSLIM – 70) : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda: “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.”
Takhrij al-Hadits:
Hadis ini diriwayatkan oleh imam Muslim dalam kitab Shahihnya (1: 167) dengan mata rantai sanadnya dari:
- Muslim – Abu Bakar ibn Abi Syaibah – Waki’ – Sufyan – Qays ibn Muslim – Thariq ibn Syihab – Abu Sa’id al-Khudriy – Rasulullah;
- Muslim – Muhammad ibn Mutsanna – Muhammad ibn Ja’far – Syu’bah – Qays ibn Muslim – Thariq ibn Syihab – Abu Sa’id al-Khudriy – Rasulullah.
- Muslim- Abu Kuraib Muhammad ibn ‘Allai – Abu Mu’awiyah – A’masy – Ismail ibn Roja’ – Ayahnya (Roja’) – Abu Sa’id al-Khudriy – Rasulullah.
Selain Muslim, periwayat hadis ini adalah Ibn Majah (Sunan ibn Majah, 12: 17), Ahmad ibn Hanbal (Musnad Ahmad, 22: 96, 23:79), Baihaqi Ial-Sunan al-Kubra, 5: 1366) dan Ibn Hibban (Shahih ibn Hibban, 2: 103).
Hadis ini berkualitas shahih.
Syarah
Amar ma’ruf nahi munkar hukumnya adalah fardhu kifayah, artinya bila sudah ada sebagian orang yang melaksanakan maka gugurlah kewajiban tersebut atas orang lainnya, tetapi bila tidak ada yang mengerjakan dan semua orang meninggalkan, maka dosalah semua orang yang tidak udzur. Amar ma’ruf terkadang menjadi fardhu ‘ain, misalnya ketika ia melihat kemunkaran sedangkan tidak ada yang melihatnya kecuali dia, atau tidak mungkin hilang kecuali dia yang mencegahnya, atau tatkala melihat istrinya atau anaknya berada dalam kemunkaran.
Menurut para ulama, kewajiban amar ma’ruf nahi munkar tidaklah gugur dengan persangkaan tidak adanya perubahan. Sebab yang wajib baginya adalah amar ma’ruf nahi munkar, bukan hilangnya kemunkaran. Allah swt berfirman:
قُلۡ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَۖ فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنَّمَا عَلَيۡهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيۡڪُم مَّا حُمِّلۡتُمۡۖ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهۡتَدُواْۚ وَمَا عَلَى ٱلرَّسُولِ إِلَّا ٱلۡبَلَـٰغُ ٱلۡمُبِينُ (٥٤
Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (Qs. an-Nur/24: 54)
Bukan merupakan persyaratan bahwa pelaku amar ma’ruf nahi munkar adalah seseorang yang telah sempurna keadaannya dalam melaksanakan apa yang dia serukan atau menjauhi apa yang dia larang. Bahkan, hendaknya ia beramar ma’ruf sekalipun ia masih bertentangan dengan apa yang ia serukan, karena ada dua kewajiban atasnya, pertama memerintahkan dirinya sendiri, kedua menyuruh orang lain. Barang siapa mengerjakan salah satu dari keduanya tidaklah menggugurkan yang lain.
Keadaan belum sempurnanya orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar tidaklah bertentangan dengan al-Qur’an surat ash-Shaff ayat 2-3:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ (٢ ڪَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ (٣
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (2) Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (3). [Qs. ash-Shaf/61: 2-3]
Ash-Shaff ayat 2-3 ini melaknat orang beriman yang mengatakan sesuatu yang dia sendiri tidak melakukan padahal ia mampu. Tidaklah termasuk dalam ancaman Allah orang yang mengajak orang lain agar bersama-sama dengan dirinya bisa melakukan suatu kebaikan atau menghindarkan diri dari keburukan, sebagai suatu ikhtiar bersama dalam melaksanakan ajaran Allah.
Kewajiban amar ma’ruf nahi munkar bukan hanya dikhususkan bagi pemerintah saja, melainkan juga merupakan kewajiban bagi masing-masing pribadi kaum muslimin. Orang yang diperintahkan melakukannya adalah orang yang mengetahui apa yang ia serukan dan apa yang ia larang. Jika berkaitan dengan hal-hal yang sudah jelas dan tegas, seperti shalat, puasa larangan zina, larangan minum khamr, tentulah semua kaum muslimin telah mengetahuinya, sehingga kewajibannya berlaku untuk seluruh kaum muslimin. Akan tetapi jika persoalannya adalah berkaitan dengan perkara yang detil dan rumit, maka bukanlah kewenangan orang awam. Untuk perkara terakhir ini, amar ma’ruf dan nahi munkar adalah tugas para ulama.
6. Orang yang mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran, tapi dia sendiri tidak melakukannya, di neraka perutnya terburai
رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ أَيْ فُلَانُ مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنْ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ وَأَنْهَاكُمْ عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ
(BUKHARI – 3027) : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada hari qiyamat akan dihadirkan seseorang yang kemudian dia dilempar ke dalam neraka, isi perutnya keluar dan terburai hingga dia berputar-putar bagaikan seekor keledai yang berputar-putar menarik mesin gilingnya. Maka penduduk neraka berkumpul mengelilinginya seraya berkata; “Wahai fulan, apa yang terjadi denganmu?. Bukankah kamu dahulu orang yang memerintahkan kami berbuat ma’ruf dan melarang kami berbuat munkar?”. Orang itu berkata; “Aku memang memerintahkan kalian agar berbuat ma’ruf tapi aku sendiri tidak melaksanakannya dan melarang kalian berbuat munkar, namun malah aku mengerjakannya”.
Takhrij al-Hadits:
Hadis ini diriwayatkan oleh imam Bukhari (Shahih al-Bukhari, 11: 46) dengan mata rantai sanad: Bukhari – ‘Ali – Sufyan – A’masy – Abu Wail – Rasulullah. Mereka adalah para periwayat yang siqqah sehingga karenanya al-Bukhari menilai hadis ini shahih.
Selain al-Bukhari, hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim (Shahih Muslim, 4: 2290, 2989), Ahmad ibn Hanbal (Musnad Ahmad), al-Baihaqi (al-Sunan al-Kubra, 10: 308).
Syarah:
Hadis ini memberikan gambaran mengenai siksa orang yang mengajak kebaikan, tetapi ia sendiri tidak melaksanakan ajakannya, dan mencegah kemunkaran tetapi ia sendiri mengerjakannya. Hadis ini menjadi bayan ta’kid (penjelas yang memperkuat) dari firman Allah dalam al-Qur’an surat ash-Shaff ayat 2-3:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ (٢ ڪَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ (٣
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (Qs. ash-Shaf/61: 2-3).
Narasumber utama artikel ini:
Agung Danarta